link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Minggu, 20 April 2008

Make 3D holographic video calls


Regular 3D displays must be getting a little too commonplace in Japan or something (they're even popping up in cellphones), because now researchers there are showing off a technology called the SeeLinder that takes things up a notch and let's you make 3D holographic video calls. SeeLinder uses a 360-degree digital camera and cyliderical tube to create real-time three-dimensional holograms that'll let you view the person you're talking to from almost any angle (i.e. you can walk around them and stare at the back of their head while they're talking, etc.). Most 3D displays have a sweet spot that only gives you the full effect when you're looking at the screen from a specific angle.

[Thanks, Jason]

Application in Shanghai FuTURE 4G TDD Experiment Network


The simplified form of soft fractional frequency reuse scheme has been applied in the 4G TDD experimental network in Shanghai successfully. As shown in Figure 3, there are two Access Points (AP), namely AP1 and AP2, in the experimental network. The distributed antenna arrays at the lecture theatre and the Golden Sun connect to AP1; the distributed antenna arrays at the small hotel and the library connect to AP2. Each site has four antennas. In Figure 3, the region circled by the blue line represents Cell 1, and that circled by the green line represents Cell 2.



The soft fractional frequency reuse scheme with two cells is applied in Shanghai 4G experimental network. Its results are as follows:

(1) When there is only user, MT1, in Cell 1, MT1 will use the whole spectral resources in Cell 1, and the rate can reach 100 Mb/s.

(2) When there are two users, MT1 and MT2, in Cell 1, each user uses half of the frequency resource, enjoying the highest rate of 50 Mb/s.

(3) When MT1 and MT2 move inside Cell 1, each user uses half of the frequency resource, and can also get the highest rate of 50 Mb/s.

(4) When MT2 in Cell 1 moves to the handover region, but maintains the connection with Cell 1, MT1 and MT2 respectively use half of the frequency resource of Cell 1, enjoying the highest rate of 50 Mb/s.

(5) When MT2 moves to the handover region, and connects with Cell 2, MT1 uses half of the frequency resource of Cell 1, and MT2 uses the half resource of Cell 2. Each user enjoys the highest rate of 50 Mb/s, and the frequency reuse factor is 0.5.

(6) When MT1 in Cell 1 and MT2 in Cell 2 move to appropriate positions, (for example, MT1 is near the lecture theatre, while MT2 moves to the library), the two users enjoy the total frequency resources in both Cells 1 and 2, and can get the highest rate of 100 Mb/s. The frequency reuse factor is 1.

 Conclusions
This paper proposes a soft fractional frequency reuse scheme in order to meet the requirements of improving spectral efficiency and intra-frequency network in 4G mobile communication systems. The scheme has three forms for implementation, and a proper form may be selected according to the link gain of the physical layer in practical applications. The soft fractional frequency reuse scheme has been simply applied in Shanghai FuTURE 4G TDD experimental network, with a successful result. The studies show that the system frequency reuse factor can be up to 1/3-1 when adopting the soft fractional frequency reuse scheme, which provides a good solution to improving intra-frequency network and frequency utilization.


Abaikan 3G, Bersiaplah Adopsi 4G

by: Heru Sutadi, Bisnis Indonesia

Meski teknologi telekomunikasi seluler generasi ketiga atau dikenal dengan 3G telah diluncurkan dan pelanggannya mulai bertambah, namun ketidakpercayaan dan kekecewaan terhadap bisnis 3G ini belumlah hilang.

Hal itu terjadi karena teknologi 3G masih mewarisi infrastruktur dari generasi kedua (2G) bukan internet protokol (IP), streaming video yang digembar-gemborkan masih nampak seperti slideshow beresolusi rendah serta data rate yang hampir sama dengan dial up daripada digital subscriber line (DSL).

Itu yang disebut-sebut banyak pihak bahwa teknologi 3G belum matang, bahkan masih dianggap sebagai 'versi beta', di mana 'versi jualan'-nya masih berada di masa depan. Ketidakpuasan itulah yang memacu percepatan generasi yang lebih tinggi daripada 3G, yaitu 4G.

Semula, teknologi seluler generasi keempat ini yang mampu mengirimkan data hingga 100 megabit per second (Mbps) ini diprediksi baru hadir pada 2010, namun beberapa perusahaan telepon seluler menargetkan 4G siap pakai pada 2006.

