Wisata ke Selandia Baru
6 jam di pesawat Qantas Airways tujuan Sydney memang membuat punggung luar biasa pegal. 2 jam pertama masih ok, tapi selanjutnya benar-benar melelahkan. Dehidrasi pun menyerang cepat. Aku memang kurang bisa tidur di dalam perjalanan seperti ini. Bolak-balik kumainkan remote untuk melihat film-film. Mau melihat Avatar, tapi ternyata kantuk menyerangku dengan cepat setelah makan super malam (jam 11 malam waktu Indonesia), nasi dan kari ayam. Cukup sesuailah dengan seleraku.
Untung aku masih bisa mendapatkan 2 jam tidur di pesawat ini. Tepat jam 6.30 waktu Sydney, pesawat mendarat di Sydney International Airport. setelah menyelesaikan urusan di customs, kami bersebelas segera mencari water tap untuk minum, dan tentu saja, toilet. 3 jam kami menunggu di bandara untuk meneruskan penerbangan menuju Auckland sambil muter-muter melihat toko-toko duty free (muahal tapi, hehehe).
Kira-kira jam 9.25, pesawat Qantas nomer penerbangan QF 055 take off dari Sydney Airport, dan dimulailah perjalanan 3 jam yang membosankan menuju Auckland, karena fasilitas pesawat ini cukup minim.
Mendarat di Auckland pukul 14.30, aku sudah disambut dengan hujan rintik-rintik dengan angin super kencang. Dah mau melayang rasanya, dan rintik hujan itu jadi setajam silet (ya, ini sih dramatisasi). Untung si coach bus sudah ready di depan.
Sedikit mengenai Auckland …
Auckland adalah kota terbesar di New Zealand, dengan jumlah penduduk 1,4 juta jiwa, 31 % dari total penduduk New Zealand, itupun kayanya masih kurang penduduk, wong jalannya masih sepi-sepi tuh. Inilah salah satu kota idaman untuk hidup, dimana kota menempati urutan keempat kota-kota paling ideal untuk hidup menurut survey Mercer 2009 mengenai kualitas hidup. City of Sail adalah julukan bagi kota ini, tidak heran karena kota ini terletak daratan genting (apa istilah untuk isthmus? jadi daratan tipis yang misahin 2 laut) dan punya 2 pelabuhan besar, Waitemata dan Manukau.
Perjalanan pertama adalah mengikis penasaran mengunjungi daratan tertinggi di Auckland, Mt. Eden, sekitar 15-20 menit dari Airport. Sore itu memang cukup bersahabat, karena tidak ada hujan, padahal ramalan cuaca hujan disertai petir. Sampai di Mt. Eden jam 4 sore, begitu keluar dari bus, angin kuenceng dan suhu dingin segera mendera. Gemeretuk sampai giginya, emang norak bener, padahal mau foto-foto. Tidak ada sesuatu yang istimewa sih, di Mt. Eden, karena cuman ada kawah dengan bentuk kerucut, tapi view dari sini memang luar biasa indah. Kita bisa melihat kota Auckland, dengan puncak tertingginya, Skytower, dari sini, dengan latar belakang laut yang dilimpahi perahu-perahu layar. Lebih-lebih waktu itu sore, matahari sudah hampir tenggelam, dan sinarnya menembus gulungan awan, menciptakan lajur-lajur cahaya yang menyiram lautan.
Turun dari Mt. Eden, sebenarnya kami hendak jalan ke Winter Garden, tapi ternyata sampai sana dah tutup, jam 16.30 teng. Ya wis, daripada ga ada tujuan, kami muter-muter di Harbour Bridge, Lakefront Drive, dan akhirnya berakhir di wisata paling dinikmati orang Indonesia, belanja. Yupe, karena kebutuhan kami akan komunikasi dengan keluarga di tanah air, prioritas kami sesampai di Auckland adalah : membeli SIM Card. Sampailah kita di New World, semacam Carrefour sini lah, dan langsung, acara beli oleh-oleh dan tentu saja, SIM Card. 2Degrees lah rajanya murah di NZ , telepon ke Indonesia cuman NZD 0.44 semenit (3000an rupiah), sedang SMS cuman NZD 0.09 (600an rupiah). mantap banget kan?
