Membeli Asuransi, Perlu atau Tidak?
Tak jarang pula saya menemui orang yang dengan semangat membeli berbagai jenis asuransi dari A sampai Z dalam rangka ‘membenahi keuangan keluarga’. Namun bukan keuangan keluarga yang terbenahi, tetapi justru hanya menambah beban pengeluaran.
Sekadar untuk ilustrasi dalam pembahasan kali ini, anggaplah ada sebuah risiko yang nilainya sebesar Rp 1 juta. Probabilitas terjadinya risiko ini dalam satu tahun adalah 1%. Atau dengan kata lain, dari 100 orang, dalam satu tahun ada 1 orang yang mengalami risiko tersebut. Untuk mengatasi risiko ini, 100 orang tersebut mengumpulkan uang masing-masing sebesar 1% x Rp 1 juta = Rp 10 ribu per tahun. Dana yang terkumpul adalah sebesar Rp 1 juta, yang kemudian akan diserahkan kepada satu orang yang mengalami risiko tersebut.
Jika perusahaan asuransi ingin memasarkan produk asuransi untuk risiko ini, maka Rp 1 juta disebut ‘uang pertanggungan’, dan Rp 10 ribu/tahun disebut ‘premi’. Perusahaan asuransi bukanlah lembaga amal yang melakukan kegiatannya dengan sukarela. Sebagaimana perusahaan lainnya, perusahaan asuransi juga mencari keuntungan, dan juga memiliki beban operasional yang perlu ditutupi. Oleh karena itu, di atas pungutan premi sebesar Rp 10 ribu/bulan, akan mereka bebankan biaya tambahan, misalnya Rp 5 ribu/tahun, sehingga premi total menjadi Rp 15 ribu/bulan. Rp 5 ribu/tahun ini digunakan untuk menutupi biaya operasional dan juga untuk keuntungan untuk pemegang saham.
Singkatnya, dalam contoh ini, Rp 15 ribu/tahun adalah setoran premi yang terdiri dari Rp 10 ribu/tahun yang merupakan ‘biaya asuransi’ dan Rp 5 ribu/tahun yang merupakan ‘overhead’. Rp 15 ribu tersebut dipakai untuk menutupi risiko dengan probabilitas 1%/tahun dengan besar Rp 1 juta.
Jika ada 100 orang yang membeli produk asuransi ini, maka perusahaan asuransi akan mendapatkan pemasukan sebesar 100 x Rp 15 ribu/tahun = Rp 1,5 juta/tahun. Sedangkan pengeluarannya adalah 1% x 100 x Rp 1 juta = Rp 1 juta. Selisih Rp 500 ribu digunakan perusahaan asuransi untuk menutupi biaya operasional dan juga untuk dibukukan sebagai keuntungan.
Tentunya gambaran di atas hanyalah penyederhanaan. Aslinya tentu tidak sesederhana gambaran di atas. Walaupun demikian seharusnya sudah cukup untuk menjelaskan konsep asuransi dan bagaimana perusahaan asuransi menjalankan kegiatannya.
Sekarang mari kita hubungkan dengan keperluan untuk membeli asuransi.
***
Bagaimana misalnya jika ada orang dengan penghasilan relatif sangat besar, misalnya sebesar Rp 50 juta per bulan. Apakah dia perlu membeli asuransi di atas? Tentu saja tidak, karena risiko finansial sebesar Rp 1 juta per bulan tidaklah sulit untuk ditutupi. Dengan tidak mengasuransikan risiko tersebut, orang ini menghemat biaya overhead sebesar Rp 5 ribu/tahun. Jika dia memilih untuk mengasuransikan risiko tersebut, maka dia akan kehilangan Rp 5 ribu/tahun tersebut untuk hal yang sebenarnya tidak perlu dia keluarkan.
Prinsip pertama: “Semakin rendah risiko finansial (relatif terhadap kekayaan nasabah), maka semakin tidak perlu diasuransikan.”
Contoh di atas mengasumsikan probabilitas terjadinya musibah dalam satu tahun adalah 1%. Artinya dalam satu tahun, ada satu dari seratus orang yang mengalami musibah. Bagaimana jika probabilitas terjadinya musibah adalah 90%, dan bukan 1%? Atau dengan kata lain ada 90 orang dari 100 orang yang mengalami musibah.
Jika itu yang terjadi, maka perusahaan asuransi akan menaikkan biaya premi, yang tadinya hanya Rp 15 ribu/tahun menjadi sekitar 90x lipat, yaitu Rp 1,3 juta. Kalau begini situasinya tentunya lebih baik tidak usah diasuransikan, karena setoran premi per tahun lebih besar daripada uang pertanggungannya itu sendiri. Lebih baik uangnya disimpan, lalu jika terjadi musibah baru digunakan untuk menutupi risiko finansial yang terjadi.
Bagaimana jika probabilitasnya 100%, atau dengan kata lain datangnya musibah merupakan suatu kepastian? Maka dapat dipastikan setoran premi akan lebih besar daripada uang pertanggungan yang akan didapatkan. Ini karena perusahaan asuransi juga mencari keuntungan dan memiliki ongkos operasional yang harus ditutupi.
Prinsip kedua: “Semakin tinggi probabilitas terjadinya musibah, maka justru semakin tidak perlu diasuransikan.”
Tak jarang agen asuransi jiwa menakut-nakuti calon nasabah dengan tingginya terjadinya risiko saat usia nasabah bertambah. Padahal ini terbalik. Semakin tinggi risiko, justru semakin tidak perlu diasuransikan.
Lalu bagaimana jika misalnya perusahaan asuransi menaikkan harga premi yang tadinya Rp 15 ribu/tahun menjadi misalnya Rp 500 ribu/tahun? Dengan overhead setinggi itu, nasabah kini memiliki pilihan untuk ikut asuransi dan kehilangan Rp 500 ribu/tahun; atau tidak ikut asuransi dan dalam dua tahun akan terkumpul dana sebesar uang pertanggungan. Pilihan kedua jelas jauh lebih menarik. Memiliki uang tunai ekstra sebesar Rp 500 ribu/tahun tentunya jauh lebih menarik ketimbang memiliki polis asuransi dengan uang pertanggungan sebesar Rp 1 juta.
Prinsip ketiga: “Semakin besar premi relatif terhadap uang pertanggungan, maka semakin tidak perlu diasuransikan.”
Terakhir, sepertinya ada sebuah anggapan bahwa asuransi akan mengurangi probabilitas terjadinya musibah. Ini tentunya salah, asuransi hanya akan mengurangi risiko finansial dari sebuah musibah. Asuransi tidak akan mengurangi probabilitas terjadinya musibah. Bahkan, akibat adanya moral hazard, justru probabilitas terjadinya klaim akan lebih tinggi setelah nasabah ikut asuransi.
Prinsip keempat: “Asuransi hanya menutupi risiko finansial dari suatu risiko. Asuransi tidak akan mengurangi probabilitas terjadinya risiko. Jika tidak ada risiko finansial, maka tidak perlu diasuransikan.”
Empat prinsip di atas adalah prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum membeli asuransi. Bisa jadi dengan tidak mengambil asuransi ternyata lebih menguntungkan secara finansial.
89 Responses
Trackback: Use this URI to trackback this entry. Use your web browser's function to copy it to your blog posting.Comment RSS: You can track conversation in this page by using this page's Comments RSS
Gravatar: You can have a picture next to each of your comments by getting a Gravatar.
Pendapat pribai, saya masih belum membutuhkan Asuransi dalam jangka panjang mungkin saya tidak membutuhkan Asuransi.
Salam kenal dari Bloger Surabaya.:)>-
Kalau melihat tingginya kecelakaan lalu lintas, berapa banyak yang klaim SWDKLLJ ini??? Saya rasa lebih kecil dari 1%. Lalu kemana dana yang dihimpun oleh Jasa Raharja ini??? Wallahualam….. :D
Intinya memang, saya setuju dengan Pak Pri, Perusahaan Asuransi bukan Yayasan Sosial.
Maka semakin besar kemampuan financial kita harusnya semakin besar nilai pertanggungan yang kita beli dari Perusahaan Asuransi, sebaliknya semakin kecil kemampuan financial kita maka jangan sekali” membeli asuransi dengan nilai yang sangat besar karena pasti akan membebani pengeluaran rutinnya.
Contoh ringan : penghasilan bulanan kita misalnya 1,5 – 2 jt, 10 thn lg anak kita masuk kuliah dengan perkiraan biaya 50-100 jt, dalam kasus ini sebaiknya membeli asuransi pendidikan yang mempunyai premi dibawah 25% dari total penghasilan sebulan, walaupun nilai pertanggungan tidak sebesar nilai kebutuhan kuliah, minimal beban 10 th kemudian jadi lebih ringan, apalagi biasanya setiap asuransi selalu memberi bonus asuransi jiwa kepada para nasabahnya, jd apabila nasabah meninggal maka nilai pertanggungan akan keluar 100% ditambah uang duka dll.
trims
nilai pertanggungan harusnya tidak ditentukan dari besarnya penghasilan, tapi dari besar pengeluaran. jika misalnya kebutuhan asuransi sebesar 500 juta, dan sudah punya duit 500 juta, maka gak perlu lagi ambil asuransi jiwa. lebih baik uangnya dimaksimalkan ke reksadana. dalam hal ini ngambil asuransi cuma ngasih uang gratis ke perusahaan asuransi.
untuk contoh penghasilan 1.5-2 juta, saya setuju untuk ambil ‘asuransi pendidikan’, tapi ini hanya karena yang saya tahu saat ini gak ada produk term life yang punya UP 100 juta misalnya. seandainya ada, maka gak perlu asuransi pendidikan. lebih baik ambil term life dan reksadana.
:)
Pertama, latar-belakang. Saya memang agen asuransi jiwa. Bukan asuransi mobil, atau marine.
Saya orang baru di asuransi jiwa, barusan 2 bulan. Tapi sejak kira-kira 15 tahun yang lalu jawaban saya tentang asuransi kesehatan adalah “PERLU!”.
Tapi lihat bahwa saya mengatakan asuransi kesehatan, bukan asuransi jiwa. Beda asuransi jiwa dengan asuransi kesehatan. Asuransi jiwa adalah jika yang tertanggung meninggal dunia. Ini, saya jujur saja, penting hanya jika si tertanggung punya keluarga yang bersandar kepada si tertanggung. Untuk orang yang nggak ada tanggungan, nggak perlu.
Asuransi kesehatan adalah jika yang tertanggung sakit. Ini yang perlu. Saya pernah tinggal di Amerika dan melihat sendiri bagaimana biaya kesehatan bisa membangkrutkan sekeluarga. Ini padahal mereka sudah ada Medicare dan Medicaid sebagai bantuan pemerintah. Paradoxnya ilmu kedokteran adalah makin maju ilmu kedokteran, kok tampaknya makin mahal. Ini bukan gara-gara orang-orang pingin cari untung, tapi memang karena hal-hal yang dulu tidak bisa disembuhkan, sekarang bisa, walaupun dengan susah payah. Lima puluh tahun yang lalu kalau sakit liver dokter akan angkat tangan. Tinggal tunggu waktu. Biaya yang dikeluarkan hanya peti mati dan petok kuburan. Murah kan? Sekarang? Ada cangkok liver. Bisa sembuh, walaupun susah dan mahal. Siapa yang nggak mau sembuh? Seandainya yang sakit nggak mau menyusahkan pun, keluarga mana yang nggak mati-matian mengobati? Di sinilah perlunya asuransi. Apa yang sulit ditanggung oleh satu keluarga, bisa ditanggung rame-rame.
Nah, apa yang Bapak Priyadi gambarkan di prinsip-prinsip itu benar semuanya. Untuk poin 2, misalnya, kalau resikonya sudah terlewat tinggi, perusahaan asuransi malah nggak mau blas. Orang yang punya riwayat jantungan, misalnya. 100% perlu asuransi, tapi nggak bakal ada perusahaan asuransi yang mau dia. Tapi walaupun poin-poinnya benar, saya tidak setuju dengan kesimpulannya. Kesimpulan yang saya ambil adalah “ambillah asuransi yang sesuai”. Nggak ada orang yang nggak butuh asuransi, Pak. Orang miskin perlu karena dia nggak kuat nanggung sendiri. Orang kaya mau bukan karena dia nggak kuat nanggung sendiri, tapi karena dia nggak mau nanggung sendiri. Tapi ambillah asuransi sesuai manfaat yang dibutuhkan. Yang gaji 2-jutaan tapi minta UP 200 juta ya nggak masuk akal. Saya sendiri kalau dapat orang kayak gitu bakal bertanya-tanya, wah, apa ini bukan kasus pencucian uang. Sebaliknya, yang bisnisnya untung 200 jutaan minta UP 200 juta ya percuma. Ya nggak bakal saya tolak sih, tapi beneran percuma. Intinya, kalau ada yang mau beli asuransi, cari premi yang bisa dibayar sendiri, tapi minta manfaat yang tidak bakal bisa ditanggung sendiri. Bapak seharusnya sudah kenal konsep “risk management”, kenapa belum diaplikasikan ke diri sendiri?