Generasi Ketiga

Sebelum kehadiran 3G, diramalkan akan terjadinya perkembangan signifikan terhadap sistem telekomunikasi seluler. Keunggulan utama 3G adalah pada kemampuannya mengirimkan data per detik yang lebih besar dari generasi kedua (2G) maupun 2,5 G. Misalnya WCDMA (wide code division multiple access) yang mampu mengirim data 2 Mbits per detik, CDMA 2000 1X dengan 4,8 Mbps. Bandingkan dengan GSM yang hanya mampu mengirimkan data 9,6 kilobit per second (Kbps).

Tidak mengherankan jika begitu banyak operator seluler di seluruh dunia yang mengajukan lisensi. Berdasarkan laporan dari 3GSM World Congress 2002, Singapura mengajukan tiga lisensi, Inggris lima lisensi, Jerman enam lisensi, Jepang tiga lisensi, Australia enam lisensi, Italia lima lisensi, Denmark empat lisensi, Prancis empat lisensi, Hong Kong empat lisensi dan Korea Selatan dua lisensi.

Euforia akan hadirnya teknologi seluler yang lebih menjanjikan dibanding pendahulunya ini membuat para operator menghabiskan jutaan hingga miliar-an dolar untuk biaya lisensi. Seperti Singapura yang mengeluarkan dana US$173 juta, Inggris dengan lima lisensi US$35,56 miliar, Australia US$580 juta, Denmark US$472 juta, Prancis US$524 juta, Hong Kong US$2,23 miliar, serta Korsel US$3,3 miliar.

Kemduian, terjadi perkembangan sebaliknya. Biaya investasi yang cukup tinggi membuat para operator berniat mengembalikan lisensinya. Apalagi dengan melihat kemajuan yang didapat salah satu perusahaan pertama yang menggunakan layan 3G, NTT DoCoMo, dari Jepang, yang hanya mampu menggaet 155.000 pelanggan hingga awal tahun ini. Kekecewaan menyelimuti sejumlah operator dengan daya serap teknologi ini yang tidak sesuai dengan harapan.

Kendala penetrasi 3G adalah persoalan beban biaya yang kemudian menjadi beban konsumen. Harga layanan 3G dan juga handset yang mendukung teknologi ini masih begitu mahal. Seperti ponsel yang dikembangkan Hutchison bersama Motorola dan NEC, dilepas ke pasar seharga US$750 per unit.

Tidak hanya itu, saat ini juga sedang ramai diangkat ke permukaan mengenai royalti yang harus dibayar operator dan vendor kepada pemilik hak atas kekayaan intelektual 3G.

Akibatnya, banyak proyek-proyek 3G yang kemudian dihentikan atau paling tidak ditunda. Alasannya jelas. Return of investment sulit dikalkulasi. Sebab jika tidak begitu, maka kerugian yang diderita akan makin banyak.

Memang tidak dapat disangkal bahwa 3G juga sukses lewat operator Jepang KDDI yang menggunakan teknologi CDMA 2000 1x EVDO/EVDV. Hingga September 2002, pelanggan mereka lebih dari dua juta orang dan ditargetkan akan mencapai 6 juta-7 juta pelanggan pada bulan ini.

Hanya saja, laporan Research Allied Business Intelligence (ABI) tetap berkeyakinan bahwa perkembangan 3G sulit diprediksi. Banyak kendala di masa depan yang harus dihadapi. Selain itu, penggunaan jaringan 3G juga akan dipengaruhi teknologi EDGE dan Wi-Fi.

Generasi Keempat

Penelitian mengenai 4G telah berlangsung lebih dari satu dekade. Riset pertama dilakukan di Eropa pada awal 1990-an. Riset ini dimaksudkan untuk menginvestigasi teknologi yang memungkinkan mentransmisikan data dengan kecepatan tinggi yang mampu melayani kebutuhan komunikasi bergerak hingga tahun 2020.

Proyek yang paling maju adalah mobile broadband system (MBS) sebagai hasil kolaborasi antara beberapa perusahaan dan perguruan tinggi yang diawasi oleh komisi Eropa. Para investor MBS menginginkan terciptanya sistem seluler yang menjamin kualitas pelayanan dan mampu mentransmisikan data hingga 155 Mbps (STM-1 atau Oc-3) yang setara dengan 63 x 2 Mbps atau 1890 kanal 64 Kbps.