Tas sudah bertambah berat dengan adanya oleh-oleh hari pertama ini (Whittakers chocolate 1 kilo lebih, hehehe), dan setelah makan malam di sebuah restoran china yang uenak banget (lupa namanya), kami tewas dengan suksesnya di Crowne Plaza Hotel. Ternyata ada beberapa dari temen yang masih lanjut sampai pagi di Skycity Casino, seberang hotel persis, ck ck ck.
Next things to do : Go to Roturua via Huntly, and eat some beefy barbeque at Roseland’s Farm.
Jam 6 masih cukup gelap di Auckland, di jendela sekejap kulihat Skytower menjulang. Sarapan di NZ, secara mengejutkan, sangat cocok dengan lidah kami, orang Indonesia. Hmmm, rasanya kami bisa berlama-lama di NZ, nih, kalau begitu.
Begitu kami keluar hotel sekitar jam 8, hawa dingin segera menyergap. Jalan-jalan di Auckland masih belum menampakkan aktivitas sebenarnya. Masih sepi, dengan sedikit mobil dan bus umum lewat. Supir bis kami yang ramah menyapa kami dengan bahasa Maori, dan kami pun terpaksa belajar bahasa maori sedikit-sedikit. Kia Ora, kami pun membalas. Artinya kira-kira Hai!
kami segera berangkat menuju Rotorua dengan terlebih dahulu melewati Waitomo untuk mengunjungi Gua Ulat Berpendar (halah, Glow-worm cave namanya), dan makan siang di Roseland’s Farm.
Perjalanan menuju Waitomo adalah perjalanan yang cukup panjang, kurang lebih 3,5 jam. Sepanjang perjalanan ini, yang terlihat adalah daratan NZ yang konturnya berbukit-bukit, dengan hamparan rumput yang begitu luas pemandangan sapi dan domba. Yang membuat pemandangan ini begitu menyenangkan adalah, hampir setiap beberapa menit kami bisa melihat lintasan pelangi di kiri kanan jalan, kadang sampai satu busur pelangi penuh. Tidak mengherankan memang, karena dari 3,5 jam perjalanan ini, hujan dan sinar matahari silih berganti. Di wikipedia memang pernah saya baca bahwa NZ adalah salah satu negara di dunia yang paling susah ditebak cuacanya. Di beberapa bagian, Penduduk NZ sudah biasa mengalami 4 musim dalam hitungan minggu saja.
Kami berhenti sebentar di Huntly untuk toilet, sambil menikmati pemandangan sungai Waikato dan seberang sana, dari kejauhan kami bisa melihat pembangkit listrik Huntly.
Kira-kira jam 11.30, kami sampai juga di Waitomo, dan langsung disambut dengan hujan deras yang cuma berlangsung beberapa menit saja. Pintu masuk ke Glow-worm Cave ini baru saja direnovasi dengan bentuk kubah dengan pilar-pilar kayu yang disusun unik. Setelah membeli tiket, kami dituntun oleh seorang pemandu berkebangsaan Maori, yang walaupun berbahasa Inggris, agak susah kami mengerti.
Sedikit info mengenai glow-worm …
Glow-worm adalah fase larva dari serangga Arachnocampa luminosa. serangga ini mempunyai daur hidup yang sangat menarik. fase larvanya adalah fase yang paling panjang dari kehidupannya, dimulai dari telur sampai serangga dewasa. pada fase larva inilah, mereka mencari makan dengan cara menciptakan semacam senar sekitar 30-40 cm dengan ujung berlendir untuk menangkap mangsa. Mereka berusaha menarik perhatian mangsa dengan cara berpendar (glowing), menciptakan ilusi seakan-akan itulah jalan keluar dari gua. Karena jumlahnya yang sangat banyak, pendaran glow-worm ini menciptakan pemandangan seperti sinar bintang di waktu malam di dinding atas gua. Glow-worm ini sangat sensitif terhadap sinar dan gangguan, maka di dalam gua dilarang keras memfoto, apalagi menggunakan blitz, menerangi dengan senter, atau mengobrol dengan suara keras (padahal di gua kan suara pasti bergaung ya?)