Saya sendiri sebelum jadi agen, sudah beli asuransi. Begitu saya bisa kumpulkan uang, saya beli asuransi. Bukan untuk jiwanya, tapi untuk kesehatannya. Ini saya anggap sebagai cicilan. Benar, bayar di depan sebelum butuh, tapi sewaktu-waktu pasti butuh. Doanya sih nggak bakal pernah butuh, tapi realistisnya, rasanya nggak mungkin bisa sehat walafiat selalu sampai akhir usia.
@Surachmat
Sistem babul khairat yang anda gambarkan itu ya asuransi. Tapi lebih parah daripada asuransi resmi, tidak ada tanggung jawab resmi. Kalau orangnya mangkir gimana? Mau dikeroyok? Itu kan anarkis namanya. Nggak ada overhead cost? Omong-kosong. Tuh duit dikumpulin apa nggak ditaruh di bank dan dapat bunga? Atau lebih parah lagi diputar di bisnis sendiri? Trus bunga/untung itu lari ke mana? Lalu bagaimana kalau misalnya ada wabah demam berdarah dan banyak yang sakit, lebih dari jumlah uang yang dikumpulkan? Apa terus yang mengumpulkan duit akan jual sepeda motor agar santunan tetap diberikan? Ragu banget deh.
Babul khairat adalah asuransi, hanya saja bentuknya informal. Prinsipnya tetap sama. Resiko ditanggung bersama. Bedanya dengan asuransi resmi adalah asuransi resmi punya aturan. Ada undang-undangnya. Kontraknya jelas. Justru itu mungkin jadi menyebabkan salah paham. Masih banyak orang yang menganggap segala sesuatu itu bisa diatur. Asal lu oke, aku oke juga. Tapi karena aturannya ketat, asuransi malah nggak bisa digituin.
intinya sih gini: karena ada overhead, maka probabilitasnya akan lebih besar nasabah bayar premi lebih tinggi daripada UP yang didapatkan, ketimbang sebaliknya. notasi formalnya: P(total setoran premi > total UP yang dibayarkan) > 0,5
sedangkan besar resikonya gak bisa diganggu gugat. jadi kalau ada duitnya, mendingan gak usah ikut asuransi. ikut asuransi itu sebaiknya hanya kalau resiko finansial yang ada masih lebih besar daripada uang yang dimiliki. kalau ngga, namanya bukan risk management, tapi perjudian.
selain itu asuransi kesehatan di indonesia (barangkali selain askes & jamsostek), semuanya punya kontrak tahunan. insurer bisa nolak perpanjangan kalau tahu ada masalah kesehatan di tahun sebelumnya. jadi ngambil asuransi kesehatan demi ‘insurability’ juga percuma, tidak seperti asuransi jiwa.
to all insurance telemarketers; keep up the high spirit guys! you’re heroes in our industry.. but please.. exclude my number from your database!
….
Ya kl gw juga yg ditawarin kan jd jeruk makan jeruk, lagian jd ketauan belang nye hehe..
Tentu saja probabilitasnya lebih besar, seperti yang Bapak jelaskan. Tapi kesimpulannya itu saya tetap tidak setuju. Risk management itu BUKAN semata-mata hitung untung-rugi probabilitas. Kalau hanya itu saja, sesama perusahaan asuransi nggak mungkin bakal saling mengasuransikan satu sama lain, karena mereka semua bakal menyimpulkan rugi. Tapi pada kenyataannya perusahaan asuransi kalau menganggap resikonya besar, mereka akan mengasuransikan polis tersebut lagi ke pihak lain. Mereka menerima bahwa mereka akan rugi sedikit, tapi yang penting mereka aman. Dan aman bukan berarti resiko berkurang (Bapak sudah jelaskan ini), tapi bahwa resiko ditanggung bersama.
Prinsip ini begitu jelasnya untuk saya sampai-sampai saya tidak mengerti kenapa kok banyak orang yang tidak paham. Tapi saya rasa banyak orang juga yang paham secara naluriah. Negara-negara yang mampu semuanya berusaha mengasuransikan seluruh rakyatnya. Negara-negara berkembang secara alamiah memunculkan versi mereka sendiri (babul khairat itu asuransi). Jangan terpaku pada untung-ruginya. Bapak sendiri sudah menjelaskan bahwa masuk asuransi itu nggak bisa mengharapkan untung.
Saya nggak berani bicarakan orang lain, saya bicarakan diri saya sendiri saja. Asuransi yang saya pakai untuk diri saya sendiri menanggung biaya kesehatan kira-kira 120 juta/tahun. Besar sekali kemungkinannya bahwa ini nggak bakal terpakai atau jika terpakai pun hanya sebagian kecil, karena saya masih muda dan sehat. Tapi hitungan saya menunjukkan bahwa saya jelas-jelas tidak bisa menanggung 120 juta sendirian. Tapi, Bapak bilang, Tony tinggal tabung 1 juta per bulan. Dalam 10 tahun kan bakal dapat 120 juta. Berarti sejak tahun ke 11 dst, Tony rugi dong. Iya, Pak. Dari pandangan mata Bapak rugi. Anggap saja baru tahun ke-15 120 jutanya itu kepakai. Berarti saya sudah membayar 150 juta untuk dapat 120 juta. Rugi 30 juta kan? Tapi dari pandangan mata saya, saya anggap itu cicilan. Secara prinsip, orang yang rela bayar cicilan harusnya bisa rela bayar asuransi. Nggak beda dari cicilan sepeda motor. Anggap saja sepeda motor 12 juta kalau beli tunai. Tapi saya nggak kuat beli tunai. Nyicil. 3 tahun. Eh, dihitung-hitung setelah bunga totalnya malah 15 juta. Saya bisa saja ngumpulin duit 3 tahun dulu, barusan beli motor dengan tunai. Tapi selama 3 tahun itu kalau saya perlu naik sepeda motor apa harus gigit jari? Mending saya terima bahwa saya akan rugi 3 juta tapi saya dapat motornya sekarang. Begitu juga dengan asuransi. Benar saya bisa kumpulin duit 10 tahun dan sisihkan 120 juta untuk dana kesehatan. Tapi kalau saya sakit tahun depan apa harus gigit jari? Dengan berpikir begitu, saya beli asuransi tersebut dan dapat proteksinya sekarang. Saya sama sekali tidak mengharapkan untung. Kenapa? Karena kalau pingin untung saya harus sakit/kecelakaan/tewas. Amit-amit. Ogah ah.
Ini saya lakukan kira-kira setahun sebelum saya jadi agen, jadi pada saat itu nggak ada istilahnya bersangkutan periuk nasi.
Singkatnya, asuransi itu menjamin bahwa anda akan rugi sedikit, tapi nggak bakal rugi besar. Tanpa asuransi, anda mungkin nggak rugi sama sekali, tapi anda juga mungkin saja rugi besar. Kalau anda dengan sadar memilih untung-untungan, apa bukan itu yang namanya judi?
Lebih-lanjutnya, rugi yang sedikit tapi pasti itu bisa dihitung dan diakomodasi. Sementara ketidakpastian rugi besar itu bisa menghancurkan keuangan. Itu sebabnya perusahaan-perusahaan besar dan bahkan negara pun memakai asuransi di berbagai bidang.
Karena itulah saya berpeda pendapat dengan Bapak. Asuransi itu perlu. Tapi carilah asuransi yang manfaatnya sesuai dengan kebutuhan. Ada memang agen yang karena mengejar komisi lalu menawarkan asuransi yang tidak sesuai. Jika itu pernah terjadi ke teman-teman, saya minta maaf.
Soal asuransi menolak perpanjangan, maaf, yang Bapak maksud itu kayak apa? Yang saya tahu, jika ditemukan ada kondisi sakit yang disembunyikan, asuransi bisa saja dihentikan. Ini jelas wajar. Selain itu, kalau ada sakit parah, bisa saja dihentikan, tapi klaim dibayar penuh dulu sampai uang pertanggungan (UP) habis (atau jika ada perjanjian tertentu, sampai perjanjiannya terpenuhi). Ini juga wajar. Wong UP wis dibayar lunas kok. Ada juga beberapa penyakit kronis yang baru akan di-cover setelah polis berjalan beberapa lama, tapi ini semua bakal ada di kontrak yang bisa diteliti oleh nasabah sebelum disetujui dan uang berpindah-tangan.
perlu dipahami risk management itu bukan cuma asuransi. risk management itu tujuannya, asuransi cuma salah satu cara menuju itu. ada jalan lain, salah satunya adalah self insurance. asuransi itu sebenernya cuma mentransfer risiko ke perusahaan asuransi, dengan memberikan kompensasi kepada perusahaan asuransi. seperti halnya semua transaksi jual beli lainnya, tidak semua nasabah cocok dengan asuransi, dan tidak semua nasabah bisa self insure. nah tulisan saya di sini mencoba untuk menjelaskan kapan solusi self insure lebih cocok diterapkan daripada asuransi. seandainya semua risiko di kehidupan ini diasuransikan, bisa2 nasabah gak punya lagi ada sisa uang.
soal reasuransi, perusahaan asuransi melakukannya karena berbagai macam alasan, baik teknis maupun profit. jelasnya bisa dibaca di sini. profil risiko perusahaan asuransi vs individual jelas berbeda. tujuannya pun berbeda, individu ikut asuransi untuk manajemen risiko, perusahaan asuransi ikut re-as juga untuk cari untung. jadi jika perusahaan asuransi me-re-as-kan risiko mereka, bukan berarti individu cocok ikutan asuransi, apalagi individu gak punya akses terhadap produk2 yang ditawarkan re-as.
soal universal health care di negara lain, sistem ini didesain bukan hanya untuk manajemen risiko, tapi juga untuk pemerataan. dalam sistem ini, yang kaya menyubsidi yang miskin. walaupun yang kaya sebetulnya gak perlu asuransi, dia tetap dipaksa ikutan. di indonesia mirip2 jamsostek. yang kaya terpaksa ikut, walaupun kalau rawat inap ogah nginap di kamar standar jamsostek :). tapi yang miskin bisa dapat coverage kesehatan yang claim rate-nya sangat2 bagus (bahkan mungkin di atas 100%).
soal kontrak tahunan asuransi kesehatan. contoh misalnya saya ikut asuransi bulan februari, terus bulan oktober kena ginjal dan harus dialisis 2 hari sekali. ketika mau perpanjangan polis di bulan feb tahun depannya, asuransinya boleh bilang: “maaf kami memutuskan polis ini tidak dapat diperpanjang”, atau “sekarang setoran preminya naik 20x lipat”. gigit jari deh. jadi, insurability gak perlu dikejar di produk ini.
oh ya, jangan bandingkan suku bunga peminjaman dengan overhead asuransi, karena jauh sekali bedanya. bunga peminjaman itu maksimum paling 20-30%. sedangkan overhead asuransi lebih dari 50%, dan kadang masih ada biaya akuisisi yang diperhitungkan di luar itu.
Makasih pak Priyadi (selalu suka tulisan anda), makasih pak Tony..
Re: overhead
Whoah, atret dulu Pak. Dari mana anda dapat angka persen segitu tingginya? Oke, saya nggak tahu asuransi-asuransi lain, tapi asuransi saya sendiri overhead administrasinya dihitung Rp. 100.000-an. Ini pun hanya dikenakan jika ada transaksi-transaksi yang tidak rutin.
Biaya akuisisi kira-kira 2x lipat premi tahunan. Ya ini overhead utamanya. Ini mungkin yang bikin salah paham. Biaya akuisisi ini diambil sekali saja, nggak peduli berapa lama si nasabah ikut asuransi. Kalau nasabah ikut asuransi selama 50 tahun, biaya akuisisinya kalau dipersenkan adalah 2/50=4%. Kalau 40 tahun, ya 2/40=5%. Gimana kalau cuman setahun? Ya harusnya 2/1=200%, tapi perusahaan ya bisanya cuma ngecharge 100%. Ini yang menyebabkan mengapa kalau asuransi diputus dalam waktu dekat maka nilai tunainya minim sekali. Tapi perlu diperhatikan bahwa tidak peduli apakah biaya akuisisi sudah terbayar penuh atau tidak, pihak asuransi tetap akan memberikan proteksi kepada nasabah 100% sesuai perjanjian.
Asuransi itu bisnis jangka panjang. Idealnya nasabah masuk ketika mereka mulai produktif (kira-kira umur 25) dan berhenti ketika tutup usia (untuk Indonesia, sekitar umur 70). Kalau dilihat dengan asumsi jangka panjang, semua hal-hal yang terkait dengan asuransi bernilai wajar.
Oh ya, klarifikasi untuk teman-teman. Yang saya ceritakan itu adalah asuransi kesehatan biasa. Asuransi unitlink yang seringkali dibahas terdiri dari dua porsi. Porsi asuransi dan porsi investasi. Biaya akuisisi yang saya gambarkan di atas dikenakan ke porsi asuransinya. Jadi kalau porsi asuransi dengan investasi adalah 60-40 (misalnya), maka yang kena biaya akuisisi seperti di atas adalah porsi yang 60 itu.
