Mon
Sep 23, 2013 3:41 pm (PDT) . Posted by:
Terima kasih bung Dwika atas infonya , mohon
ijin sharing untuk anak saya
Muhammad Hudi alumni Teknik Mesin Perkapalan FTUI 2012 yang akan mencari
beasiswa S2 di perguruan tinggi Eropa.
Salam,
Satrio Wibowo.
2013/9/23 Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@ yahoo.com
****************************************************************************************************
Setelah 13 kali melakukan percobaan, akhirnya
Anda mendapat keberhasilan.
Pepatah hingga kini “*dimana ada kemauan di
situ ada jalan*“.
Apakah Anda tidak mau menempuh jalan itu?
“Trial and error” bukan hanya milik anak
burung yang sedang belajar
terbang, Anda juga boleh mencobanya.”
I
Deliver Happiness,
Dwika
link:
http://motivasibeasiswa.org/2013/09/18/arif-habibal-umam-ke-jerman-setelah-13-kali-trial-and-error/
Arif Habibal Umam: “Ke Jerman setelah 13 kali Trial and Error”
Aku
mengenal blog motivasi beasiswa untuk pertama kalinya di penghujung
tahun 2010. Saat itu aku masih menjadi seorang pemburu beasiswa yang
galau. Beruntung, google menuntunku menemukan blog ini. Pada waktu itu,
hanya ada kurang dari 15 motivator beasiswa yang menuliskan
pengalaman-pengalama serunya. Blog ini pun masih sangat baru. Aku
membaca salah satu tulisan sang motivator yang memberi banyak motivasi,
dan menjadi kata kunci yang tidak sengaja aku temukan di google.
Takdir akhirnya membuatku menjadi juniornya pada program beasiswa
yang sama. Saat membaca tulisan-tulisan lainnya, semangatku untuk
beranjak dari Indonesia semakin menggebu-gebu. Aku dibuat iri oleh
seorang senior di Fakultas Biologi UGM yang sedang melanjutkan studinya
di Arab Saudi dan berfoto-foto di depan Masjidil Haram, lalu mereka –
mereka yang pernah merasakan putih dan dinginnya salju, melihat
keindahan arsitektur Eropa, atau berfoto-foto di depan gedung opera
Sydney, di bawah menara Eiffel dan beragam landmark lainnya. Atau
sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku sendiri, berbicara bahasa
asing dengan penutur asal di negerinya.
Sejak mengenal blog berkualitas ini, aku berjanji pada diriku
sendiri, entah kapan waktu itu tiba, aku akan menuliskan
pengalaman-pengalamanku sendiri di sini. Ketika aku sudah menikmati
bagaimana kehidupan di luar negeri, tentunya dengan beasiswa pula. Aku
semakin tekun mencari informasi mengenai tawaran beasiswa dari berbagai
lembaga internasional, nasional ataupun lokal. Setidaknya aku pernah
menderita 12 kali kegagalan sebelum akhirnya aku dapat memenuhi janjiku
pada diri sendiri untuk berbagi pengalaman di sini.
Baiklah teman, beasiswa pertama yang aku apply di tahun 2010 adalah
beasiswa dari King Abdul Aziz University (KAUST). KAUST sebenarnya
merupakan sebuah universitas baru di Arab Saudi. Aku mungkin angkatan ke
tiga (ini kalau tidak keliru) seandainya diterima di kampus KAUST tahun
itu. Jurusan yang aku apply yaitu marine engineering. Tapi sayang
sekali, ketika pengumuman, aku hanya diberi jatah dalam daftar tunggu
atau waiting list, ~begitulah kira-kira judul email dari pihak panitia
yang masuk ke emailku~. Jadi aku hanya memiliki kesempatan masuk ke
daftar utama program tersebut seandainya ada kandidat yang telah lulus
tapi mengundurkan diri. Aku mengganggap peluangku hanya 50 persen. Jadi,
aku sudah menganggap ini kegagalan pertamaku. Aku sadar, kesalahanku
karena tidak melengkapi persyaratan Bahasa Inggris sesuai yang diminta,
aku bahkan tidak menyerahkan sertifikat TOEFL hingga batas waktu yang
ditetapkan. Di sini, aku telah bernegosiasi dengan penyedia beasiswa
untuk pertama kali.