Gua ini juga punya pemandangan gua karst yang indah, dengan formasi stalagtit dan stalagmit yang beberapa diantaranya bahkan punya nama-nama seperti : Katedral, merupakan ruang kosong yang cukup besar di dalam gua seperti gereja katedral dengan sebuah organ pipa yang besar dan balkon (balcony). Kemudian ada gambaran stalagmit seperti sebuah keluarga yang naik unta, dan lain-lain.
Sayang kami datang pada saat yang kurang tepat, karena air sungai di dalam gua sedang pasang, sehingga kesempatan kami untuk melihat glow-worm menjadi sedikit. Seharusnya kami naik perahu yang akan membawa kami menyusuri gua, sambil melihat langit-langit gua yang penuh dengan kumpulan glow-worm, tapi karena air pasang, kami hanya bisa 5 menit naik perahu.
Seusai berperahu melihat glow-worm, tiba saatnya bagi kami untuk menikmati BBQ di Roseland’s farm, yang katanya sih mantep banget dagingnya. 10 menit perjalanan dari Waitomo glow-worm cave, dan sampailah kami ke rumah makan itu. Rumah makan itu tidak terlalu besar sebenarnya, tapi halaman belakangnya, benar-benar menyenangkan dengan pemandangan padang rumput dan bukit-bukit hijau. BBQ di sini lumayan enak (tapi sausnya agak kemanisan, mungkin selera NZ kali), dengan daging sapi NZ yang tebel banget, dan ada nasi pula, hehehe. harga satu porsinya NZD 17-18.
Kenyang makan BBQ, kami melanjutkan perjalanan ke Rotorua. Rotorua adalah sebuah kota kecil di North Island (Pulau Utara) yang terkenal dengan fenomena geyser dan mud poolnya.
Perjalana ke sana memang agak jauh dari Waitomo. Sampai di sana agak sore, sekitar jam 5, terus daripada langsung masuk hotel, kami menyempatkan untuk mampir di Rainbow Springs, semacam kebun binatang mini yang berisi binatang-binatang dan tanaman-tanaman khas NZ. Di situ ada burung kiwi (yang ternyata mirip burung puyuh dengan ukuran besar dan paruh yang lebih panjang), ada binatang seperti kadal (tapi bukan) yang katanya living fossil, tuatara, dan burung-burung khas NZ yang aneh-aneh. Yupe, ada yang suka menirukan suara ketawa, ada yang gendut tapi tidak bisa terbang, ada yang suka menteror domba dan manusia. Di situ pula ada pembudidayaan bermacam-macam ikan trout, ikan Amerika yang dicoba untuk dikembangkan di NZ. Cukup menarik, tapi karena hari sudah mulai gelap, akhirnya kami memutuskan untuk ke hotel dulu, Millenium Hotel yang berada di Rotorua CBD.
Sekitar jam 7 malam, kami makan malam di Heritage Hotel, 10 menit dari Millenium Hotel sambil menyaksikan malam kebudayaan Maori, tari-tarian khas Maori, seperti Haka dance yang sangat terkenal itu. Rotorua adalah salah satu pusat kebudayaan Maori, dimana kita masih bisa menyaksikan berbagai warisan budaya Maori, seperti suku Asmat di Papua. Tidak terlalu istimewa sajian makan di Heritage Hotel ini, malah agak aneh untuk lidah orang Indonesia. Semuanya makanan laut Hanya lamb chops saja yang masuk ke perut.
Pulang dari Heritage Hotel, kami menyempatkan untuk jalan-jalan sekitar hotel. Jam 9 dan jalan sudah sunyi senyap. Rata-rata toko memang buka hanya sampai jam 6 saja. Akhirnya kami kembali belanja, hehehe, di supermarket Pak n Save Rotorua. Satu grup dengan New World, Pak n Save adalah supermarket yang dirancang mirip Makro, pusat kulakan yang tidak menyediakan plastik secara gratis, dengan harga yang lebih murah daripada New World.