Soal yang lain-lainnya, nanti malam deh kita ngobrol lagi kalau waktu saya agak lebih luangan. Yuk.
dari tabel mortalitas vs rate asuransi dari perusahaan asuransi. yang saya ada tabel mortalitas TMI2-1999. contoh: untuk laki2 30 tahun, angka mortalitasnya 0.00104. sedangkan rate asuransi jiwanya seingat saya 2,5 permil = 0.00250. maka overheadnya = (0.00250 – 0.00104) / 0.00250 = 58.4%. rate asuransi dari asuransi jiwa term life dari manulife. untuk kesehatan tentunya akan lebih besar lagi.
sebenarnya ini memang terlalu tinggi. di singapore katanya cuma 30%an. mungkin karena di indonesia gak sekompetitif di sana.
hitungan biaya akusisi jelas gak boleh dibagi begitu saja. karena setoran di awal2 jauh lebih berharga daripada setoran di akhir2. silakan baca konsep time value of money. saya juga udah pernah hitung2 unit link ini di sini. bagaimanapun itu, unit link bukanlah perencanaan keuangan yang baik, dan sangat tidak saya rekomendasikan.
yang di atas tadi bukan YRT, tapi level 5 tahun kalau gak salah, jadi tidak seakurat yang ini.
Duh, lingkupan tulisannya Pak Priyadi luas banget. Coba saya tanggapi satu persatu agar nggak kepanjangan ya.
Self-insurance. Swa-asuransi. Ide yang bagus. Sebenarnya ini konsep yang lebih tua daripada asuransi. Sebab swa-asuransi ini pada dasarnya adalah tabungan. Hanya saja tabungan ini perlu disiplin diri agar tidak diutak-utik buat beli ini itu. Dan tabungan sih semua orang sudah paham. Sedangkan asuransi… belum semua.
Keunggulan swa-asuransi adalah fleksibel dan otonomis.
Maksudnya fleksibel adalah anda bisa swa-asuransi kapan saja dan berapa saja. Kebetulan dapat rejeki? Taruh saja jutaan ke swa-asuransinya. Kebetulan cekak? Yah, taruh saja sepuluh ribu. Kebetulan lihat peluang
bisnis? Sambet aja dengan dana tersebut, toh nanti akan kembali berlipat-lipat.
Maksudnya otonomis adalah andalah yang menentukan segalanya terhadap swa-asuransi tersebut. Ini penting, karena kalau saya tidak percaya dengan orang lain, saya bisa saja mengelola dana swa-asuransi tersebut sendiri, sedangkan di asuransi mau tidak mau dana tersebut akan dikelola oleh orang lain. Tidak peduli sebagaimana pintar orang lain tersebut, kalau sudah masalah uang, kebanyakan orang lebih percaya diri sendiri. Tapi karena faktor ini, karena dikelola sendiri, maka jika dikelola dengan baik, bisa dipastikan bahwa pengeluaran biaya pengelolaan akan jauh lebih minim daripada jika dikelola orang lain. Sebab nggak perlu bayar orang lain atau bagi untung dsb. Ya kan?
Kekurangan swa-asuransi adalah otonomis dan kurang proteksi.
Maksud otonomis sebagai kekurangan adalah karena segala sesuatu yang terkait dengan dana swa-asuransi tergantung pada diri sendiri, maka jika diri tidak disiplin atau kurang pengetahuan, bisa amburadul. Kalau orang kayak Pak Priyadi sih nggak bakal masalah, tapi kalau misalnya Bapak Y berswa-asuransi tapi trus istrinya minta mobil baru, berapa lama Pak Y bisa tahan mental? Hahaha.
Tapi lebih bahaya lagi adalah kurangnya proteksi. Memang, jika dalam 15-20 tahun ke depan tidak ada sakit atau kecelakaan, maka swa-asuransi pasti akan lebih berguna daripada asuransi biasa. Masalahnya adalah apa yang terjadi sementara dana swa-asuransi belum terkumpul? Kembali ke diri saya sendiri. Anggap saja saya disiplin banget dan berhasil mengumpulkan dana swa-asuransi 120 juta dalam 10 tahun. Di atas kertas, mulai dari tahun ke-11 dst swa-asuransi akan lebih unggul daripada asuransi biasa. Masalahnya, sebelum 10 tahun itu berlalu, apa yang memproteksi saya? Kalau tahun depan saya ditabrak orang, luka parah, dan masuk rumah sakit 3 bulan, siapa yang nanggung ongkos rumah sakit? Si penabrak? Iya kalau yang nabrak cukong. Kalau yang nabrak lebih miskin dari saya? Anggap saja simpanan saya saat itu 24 juta. Tapi biaya rumah sakit 50 juta. Bedanya yang 26 juta siapa yang nutupin? Hutang? Bandingkan dengan asuransi. Hitungan resminya sih agak rumit, tapi karena manfaat yang saya ambil kira-kira 120 juta/tahun, ongkos rumah sakit itu akan dibayar asuransi. Lebih hebat lagi, kalau tahun depannya lagi saya lebih apes dan ketabrak lagi, asuransi akan membayar ongkos berobatnya lagi, sementara untuk orang yang ber-swa-asuransi terpaksa harus menggali lubang hutang lebih dalam lagi.
Tapi ini tidak berarti swa-asuransi itu salah. Ada memang situasi di mana swa-asuransi itu masuk akal. Coba saya beri ilustrasi. Saya akan gunakan contoh situasi yang Pak Priyadi juga gunakan. Anggap aja ada satu resiko senilai 1 juta. Resikonya kira-kira 1% setahun. Lalu 100 orang rame-rame ngumpulin 10 ribu per orang untuk menutupi resiko tersebut. Eh, jangan lah. Karena saya akan membandingkan dengan asuransi biasa, mari kita gunakan Rp. 15.000 yang termasuk overhead asuransi. Untuk mengumpulkan 1 juta, seorang yang menaruh 15 ribu per tahun akan perlu 66 tahun 9 bulan. Ini, jujur saja, bahaya sekali. Kemungkinan orang tersebut untuk lolos dari resiko tersebut selama 66 tahun adalah (099^66) = 0.515137117. Anggap saja 52%. Bukan 99%. Ini yang saya bilang main untung-untungan. Benar, kalau orang tersebut lolos dari 52% itu, dipastikan swa-asuransi lebih baik daripada asuransi biasa. Tapi kalau nggak lolos dari 52% itu, ya lebih baik asuransi biasa. Nah, situasi tiap orang beda-beda. Mungkin saja ada yang merasa, “Ah, nggak mungkin resiko akan terjadi pada saya secepat itu”. Untuk mereka-mereka yang beruntung ini, memang swa-asuransilah yang lebih baik.
Ada lagi satu situasi di mana swa-asuransi juga lebih baik. Anggap saja situasi seperti di atas. Tapi bukannya hanya 100 orang sama-sama patungan 15 ribu, ada satu orang yang super kaya yang bilang, “Nilai ekonomi saya 100x lipat orang rata-rata. Asuransiku harus setara.” Sekarang mari kita hitung. Kita anggap saja bahwa perbandingan preminya sama. Orang kaya tersebut berarti kena premi 1% x 100 juta = 1 juta. Overhead separuhnya, berarti 1,5 juta. Berarti tiap tahun, dana yang terkumpulkan ada 100 x 15 ribu + 1,5 juta = 3 juta. Ini, dibandingkan dengan uang pertanggungan 100 juta yang diminta orang super kaya tersebut, tidak bakal bisa menutup. Situasi kayak gini, si super kaya mau tidak mau harus swa-asuransi atau jika mau ikut asuransi biasa, harus mau menerima bahwa uang pertanggungannya akan 1 juta sama seperti orang-orang lain.
Kembali ke tulisan Bapak, ini sebenarnya 100% mendukung prinsip-prinsip yang Bapak jelaskan. Si super kaya adalah contoh prinsip pertama. Resiko 1 juta nggak ada artinya buat dia. Ngapain ikut? Dia baru ikut kalau UP-nya 100 juta.
Tapi ini contoh lho. Asuransi sudah cukup berkembang di Indonesia sehingga perusahaan asuransi mampu dan mau menangani nasabah yang nilai asuransinya milyaran. Yah, mungkin kalau Bakrie minta asuransi trilyunan kita akan tercengang sesaat.
Untuk teman-teman pembaca, mudah-mudahan komentar saya bisa membantu anda memutuskan kapan harus berswa-asuransi dan kapan sebaiknya ikut asuransi biasa.
Saya tidak punya data seperti yang Bapak miliki. Saya sudah coba Google mencari data mortalitas berdasarkan kelompok umur, dapatnya cuman untuk balita saja. Karena itu saya tidak bisa merespon secara spesifik. Saya hanya bisa bertanya apakah Bapak sudah mempertimbangkan bahwa perusahaan asuransi harus siap menanggapi kemungkinan bencana besar?
Data tingkat mortalitas adalah data berdasarkan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Kami selalu memakai data tersebut, tapi di lain pihak kami harus siap-siap jika tiba-tiba tingkat mortalitas tersebut melonjak. Pada saat tersebut, cadangan dana harus cukup.
Sekadar ilustrasi, berdasarkan laporan keuangan perusahaan, selisih antara premi dengan kewajiban (klaim + manfaat + cadangan) hanya sekitar 5%. Ini masih belum termasuk biaya-biaya operasional.
Untuk masalah time-cost of money, saya paham kok. Begitu juga dengan perusahaan. Biaya akuisisi itu dibebankan sebagian besar ke tahun pertama dan kedua dan sisanya sampai ke tahun ke-5. Kenapa? Karena perusahaan juga nggak mau rugi. Hehehe.
nah ini, ada miskonsepsi kalau asuransi menghilangkan risiko, padahal ngga :). risiko cuma bisa dikelola, tidak bisa dihilangkan. contoh saja, misalnya anda ambil UP kesehatan 120 juta/tahun, lalu kena penyakit yang ongkosnya 500 juta/tahun? apa asuransi mau bayar 500 juta? kan ngga. yang ada perusahaan asuransinya gak mau perpanjang polisnya sampai tahun depan. kalau seperti ini, jelas gak bakalan ada ujung pangkalnya karena asuransi selalu dirasa kurang.
perhatikan juga kalau asuransi hanya mengelola risiko finansial, tapi tidak bisa mengontrol underlying risk-nya. jadi, membayar premi terlalu banyak daripada yang seharusnya juga merupakan risiko yang harus dihadapi oleh nasabah asuransi. intinya, keputusan untuk mengambil asuransi harus berdasarkan perhitungan dan pertimbangan logis yang matang. bukan semata-mata dari faktor ketakutan.
khusus mengenai asuransi yang nilainya signifikan dan risiko selalu bertambah mengikuti usia, seperti asuransi jiwa & kesehatan, pendapat saya adalah jika nasabah ikut asuransi, maka dia juga harus berusaha untuk self insure secepatnya. jadi jika nasabah di atas setor premi Rp 15 ribu/tahun, maka dia juga harus sisihkan dana ke pos investasi. jika dana yang terkumpul sudah mendekati UP asuransinya, maka asuransinya bisa langsung ditutup. dan pos pengeluaran untuk premi bisa dialihkan ke investasi.
oh ya, untuk mengumpulkan dana 1 juta lewat Rp 15ribu/tahun hanya perlu waktu 20 tahun dengan asumsi pertumbuhan investasi sekitar 11%. lagi-lagi anda melupakan efek compounding dari time value of money di sini :).
untuk bencana besar biasanya asuransi sudah punya cara untuk menghadapinya. misalnya dengan reasuransi. regulator juga punya cara, misalnya dengan aturan minimum required capital (RBC). jadi ini bukan masalah.
perhitungan benefit asuransi harusnya berdasarkan claim ratio. langsung saja, pengeluaran untuk claim dibagi pemasukan dari premi. hasilnya harusnya gak jauh beda dengan perhitungan berdasarkan tabel mortalitas dari saya. di luar itu adalah overhead. berdasarkan lapkeu prudential, claim rationya cuma sekitar 32%. atau dengan kata lain, dari sejumlah uang yang disetorkan nasabah ke perusahaan asuransi, hanya 32%nya dipakai untuk membayar klaim nasabah. sisanya adalah overhead yang dibebankan kepada nasabah.
sepengetahuan saya, biaya akusisi itu sedikit yang masuk ke kantong perusahaan asuransi. hampir semuanya masuk ke kantong agen, atasan agen, atasannya lagi dan agencynya. kenapa dikumpulkan di tahun2 awal? supaya ketika nasabah sadar, hampir semua biaya akusisi telah dibayarkan :).
Darimana anda mendapat kesan bahwa saya bilang asuransi itu menghilangkan resiko? Kan sudah dari pertamanya saya setuju dengan Bapak kalau asuransi itu hanya mengurangi dampak finansial. Kalau mau menghilangkan resiko sih, ya ikutlah pola hidup yang sehat. Makan secukupnya, olahraga yang rutin, dan seterusnya. Nggak bisa hilang 100%, tapi pasti mengurangi. Tapi asuransi memang bisa mengurangi dampak finansial. Ambil contoh kalau biaya berobat 500 juta seperti yang Bapak katakan. Benar, asuransi nggak bakal menanggung 500 juta, karena perjanjiannya memang hanya 120 juta. Tapi ini tidak berarti bahwa lebih baik kita tidak ambil asuransi. Sebab tanpa asuransi pun resiko juga tidak berubah. Lebih parah lagi, kalau tanpa asuransi, maka 500 juta itu harus ditanggung sendiri.