Pada tahun 1995, MBS telah mencapai 34 Mbps. Transmisi Data yang lebih tinggi didapat dengan penggunaan beberapa jaringan secara paralel. Pengetesan telah dilakukan baik secara indoor maupun outdoor. Tingkatan fisik (physical layer) yang digunakan MBS berdasarkan varian TDMA (time division multiple access), yang digunakan oleh sebagian besar telepon 2G.

Namun, seiring dengan percepatan dari 2020 menjadi 2010 yang kemudian 2006, spesifkasi juga berubah. Tingkatan fisik yang digunakan berubah menggunakan orthogonal frequency division multiplexing (OFDM). OFDM merupakan teknologi yang tahan terhadap interferensi yang disebabkan sinyal radio pada jalur yang banyak (multiple path) dan menggunakan IPv6.

MBS diharapkan menjadi layanan yang mandiri. Sebuah pipa data besar yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Dalam 4G, tiap ponsel dirancang mempunyai alamat IP (Internet protocol) permanen. Karena begitu banyak alamat dan tingkatan sub jaringan, maka IPv6 dibutuhkan untuk mobilitas ini.

Pengguna jaringan bergerak membutuhkan IPv6, sebab ketika melebihi pengguna telepon tetap, maka jaringan internet yang ada akan menyesuaikannya. Sebagai dukungan terhadap 4G, karena itu pula semua ISP (internet service provider) diharapkan telah menggunakan penggunaan IPv6 pada 2006.

Posisi Indonesia

Walaupun beberapa operator di Indonesia mengaku siap menggelar 3G, namun diprediksi banyak pengamat dan praktisi telekomunikasi bahwa perkembangan 3G di Indonesia masih butuh waktu hingga lima tahun mendatang.

Alasannya, selain melihat lesunya minat terhadap 3G di dunia dan belum nampaknya killer application yang benar-benar menunjukkan keunggulan teknologi 3G, operator lokal juga masih bersibuk dengan peningkatan teknologi dari 2G ke 2,5G.

Memang International Mobile Telecommunication 2000 Forum telah mengalokasikan spektrum frekuensi 3G untuk Indonesia, yaitu 1920-1980 MHz dan 2110-2170 MHZ untuk komponen darat (terestrial) dan 1980-2010 MHz dan 2170-2200 MHz untuk komponen satelit. Namun, pemilihan teknologi ini untuk diadopsi dan diimplemetasi perlu dipertimbangkan dengan masak.

Operator perlu memperhatikan kemampuannya dan jangan sampai memaksakan diri memakai teknologi ini. Kasus kegagalan Digital Cellular System (DCS) 1800 menjadi pelajaran.

Apalagi, 4G sudah di depan mata, bahkan mungkin bisa lebih cepat daripada perkembangan 3G sendiri di tanah air. Jangan sampai ketika 4G hadir, para operator tanah air masih sibuk dengan teknologi 3G yang belum matang.

Itu tidak berarti kita hanya menunggu kehadiran 4G yang lebih bisa mendukung layanan multimedia, lebar pita dan transmisi data lebih lebih lebar, serta disebut-sebut lebih murah dibanding 3G, tanpa berbuat apa-apa.

'Lompatan' ini perlu didukung para ISP untuk menggunakan IPv6 dan ketersediaan handset dengan harga murah. Dengan begitu, ketika 4G diluncurkan, Indonesia benar-benar siap mengadopsinya. Kita lihat saja.

4G Application (Beyond 3G)


3D Holographic HD Video Conferencing - DVE Tele-Immersion Room

DVE- Digital Video Enterprises - have launched what they call “the ultimate telepresence experience – the groundbreaking DVE Tele-Immersion RoomTM. . This was shown for the first time at Telepresence World 2007 in San Diego last week.The DVE Tele-Immersion Room offers 3-D holographic appearing images of participants in perfect HD video. People at the remote site appear to be sitting and walking around meeting rooms as if they were in the same room.

Jeff Machtig, co-founder of DVE, said “We developed the DVE Tele-Immersion RoomTM to meet the growing demand for ultra-realistic conferencing. With over a decade of development, DVE’s patented, immersive technology, industry knowledge and technical expertise have now enabled a high-end tele-immersion experience that is closer to real life and cost-effective.”

The launch of DVE’s Tele-Immersion Room raises the expectations of what telepresence is and can be. The “room” represents the ultimate in telepresence, with conference participants appearing to actually enter into a meeting room environment alongside their distant colleagues. Other telepresence and videoconference rooms attempt to mimic the experience of tele-immersion by matching room décors on both sites of the conference, but in the viewpoint of DVE “these flat, 2-D images fall short of creating a natural and realistic experience.”

DVE has designed the DVE Tele-Immersive Room based upon industry standards for telepresence so that older videoconferencing and telepresence rooms can participate in DVE’s Tele-Immersion RoomTM experience. DVE does not produce the HD video codec itself but uses those of other vendors.

DVE has formed a strategic alliance with Christie Digital Systems to assist in the integration of Christie’s Mirage HD 3D projectors. The recently announced Mirage HD is based on 1080p DLP technology and delivers a true 120 frames per second image for stunning, high definition flicker-free active stereo.

According to Dave Fluegeman Vice President, Visual Environments at Christie Digital Systems: “Using our state-of-the-art Mirage HD 3D projectors, DVE’s technology will enable augmented reality visualization for telepresence as well as viewing of both volumetric 3-D and stereoscopic 3-D. The corporate presentational possibilities are endless, with the 10-foot-wide floating product and 3-D model visualization creating a new category in the immersive technology market space. We see a very bright future for this product, and are assisting DVE to bring this initiative to market as quickly as possible,”

The DVE Tele-Immersion RoomTM mounts a single HD camera behind the projected images for an eye level perspective. The room can be used for telepresence communications as well as a 3-D visualization system for medical and engineering applications.

The room can also serve as an impressive presentational room where memorable 3-D messages can be presented live or taped for training or sales presentations to clients.

DVE’s entire line-up of telepresence products have all been designed to inter-operate, allowing the flexibility to create one-on-one personal conferencing systems, to midsize rooms, to the more expansive, fully-immersive DVE Tele-Immersion Room experience.

Teknologi FLASH OFDM Cellular

Membentang Harapan Digitalisasi Pedesaan
Amir Sodikin

Malaysia dan mayoritas negara di dunia saat ini sedang berpesta, merayakan kehebatan teknologi digital dalam berbagai aplikasi. Hingga kota kecil pun kini ikut menikmati kehadiran teknologi telekomunikasi, sekurang-kurangnya dalam bentuk telepon genggam. Namun, selalu ada daerah yang tak ikut berpesta: daerah terpencil dan pedesaan yang tak terjangkau sinyal base transceiver station (BTS). Sepanjang menyangkut daerah terpencil, situasi ini sepertinya wajar, namun tidak demikian bagi Pemerintah Malaysia. Wakil Perdana Menteri Malaysia YAB Dato Sri Mohd Najib bin Tun Abdul Razak dalam acara Siemens Digital Lifestyle Awareness Showcase di Pekan, Pahang, Malaysia, Sabtu (3/3), menyatakan, rakyat Malaysia boleh bangga dengan pencapaian teknologi di berbagai bidang. "Namun harus kita akui bahwa jurang digital masih ada. Di kota-kota kecil dan di kampung-kampung masih terkendala untuk akses internet," katanya. Penyebabnya adalah kendala teknis peralatan dan kondisi geografis. Situasi seperti itu harus segera diatasi, karena, kalau tidak, bencana kemiskinan baru akan terjadi. Gelombang kemiskinan baru justru lahir karena hadirnya teknologi informasi dan komunikasi (information and communications technology/ICT) yang tak merata antara kota dan desa. Berbagai teknologi seperti Enhanced Data Rates for GSM Evolution (EDGE), telepon genggam generasi ketiga (3G), dan High Speed Downlink Packet Access (HSDPA), belum mampu menjembatani jurang digital. Kendalanya adalah faktor harga yang belum realistis untuk pedesaan.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/12/tekno/3376690.htm

Cisco Tunggu Pemerintah 'Buka Pintu' untuk Wimax

Pemerintah tengah giat-giatnya mempersiapkan pengembangan Wimax lokal. Meski demikian, pelaku industri asing malah sudah siap untuk memasarkan perangkat Wimax-nya. Mereka tinggal menunggu pemerintah 'buka pintu'.


Salah satunya perusahaan tersebut adalah Cisco Systems, yang baru saja mengakuisisi perusahaan penyedia perangkat Wimax asal Amerika Serikat Navini pada 2007 lalu.

Irfan Setiaputera, managing Director Cisco Systems Indonesia mengatakan, perangkat Wimax dari perusahaannya telah siap untuk diperkenalkan di Indonesia. "Jadi kalau sekarang ini ada aktivitas untuk Wimax, Cisco bisa ikutan," ujarnya, kepada beberapa wartawan di sela konferensi pers 'Cisco Telco Summit 2008' di Hotel ShangriLa Jakarta, Selasa (5/2/2008).

Namun itu semua, lanjut Irfan, kembali lagi tinggal menunggu pintu dari pemerintah. "Persoalannya kan sekarang pemerintah itu mau mengeluarkan tender ke siapa?. Pasti kan bukan ke kita, paling ke operator. Nah kalau gitu, berarti kita jual ke operator tersebut," tukasnya.

Saat ini, perangkat Wimax besutan Navini diklaim telah berhasil diimplementasikan di beberapa negara. Sementara untuk di tanah air, Irfan menandaskan, dalam waktu dekat bakal coba didatangi produk demo-nya.

Wimax Lokal Siap Unjuk Gigi di Hadapan Presiden

Perangkat Wimax buatan lokal yang dibesut Technology Research Group siap unjuk gigi di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat Hari Kebangkitan Nasional.


Technology Research Group merupakan unit bisnis dari PT Solusindo Kreasi Pratama, atau lebih dikenal sebagai penyedia jasa penyewaan menara telekomunikasi Indonesian Tower.

Sakti Wahyu Trenggono, pemilik perusahaan tersebut mengungkapkan, pihaknya akan melakukan soft launch perangkat Wimax besutannya pada Maret 2008 ini sebagai ajang ujicoba bagi para operator telekomunikasi di Indonesia.

"Baru kemudian pada bulan Mei, atau bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, perangkat ini akan langsung kami perkenalkan ke masyarakat, termasuk kepada presiden," ujarnya di sela acara Indonesia ICT Outlook 2008, di Hotel Nikko, Jakarta, Kamis (31/1/2008).

Menurut Trenggono, begitu ia akrab disapa, hampir seluruh komponen Wimax besutannya diproduksi secara lokal. Saat ini, pihaknya telah memproduksi 300 unit perangkat jaringan nirkabel pita lebar tersebut.

"Perangkat kami memiliki kandungan lokal hampir 100% karena riset dan pengembangan untuk software dan desain chipset-nya kami kerjakan di Indonesia. Namun, minimnya manufaktur di sini membuat proses produksi harus kami serahkan ke luar negeri," jelasnya.

Ia pun berharap, dengan upayanya menggiatkan produksi lokal di sektor Wimax, bisa membuat semua pihak sadar dan mendukung industri dalam negeri. Pun, ia optimistis, Indonesia bisa sebesar China dalam industri manufaktur jika mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah serta para pelaku industri dan pengguna.

"Kalau orang kita sendiri saja tidak percaya dengan kemampuannya. Bagaimana orang lain mau percaya sama kita," demikian Trenggono berpendapat.

Wimax USA : Spectrum Frequency


Leader of the pack is the newly merged cellular operator Sprint Nextel Corp. (NYSE: S - message board). Between them Sprint and Nextel have 90 MHz of 2.5GHz spectrum, covering 80 markets in the U.S. Sprint is plotting fixed WiMax tests now and tests on into 2006. (See Sprint's Got WiMax Plans.)

"It is pretty clear that Sprint pretty much 'owns' this part of the spectrum in the U.S. right now," says Jack Gold of JGold Associates Inc. With Sprint already trialing fixed WiMax in this spectrum, they will likely have a six- to 12-month headstart over the competition."

Read the rest of the article on Unstrung.

Wimax in 2008 Beijing Olympics


China Mobile authorised for Bejing Olympic WiMAX

BEIJING (WiMAX Day). According to several sources, the Bejing Olympic Committee (BOC) has authorised China Mobile to provide WiMAX services during the Olympic Games in 2008.

This has been a hotly contested issue, with numerous companies and technologies competing for the right to provide WiMAX services. Telecoms giant China Netcom is also a sponsor of the Beijing Olympics and authorities said that the company will need to surrender its right to provide WiMAX to China Mobile, and China Netcom will have the right to supply only WiFi services.

China Mobile already has been testing WiMAX services in Bejing and Qingdao.