Next things to do : Te Puia thermal Reserve, Whakarewa-rewa, Agrodome dan go to Queenstown.
Barang belanjaan kami sudah cukup berat dari belanja hari pertama dan kedua. Badan juga sudah mulai kerasa agak-agak meriang, tapi karena semangat membara, tetap aja kami pede jalan-jalan, hehee. Pagi-pagi sekali kami sudah bangun pagi, dan sudah disambut dengan sarapan pagi plus bau telor busuk aliasrotten eggs khas belerang yang keluar dari geyser-geyser di Rotorua.
Pukul 7.30 kami berangkat menuju Te Puia Thermal Reserve, untuk melihat desa orang Maori dan Pohutu Geyser yang terkenal itu. Perjalanan hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit, dan pagi itu adalah saat yang paling tepat untuk mengunjungi objek wisata ini. Pemandangannya benar-benar luar biasa!
Seperti halnya objek wisata di NZ yang lain, pintu masuk objek wisata ini dirancang khusus untuk menarik perhatian, terdiri atas tiang-tiang kayu yang disusun seperti hendak membuat api unggun. Bau sulfur yang menyengat sudah menyambut kami di pagi itu.
Lagi-lagi pemandu kami berkebangsaan Maori, walaupun yang ini lebih enak ngomong Inggrisnya daripada waktu di Waitomo. Begitu masuk, kami langsung disambut dengan pemandangan sebuah desa Maori. Nama resminya adalah Te Whakarewarewatanga O Te Ope Taua A Wahiao (yupe, memang sepanjang itu),yang artinya kira-kira “tempat berkumpul para pejuang Wahiao”, walaupun New Zealander biasa menyingkat dengan Te Whakarewarewa, atau Whaka saja. Ada rumah utama yang berfungsi sebagai tempat ritual, dan ada rumah-rumah di samping kiri kanannya. Situs budaya ini sekarang tidak lagi ditempati oleh orang Maori, tapi masih sering dipakai untuk melakukan upacara-upacara tertentu.
Sebelum melihat desa Maori ini, kami melewati Kiwi House, rumah penangkaran burung Kiwi. Tidak jelas terlihat dimana si Kiwi berada, Kiwi House dirancang gelap dengan minim pencahayaan, karena Kiwi adalah binatang nokturnal, alias cuman suka gelap.
Berjalan kurang lebih 400 meter dari Kiwi House, kami akhirnya sampai ke tempat mud pool berada. Menurut informasi dari pemandu, ada ratusan kolam lumpur panas dan geyser yang ada di situs ini (tapi menurutku masih kalah sama lumpur Sidoarjo). Pohutu geyser yang terkenal itu, dikenal karena letusannya ke atas yang bisa mencapai ketinggian 15 meter lebih. Dengan langit yang super biru pagi itu, pemandangan geyser dan asap tebal yang membubung ke angkasa benar-benar luar biasa. DI situ kami juga menikmati tempat duduk batu yang hangat, karena ada aktivitas geothermal di bawahnya. Katanya sih orang Maori dulu kalau masak pake itu, hungy namanya.
Kami melanjutkan jalan-jalannya ke sekolah Seni dan Kerajinan yang ada di kompleks itu juga. Maori, seperti halnya suku Asmat di Papua, terkenal dengan keahliannya mengukir kayu. Mereka juga mempunyai baju tradisional yang mirip dengan suku di Papua.
Agrodome adalah tujuan kami selanjutnya setelah Te Puia. berjarak sekitar 15 menit dari Te Puia, Agrodome adalah kompleks peternakan domba dan sapi yang terkenal di Rotorua. Di situ kami akan melihat atraksi pengguntingan bulu domba (sheep shearing) dan penggembalaan domba dengan menggunakan anjing penjaga.
Yang mengejutkan, kami mendapati ada satu orang Indonesia asal Medan yang bekerja sebagai pemandu di sana, namanya Shanti. Dia sudah tinggal 14 tahun di NZ. Dia dengan ramahnya kemudian menyilakan kami untuk duduk di depan panggung, menanti pertunjukan dimulai.