Seperti yang Bapak katakan, masuk asuransi harus memakai pertimbangan yang logis dan matang. Tapi pertimbangan itu tidak hanya sekadar memperhitungkan bahwa “Oh, kalau duit ini saya masukkan bank, maka setelah sekian tahun akan lebih banyak daripada UP asuransi.” Harus diperhitungkan juga cara untuk menalangi kemungkinan terjadinya musibah sebelum sekian tahun tersebut. Jangan cuman pasrah nrimo wae.
Saya juga menyetujui bahwa yang masuk asuransi tetap harus menyisihkan dana. Tapi ini tidak saya pandang sebagai self-insurance belaka, tapi sebagai bagian dari strategi finansial. Pada prinsipnya, strategi finansial yang bagus tidak akan pernah bersandar pada satu cara saja. Termasuk asuransi. Harus ada alternatif sehingga jika satu cara gagal, tetap ada sandaran kedua, atau bahkan ketiga. Dengan prinsip ini saya juga tidak setuju bahwa jika dana tabungan anda sudah melebihi UP maka asuransi sebaiknya ditutup dan dialihkan ke investasi. Di dalam hal ini asuransi jangan dianggap sebagai investasi utama, tapi sebagai “hedging”. Tapi kalau memang si nasabah adalah orang berprofil agresif, yang inginnya memang high-risk high-return, yah, lain cerita lah. Mungkin bisa jadi topik blog berikut.
Bapak bilang bahwa untuk bencana besar pihak asuransi bisa mengatasi dengan menggunakan reasuransi dan regulasi juga sudah ada RBC.
Benar. Dana itu datangnya dari premi. Makanya premi itu lebih tinggi daripada tingkat mortalitas.
Bapak menyebutkan bahwa dari lapkeu Prudential claim rationya hanya 32%. Menarik. Tapi setelah saya lihat, tampaknya angka 32% itu Bapak dapat dari rasio klaim dibayar/premi bruto. Bapak sama sekali tidak memperhitungkan keperluan reasuransi (yah, tidak banyak) atau cadangan (besar sekali).
Jika cadangan tidak diperlukan, memang rasio bakal bisa mendekati 100%, tapi jika tiba-tiba ada bencana alam atau wabah atau semacamnya, dipastikan asuransi bakal tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Soal biaya akuisisi, itu dibebankan di depan bukan karena agar ketika nasabah sadar duit sudah masuk kantong. Yang benar saja. Lha wong biaya akuisisi terang-terangan disebut di proposal kok (kalau ada yang menghapus, itu agen nakalan). Harusnya sebelum masuk nasabah sudah tahu.
Soal kenapa biaya akuisisi dibebankan di depan saya tidak tahu pasti, karena saya bukan CFO. Tapi dari segi ekonomi saya tebak itu karena 1. Time value of money, dan 2. Agar jika nasabah keluar dalam waktu dekat(baik atas kehendak sendiri, atau tidak mampu, atau meninggal), maka biaya akuisisi tetap terbayar. Makin dipanjang-panjangkan biaya akuisisi, makin besar kemungkinan itu tidak terbayar penuh.
Soal pemutusan sepihak, yah, yang saya tahu sih ya pengalaman pribadi, bahwa saya belum mendengar ada kasus seperti itu di Indonesia. Polis asuransi jiwa seharusnya ada yang permanen, yang setelah 2 tahun maka tidak bisa diputuskan oleh perusahaan. Tapi memang ada yang kontrak tahunan kok. Tapi ini kan tinggal soal milih polis yang tepat. Ya makanya, polis harus dibaca dulu baik-baik.
makanya saya selalu pakai kata ‘semakin’ di atas. profil risiko setiap orang beda, maka batasan antara perlu ikut asuransi maupun tidak itu berbeda juga setiap orangnya. saya cuma mengemukakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengambil asuransi, soal nasabah mau ikut atau tidak tetap tergantung profil risiko masing-masing.
tidak ikut asuransi dengan perhitungan yang matang itu gak bisa dibilang ‘pasrah nrimo wae’, tapi lebih tepatnya ‘memutuskan untuk menanggung risikonya sendiri’. itu merupakan keputusan finansial pribadi yang gak perlu dipersalahkan.
perhitungan saya sudah termasuk reasuransi, silakan hitung sendiri kalau gak percaya :).
alokasi ke cadangan itu memang perlu, dan merupakan kewajiban perusahaan asuransi. tapi cadangan itu potensi klaim di masa depan, sedangkan potensi pembayaran premi di masa depan tidak diperhitungkan. selain itu, RBC-nya malah naik, tinggi malah. jadi, dana masuk ke cadangan bukan hanya untuk memenuhi potensi klaim di masa depan, tapi juga untuk ekspansi perusahaan, yang mana bukan untuk kepentingan nasabah :).
biaya akuisisi memang ‘dijelaskan’, tapi gak ada niat untuk benar2 menjelaskan. silakan tanya ke nasabah unit link manapun, besar kemungkinan dia gak tahu kalau dia harus keluar uang dari koceknya sendiri yang jumlahnya sangat signifikan. jika nasabah dijelaskan dari awal “kalau anda setor premi Rp 1 juta/bulan, maka dalam 5 tahun pertama anda keluar uang lebih dari 24 juta untuk bayar saya dan agency saya”, maka kecil kemungkinan si nasabah akan ikutan.
jadi penjelasan paling masuk akal adalah “biaya akuisisi dikumpulkan di depan itu tujuannya supaya ketika nasabah sadar bahwa dia telah dikadalin, dia sudah terlanjur setor sebagian besar biaya akuisisi yang perlu dia bayarkan”
soal pemutusan sepihak, saya mau tahu asuransi kesehatan yang ada jaminan perpanjangan dengan premi tertentu. setahu saya belum ada. kalau asuransi jiwa sih ada. sayangnya semua unit link yang saya telaah tidak punya jaminan perpanjangan ini (guaranteed renewability).
perlu ga? klo sanggup kenapa tidak \:d/
ya sakit emang sebisa mungkin di jauhi, tapi siapa yg tau esok hari, cuma gara2 mondok seminggu dirumah sakit tabungan berbulan bulan bisa ludes, sukur2 ga ngutang sana sini gara tabungan kurang
toh sepuluh taun lagi duit saya bisa di ambil utuh.
anda kena trik marketing standar perusahaan asuransi, yaitu jualan waktu. dalam 10 taun, dengan asumsi inflasi 8%, maka uang yang nominalnya sama berkurang nilainya menjadi 46%-nya. jadi, uang 1 juta hari ini, dalam 10 tahun daya belinya berkurang menjadi uang dengan jumlah yang sama hari ini sebesar 460 ribu.
perlu dipahami bahwa perusahaan asuransi bukan lembaga amal, dia tetap perlu keluar biaya operasional. dia menutupi biaya ini dari opportunity cost yang anda bayarkan ke perusahaan asuransi.
Sekali lagi saya ulangi. Perusahaan asuransi memang bukan lembaga amal. Biaya operasional memang ditutupi dari opportunity cost. Tapi Bapak tidak mengatakan bahwa sebagai ganti dari “cost” tersebut, perusahaan asuransi akan membantu jika resiko memang terjadi. Dan ini dilakukan tanpa peduli apakah premi sudah membentuk keseluruhan uang pertanggungan atau belum.
Tapi kalau saya lihat, Bapak memiliki faktor emosi untuk menentang konsep asuransi jiwa. Ini saya lihat dari pilihan kata-kata Bapak. “anda kena trik”. “supaya ketika nasabah sadar bahwa dia telah dikadalin”. Maaf Pak, ini anda sudah memiliki praduga bahwa perusahaan asuransi bermaksud buruk. Saya protes, tapi dari pengalaman saya tahu bahwa adu mulut di Internet nggak bakal ada hasilnya. Saya sendiri tidak tahu kenapa Bapak tidak suka asuransi jiwa, padahal kalau saya lihat dari artikel-artikel lain Bapak, Bapak tidak kesulitan memahami dan menerima asuransi kredit, reasuransi, dan semacamnya. Tapi karena faktor emosi sudah terlibat, saya ya nggak bisa apa-apa. Saya harus hormati perasaan Bapak.
Saya berterima-kasih kepada Bapak karena telah diberi kesempatan untuk menjelaskan posisi saya. Itu sudah cukup kok. Untuk para pembaca, saya tegaskan lagi bahwa konsep-konsep yang Bapak Priyadi gambarkan itu benar semuanya. Perbedaan saya dengan Pak Priyadi hanya ada pada di mana kita menarik garis antara “butuh” dan “tidak butuh”. Saya tampaknya lebih “risk-averse” sementara Pak Priyadi lebih “risk-taker”. Ini saya heran sendiri, soalnya kalau soal reksadana saya orangnya agresif lho.
Dan karena saya juga sales, kalau ada yang mau mengambil asuransi jiwa, bolehlah kontak saya. Hehehe.
menurut saya itu cara jualan yang ngga jujur yah. nasabah gak ngerti soal konsep time value of money, inflasi, pertumbuhan investasi, opportunity cost, dlsb. lalu perusahaan asuransi mengeksploitasi ketidaktahuan tersebut dengan ‘menjual waktu’. produknya dijual dengan kesan gratis: nasabah bayar 10 tahun, lalu di tahun terakhir dikembalikan ‘seluruhnya’. nasabah yang awam dengan senang hati beli produk seperti ini, pikirnya saya dapat proteksi dengan gratis. setelah 10 tahun barulah dia sadar kalau uang tersebut nilainya sudah jauh di bawah yang dia perkirakan sebelumnya.
kalau anda baca tulisan2 saya, saya sangat objektif dan jauh dari faktor emosi. pendapat saya semua ada perhitungan dan datanya. emosi hanya ada kalau nasabah2 awam di indonesia dieksploitasi habis2an oleh perusahaan asuransi, itu saya gak bisa terima. kok tegaan banget mereka ini.
saya pribadi sebenarnya cenderung risk-averse, tapi tidak seperti kebanyakan profil nasabah (dan konsumen indonesia pada umumnya), saya adalah deal hunter. selain itu, tidak seperti kebanyakan nasabah lainnya, saya ngerti asuransi dan menyadari bahwa membayar premi terlalu banyak juga merupakan risiko. jadi sebagai orang yang risk-averse, saya berkeyakinan risiko ini harus diminimalkan.
kalau anda punya produk term life YRT atau level 5 tahun atau kurang, dengan klausul guaranteed renewability, silakan email saya. ada teman sedang mencari. laki2, 35 tahun, non smoking.
Diskusinya menarik. Mas Tony pun cukup fair dalam memberikan argumen walaupun dia juga agen asuransi. Tapi argumen dan data/fakta yang disampaikan Priyadi menurut saya lebih kuat sesuai kondisi di lapangan. Terserah buat pembaca yang lain.
Saya bukan sales asuransi pun juga bukan yang anti asuransi. Boleh dibilang saya adalah nasabah potensial dari sales asuransi. Buktinya banyak sekali tawaran asuransi baik via telepon, HP, rumah, kantor, brosur, dll.
Faktanya adalah: Sales/Telemarketer selalu menggunakan argumen seperti berikut:
“Bapak cuma bayar Rp xxx/bulan selama y tahun untuk dapat benefit maksimal Rp zzz. Jika selama y tahun tidak ada claim maka duit balik utuh sebesar 12 x y x Rp xxx. Gimana Pak? Boleh saya verifikasi datanya? Ini menarik lho…kalo terjadi sesuatu Bapak bisa klaim, kalo tidak pun Alhamdulillah duitnya kembali utuh.”
Saya yakin bahwa lebih banyak calon nasabah yang belum paham TVM ini daripada yang paham. Boleh disurvey kalo mau. Setidaknya ada kawan yang mengambil dan begitu disodorkan hitungan pertumbuhan uang setoran dengan asumsi tingkat pertumbuhan tertentu hasilnya berkali lipat dari uang yang dia terima ‘utuh’ dia kaget dan bilang, “Saya baru tahu…” Padahal dia termasuk yang berpendidikan tinggi dan wawasan yang luas. Tidak membuat dia paham mengenai TVM ini. Apatah lagi yang memang awam.
Intinya Priyadi sih supaya calon nasabah/nasabah melek asuransi. Jadi kita ambil/tidak ambil asuransi tidak karena ‘tertipu’ atau ‘terpedaya’ tapi memang karena pilihan logis dan sadar.
Saya sudah mendapatkan coverage yang bagus dari PT untuk seluruh keluarga. Tapi banyak sekali yang berulang kali menawarkan asuransi yang bisa dobel klaim. Istilahnya kalo saya dirawat inap maka saya dapat duit (soalnya PT sudah membayari biaya rawat inap). Walaupun sudah disampaikan kalau saya sudah dicover, tetap keukeuh menawarkan.
Semua kembali ke nasabah/calon nasabah…Setiap pilihan ada konsekuensinya. Tapi pastikan kita paham betul konsekuensinya sebelum memilih. Kalo salah pilih ya resiko ditanggung sendiri.
