From: Onny_Indrianto
To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Wednesday, September 11, 2013 8:50 AM
Subject: RE: Miskin Itu Relatif
Benar Dwika…saya memahami kultur bangsa kita nbanyak yang masih mendramatisir keadaan…supaya ada kesan bla2bla2…
Contoh
di Jepang , saat tsunami lalu, Media TVnya tidak menayangkan/
mengiringi gambar2 kodisi korban dengan lagu2 yang sendu sendan seperti
Ebiet G Ade…yang melankolis
Peran Media saat ini memperparah pembentukan karakter/ kultur bangsa yang seharusnya dibangun bisa lebih baik….
Siapa orang2 dibelakang Media tersebut?
From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 10 September 2013 21:22
To: john sihar
Subject: Miskin Itu Relatif
Sent: 10 September 2013 21:22
To: john sihar
Subject: Miskin Itu Relatif
Program TV yang mengangkat kisah-kisah hidup, supaya kita belajar bersyukur dan paham tentang arti perjuangan hidup.
I Deliver Happiness,
Dwika
“Miskin Itu Relatif,” Kata Adler
Adler
Pagi itu, saya tumben-tumbenan menonton televisi. Sedianya mau menonton infotainment “favorit” saya, tapi jam 9 itu
belum lagi tayang. Saya pencet semua saluran TV. Hingga tiba di channel yang
menayangkan tentang perjuangan hidup orang-orang marginal.
Kadang-kadang, saya suka menonton program acara seperti itu. Mengusik
emosi dan rasa iba. Rasanya penting untuk melihat
tayangan itu demi mengingatkan lagi tentang arti perjuangan hidup yang
cuma sekali ini. Supaya belajar bersyukur dan tetap semangat dalam
menjalani hidup.
“Ah, terlalu didramatisir.” Sekonyong-konyong, Adler bersuara dari meja makan di sisi kanan. Ia sedang menuangkan
jus jeruk ke dalam gelas.
Saya
pun mencermati tayangan itu. Penasaran, apanya yang didramatisir? Oh,
kesulitan hidup yang bertubi-tubi digambarkan
lewat gelas yang jatuh dan pecahannya mengenai kaki sang Ibu pencari
kayu bakar di hutan. Sudah lelah bekerja, mesti menghadapi luka di kaki
pula. Ekspresi sang Ibu yang meringis agaknya yang membuat Adler
berkomentar tentang dramatisir tadi. Tampak memang
kalau ringisannya hanyalah akting. Saya pikir wajarlah kalau ada adegan
sinetron di tayangan jenis reality show begitu. Namanya juga
program TV, yang tujuannya untuk menggugah perasaan penonton agar betah
menonton hingga acara usai sekaligus meraup
rating.
“Memang perannya hanya sebagai semut,” ujar Adler. Saya mengerinyit tanda tak paham.
“Maksudnya, peran kehidupannya hanya sebagai pencari kayu bakar. Terus kenapa?” Terdengar arogan. Saya kurang sependapat.
“Ya ini kan untuk menggambarkan kesusahan hidup pencari kayu bakar. Itu karena kitanggak ngerasain gimana susahnya
hidup sebagai pencari kayu bakar, makanya kita bisa bilang begitu.”
Adler menggeleng.
“Setiap
orang sudah ada perannya masing-masing. Ada yang jadi pengusaha,
pejabat, pemimpin…juga ada yang jadi karyawan,
buruh, dan pekerja kasar. Kalau semua orang jadi pengusaha, siapa yang
akan jadi buruh pabriknya? Kalau semua orang jadi bos, siapa yang akan
jadi bawahannya? Kalau semua jadi presiden, siapa yang akan jadi
rakyatnya?”
Saya diam, mengiyakan diam-diam. Menanti penuturannya lagi. Ia menyeruput jus jeruknya sejenak, sebelum melanjutkan.
“Kesulitan dan kebahagiaan hidup itu relatif. Belum tentu orang susah dari segi materi itu nggak bahagia hidupnya.
Belum tentu orang kaya itu bahagia hidupnya. Banyak kanorang
miskin yang hidupnya lebih tenang dan tenteram daripada orang kaya yang
berlimpah harta tapi ujung-ujungnya malah menderita?
Sekarang ini, orang-orang cenderung pakai standar yang sama untuk mengukur semua hal. Standar materi. Lihat aja acara-acara
TV kayak gitu. Menggambarkan kesusahan hidup orang-orang tak punya. Padahal, belum tentu orang-orang kayak gitu suka
kalau hidupnya berubah lebih baik dari segi materi -menurut standar
kita. Kita saja yang terlalu mengiba, menganggap kehidupan
mereka itu menderita tanpa listrik, tanpa makanan enak, tanpa pakaian
bagus, tanpa rumah, tanpa kendaraan, tanpa televisi, tanpa gadget.