Pertunjukan dimulai 9.30 tepat dengan sambutan yang hangat. MCnya seorang shearer yang bener-bener suka ngocol. Asli lucu banget, dan sangat menghibur. Dengan penonton yang rata-rata paham Bahasa Inggris (kebanyakan penonton waktu itu dari USA), joke-jokenya benar-benar bikin heboh panggung.
Dia mulai mengenalkan dengan jenis-jenis domba, dari mulai yang paling top sampai yang paling jelek mutu bulunya. Terus kemudian dia mengadakan interaksi dengan penonton, seperti bagaimana memerah susu, dan memberi susu pada anak domba. Terakhir dia memperkenalkan anjing-anjing yang biasa digunakan untuk menggembala, dan bagaimana cara anjing untuk menggembala domba, seperti menggiring kawanan domba dan memasukkan domba ke kandang.
Setelah selesai pertunjukan, kami segera bersiap untuk menuju Rotorua Airport untuk terbang ke Queenstown. Masih ada sisa waktu sekitar 1,5 jam sebelum berangkat, dan kami berkesempatan untuk menikmati pemandangan danau Rotorua dan Government Garden yang letaknya tidak berjauhan. Sayangnya Government Garden sedang dalam renovasi, sehingga agak mengganggu pemandangan, dan kami datang pada saat musim gugur, dimana tanaman-tanaman tidak sedang berbunga. Jika musim semi dan panas, taman ini (katanya) sangat indah.
Danau Rotorua cuman berjarak 1 Km dari Government Garden, dan tempatnya memang asyik buat jalan-jalan. Pengunjung dimanjakan dengan trotoar, bangku-bangku taman dan taman bermain yang bersih, tapi dengan catatan : asal tidak menduduki e’ek burung, karena buanyak banget e’ek burung camar dan black swan di sini.
12.30 tepat pesawat turbo prop twin propeller Air New Zealand pun take off menuju Queenstown, salah satu kota terindah di NZ. Ratu Elizabeth pun sangat menyukai kota ini,
dan petinggi NZ pada waktu itupun akhirnya memberi nama Queenstown pada kota ini. Pesawat transit dahulu di kota Christchurch, dan menunggu kira-kira 20 menit sebelum akhirnya terbang lagi ke Queenstown.
Sampai di Queenstown sekitar jam 4, kami langsung melihat jajaran pegunungan Alpen Selatan yang dipuncaki salju abadi. Queenstown adalah murni kota turis dengan jumlah penduduk kurang dari 60.000 jiwa. Suasana kota yang rapi tapi sepi benar-benar menciptakan kesan yang menyenangkan. Dengan waktu yang sangat lapang untuk putar-putar kota, akhirnya kami berjalan-jalan mengitari kompleks pertokoan di dekat hotel kami, Novotel Lakeside,
sambil menikmati hawa dingin akhir musim gugur itu. pusat kota ini didominasi oleh toko-toko souvenir dan rumah makan. Berburu souvenir yang aneh-aneh di sini benar-benar membuat kami lupa waktu. Tapi ingat, harus bener-bener jago membandingkan harga, karena perbedaan harga di antara toko-toko di sini cukup lebar.
Pukul 10 malam kami sudah tepar … zz zz zz.
Next things to do : go to Bob’s peak, Arrow town, dan jalan-jalan malam lagi.
Hari Keempat di NZ, dan kami sudah cukup menyesuaikan diri dengan hawa dingin awal musim dingin ini. Suhu pagi hari jam 8 di Queenstown tercatat 4°C, berawan. Jika di jam 8 orang-orang Jakarta sudah bekerja dengan giat dan kemacetan ada dimana-mana, di Queenstown sebaliknya. Hari masih gelap, dan bulan pun masih penuh bersinar.
Pernahkah anda bermimpi bangun pagi anda disapa dengan pemandangan indah nan menakjubkan dari sebuah danau yang tenang, dengan latar belakang sinar bulan yang hendak tenggelam dan jajaran pegunungan berpuncak putih salju, dengan suara bebek kecil-kecil yang tidak malu-malu menyapa kita, dan dihiasi kelap-kelip lampu kota yang masih tidur?