Artinya, postingan Priyadi yang dulu “Asuransi + Investasi vs Unit-Link” cukup shahih (valid) dan memang diakui bahkan oleh sales/marketing asuransinya sendiri (walau dulu ditentang dengan banyak argumen).
Karena postingan itu udah beberapa tahun yang lalu, terbukti sudah kalau A+I lebih baik dari pada UL.
Kalau asuransi,, maaf,,terlalu rumit,, terlalu memikirkan resiko kedepan.. Cobalah resapi,, hari ini adalah hasil hari kemarin, hari esok adalah hasil hari ini.
Salam,,,,
1. Sakit Kritis
2. Kecelakaan
3. Cacat Total Tetap
4. Meninggal (Tutup Usia)
5. Hidup terlalu lama HINGGA USIA LANJUT
Timbul Pertanyaan:
1. Apakah seumur hidup Manusia bisa kebal atau tidak terhadap 5 resiko tsb?
2. Apakah Manusia bisa memilih terkena resiko yang mana?
3. Bisa Tahun Kapan Kena Resikonya?
4. Betul tidak Resiko apapun jika kena perlu pakai duit?
5. Mau pakai uang sendiri atau uang asuransi?
Jika Anda Yakin bisa melewati usia lebih dari 100 tahun, anda tidak perlu asuransi. Jika ingin dicover hingga usia 70 beli term life (ternyata ga mati2x,dikasih umur panjang,rugi jg buang duit di term-life) Jika ingin dicover hingga usia 100 beli unitlink lumayan bwt petakan “rumah masa depan”, jangan sampe di kubur sebentar, kuburan digusur, cma gara-gara keluarga ga mampu bayar pajak tanah kuburan.
(Menolak) Asuransi Jiwa = bukti nyata (Menolak) menyumbang anak yatim, terutama anak kandung sendiri atau ortu kandung (bwt yg single).
Hidup cuma sekali, paling tidak berguna bagi orang lain, mari berbagi minimal keluarga sendiri.
Amal bwt banyak kaum dhuafa ok, tp keluarga terlantar ok juga?
ini klasik, anda melupakan prinsip keempat di tulisan saya di atas. asuransi tidak diambil karena adanya risiko, asuransi diambil karena adanya dampak finansial dari risiko. jika tidak ada dampak finansial, maka tidak perlu asuransi.
ambil contoh seperti yang anda utarakan, asuransi jiwa usia lanjut misalnya. risiko meninggal semua orang rata2 boleh sama, tapi kebutuhan asuransi beda2. orang yang sudah tidak punya penghasilan (pensiun) jelas gak perlu. orang yang sudah punya simpanan yang memadai juga gak perlu. dan orang yang tidak lagi punya tanggungan jelas gak perlu. mau ambil term life atau unit link, sama saja.
untuk usia lanjut, ngambil asuransi jiwa itu berjudi. kalau tujuannya manajemen risiko hidup terlalu lama, produk yang tepat itu anuitas, bukan asuransi jiwa.
Logika bodoh yg menyesatkan yg ditimbulkan dr suatu pertanyaan dangkal..
Mungkinkah suatu perusahaan asuransi juga mengasuransikan asuransinya ke perusahaan asuransi yg lebih besar ?
Masalah sakit, mati atau apapun namanya itu urusan yang maha kuasa.. Coba dibalik faktanya, apa ada perusahaan asuransi yg berani menjamin saya hidup 1000000 tahun lagi ? Atau ada paket asuransi supaya saya gak mati ? Kalau ada, nenek ku yg sudah mati pasti aku asuransikan.
Prinsip pertama: “Semakin rendah risiko finansial (relatif terhadap kekayaan nasabah), maka semakin tidak perlu diasuransikan.” (Apakah seumur hidup Manusia bisa kebal atau tidak terhadap 5 resiko tsb?)
Prinsip kedua: “Semakin tinggi probabilitas terjadinya musibah, maka justru semakin tidak perlu diasuransikan.”(Apakah Manusia bisa memilih terkena resiko yang mana?Bisa Tahun Kapan Kena Resikonya?)
Prinsip ketiga: “Semakin besar premi relatif terhadap uang pertanggungan, maka semakin tidak perlu diasuransikan.”(Betul tidak Resiko apapun jika kena perlu pakai duit?Mau pakai uang sendiri atau uang asuransi?)
so 75% asuransi ok
yg terlupa
Prinsip keempat: “Asuransi hanya menutupi risiko finansial dari suatu risiko. Asuransi tidak akan mengurangi probabilitas terjadinya risiko. Jika tidak ada risiko finansial, maka tidak perlu diasuransikan.”
sekilas untuk usia lanjut tidak perlu asuransi karena tidak ada tanggungan, justru yg terlupa pada usia lanjut adalah masa pengeluaran, dimana hanya mengandalkan hasil investasi (jika ada, dan berhasil terbentuk), dengan kecenderungan kondisi kesehatan menurun (apakah ada yg menanjak? jika ada Tobh, tp apakah mayoritas?), walau sebelumnya sudah jaga kesehatan segala jurus, fitnes, cek lab rutin, konsumsi suplemen, doa minta jangan sakit, tp YME berkehendak, apakah bisa ditolak?
Ketika kondisi menurun, biasanya berhubungan dengan perawatan RS/dokter. Siapa yg menanggung dampak finansial perawatan RS? Hasil Investasi? Relakah hasil hasil work hard play hard pindah ke rumah sakit (Jual hasil invest/asset)? yg blum sempat berinvestasi bagaimana? (Lupa, mungkin beliau punya anak) Apakah anak rela terkena dampak finansial biaya perawatan RS?
(setiap anak wajib berbakti ke ortu. apakah semua anak bisa?). Hanya asuransi jiwa yang bisa direkomendasikan untuk solusi dampak finansial tsb (istilahnya pinjam duit anak dlu bwt biaya Rawat RS, akhirnya meninggal jg, cair tuh dana asuransi, beli jgn pada waktu kena resiko), karena biasanya asuransi kesehatan sudah jarang yg berlaku pada usia lanjut (umumnya max. usia 70/75).
kebutuhan asuransi bukan dihitung dari berapa penghasilannya, tetapi berapa pengeluarannya untuk hidup. Berapapun usianya setiap manusia pasti punya pengeluaran untuk hidup, pasti selalu berhubungan dengan dampak finansial. Berapapun usianya,selama tidak ada yg menyantuni, asuransi perlu.
Kalo sudah usia lanjut, justru annuitas lah yang lebih baik daripada asuransi jiwa (seperti yang dibilang Priyadi).
Agak aneh juga logika seorang anak/keluarga yang membiayai sakitnya orang tua (biaya RS) trus kalo orang tua meninggal, toh anak bisa claim asuransi. Itung2 uangnya kembali…ckckckck…Rasanya kok gimana gitu…
Kalo kita sudah melakukan investasi yang benar sehingga saat kita tua sudah memiliki dana yang cukup, asuransi jelas tidak diperlukan lagi. Umur 70 tahun pastinya harga premi sudah mendekati nilai pertanggungan (resiko meninggal sudah sangat besar). Kalo dana investasi sudah jauh di atas nilai pertanggungan, buat apa ikut asuransi?
Kalo kena sakit kritis, kita punya asuransi pun gak ngefek. Berapa uang pertanggungan asuransi? Kalo masih di bawah biaya berobat ya sama saja harus keluar uang banyak juga. Darimana? Mending punya hasil investasi yang bagus.
Kalo anak-anak kita masih kecil sementara kita adalah penanggung jawab nafkah, tentunya asuransi jiwa perlu. Kalo anak-anak sudah mandiri dan kita sudah tua serta tidak punya penghasilan dan bukan sebagai penanggung jawab nafkah, apa perlu kita punya asuransi jiwa? Menyantuni anak-anak kita yang sudah mandiri? Ckckckck…
sama aja. jika kondisi menurun, maka probabilitas terjadinya musibah bertambah. semakin besar probabilitas terjadinya musibah, maka semakin besar setoran premi. pada suatu titik, jika kontraknya belum diputus perusahaan asuransi, premi yang dibayarkan PASTI akan melebihi UP yang diterima. kalau sudah begini ya mendingan gak usah ikutan asuransi kan?
mau beli asuransi jiwa dari dulu juga gak ngaruh. asuransi kesehatan retail itu kontrak tahunan, bukan jangka panjang. gak ada jaminan asuransi/rider kesehatan bisa selalu diperpanjang. juga gak ada jaminan besar premi yang harus dibayarkan nasabah. kalau gak percaya silakan baca polis anda :)
Kalo kita sudah melakukan investasi yang benar sehingga saat kita tua sudah memiliki dana yang cukup, asuransi jelas tidak diperlukan lagi. Umur 70 tahun pastinya harga premi sudah mendekati nilai pertanggungan (resiko meninggal sudah sangat besar). Kalo dana investasi sudah jauh di atas nilai pertanggungan, buat apa ikut asuransi?
(Realitas WN Indonesia, pada saat usia lanjut apakah lebih banyak angka sejahtera? padahal mungkin sudah melakukan investasi yang diyakini benar,yg blum sempat berhasil investasi, angkanya mungkin lebih mayoritas. Mungkin sedikit terlupa, segala macam bentuk investasi tidak dijamin!!! ktnya biar dijamin dibarengi dg proteksi. kemudian Biasanya investasi yg terbentuk terpakai untuk biaya perawatan masa tua, mulai rajin ke dokter/RS, walau sudah usaha jaga kesehatan di masa muda investasi kesehatan, rajin olahraga dsbnya. Masuk usia tua kondisi kesehatan menanjak naik apakah angkanya mayoritas? Investasi Kesehatan apakah dijamin juga? Kondisi kesehatan yang menurun pasti akan menimbulkan dampak finansial kecil maupun besar. Jika dampak financial zero, kan yang tidak perlu asuransi. kata orang hanya orang hidup yg punya pengeluaran. apakah yang meninggal tidak melakukan pengeluaran? siapakah yg membiayai beban hutang di kala hidup? siapakah yg membiayai pemakaman(mungkin tidak terlalu berarti)? siapakah yg membiayai pemakaman selanjutnya minimal tetap terawat dan tidak digusur dalam 5 tahun, jika tidak telat bayar pajak pemakaman. apakah bisa dibilang dampak financial zero?
di sini mungkin Pak Pri kan menghitung biaya asuransi hingga komisi agen asuransi sedetil supaya tidak rugi membuang duit ke asuransi sepeser pun. apakah sudah dihitung jg biaya2x pemakaman yg kliatan kecil saat ini, tp kemudian yang tidak kelihatan berikutnya, kecuali jika tidak perlu dimakamkan. yg “ngaben” atau “larung” aja butuh finansial.
Tommorow ada 3 o, ktnya “opportunity”, peluang berhasil ok, peluang gagal investasi, sudah masuk hitungan?
mungkin pak pri sudah, yg blum sempat menghitung? Angkanya masih besar pak.
Pak pri jg pernah opini beli teh Botol 3000 adlah harganya 3000. sebenarnya teh botol adalah unitlink. jika ori term life, pak pri beli teh seduh kotak 500 rupiah, kemudian beli botol kaca 500 rupiah, masukkan ke botol, beli sedotan 1/50 rupiah, total modal 1050, jadi teh dimasukkan ke botol.
Opini pribadi pak pri silahkan, yg jago investasi angkanya masih minoritas, boleh dicontoh, hanya jika belum 100% terserap ilmu investasi, jika gagal kasian pak. pak pri lho nanggung beban moral investasi tanpa proteksi, jika gagal, lho.
People never plan to fail, but people fail to plan mostly, Manusia tidak pernah berencana untuk gagal, hanya seringkali manusia menggagalkan untuk berencana)
itu namanya straw man argument. saya gak pernah nyuruh jangan ngambil asuransi :). saya cuma bilang asuransi diambil hanya kalau diperlukan. sama saja beli teh botol kalau lagi perlu teh botol saja :). anda saja yang terlalu jauh menggeneralisasi bilang bahwa semua orang itu perlu asuransi :).
analogi teh botol anda salah. lagi2 saya gak bilang begitu :). kalau teh botol sih konsumen bisa dengan mudah membandingkan produk teh botol. tanpa harus mengorek2 harga dasarnya pun, konsumen sudah dapat melakukan perbandingan. berbeda dengan produk asuransi jiwa yang memang didesain khusus supaya sulit dibanding2kan oleh konsumen, sehingga di industri ini, mekanisme pasar praktis gak berjalan.
dengan diversifikasi dan perencanaan yang matang, investasi TIDAK AKAN gagal. kecuali, tentunya, bagi yang menginvestasikan uangnya di asuransi unit link. terutama bagi yang menginvestasikan 100% di saham atas rekomendasi agen asuransinya. walaupun demikian, tidak menginvestasikan 100% di saham jadi salah juga, karena gak bakalan bisa mengimbangi cost yang harus dikeluarkan. dalam hal ini, yang menanggung beban moral adalah agen2 asuransi ini…
saya sudah baca beberapa artikel mas di site ini.
saya sendiri adalah orang awam yang hanya mengerti sedikit tentang investasi dan asuransi.
pertanyaan saya, apa yang harus dilakukan kalau kita memiliki income yang terbatas?
pendapat saya bahwa resiko classic manusia itu akan sama, yaitu sakit, mengalami kecelakaan, kecacatan, dan meninggal tanpa memandang berapa besar pendapatannya perbulan.
nah, saya mohon pendapat mas tentang apa yang harus dilakukan pada contoh kasus di bawah ini :
- seorang pria usia 30 tahun.
- tidak merokok namun memiliki resiko penyakit kanker akibat turunan (ayah, kakek, nenek dan beberapa saudara dekat telah meninggal pada usia rata2 55 tahun karena kanker).
- sudah menikah, istri tidak bekerja dan memiliki satu anak yang baru lahir.
- berencana memiliki 2 atau 3 anak.
- memiliki usaha kecil2an dengan pendapatan setelah dipotong beban usaha per bulan rata2 tiga juta rupiah.
saya sengaja membuat contoh ini karena pendapatan 3 juta rupiah tergolong sangat banyak di masyarakat.
menurut mas, bentuk perencanaan seperti apa yang harus dilakukan oleh keluarga di atas dengan uang tiga juta perbulan?
sebagai catatan, pria tersebut memiliki resiko terkena kanker dalam jangka waktu 20 tahun. belum termasuk resiko penyakit yang lainnya.
kita tahu sendiri kalau pengobatan kanker itu sangatlah mahal. apa lagi 20 tahun mendatang mungkin bisa mencapai 1 milliar rupiah.
belum lagi perhitungan biaya sekolah anak, kebutuhan rumah tangga dan lainnya.
apakah masyarakat dengan penghasilan sejumlah 3 juta seperti ini hanya bisa pasrah menghadapi resiko dalam kasus di atas?
saya mohon pendapat dari mas dan pembaca yang lain.
terima kasih.
yang harus dipahami adalah asuransi bukanlah solusi dari income yang terbatas. dengan membeli asuransi sebenarnya nasabah akan mengeluarkan uang lebih banyak, dengan imbalan pengeluaran yang lebih mudah diprediksi. dengan claim rate 30-40% seperti hitungan saya, maka dengan ikutan asuransi, hampir pasti nasabah akan keluar duit lebih banyak daripada tidak ikutan asuransi.
untuk tipe orang di atas, rekomendasi saya sama: sisihkan 20-30% penghasilan untuk investasi, jika ada kebutuhan untuk beli asuransi jiwa, jangan keluarkan lebih dari 5% penghasilan untuk itu.
terima kasih mas atas tanggapannya.
jadi menurut mas, lebih baik masyarakat dengan pendapatan tiga juta sebaiknya melakukan investasi sejumlah lebih kurang 1 juta dan membeli asuransi jiwa murni senilai max 150rb?
dengan harga premi sekarang, menggunakan jenis termlife, maka menurut saya UP yang didapat dengan premi 1.8 jt setahun untuk usia 30 tahun tidak terlalu besar.
tapi baiklah setidaknya itu bisa mengcover resiko jiwa si kepala keluarga yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga.
berarti setelah dipotong investasi dan asuransi, bisa kita ekspektasi penghasilan bersisa 2 juta perbulan.
bagaimana dengan resiko kesehatannya mas?
dan bagaimana juga dengan persiapan pendidikan anak?
bukankah komponen ini lah yang sering sekali memakan biaya yang luar biasa?
bahkan ada kasus seorang teman terkena kanker dan harus menjual rumah untuk mengobatinya.
masih syukur dia memiliki rumah, bagaimana dengan kasus keluarga di atas yang hanya memiliki pendapatan pas2an?
mohon pencerahannya mas.
ini akan sangat berguna bagi masyarakat banyak.
saya mengerti bahwa asuransi bukanlah solusi penghasilan yang minim, tapi bukannya asuransi itu salah satunya membuat kita mampu menanggung resiko yang tidak dapat kita tanggung sendiri karena melalui perusahaan asuransi, resiko itu telah dibagi bersama?
tapi permasalahannya, dengan penghasilan yang minim seperti itu, bagaimana bisa mengcover resiko kesehatan dan lainnya?
5% itu sudah termasuk benefit kesehatan. harusnya sih sudah lebih dari cukup. kalau lihat rate asuransi, harusnya sudah bisa punya term life dengan UP 200 juta (sekitar 600-800rb/tahun). sisanya bisa untuk kesehatan. mungkin bisa untuk cash plan 200-300rb/hari sekeluarga.
problemnya sih cuma satu: saya gak tahu produk term life yang bisa ambil UP cuma 200 juta. mungkin terpaksa harus cari UL yang back loading atau punya biaya akuisisi yang rendah.
untuk pendidikan anak, sudah termasuk yang 30% itu. dari 30% itu sisihkan 10%-nya untuk pendidikan.
soal kena kanker & harus jual rumah dlsb, asuransi bukan solusi untuk itu. jika tanpa asuransi, orang tersebut tidak sanggup untuk bayar biaya pengobatan kanker, maka dengan ikut asuransi, orang tersebut juga tidak sanggup untuk bayar biaya tersebut. ini masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui asuransi/investasi. solusinya cuma meningkatkan penghasilan keluarga.
Kalau dilihat dari kondisi kasus di atas, maka 5% dari tiga juta adalah 150rb.
150rbx12 = 1.8 juta.
Masalahnya, saya gak ketemu produk asuransi penggabungan Askes dan asuransi jiwa murni yang bisa diambil dengan jumlah premi di atas.
gambaran yang ada sih mungkin uang 1.8 juta di atas bisa dibelikan 1 polis asuransi Unitlink dengan mengatur kompisisi 0% untuk sisi investasinya.
jadi di sana bisa didapat UP 200jt plus plan askes terendah. tapi hasilnya kesehatan istri dan anak tidak tercover.
cara lainnya dengan membeli askes yang seperti ditawarkan via kartu kredit yang mana mereka akan memberikan sejumlah uang perhari jika tertanggung menderita sakit dan dirawat inap/kecelakaan/meninggal.
memang askes jenis ini cukup murah walau UP nya sendiri juga seadanya bila dibanding pengeluaran sebenarnya di rumah sakit yang sudah pasti harus ditambahin.
selain itu, kredibilitas Askes via kartu kredit ini juga kurang tahu bagaimana soalnya saya menemukan banyak sekali keluhan di internet terkait askes yang ditawarkan via CC ini.
dan setelah saya coba cari data dan perhitunganya (walau tidak 100% akurat secara angka), maka terlihat bahwa sistem di atas akan memposisikan keluarga dalam kasus di atas pada posisi Uninsured alias asuransinya tidak maksimal.
dalam poin ini, sesuai artikel mas Pri di atas apakah keluarga dalam contoh kasus di atas sebaiknya tidak membeli asuransi sama sekali?
mengingat bahwa :
1. penghasilan yang sangat minim akan lebih terbeban lagi dengan premi asuransi.
2. meski sudah terbeban, paket asuransi yang diperoleh juga tidak maksimum yang menyebabkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, keluarga di atas tidak tercover dengan baik dan masih harus mengeluarkan dana tambahan dari cadangan dana darurat yang seharusnya tidak banyak karena sudah maksimalnya pengeluaran terhadap pendapatan.
3. seandainya terjadi resiko kanker atau penyakit besar lainnya, keluarga tersebut hanya bisa pasrah karena tidak memiliki kemampuan dalam finansial untuk mengobatinya sedangkan asuransi yang dimiliki jauh dari mumpuni untuk menanggungnya.
Menurut mas pri bagaimana?
apakah keluarga tersebut membutuhkan asuransi?
atau mereka hanya bisa pasrah saja sambil berusaha menabung plus investasi seadanya?
mohon pencerahannya mas.
sesuai perhitungan UP asuransi jiwa yang mas ajarkan lewat site ini, maka dalam kasus yang saya buat di atas, mas Pri mengilustrasikan UP 200jt dengan pendapatan si tertanggung sejumlah 3jt per bulan.
hal ini tidak sesuai karena seharusnya UP yang mencukupi itu harusnya 3 juta x 12 bulan x 10 tahun = 350 juta.
lagi – lagi terlihat UP yang di dapat jauh dari maksimal dan hanya sekitar 60% saja dari yang seharusnya.
mengenai peningkatan pendapatan keluarga, secara teori sih memang seharusnya itu yang dilakukan. namun pada praktiknya di kehidupan nyata, hal itu tidak mudah untuk dilakukan.
bahkan kebanyakan situasi yang ada iyalah rasio pendapatan terhadap pengeluaran semakin hari semakin kecil yang dikarenakan inflasi yang naik melebihi kenaikan pendapatan.
hal ini sangat nyata kita terlihat pada gaji pegawai yang jika kenaikannya diakumulasi selama katakanlah 10 tahun, dan dibandingkan dengan akumulasi kenaikan inflasi maka akan terlihat sangat tidak berimbang.
idealnya memang harus ngambil term life, tapi di indonesia produk term retail yang UP-nya rendah masih sangat terbatas. jadi saya kasih solusi untuk ambil UL dengan BEL atau biaya akuisisi rendah. kalo gak salah bancassurance BCA-sunlife punya barangnya. ambil UL otomatis ya mau gak mau harus ambil investasi juga. gak bisa porsi investasi di-0%-kan. jadi, selain budget 5% untuk asuransi, juga harus ngambil budget investasi, katakanlah 10%. budget sisanya yang 20% baru dimasukkan ke RD.
menurut saya keluarga ini tetap perlu asuransi. tidak perlu asuransi itu kalau: 1. tidak ada kebutuhan beli asuransi (mis. tidak ada tanggungan), 2. sudah memiliki dana cadangan yg bisa digunakan untuk pengganti UP asuransi (self insured). jadi menurut saya tetap perlu asuransi. kalau saya sarankan sih lebih baik cukup ambil jamsostek kalau memungkinkan :). coverage JPK jauh lebih murah & jauh lebih besar coveragenya daripada asuransi kesehatan komersil. cuma kalau dia usaha sendiri, mungkin usahanya harus dijadikan badan usaha. seandainya memungkinkan ambil jamsostek, artinya gak perlu lagi ambil asuransi kesehatan retail. cuma perlu asuransi jiwa saja.
sekali lagi, asuransi tidak dapat menanggulangi masalah keluar duit sangat banyak untuk kanker dlsb. saya bicara adanya saja. keluarga tersebut tidak mampu untuk itu. dan asuransi tak dapat mengubah hal tersebut.
saya pribadi penganut UP asuransi jiwa cukup 5 tahun saja. jadi saya kasih contoh 200 juta. gak ada aturan baku untuk ini. ada FP yang pakai 5 tahun, 10 tahun, bahkan 20 tahun. saya pribadi kasih saran cukup ambil 5 tahun saja. beberapa alasan:
1. gak semua risiko harus diasuransikan, sebagian lebih baik ditanggung sendiri
2. lebih baik underinsured daripada overinsured (worth more dead than alive)
3. di indonesia gak ada yang jual produk decreasing term (yang saya tahu)
4. claim rate di indonesia sangat rendah
5. penghasilan 5 tahun bisa dipakai keluarga yg ditinggalkan selama 10 tahun, kalau memperhitungkan time value of money dan kenyataan bahwa pengeluaran akan berkurang jika anggota keluarga berkurang.
tapi kalau merasa 5 tahun kurang ya silakan saja ambil 10 tahun misalnya. saya pribadi berpendapat keluarga yang penghasilannya pas2an ini lebih baik tidak terlalu banyak ambil asuransi karena tidak terlalu banyak ruang gerak jika terjadi kesalahan finansial.
soal kemiskinan dlsb memang disayangkan, tapi asuransi bukanlah solusi, kecuali tentu saja, jika dia jadi agen asuransi :).
Just share saja bahwa saya ini bukanlah seorang agen asuransi. setidaknya saat ini bukan agen asuransi perusahaan manapun.
justru saya ini calon prospek nasabah asuransi yang sedang mempertimbangkan antara ambil asuransi, atau invest total untuk tujuan selfinsure. itu sebabnya saya sampai ke site mas Pri yang bijak ini.
saya senang sekali menemukan orang seperti mas pri yang ingin mengedukasi masyarakat dengan pengetahuan dan membuka mata akan pentingnya mengkritisi segala tawaran asuransi yang datang.
jangan sampai dengan pendapatan yang terbatas (tipikal pendapatan masyarakat Indonesia pada umumnya), mereka akhirnya terbujuk rayuan sehingga membeli produk asuransi yang tidak mumpuni bagi mereka.
dan tujuan saya memberitahukan ini supaya tidak ada prasangka yang akan membuat diskusi ini tidak nyaman.
belajar dari kolom komentar sebelumnya, banyak yang disangka sebagai agen asuransi. mungkin beberapa diantaranya memang benar agen, tapi mungkin juga banyak diantara mereka adalah pembaca yang kritis, atau yang ingin tahu lebih lagi, atau mungkin yang sedang bingung dengan sempitnya pilihan terhadap kemampuan seperti saya sekarang ini.
dan banyak diantara mereka yang disangka agen fanatik, akhirnya diberi stikma yang kurang baik dan segala apa yang dikatakannya pun dianggap sebagai pembelaan semata oleh pembaca yang lain termasuk saya sendiri pada awalnya.
itu sebabnya saya tidak mau disangkakan sebagai agen supaya diskusi ini bisa berjalan senetral mungkin.
saya ingin diskusi ini dilanjutkan seakan duduk satu meja saling berbagi dengan fikiran dingin sesuai fakta kehidupan, sehingga siapapun yang membacanya kelak dapat memperoleh suatu pencerahan yang aplikatif untuk kehidupannya.
pencerahan bagi agen seingga dapat memberikan produk yang tepat, pencerahan bagi calon nasabah supaya lebih paham memilih produk yang tepat agar tidak menyesal dikemudian hari, dan yang pasti PAHALAH yang melimpah dari Allah untuk Mas Pri yang sudah mau membagikan pencerahan tersebut.
tadi saya katakan saya saat ini bukan agen asuransi itu benar. karena jika saya menemukan produk yang tepat, mungkin saya akan jadi agen asuransi.
namun demikian, saya sejujurnya tidak profit oriented dalam menjadi agen. justru saya ingin membantu meringankan keadaan serba sulit sekarang ini dengan formula yang mungkin dihasilkan dari pencerahan diskusi ini.
tidak hanya saya, tapi siapapun dapat menggunakannya menolong diri sendiri ataupun orang lain.
mengingat di luar sana banyak masyarakat dengan pendapatan 2 – 5 juta sebulan.
dan kalau berhasil, sekali lagi berapa banyak orang yang akan berterima kasih atas apa yang mereka peroleh dari site ini.
jadi bagi pembaca yang lain saya mohon izin ke mas Pri untuk juga mengundang masuk ke diskusi ini.
namun supaya tidak melebar, diskusi tetap mengacu pada kasus di atas.
Jadi mau gak mau keluarga ini harus membeli asuransi Unitlink dan sebagai konsekuensinya porsi investasi mereka di RD harus kdkurangi untuk dipasang di unitlink?
Atau apa dengan kata lain, keluarga yang memiliki pendapatan yang pas2an lebih cocok mengambil unitlink berbiaya akuisisi rendah sebagai instrumen asuransi mereka?
Dari apa yang mas Pri jelaskan di atas, saya mendapat gambaran bahwa untuk keluarga pada contoh kasus di atas akan sesuai mengambil unitlink dengan komposisi kurang lebih sbb :
- Up 100 – 150jt (saya rasa 200jt gak dapat karena asuransi jiwa di dalam unitlink berupa wholelife yang mana preminya juga lebih tinggi).
- Tanpa raider apapun alias hanya asuransi jiwa saja.
- Atau maksimal diberi raider kecelakaan dan cacat tetap dengan pertimbangan apabila resiko tersebut cukup besar. Misalnya setiap hari berjualan makanan keliling.
- Porsi investasi ditempatkan dengan tujuan dana pendidikan sehingga diambil 10% dari alokasi investasi terhadap pendapatan sejumlah 30%, yaitu sebesar 300rb. Besaran ini ditempatkan pada instrumen moderat pada unitlink seperti pasar uang. Hal ini sesuai dengan tujuan tabungan pendidikan yang mana resiko yang menyertainya juga harus moderat. Jangan sampai nanti anak gagal sekolah karena investasi gagal karena terkena resiko tinggi.
Benar seperti ini mas management resikonya?
Kemudian untuk resiko kesehatan kehidupan berjalan, mas menyarankan askes JAMSOSTEK. Permasalahannya usaha berpenghasilan 3 juta perbulan itu sangatlah kecil mas. Usaha berupa jualan makanan. Dengan kata lain, JAMSOSTEK tidak memungkinkan. Satu lagi keprihatinan kita terhadap pemerintah kita di Indonesia.
Tapi untuk hal ini, mungkin di sini lah seperti apa yang mas Pri sampaikan bahwa ada resiko yang lebih baik ditanggung sendiri.
Mungkin lebih baik keluarga ini menyisihkan porsi premi askes kedalam dana cadangan darurat saja sehingga sewaktu2 mereka dapat menggunakannya. Dan untuk memperkecil resiko, lebih baik mereka mengadakan pola hidup sehat saja.
Apa seperti ini mas?
Sedangkan untuk resiko penyakit berat berbiaya tinggi, maka keluarga di atas dengan segala kemampuan dan pendapatan mereka hanya bisa berasuransi kepada Tuhan saja?
Oya masalah UP jiwa yang berupa akumulasi pendapatan lebih kurang 5 tahun, saya rasa juga hanya akan memiliki value penghidupan selama 5 tahun kurang lebih.
Selain itu, karena ilustrasi asuransi jiwa di atas berupa Unitlink, maka keluarga ini tidak dapat mengambil term pendek seperti 5 atau 10 tahun. Tetap harus ambil wholelife yang mau gak mau preminya harus dibayar seumur hidup juga.
Memang benar bahwa kurangnya anggota keluarga akan mengurangi pengeluaran, tapi bertambah besarnya anak juga akan mengkonsumsi pengeluaran yang lebih besar lagi berbanding anak kecil.
Menurut mas, mungkin tepat ya kalau saya mengatakan secara perhitungan manusia, bahwa seseorang dengan pendapatan di bawah 3 juta per bulan dengan biaya hidup di perkotaan Indonesia sebaiknya hanya memiliki maksimum 2 anak?
koreksi dulu, porsi asuransi di UL itu YRT, bukan whole life. YRT = yearly renewable term = term life dengan kontrak tahunan. jadi biaya asuransinya harusnya kurang lebih sama dengan premi term life retail. harusnya sudah sangat cukup untuk ambil UP 200 juta dengan biaya yang reasonable.
investasi jangan disimpan di pasar uang karena terlalu moderat. pasar uang bahkan biasanya gak lebih tinggi daripada inflasi. pasar uang cuma cocok untuk jangka sangat pendek misalnya di bawah 1 tahun karena gak ada ongkos keluar masuk. biasanya saya kasih saran untuk ambil: saham, pendapatan tetap, dan emas. untuk keperluan jangka pendek (di bawah 3-5 tahun) ambil pendapatan tetap, di atas itu ambil saham/emas.
jamsostek itu gak mahal kok. JHT=2% + 3.7% = 5.7% (dan uangnya masih milik nasabah). JKK = 0.24%. JPK = 6%. agak di atas budget saya, tapi melihat coveragenya, menurut saya layak untuk diambil.
UL itu tidak wajib diambil seumur hidup kok. malah sebenarnya suatu saat harus dihentikan karena setoran premi-nya akan semakin tinggi. tidak ada kewajiban untuk harus diambil selamanya.
Oh iya maaf mas saya keliru. Asuransi jiwa dalam unitlink itu memang bukan wholelife.
Terima kasih mas untuk koreksinya.
Maka setelah dirubah kurang lebih akan seperti ini :
Ambil asuransi unitlink dengan komposisi :
- Up 200 juta Tanpa raider apapun alias hanya asuransi jiwa saja.
- Atau maksimal diberi raider kecelakaan dan cacat tetap dengan pertimbangan apabila resiko tersebut cukup besar. Misalnya setiap hari berjualan makanan keliling.
- Porsi investasi ditempatkan dengan tujuan dana pendidikan sehingga diambil 10% dari alokasi investasi terhadap pendapatan sejumlah 30%, yaitu sebesar 300rb. Dana tersebut ditempatkan ke unit pendapatan tetap/saham dalam unitlink.
Yang ingin saya tanyakan, apakah tergolong aman menempatkan dana investasi yang pasti akan dibutuhkan di masa depan ke dalam instrumen yang sedemikian beresiko?
Dana pendidikan itu pasti adanya, sedangkan hasil pengembangan investasi beresiko seperti saham itu kan tidak pasti.
Apa hal tersebut tidak akan menjadikan investasi tersebut beresiko gagal terhadap tujuan awal?
Atau mungkin mas pri bermaksud untuk supaya keluarga tersebut mengambil sejumlah resiko investasi demi mengejar pengembangan yang maksimal terhadap jumlah dana investasi yang minim?
Kalau untuk askes JAMSOSTEK, yang saya maksud tidak memungkinkan itu karena usaha pada contoh kasus keluarga di atas tidak memiliki akses ke asuransi jamsostek tersebut.
Saya tidak tahu apa sekarang ini jamsostek sudah bisa dimiliki oleh masyarakat non pekerja institusi seperti penjual di pasar tradisional, penjual kue/kerupuk/makanan rumahan, pemilik warung, nelayan lepas, dan profesi lainnya yang tidak terikat langsung dengan institusi dengan akses jamsostek.
Dengan keadaan demikian, apa resiko kesehatan kehidupan sehari – hari keluarga tersebut dengan terpaksa harus ditanggung sendiri melalui tabungan dana darurat?
Dan mengenai resiko penyakit berbiaya tinggi seperti kanker, operasi jantung, cangkok organ dalam, dll itu mau tidak mau hanya bisa diasuransikan ke Tuhan saja?
Maksud saya, apakah sama sekali tidak ada solusi untuk mengatasi hal tersebut kalau pendapatan keluarga tersebut tetap pada range 3 juta sebulan?
risiko investasi itu bisa diperkecil dengan cara: 1. menempatkan untuk jangka waktu yang lama, 2. diversifikasi. makanya saya biasa kasih saran untuk ambil emas juga, karena kalau saham turun, nilai tukar juga turun, maka komoditas biasanya naik. kalau portfolio cukup terdiversifikasi, maka harusnya risiko bisa diminimalkan.
tujuan investasi yang paling utama itu untuk melawan inflasi. jadi yield investasi harus lebih besar daripada inflasi. seandainya ditaruh di pasar uang, maka pertumbuhannya akan di bawah inflasi. ambil saham/emas memang berisiko, tapi dengan mengambil pasar uang, pertumbuhan investasi di bawah inflasi bukan lagi risiko, tapi menjadi kepastian.
untuk jamsostek, makanya saya bilang dia perlu menjadikan usahanya sebagai badan usaha. tapi memang gak semua bisa seperti ini.
intinya sih asuransi tidak bisa mengubah orang miskin menjadi orang kaya (kalau orang kaya menjadi miskin sih bisa). masalah kemiskinan ini kompleks dan gak bisa diselesaikan lewat asuransi.
jadi bisa dikatakan tidak ada formula yang mujarab untuk diaplikasikan ke keluarga berpenghasilan 3 juta perbulan atau kurang?
Mungkin ini sebabnya ada banyak FP yang menerapkan syarat pelanggannya harus memiliki income minimal yang cukup besar seperti 20 juta per bulan. Karena mereka tidak dapat memberikan formula yang mujarab untuk income yang kecil.
Saya lihat beberapa yang menyaratkan hal tersebut di iklan surat kabar nasional.
Dan dapat juga dikatakan, bahwa keluarga berpenghasilan 3 juta atau kurang per bulan tidak akan dapat mengcover resiko kesehatan dan penyakit kritis dengan produk asuransi komersial.
Artinya mereka harus menanggung beban resiko tersebut dengan kemampuan mereka sendiri yang seadanya. Dan jika tidak sanggup maka selesailah.
Saya paham bahwa asuransi tidak dapat membuat orang miskin mendapat hak kesehatan seperti si kaya dengan kemampuan mereka. Tapi tidakah ini menjadi hal yang ironi?
Tidakah kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia tanpa memandang kaya atau miskin?
Buat apa asuransi kalau hanya optimal untuk mereka yang mampu membayar premi secara memadai?
Dan bagi mereka yang pas2an yang justru lebih memerlukan perlindungan malah tidak dapat memperolehnya karena tidak mampu membayar premi yang mahal dari produk asuransi komersil.
Bagi si kaya, mungkin mereka bakal dengan mudah mengatasi kekurangan bayar dari klaim asuransi yang tidak optimal. Mereka bisa menjual aset, dll.
Tapi bagi si miskin yang bahkan harus kontrak rumah seumur hidup bagaimana?
Itu sebabnya mas kenapa sampai sekarang saya tidak mau jadi agen asuransi karena menurut saya asuransi itu tidak menolong mereka yang benar2 membutuhkan pertolongan. Dan saya tidak mau jadi agen yang profit oriented.
Makanya ketika saya ketemu artikel mas pri ini, saya tergerak untuk bertanya. Benarkah asuransi itu perlu dibeli oleh mereka yang berpenghasilan 3 juta perbulan atau kurang?
Terkecuali asuransi jiwa bagi si pencari nafka, saya berpendapat bahwa tidak ada artinya membeli asuransi yang lain bagi keluarga tersebut.
Dengan alokasi max 5% dari penghasilan atau sekitar 1.8 juta per tahun dan dipotong asuransi jiwa up 200 juta untuk si pencari nafkah, maka tersisah lebih kurang alokasi premi 1 juta per tahun.
Jika 1 juta ini dijadikan premi askes bagi si pencari nafkah saja mungkin masih dapat lumayan walau tidak dapat dikatakan cukup. tapi kalau dijadikan askes komersil untuk sekeluarga sangat under insured menurut saya dan hanya buang2 uang saja.