Sebenarnya pada saat yang bersamaan, aku juga mendaftar beasiswa
bergengsi Uni Eropa, Erasmus Mundus. Para pelamar boleh mendaftar
maksimal 3 program untuk action 2 dan 1 program untuk action 1. Aku
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendaftar sampai batas
maksimal, 4 program sekaligus. Beruntungnya lagi, kebanyakan beasiswa
Erasmus Mundus diperuntukkan untuk bidang life sciences seperti biologi
dan ekologi, sesuai latar belakang keilmuanku. Untuk action 1, aku
mendaftar program yang bernama
MAHEVA (ilmu lingkungan), sementara untuk action 2 aku mendaftar program
EMAE (ekologi terapan),
MIND (ekologi industri), dan
MESPOM (ilmu lingkungan).
Satu hal yang perlu diperhatikan saat mendaftar Erasmus Mundus,
jangan pernah mendaftar programnya melebihi jatah yang diizinkan, jika
tidak ingin aplikasi beasiswa ditolak mentah-mentah oleh konsorsium.
Selain itu persaingan memperebutkan beasiswa Erasmus Mundus untuk
program-program yang ditawarkan di action 1 dan action 2 berbeda. Action
1 hanya diperuntukkan bagi mahasiswa atau alumni dari universitas
negara berkembang yang memiliki kerja sama dengan universitas di Eropa.
Sedangkan action 2 memiliki jangkauan yang lebih luas, karena
diperuntukkan bagi seluruh lulusan negara ke tiga yang tidak terbatas
pada ada tidaknya ikatan kerjasama.
Ketika itu, program
MAHEVA – action 1 lebih cepat mengeluarkan
pengumumannya. Sayang sekali, aku mendapat surat penolakan dari
konsorsium. Tidak ada penjelasan mengapa aplikasiku di tolak.
Selanjutnya konsorsium
MESPOM
juga menolak aplikasiku mentah-mentah. Sedangkan untuk program MIND, aku
lulus seleksi berkas tahap 1, namun aku gagal ketika di tahap
selanjutnya yaitu penilaian dokumen seperti motivation letter dan
reference letter. Sedangkan untuk program
EMAE, pengumuman
dikeluarkan sekitar bulan maret 2011. Aku hanya diberitahu konsorsium
bahwa aku mendapatkan kursi di tempat ini, namun tidak mendapatkan
beasiswa. dengan kata lain aku hanya mendapatkan letter of acceptance
(LoA). Tetapi pembiayaannya harus dilakukan sendiri. Apabila dikonversi
ke rupiah, jumlah beasiswa yang ditawarkan mencapai 700 juta rupiah,
sehingga mustahil aku menyediakan dana sebesar itu. Aku menganggap ini
adalah kegagalan ke dua, ketiga, keempat, sekaligus ke limaku dalam
urusan beasiswa.
Bagi seseorang yang memiliki kehidupan mulus seperti yang akupunya,
kegagalan seperti itu sangat setia membuatku semakin penasaran untuk
kembali berjuang merebut beasiswa. Lalu, di awal 2011 aku juga mendaftar
beasiswa
Panasonic Indonesia
ke Jepang, beasiswa ini digadang- gadang sebagai beasiswa prestisius
karena berjumlah besar dan hanya diperuntukkan untuk 3 orang Indonesia
setiap tahun. Layaknya kuis berhadiah atau lomba-lomba, ada tiga tahapan
utama yang harus dilewati untuk memenangi beasiswa ini, yaitu seleksi
berkas tahap 1 atau penyisihan yang berupa formulir pendaftaran, lalu
seleksi berkas tahap dua atau semifinal, dokumen yang dinilai contohnya
surat rekomendasi, motivasi dan IPK. Dan yang terakhir adalah tahap tiga
atau final, proses seleksi yang dilakukan pada tahap ini seperti FGD,
dan wawancara.
Pengumuman tahap awal dikirimkan via email. Aku berhasil masuk ke
semifinal bersama seorang teman dari biologi UGM. Namun sayangnya aku
tidak melanjutkan proses aplikasi
Beasiswa Panasonic.