Mimpi ini benar-benar menjadi kenyataan di Queenstown. Begitu bangun pagi (dan tidak mandi, karena males, ga pernah keringetan juga kok), pemandangan indah di belakang hotel ini benar-benar membuat kami benar-benar terpana. It was the best moment in NZ, truly breathtaking!
Arrowtown, adalah tujuan perjalanan kami hari ini, setelah sarapan di hotel dan makan daging sapi NZ yang sudah berasa daging sapi Indonesia. Arrowtown adalah sebuah kota kecil yang dahulunya adalah bekas kota para penambang emas. Setelah tak ada lagi emas, Arrowtown diubah menjadi objek wisata dengan tetap mempertahankan suasana kota jaman gold rush waktu itu. 20 menit dari Queenstown, kami sampai di sana ketika hujan rintik-rintik dan angin bertiup cukup kencang. Pemandangan Arrowtown, selain kotanya yang klasik, adalah hamparan pegunungan dan deciduous forest yang waktu itu didominasi oleh warna kuning keemasan, coklat, dan merah.
Tidak lama kami berada di Arrowtown, selain karena ini adalah sebuah kota yang isinya cuman toko souvenir, kami juga tidak tahan lagi dengan dingin menusuk yang ditimpali dengan angin yang kencang plus hujan rintik-rintik. Waktu itu kami melihat persiapan syuting film, tak tahu judulnya, tapi mengambil setting di Arrowtown. Mereka membuat semacam salju buatan dengan menyemprotkan semacam busa yang tidak langsung pecah.
Karena praktis tidak ada agenda selain ke Bob’s peak untuk makan siang, akhirnya kami memutuskan untuk puter-puter pinggiran Queenstown untuk melihat bungy jumping di jembatan Kawarau. Konon katanya, ini adalah bungy jumping pertama di Dunia, yang diciptakan oleh salah satu “hero” NZ, AJ. Hackett. Sejak saat itu, Queenstown hampir selalu diidentikkan dengan adrenaline pumping tourism. Aku sempat melihat 2 orang terjun bebas dari ketinggian 43 meter, dan kakiku sudah cukup merinding melihatnya. Serem (agak phobia soalnya sama ketinggian)!
Setelah itu kami berangkat lagi melihat salah satu wisata adventure yang paling top di NZ, Shotover Jet. Sayangnya saat itu lagi sepi, dan wisata ini cukup mahal harganya, sekitar NZ 125. Memang wisata adventure cukup mahal di sini, dengan range harga NZ 109 - NZ 700 (bungy jumping sekitar NZ 100), jelas tidak terjangkau untuk kantong kami. Shotover jet adalah yang pertama di dunia dan merupakan inovasi asli NZ, dan jadi kebanggaan bersama sampai-sampai sungainya pun dinamai Shotover River. Ada juga nama jalan di Queenstown yang dinamai Shotover Street. Banyak artis Hollywood yang sudah pernah merasakan atraksi ini.
Tidak lama kami berada di Arrowtown, selain karena ini adalah sebuah kota yang isinya cuman toko souvenir, kami juga tidak tahan lagi dengan dingin menusuk yang ditimpali dengan angin yang kencang plus hujan rintik-rintik. Waktu itu kami melihat persiapan syuting film, tak tahu judulnya, tapi mengambil setting di Arrowtown. Mereka membuat semacam salju buatan dengan menyemprotkan semacam busa yang tidak langsung pecah.
Karena praktis tidak ada agenda selain ke Bob’s peak untuk makan siang, akhirnya kami memutuskan untuk puter-puter pinggiran Queenstown untuk melihat bungy jumping di jembatan Kawarau. Konon katanya, ini adalah bungy jumping pertama di Dunia, yang diciptakan oleh salah satu “hero” NZ, AJ. Hackett. Sejak saat itu, Queenstown hampir selalu diidentikkan dengan adrenaline pumping tourism. Aku sempat melihat 2 orang terjun bebas dari ketinggian 43 meter, dan kakiku sudah cukup merinding melihatnya. Serem (agak phobia soalnya sama ketinggian)!