Menurut mas apa gak lebih baik sisa yang 1 juta pertahun itu dimasukan ke investasi pendapatan tetap sebagai bagian dari cadangan dana darurat untuk mengcover siapapun anggota keluarga yang sakit?
mengambil atau tidak mengambil asuransi itu sebenarnya sangat subjektif. tidak ada skema yang paling benar. selama nasabah diberi informasi lengkap & tidak ditutup2i, tidak ditakut2i, tidak terjebak iming2 uang banyak, keputusan diambil dengan sadar, maka keputusan apapun harus dihargai. mengambil asuransi itu artinya menyerahkan pengelolaan risiko ke pihak ketiga dengan imbalan tertentu. tidak mengambil asuransi artinya bersedia untuk mengelola risiko sendiri.
kalau dianggap 1 juta/tahun tidak layak untuk membeli asuransi, maka itu sah2 saja. dalam 3 tahun akan terkumpul 3 juta. sudah cukup untuk ongkos rawat inap selama 10-15 hari.
Investasi dgn potensi return tinggi memiliki ketidakpastian yg tinggi juga. Tapi memilih investasi yg pasti (deposito dll) pasti tidak mencukupi.
Hidup banyak resiko dan tidak semua bisa diselesaikan dgn mengambil asuransi. Bahkan FP pun akan menyarankan menambah penghasilan kalo penghasilan pas2an.
Setahu saya, berapapun penghasilan kita/keluarga, FP bisa memberikan advis selama kita mau bayar biaya konsultasi. Tapi ya kalo penghasilan pas2an ya advis pertama adalah: tingkatkan penghasilan dan kurangi pengeluaran.
Silahkan dilanjut…
Untuk saya sih ambil asuransi jiwa + investasi saja. Dengan begini kalau saya sakit itu dibayarkan oleh asuransi (tidak rugi karena saya sudah tekad dan menyisihkan dana sesuai kemampuan) + kalau meninggal pun keluarga ada dana lebih untuk buka usaha / menerusakan pendidikan anak.
Sisanya yg pusing2x biar perusahaan asuransi saja yg urus he..he..
via Poseexpress ongkir sudah termasuk asuransi,
via JNE nambah lagi pake persentase dari nilai barang (gak terlalu besar utk nilai barang ratusan ribu-3jutaan biasanya masih di bawah 10ribu).
Alasan pakai asuransi sih malah bukan demi pertanggungannya, pernah dikasih tips kalo kirim luar kota pake asuransi oknum yang mau macem2 mikir dua kali karena bakal ada audit dari pihak internal dan asuransi bila ada klaim.
Sejauh ini belum pernah sampai kiriman hilang, rusak mungkin sekali tapi kurang jelas juga rusak di perjalanan atau pas digunakan yang nerima *untung masih garansi bisa klaim* kalo telat mah standar yah sering :D
Maaf mas baru sekarang saya kirim tanggapan. Saya baru saja dikaruniahi seorang putrid. Jadi beberapa waktu ini jarang buka internet :D
Setelah baca2 kembali diskusi di atas, saya menarik beberapa poin kesimpulan subjektif :
1. Bagi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah (3 juta perbuan atau kurang), sebaiknya bijak melakukan pengelolaan pendapatan dan berdisiplin tinggi melakukan investasi.
2. Investasi yang diambil ialah reksadana saham dan emas untuk jangka waktu panjang (10 tahun lebih).
3. Sisihkan 10 – 20 persen penghasilan perbulan untuk dikelolah sebagai dana cadangan darurat.
4. Mengambil asuransi jiwa untuk tulang punggung penghasilan keluarga.
5. Melakukan managemen resiko keluarga sendiri. Hal ini dilakukan supaya pengeluaran lebih efektif terhadap pendapatan.
Menurut mas bagaimana dengan poin – poin di atas?
Kemudian saya mohon pentunjuk bagaimana melakukan management resiko keluarga bagi mereka yang berpenghasilan kecil? Khususnya managemen resiko kesehatan jika ingin melakukan kelola resiko sendiri?
untuk mengelola sendiri manajemen risiko, sisihkan 10% penghasilan untuk mengatasi risiko kesehatan. dalam 2 tahun akan terkumpul kurang lebih 2x gaji bulanan. harusnya cukup untuk biaya kesehatan dasar.
Saya ingin minta pandangan bung tentang beberapa hal sehubungan dengan perlu atau tidaknya mengambil asuransi:
1. Menurut saya untuk orang2 yang wirausaha atau profesional yang memiliki praktek sendiri (misal konsultan, dokter etc.) ada baiknya memiliki lebih dari satu polis asuransi kesehatan (yang bisa dobel claim tentunya) karena selain perlu manfaat penggantian biaya sesuai tagihan, mereka juga menanggung financial impact berupa penghasilan yang hilang selama dirawat di RS. Hal yg kedua ini bisa sedikit diringankan dengan adanya askes yg cash plan. Bagaimana menurut mas Pri?
2. Saya setuju banget dengan prinsip ke 2-4 dari artikel ini tapi untuk prinsip pertama kok ada sedikit yang kurang sreg ya. Saya ambil contoh seorang pengusaha yang sukses dan tidak ada kesulitan sama sekali untuk membayar tagihan dirawat di rumah sakit sampai dengan 400 juta (misalnya). Menurut prinsip pertama harusnya orang ini tidak perlu mengambil asuransi kesehatan. Tapi pilihan ini juga mengharuskan dia untuk menyisihkan dana darurat untuk sakit di instrumen investasi yang cukup likuid, katakanlah deposito sebab dia tidak tahu kapan harus mencairkan dana ini. Apabila dia mengasuransikan kesehatannya, dia bisa saja mengalokasikan dana 400 juta “nganggur” ini ke instrumen investasi yang lebih agresif dan returnnya bisa lebih besar kan? Nah kalo menurut kalkulasinya selisih return tersebut jauh lebih besar dari premi tahunan askes dengan plafon 400 juta, kenapa tidak? Atau bisa juga dana tersebut dipakai untuk penambahan modal usahanya yang otherwise bisa menimbulkan cost of borrowing sampai dengan 15% setahun (atau 60 juta) Padahal cost untuk askes ST dgn plafon 400 juta itu ada yg gak sampai 2 juta per tahun (umur<39th). Jadi untuk alasan cashflow sepertinya mengambil asuransi adalah pilihan yang tepat regardless berapa kayanya orang tersebut. Mohon dibenarkan apabila pandangan saya salah.
3. Saya sangat setuju bahwa banyak sekali yang berusaha menjual asuransi dengan memanfaatkan ketidak tahuan pelanggan. Tapi bukankah sangat banyak marketer produk apapun memang memanfaatkan hal yang sama apakah itu sales mobil, kredit, supplemen makanan dsb. Jadi saya rasa it's just another marketing scheme, something that's obviously under-regulated in this country. Jadi yah menurut saya buyers beware yah. The ignorant public is as much to blame in this scheme as the crafty insurance company. Kita sangat perlu blog yang edukatif seperti punya bung Pri ini, tapi kita lebih perlu lagi masyarakat yang lebih kritis yang mau membacanya dengan seksama. Saya bukannya membela perusahaan asuransinya, tapi saya rasa publik yang berhasil dikadalin…well, they kinda deserve it.
Sekian sekedar berbagi pendapat saja, terimakasih bung.
pertama2, perlu saya informasikan bahwa claim rate di indonesia itu sangat2 rendah. rata2 di bawah 50%, mungkin mean-nya sekitar 40%. itu rata2nya. dan feeling saya, untuk asuransi kesehatan retail pasti di bawah rata2. ini yang banyak orang gak tahu.
1. saya gak setuju. asuransi itu gak bisa membuat yang tadinya gak ada duit, jadi ada duit :). asuransi bukan satu2nya solusi untuk manajemen risiko.
2. kalau saya gak masalah duitnya dimasukin ke pendapatan tetap atau bahkan saham. likuiditas bukan masalah kalau si nasabah mempersiapkan credit line sebelumnya. dia bisa pakai credit line-nya untuk berobat sambil menunggu dananya cair. dengan claim rate asuransi di indonesia yang mengenaskan, semahal2nya bunga kartu kredit itu akan kelihatan sangat murahhhhh. claim rate asuransi yang cuma 30-40% jauh lebih mahal daripada bunga kartu kredit manapun.
3. kesalahan nasabah asuransi yang dikadalin itu sama saja dengan misalnya kesalahan orang yang kemalingan. di indonesia dimana terlalu banyak masalah moral, terlalu mudah untuk terjebak dan menyalahkan si korban. “salah sendiri pintu gak dikunci” “salah sendiri jualan gak dijaga” etc etc etc
Sebagai tambahan, beberapa hal yang sepertinya kurang dipahami oleh masyarakat saat membeli produk unitlink:
1. Masyarakat mengira dengan hanya membayar premi 10 tahun, maka akan mendapatkan perlindungan seumur hidup (99 tahun, misalnya). Selain itu, premi yang dibayarkan tidak hangus melainkan akan terus berkembang hingga mencapai angka yang fantastis setelah sekian tahun. Sedangkan asuransi term life, uang preminya hangus terus selama resiko tidak terjadi.
Yang tidak diketahui masyarakat, setelah 10 tahun atau setelah masa bebas premi, kita sebenarnya tetap terus menerus membayar ‘premi’ dalam bentuk biaya asuransi,yang dipotong dari dana hasil investasi unitlink, dan biaya asuransi itu terus meningkat besarnya sesuai dengan umur yang semakin meningkat, sama saja dengan premi term life yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dan masyarakat mungkin tidak mengetahui, besarnya biaya asuransi produk unitlink, lebih besar daripada premi produk term life untuk besar UP yang sama.
2. Masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah deposan sejati, berani mengambil investasi melalui produk unitlink, yang umumnya diinvestasikan oleh perusahaan asuransi ke reksadana, tetapi tidak berani membeli sendiri reksadana, karena khawatir dengan resikonya. Mungkin mereka salah paham, seolah-olah investasi melalui produk unitlink itu ‘aman’ dari resiko, seolah-olah resikonya di-cover oleh perusahaan asuransi. Padahal sama saja, jika indeks saham turun dan nilai investasi produk reksadana turun, maka nilai investasi produk unitlink akan turun juga. Jika suatu saat nilai investasi produk unitlink tidak mampu menutup besar biaya asuransi yang musti dilunasin, maka nasabah juga diharuskan menyetor uang supaya polis asuransi tidak lapse.
3. Walaupun udah mengetahui bahwa Asuransi+investasi lebih bagus daripada unitlink, tetap saja mayoritas masyarakat enggan atau terlalu repot mencari dan mempelajari bentuk investasi mana saja yang sesuai dengan profil resikonya. Untuk berkonsultasi dengan Financial Planner, enggan mengeluarkan biayanya. Akibatnya kembali lagi memilih paket komplet yang ditawarkan agen asuransi, karena tanpa biaya konsultasi :)
Mohon dikoreksi jika saya salah. Terima kasih.
Makasih untuk jawabannya yang membuka wawasan mas Pri, walaupun secara psikologis saya masih belum berani untuk me-manage semua resiko financial sendiri, tapi setidaknya bisa dibuat bahan pertimbangan untuk alternatifnya. Kalo boleh tahu apa mas Pri sama sekali tidak mentransfer resiko keuangan apapun ke pihak ketiga? Tidak masuk asuransi jiwa term life? tidak beli asuransi kendaraan? Tidak mengambil asuransi kebakaran rumah?
Maaf apabila pertanyaannya terlalu personal, tidak perlu dijawab juga tak apa . :) Sekadar ingin tahu untuk jadi bahan pertimbangan. Siapa tahu di masa yang akan datang saya juga ingin menggunakan metode self insurance.
kalau memang sudah dijelaskan, tapi tetap nekat ambil unit link ya itu pilihan mereka. saya pikir bukan masalah, selama ketika mereka mengambil keputusan, mereka mendapat informasi yang cukup. sama saja misalnya jika ada yang beli ponsel 150 juta yang kemampuannya sebenarnya jauh di bawah ponsel 6 juta, kita gak perlu protes.
omelan2 itu biasanya datang dari orang yang dikadalin. mereka gak ngerti, tapi terjebak untuk beli asuransi tertentu karena dikadalin. itu baru ada sesuatu yang salah. konsumennya sendiri memang salah, tapi ini kesalahan ‘ignorance’, bukan ‘malice’.
saya sendiri beli asuransi. punya asuransi jiwa term life. punya asuransi kendaraan all risk karena diharuskan pemberi kredit, tapi kalau sendiri, cuma akan ambil TLO karena all risk saya pikir gak worth it. asuransi kebakaran saya punya. asuransi kesehatan punya.
yang saya pikir gak perlu itu: rider waiver di asuransi jiwa (karena tidak sesuai dengan prinsip 1), creditshield (tidak sesuai prinsip 1), asuransi jiwa whole life (tidak sesuai prinsip 2), asuransi kendaraan allrisk (tidak sesuai prinsip 3).
Nah kalo asuransi yang ada embel2 investasi nah itu yang perlu diwaspadai karena menurut saya sama sekali gak menguntungkan…
Resiko bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja. RESIKO TIDAK MENUNGGU HINGGA ANDA MEMILIKI TABUNGAN YANG CUKUP, sebelum anda memiliki tabungan yg cukup belilah asuransi.
biarpun probabilitas resiko cuma 1% kita gak tau apakah kita termasuk yg 1% dan jika termasuk apakah secara finansial kita sudah siap pada saat resiko terjadi.