Padahal mereka enjoy-enjoy aja dengan
kehidupannya. Buktinya mereka masih selalu punya semangat hidup yang
tinggi setiap hari kan? Mereka masih terus bekerja, masih penuh
harapan, masih terus optimis, dengan mengerahkan segala kemampuan yang
mereka punya. meski jalan meraih rizkinya berbeda dengan kebanyakan
orang yang hidup lebih senang -menurut standar kita.
Mereka dianugerahi harta yang tiada duanya; semangat hidup. Di saat
orang-orang lain yang hidup lebih baik dari segi materi kekurangan harta
yang satu itu. Itulah keadilan Tuhan.”
Sampai di sini, saya mendengarkan takzim. Benar kata-katanya.
“Apa
gunanya harta orang-orang kaya itu jika tak ada lagi orang-orang
miskin? Jika semua manusia di dunia ini diciptakan
dengan kondisi yang seragam, sejahtera dan bergelimang harta, kemana
lagi kita akan bersedekah, berzakat, berbagi? Pada siapa kita akan
belajar tentang kesulitan dan perjuangan hidup? Pada siapa kita akan
belajar bersyukur? Hidup takkan lagi berwarna kalau
sudah begitu. Tak ada lagi indahnya.”
“Itulah gunanya program TV yang mengangkat kisah-kisah hidup seperti ini. Supaya kita belajar bersyukur dan paham
tentang arti perjuangan hidup,” kata saya.
“Tak
ada salahnya acara-acara seperti itu, kalau tidak dilebih-lebihkan.
Kenapa kita menyikapi kemiskinan dengan
isak iba, haru, dan kesedihan? Kenapa kita tak menyikapinya sebagai
satu warna dalam kehidupan, yang bersanding selaras dengan warna
kehidupan lainnya? Tak ada yang namanya lebih baik atau lebih buruk.
Semuanya
serba relatif, tegantung cara kita menyikapinya. Banyak pun harta kita,
kalau tak tepat menyikapinya, maka
kita akan lebih menderita daripada orang yang tak berpunya. Coba pikir,
bagaimana luar biasa susahnya orang-orang di zaman dulu? Zaman perang,
tak ada cukup makanan, tak ada listrik, semua serba terbatas. Tapi
mereka sanggup mengatasinya dan hidup tenang di
akhir usianya. Sementara orang-orang yang hidup di zaman yang serba
mudah dan cepat, malah banyak yang hidupnya tak tenang. Apa artinya
itu?”
Retoris. Saya disuruh berpikir sendiri. Hmmm..mulai nampak titik terang dari penjelasannya itu.
“Masing-masing
orang punya insting dan kemampuan untuk bertahan hidup. Bagaimanapun
kondisinya. Apalagi manusia dianugerahi
akal pikiran dan hati. Alat yang dianugerahkan Tuhan agar manusia mampu
menjalani kehidupan yang sesungguhnya singkat ini. Lagipula, rizki
memang datangnya dari Tuhan. Lalu, apa lagi yang dikhawatirkan? Semua
orang memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik,
menurut standarnya, menurut keinginannya. Itu bisa dicapai, dengan
usaha dan doa. Kabar baiknya, setiap orang punya kemampuan untuk itu,
asalkan dia mau. Apa yang sulit bagi Tuhan? Memberikan Ibu pencari kayu
bakar itu kekayaan melimpah pun Tuhan bisa memberikannya
dalam sekejap. IA Maha Berkehendak.”
Adler melangkah mendekat, duduk di sebelah saya setelah jus jeruknya tandas.
“Jadi kalau dipikir-pikir, tak ada sulitnya hidup ini, asal kita berjalan sesuai jalurNya. Hati kita acap dipenuhi
kecemasan karena bisikan iblis yang bersemayam di hati. Hidup ini indah, Kawan. Benar-benar indah. Mengerti maksudku, kan? “
Sekarang ia tersenyum, mengakhiri ceramah panjangnya tentang hidup dan kehidupan.
Tayangan
tentang perjuangan hidup sang Ibu Pencari Kayu Bakar pun usai. Aku
yakin, selepas acara, sudah ada donatur
yang membantu kehidupannya. Tak ada salahnya memang dengan acara
seperti itu. Tapi kita sebagai penontonnya mesti bersikap bijak.
Mengambil sari yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang cara
kerja kehidupan. Lagipula, kalau tidak ada realita tentang
si miskin, pasti takkan ada cerita-cerita yang menggugah tentang
perjuangan menggapai kesuksesan. Pasti takkan ada cerita-cerita penyala
semangat hidup. Dan pasti, takkan ada cerita-cerita yang bisa menjaga
hati dan pikiran kita agar tetap selalu bersyukur
dan merendah di hadapanNya sebagai hamba yang sejatinya tak punya
apa-apa.
Adler tiba-tiba menghilang setelah saya menyimpulkan seperti itu. Ah, ia memang selalu muncul untuk membantu
menempatkan segala sesuatu pada porsinya.
***
>> Tentang Adler