Setelah itu kami berangkat lagi melihat salah satu wisata adventure yang paling top di NZ, Shotover Jet. Sayangnya saat itu lagi sepi, dan wisata ini cukup mahal harganya, sekitar NZ 125. Memang wisata adventure cukup mahal di sini, dengan range harga NZ 109 - NZ 700 (bungy jumping sekitar NZ 100), jelas tidak terjangkau untuk kantong kami. Shotover jet adalah yang pertama di dunia dan merupakan inovasi asli NZ, dan jadi kebanggaan bersama sampai-sampai sungainya pun dinamai Shotover River. Ada juga nama jalan di Queenstown yang dinamai Shotover Street. Banyak artis Hollywood yang sudah pernah merasakan atraksi ini.
Pukul 11, karena acara memang longgar, kami segera menuju Bob’s Peak untuk makan siang dan menikmati pemandangan, Bob’s Peak adalah salah satu tempat yang paling tepat untuk menikmati pemandangan Queenstown, dengan radius pandang sekitar 220 derajat. Dioperasikan oleh salah satu tourism operator terkenal di NZ, Skyline, Bob’s peak adalah salah satu objek wisata yang paling diminati di Queenstown. Bob’s peak, seperti namanya, adalah sebuah bukit sebenarnya, yang disulap menjadi semacam gardu pandang dengan restoran. Untuk mencapainya, kami harus naik cable car/gondola yang katanya paling curam di belahan bumi Selatan (Southern Hemisphere).
Sekitar 3 menit perjalanan menggunakan gondola ini, pelan-pelan pemandangan jajaran pegunungan indah (ternyata ada namanya, The Remarkables, yang memang remarkable) mulai terlihat, dan juga terlihat Queenstown yang kecil dan danau Wakatipu yang tenang. Sampai di atas, hujan rintik-rintik mulai datang lagi. Eh, ini bukan hujan biasa, ini ternyata hujan salju yang lembut! Kami teriak kegirangan norak abis karena baru kali merasakan hujan salju yang lembut seperti ini. Pemandangan dari Bob’s peak memang luar biasa. Kami cuma bisa ah oh, wow, gila, ck ck ck, dan sebangsanya. Tidak hanya pemandangannya, makanannya juga uenak, terutama salmon dan es krimnya. Ada cerita lucu, ketika kami mulai makan, salah satu dari kami tergopoh-gopoh sambil ngomong terharu, ternyata setelah dicek, dia baru saja lihat tulisan kecap manis (iya begitu tulisannya, pake bahasa Indonesia, bukan soy sauce lho) di buffet, hahaha.
Hampir 3 jam kami di Bob’s peak, rasanya males sekali untuk turun lagi. Begitu nikmatnya ngobrol ditemani makanan yang enak, teman-teman yang menyenangkan, dengan pemandangan yang luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan candle light dinner di sini. Someday I will return, I promise!
Turun dari Bob’s peak, kami punya waktu bebas sampai malam berakhir untuk berjalan-jalan di sekitar Queenstown. Bagi orang Jakarta seperti kami yang hampir setiap hari jalan di Mall (yupe, ini lebay), pusat kota Queenstown bisa ditelusuri dalam waktu yang singkat. Perjalanan mengelingi pusat kota dimulai dari samping hotel kami. Di sini ada Queenstown Garden yang cantik, dengan trotoar menyusuri pinggir danau Wakatipu. Sangat romantis pastinya, cuma hari sudah agak gelap ketika kami disana, sehingga tidak bisa berlama-lama.
Oya, mengenai belanja, masih ada yang belum puas ternyata, sehingga pada hari terakhir kami di sini, belanja masih menjadi menu utama sampai jam 10 malam, di samping judi kecil-kecilan di Skycity Queenstown tentunya.
Next things to do : Go to Christchurch via Cromwell, lewat danau Pukaki, maksi di Omarama, numpang pipis di Geraldine dan Ashburton, dan hiks hiks, pulang ke Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar