dari: http://yulian.firdaus.or.id/2007/11/22/femtocell/#comment-271835
Ada saatnya telepon selular yang kita pakai –meski di kota besar– tidak mendapatkan sinyal yang cukup bagus. Biasa disebut sebagai blank spot. Sesuai dengan namanya teknologi komunikasi bergerak selular menerapkan konsep sel untuk mencakupi ketersediaan sinyal di wilayah tertentu. Di wilayah urban umumnya satu sel dilayani oleh tiga Base Transceiver Station (BTS) agar pesawat telepon selular (handset/mobile station) tetap mendapat satu sinyal yang layak dari ketiga sinyal yang diterima. Proses perpindahan dari satu sinyal ke sinyal lain disebut sebagai handover yang dikendalikan oleh Mobile Switching Center (MSC). Dengan kata lain yang lebih tepat, satu BTS biasanya memiliki tiga arah sinyal dan satu koneksi backhaul ke Base Switching Controller (BSC) atau langsung ke MSC. Tentunya di daerah pinggiran belum tentu handset kita mendapat tiga sinyal sekaligus.
Agar tidak terjadi interferensi di frekuensi yang sama, antar sel diterapkan konsep reusable frequency agar satu frekuensi di satu sel bisa digunakan di sel lain yang agak berjauhan. Contoh penerapannya seperti pada gambar di atas. Frekuensi F1 bisa digunakan di sel lain, begitu pula selanjutnya. Konsep ini juga digunakan oleh ISP yang menawarkan akses wireless atau WIFI sebagai backhaul atau backbone-nya, meski penerapan BTS-nya tidaklah sebanyak operator telepon selular.
Di dalam gedung yang beruang banyak atau di pencakar langit, sinyal dari BTS menurun drastis karena terhalang dinding dan beton. Untuk mencegah hal ini, operator menerapkan microcell atau picocell, yaitu sel-sel kecil di tiap lantai bangunan tinggi, termasuk basemen. Dari segi bisnis implementasi mikrosel ini tentu layak jika pemakaian pelanggannya menjanjikan. Bagaimana di daerah pinggiran yang dianggap tak layak untuk dikembangkan BTS atau mikrosel-mikrosel baru? Femtocell mencoba mengatasi kekurangan hal ini.
A femtocell—originally called an Access Point Base Station—is a scalable, multi-channel, two-way communication device extending a typical base station by incorporating all of the major components of the telecommunications infrastructure. A typical example is a UMTS access point base station containing a Node-B, RNC and GSN, with only an Ethernet or broadband connection (less commonly, ATM/TDM) to the Internet or an intranet. Application of VoIP allows such a unit to provide voice and data services in the same way as a normal base station, but with the deployment simplicity of a Wi-Fi access point. Other examples include CDMA-2000 and WiMAX solutions.
Bayangkan dengan teknologi yang sudah diimplementasikan saat ini, operator membangun BTS 3G/HSDPA, femtocell dipasang sebagai perangkat fixed-wireless di sebuah rumah di radius terjauh dari BTS, dengan adanya fungsi relay/extender maka pelanggan tersebut menjadi satu femtocell yang juga melayani/mem-broadcast sinyal ke tempat yang lebih jauh. Handset lain yang tidak mendapat sinyal 3G langsung dari BTS bisa mendapat/menggunakan sinyal 3G yang di-broadcast oleh perangkat femtocell tersebut. Jelas menguntungkan operator dan juga pengguna yang tidak kebagian sinyal karena jauhnya jarak.
Teknologi femtocell ini sudah mulai diimplementasikan pertengahan tahun ini di Amerika oleh
operator Sprint. Bahkan Google pun sudah menanamkan modalnya kepada vendor yang membuat perangkat ini.
Sebagai inisiasi, femtocell diimplementasikan sebagai hotspot internet. Dianggap sebagai teknologi yang low cost dan scalable bagi operator. Pemasangan femtocell sebagai extender fungsi komunikasi voice tentunya lebih rumit dibandingkan sebagai hotspot internet, baik dari sisi teknis maupun nonteknisnya. Proses switching dan handover handset di belakang femtocell oleh MSC belumlah sempurna, selain faktor handover sinyal harus low-delay atau sesingkat mungkin. Dalam komunikasi TCP di protokol internet, timeout 5 detik misalnya bukanlah masalah dalam mengakses data web, namun dalam komunikasi voice sudah diputus (komunikasi voice tidak mengenal suara kita dicoba untuk ditransmit ulang, sedangkan komunikasi data –non-VoIP atau realtime games– bisa diulang, di-retry hingga data lengkap terkirim).
Kabar kaburnya, femtocell akan segera masuk ke Indonesia. Sebuah peluang bagi operator dengan pertimbangan low cost dan scalable-nya untuk diimplementasikan. Minimal memperpanjang dan memperluas akses data internet dibandingkan dengan ketergantungan membangun full scale BTS yang sangat mahal.
Akan matikah ISP –yang bukan operator selular– yang hanya bisa menjual akses internet tanpa bisa membangun jaringan sendiri dan bergantung pada operator PSTN, DSL, GPRS/3G dan cable TV?
Hanya pemerintah yang mampu dan wajib membuat regulasi yang proporsional serta goodwill para operator kelas hiu agar bisnis tetap berjalan dan konsumen tidak dirugikan.
–
Terima kasih buat Pito yang mengabarkan isu ini.