Pengumuman beasiswa ini bertepatan dengan kejadian tsunami dan
kegagalan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pada maret 2011 lalu. Aku
sudah cukup merasakan tsunami tahun 2004 serta segala
kesulitan-kesulitannya di kampung halamanku, Meulaboh. Karenanya, aku
sudah tidak berniat melanjutkan aplikasi Beasiswa Panasonic. Ini adalah
kegagalan ke enamku dalam waktu yang sangat berdekatan. Tapi teman, aku
seseorang paling idealis untuk urusan mimpi yang telah aku cipta. Karena
itu, aku belum patah arang untuk terus mencoba berbagai beasiswa lain.
Cita-citaku sederhana saja, aku mau bermain-main salju, aku ingin segera
kuliah di luar negeri.
Tahun pertama setelah lulus S1 aku dedikasikan untuk melakukan
“trial and error”
pendaftaran beasiswa. Sangat beruntung jika bisa langsung diterima,
namun jika gagal, aku tidak merasa telah buang-buang waktu, karena aku
bisa memperbaiki aplikasi untuk periode selanjutnya. Setelah itu, aku
mendapat informasi dari seorang teman kampus bahwa pemerintah Perancis
membuka penerimaan beasiswa untuk studi ke negara Bonaparte itu, nama
beasiswanya
BGF, lengkapnya
Bourse de Gouvernement de France. Aku tak ketinggalan mencoba peruntungan di beasiswa ini.
Sejauh ini, BGF adalah beasiswa yang tidak bertele-tele. Hanya ada
dua tahapan seleksi, seleksi pertama adalah penilaian berkas layaknya
beasiswa lainnya. Yang membedakan hanyalah dokumen yang harus diupload,
seperti fomulir pendaftaran yang hanya berjumlah 2 lembar ~sangat
efisien dibandingkan formulir beasiswa lain yang terkadang mencapai
belasan, bahkan puluhan halaman~, lalu tidak pula diminta sertifikat
bahasa asing seperi TOEFL dan IELTS. Walaupun pelamar harus mencantumkan
perolehan nilai Bahasa Inggris di kolom formulir pendaftaran, dan
sedikit essay rencana studi atau penelitian di Perancis. Tahap terakhir
beasiswa BGF adalah wawancara di Jakarta. Aku berhasil dipanggil
interview BGF bersama 30 peserta lainnya pada April 2011, mereka berasal
dari berbagai latar keilmuan. Kebanyakan peserta memilih master degree
sedangkan sisanya mendaftar untuk program doktor. Ini merupakan kali
pertama wawancara berbahasa Inggris yang telah aku ikuti. Sejauh ini aku
belum pernah punya pengalaman diwawancara dengan bahasa asing, aku
merasa gugup tapi aku paksakan rileks dan berusaha mempersiapkan sebaik
mungkin. Setelah aku selidiki, ternyata keunggulan aplikasiku terletak
pada LoA dari salah satu kampus prancis yang telah aku punya sehingga
bisa dipanggil wawancara. LoA yang telah aku peroleh dari Poitiers,
sebagai salah satu konsorsium EMAE di beasiswa Erasmus Mundus aku pakai
untuk mendaftar BGF.
Pada saat wawancara, aku bernegosiasi dengan para pewawancara,
bagaimana jika aku tetap mendaftar Erasmus Mundus dengan program yang
harus diselesaikan tidak hanya di Perancis, tetapi juga di Portugal,
Inggris atau Jerman, tetapi pendanaannya disediakan oleh BGF. Aku masih
mengingat jelas bagaimana seorang interviewer melakukan hitung-hitungan
terhadap jumlah dana yang dibutuhkan untuk program EMAE tersebut, angka
yang menurut mereka cukup fantastis. Kesimpulan akhirnya biaya untuk
program itu terlalu tinggi. Aku bahkan memberikan solusi lain, bagaimana
jika biaya tersebut hanya ditanggung setengahnya oleh BGF sedangkan
sisanya dari pihak ketiga. Interviewer kembali sibuk dengan angka-angka.
Tetap saja dianggap mahal. Pertanyaan wawancara untuk beasiswa BGF bisa
kupastikan adalah pertanyaan-pertanyaan standar menyangkut aplikasi
beasiswa, sama seperti proses interview kebanyakan beasiswa lainnya.
Saat bernegosiasi ini, aku melakukan kesalahan fatal dengan tidak
memberikan sebuah pilihan akhir kepada interviewer. Aku sangat terpaku
dan terlena pada satu program yaitu EMAE, padahal kami sepakat jika
program itu membutuhkan biaya mahal. Aku benar-benar lupa mengatakan
jika aku juga bersedia jika hanya kuliah di Perancis saja, dengan
program yang murni dari BGF. Di sinilah kekeliruan itu berbuah petaka,
kegagalan yang tak perlu seandainya aku cermat.
Selesai interview, aku di persilahkan menunggu hasil seleksi yang
akan dikirimkan ke email masing-masing. Pengumuman BGF pun tiba. Sebuah
email dari panitia seleksi telah kubaca. Dengan sangat menyesal aplikasi
BGF ku ditolak. Tetapi, mereka sangat sopan dalam memberi
keterangan-keterangan mengapa aplikasiku tidak bisa diterima sehingga
aku sangat berlapang dada untuk BGF. Salah satu alasan yang disampaikan
adalah program master yang ingin aku ikuti berbiaya sangat mahal dan
tidak sesuai anggaran BGF. Tidak lupa, mereka menyarankan aku untuk
memperdalam Bahasa Perancis lalu mendaftar program master berbahasa
Perancis yang lebih murah, kemudian bisa mengikuti BGF tahun depan. Aku
kembali gagal untuk ke tujuh kalinya, tapi aku merasa puas dan mendapat
satu pengalaman baru. “Trial and error” belum berakhir.
Hanya berselang dua hari setelah interview BGF di jakarta, aku
dipanggil mengikuti wawancara dengan DAAD di Banda Aceh. Padahal sebelum
BGF, aku baru saja pulang dari Jogjakarta ke Banda Aceh setelah
menyelesaikan kursus Bahasa Perancis di sana.
Duit yang aku punya semakin menipis karena dalam waktu seminggu aku
harus bolak balik Jogjakarta-Jakarta -Banda Aceh sebanyak dua kali.
Tetapi orang tua tetap mendukungku karena beasiswa DAAD adalah peluang
aku kembali ke Eropa, kali ini ke Jerman. Aceh menjadi sangat beruntung
setelah tsunami. Setahuku hingga kini ada 11 negara yang bekerja sama
dengan Pemerintah Provinsi Aceh untuk menyelenggarakan beasiswa bagi
putra putri terbaiknya. Salah satunya Jerman melalui lembaga pertukaran
akademiknya, yaitu DAAD.
Aku memasukkan lamaran beasiswa yang disebut ASOE ini, atau Aceh
Scholarship of Excellence hasil kerjasama pemprov Aceh dengan DAAD.
Karena Aku dipanggil wawancara hanya 2 hari setelah proses seleksi BGF
berakhir. Pengalaman yang aku dapat saat mengikuti wawancara BGF menjadi
sumber kekuatanku mengikuti wawancara DAAD-ASOE. Aku menjadi lebih
yakin, percaya diri dan tahu bagaimana tipikal pertanyaan “bule” ketika
menguji kandidat penerima beasiswanya. Aku diwawancara oleh seorang
representatif DAAD, seorang Jerman yang menjadi dosen tamu salah satu
universitas ternama di pulau Jawa. Isi interviewnya sebenarnya mirip
dengan BGF. namun, latar belakang keilmuaanku di bidang biologi-ekologi
benar benar diuji. Misalnya, ada pertanyaan-pertanyan yang menyangkut
pengetahuan polusi dan metode sampling. Selebihnya tidak jauh berbeda
dengan BGF. Aku berbicara layaknya rekan kerja, tidak lupa aku
bernegosiasi dengan LoA-EMAE yang masih aku bawa kemana mana. Termasuk
saat wawancara tersebut.
Aku berharap bisa kuliah di CAU-Kiel, Jerman. Salah satu konsorsium
EMAE, dengan bantuan beasiswa ASOE ini. Namun jawaban sang interviewer
sama saja saat aku mengemis- ngemis di BGF. Jumlah biaya yang dibutuhkan
terlalu tinggi. Tapi kali ini aku tidak lupa mengatakan, aku tetap
bersedia mengikuti skema normal program DAAD-ASOE yaitu mencari jurusan
baru yang lebih murah, serta bersedia mengikuti pelatihan Bahasa Jerman.
pengumuman kelulusan masih dua bulan lagi.
Aku mempersiapkan aplikasi beasiswa lainnya. Setelah sebelumnya
berkali-kali gagal ke Eropa, aku mencoba mengadu nasib ke selatan. Kali
ini pilihanku Australia dengan beasiswa Australian Development
Scholarship (ADS) nya. Beasiswa ADS termasuk beasiswa rumit dan
membutuhkan waktu lama hingga pengumuman kelulusan, namun aku berpikir
tidak ada salahnya mencoba. Ini masih tahun pertama kelulusanku, aku
masih punya jatah untuk melakukan “trial and error”. Setelah mengisi
formulir dan mencoba melengkapi semua peryaratannya. Aku mengirim
lamaran ADS melalui pos ke kantor ADS di Jakarta. Setelah itu hanya
menunggu pengumuman selanjutnya, jika berhasil akan dipanggil ke tahap
berikutnya, interview.
Sambil menunggu pengumuman ADS, pada bulan juni 2011 aku mendapat
berita gembira karena aku diterima program beasiswa DAAD-ASOE, namun
proses masih panjang, aku bersama awardee lainnya masih harus mengikuti
pelatihan Bahasa Jerman dari level dasar A1 hingga level mittelstufe
(pertengahan) B2 di Goethe Institut, Jakarta. Waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai level B2 kira-kira 8 bulan jika dilakukan secara
intensif, kursus Bahasa Jerman ini dilakukan setiap hari senin hingga
jumat sejak pukul 8:00 hingga pukul 12:30. Setiap level, kami harus
mengikuti tes untuk mengetahui apakah kami lulus atau tidak dalam
tingkat tersebut. Layaknya tes IELTS atau TOEFL IBT, materi yang diuji
meliputi kemampuan mendengar, berbicara, dan menulis. Aku belum boleh
mengatakan sudah lulus 100 persen beasiswa DAAD – ASOE, karena jika
tidak lulus kursus Bahasa Jerman minimal level B1 atau yang disebut
zertifikat deutsch, maka beasiswa akan dicabut dan tidak jadi
diberangkatkan ke Jerman.
Perilaku orang – orang Jerman yang sistematis dan antisipatif
tercermin pada beasiswa ini. Walaupun aku tidak berencana mengambil
program master berbahasa Jerman, aku bersama Awardee tetap harus
mengikuti pelatihan bahasa sesuai level yang telah ditentukan, sejak
November 2011 hingga Juli 2012. Selain itu, walaupun sudah memiliki
nilai TOEFL, kami pun masih harus mengikuti tes IELTS. Tujuan pelatihan
bahasa yang diadakan selama itu agar kami mudah berkomunikasi dengan
warga Jerman saat berada di sana, serta lebih mudah mendaftar kuliah
karena kebanyakan kampus Eropa termasuk Jerman meminta IELTS sebagi
prasyarat.
Ketika mengikuti pelatihan Bahasa Jerman di Jakarta, aku mendapat
informasi mengenai pengumuman ADS. Aplikasiku ditolak. Pengumuman
tersebut dikirimkan secara langsung melalui pos ke alamat rumahku di
Aceh. Namun sebenarnya panitia seleksi telah menghubungiku via telepon,
mereka sebelumnya masih memberiku waktu untuk melengkapi dokumen IELTS
yang masih kurang. Ini kegagalan ke delapanku, Teman.
Aku sama sekali tidak menyesal terhadap “trial and eror” yang aku
lakukan. Aku mempersiapkan tes IELTS dengan mengikuti kursus terlebih
dahulu di Jogjakarta, perjuangan menghadapi beasiswa DAAD ini merupakan
proses sulit yang pernah aku ikuti. Terlalu banyak persyaratan yang
harus kupenuhi. Termasuk mencari Letter of Acceptance dari Universitas
di Jerman. Ketika berada di Jogjakarta awal 2012, kesehatanku malah
memburuk karena kelelahan. Aku terserang demam berdarah dan harus di
rawat di rumah sakit selama satu minggu. Di sinilah pikiranku kembali
kacau, aku benar-benar khawatir beasiswa akan dicabut dan tidak jadi
diberangkatkan. Aku mengantisipasi dengan mendaftar kembali beasiswa
Erasmus Mundus untuk kedua kalinya. Program yang aku apply saat itu
adalah LOTUS (ekologi manusia) untuk action 1 dan 3 program lainnya
untuk action 2 yaitu EMAE, MIND dan EMBC (marine biology).
LOTUS dan EMBC merupakan program baru yang aku apply, karena tahun
sebelumnya aku belum pernah mendaftar program ini. Berbekal pengetahuan
Erasmus Mundus saat pertama kali daftar di tahun 2010, aku lebih mudah
menyiapkan aplikasi. Walaupun di tengah DBD yang kuderita. Aku dengan
mudah memperbaiki lamaran yang masih tersimpan rapi di laptopku. Aku
benar- benar lupa memikirkan kondisi tubuhku yang begitu kelelahan dan
sakit akibat DBD. Yang ada dipikiranku, aku harus segera bermain main
salju di Eropa.
Saat itu, trombosit tubuhku mencapai titik terendahnya! hanya 9000
sel/ mm3, jauh dari batas normal 150.000 sel/mm3. Tetapi kekuatan impian
ternyata sangat dahsyat, Teman. Disaat begitu terpuruk dengan
penyakitku, aku masih menyempatkan online dan menekan tombol submit
untuk mengirimkan 4 aplikasi Erasmus Mundus yang telah aku perbaiki itu.
Kemudian aku tinggal menunggu pengumuman dari masing- masing program
tersebut.
Hampir tiga bulan setalah itu, pengumuman Erasmus Mundus tiba. Aku
pun telah sembuh total dari DBD yang kuderita. aku menerima email dari
konsorsium ke empat program Erasmus Mundus tersebut. kali ini aku
sedikit mengalami peningkatan hasil, ke empat aplikasiku tersebut
dihargai sebagai reserve list dari Indonesia. Dengan kata lain, aku
dapat menerima beasiswa jika ada yang mengundurkan diri dari main list.
Ini adalah kegagalan ke sembilan, sepuluh, sebelas, dan kedua belas yang
telah aku alami, kali ini aku tidak gagal total. Berbekal “trial and
error” yang aku lakukan, aku memproleh peningkatan hasil dalam proses
lamaran beasiswa. Aku menjadi semakin tahu mengenai aplikasi berbagai
beasiswa. Aku mendapatkan LoA dari salah satu program Erasmus yang dapat
aku pakai untuk beasiswa DAAD-ASOE. Akhirnya aku fokus kembali kepada
beasiswa yang telah aku peroleh sebelumnya, DAAD-ASOE. Aku lulus tes
Zertiikat Deutsch sesuai yang telah ditentukan sehingga aku dapat
berangkat ke Jerman bersama Awardee lainnya pada awal agustus 2012.
Setiba di Jerman, kami kembali mengikuti persiapan Bahasa Jerman
selama tiga bulan di Dortmund, sebuah kota yang terkenal dengan klub
sepakbola Borussia Dortmund-nya, sebelum akhirnya kami berpencar ke
berbagai kota di Jerman untuk melanjutkan studi di universitas yang
berbeda.
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan master perencanaan lingkungan
di Technische Universität Berlin. Kini aku sedikit lega karena telah
memenuhi janji pada diriku sendiri untuk ikut menulis di sini, janji
yang terucap ketika pertama kali membaca kisah- kisah yang menggetarkan
jiwa dari para motivator beasiswa lainnya dan selalu berhasil membakar
semangatku. Begitulah kisah tentang “trial and error” yang aku lakukan
dalam aplikasi beasiswa.
Setelah 13 kali melakukan percobaan, aku akhirnya mendapat salah satu keberhasilan. Pepatah hingga kini belum berubah bunyinya “
dimana ada kemauan di situ ada jalan“.
Lantas, apakah kamu tidak mau menempuh jalan itu? “Trial and error”
bukan hanya milik anak burung yang sedang belajar terbang, manusia juga
boleh mencobanya.” Selamat berburu beasiswa!
Kisah ini ditulis di Berlin, sebuah kafe di Meulaboh. Aku tulis
kembali untuk mengingat segala jerih payah sehingga tiba di Berlin yang
sesungguhnya dan memberi sedikit motivasi kepada para pemburu beasiswa
lainnya.