WISATA RELIGI | Masjidil Haram: Kupenuhi Panggilan-Mu, Ya Robb…
Sekitar pukul sepuluh pagi kendaraan kami memasuki kota Mekkah Al Mukaramah. Doa pun didendangkan,“Allohumma haza haramuka wa’ ammuka faharrin lahmi wa dami wa sya’ri wabasyari’ alannar, wa aminiminazabika yauma tab’asu ‘ibadawaj’alni min uliya’ika ahli ta’atika.”
Ya Allah, kota ini adalah tanah haram-Mu dan tempat ini adalah tempat aman-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali hamba-Mu, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu.
Kepala Suku memberi tahu bahwa kami boleh transit dulu di Hotel Intercountinental, makan dan menyegarkan diri, sebelum memasuki Masjidil Haram untuk tawaf umrah. Barang-barang telah dikirim ke kamar masing-masing di Hotel Hilton.
Meskipun lelah luar biasa, ternyata daya magis Masjidil Haram sangat mempengaruhi jiwa semua jamaah. Terbukti semuanya ingin bersegera memasuki Masjidil Haram. Hanya beberapa menit saja untuk makan dan membersihkan diri, kami segera berkumpul di pelataran Intercountinental yang dibentangi karpet panjang, dan bisa langsung menuju Rumah Allah itu.
Sambil menanti semua jamaah siap, kukenang kembali saat umrah, aku pernah mengenal seorang petugas kebersihan berasal dari Cililin di Masjidil Haram. Karena sering bersua dan berbincang-bincang layaknya antar keluarga, kami jadi mengenal sedikit banyak keadaan masing-masing. Aku sampai mengucap janji, musim haji nanti aku akan kembali, mau oleh-oleh Cililinkah?
Anak muda yang mengingatkanku kepada putraku Haekal itu, hanya terkekeh dan mengatakan bahwa dirinya sudah senang, jika kelak dipertemukan lagi oleh Allah Swt. Meskipun musim haji ini, hingga pulang ke Tanah Air kami tak pernah bersua lagi. Mengenang hal itu air mataku menitik. Ini bukan mimpi, ini sebuah kenyataan yang sangat indah, gumamku membatin.
Dan kini, detik ini, saat mataku kembali menampak bangunan yang diyakini umat Islam menyimpan selaksa keajaiban itu, buncah sudah air mataku bahna terharu.
Aku tersentak dari lamunan oleh suara seseorang yang memberi tahu bahwa rombongan Sofitel, ternyata telah melakukan tawaf sejak subuh. Saat ini tentu mereka sedang rehat di Hotel Sofitel. Aneh, komunikasi via SMS dengan anak-anak SNADA, juga rekan-rekan jamaah lainnya seperti Ennike, mendadak berhenti total; ada apa nih?
“Waaa…subhanallah, lumayan jauh juga perbedaan waktunya, ya!”
“Tujuh jam kita uyek-uyekan di gurun sahara sana….”
“Apa kita banyak dosanya, ya?”
“Pssst, bukankah kita dilarang bergunjing? Ini lagi ihram loh!”
“Iya, sudahlah semuanya harus kita terima dengan ikhlas…”
Rombongan dibagi menjadi lima regu yang didampingi oleh dua orang muthowif. Reguku mendapatkan seorang muthowif yang sangat bagus dalam menjelaskan berbagi hal tentang Masjidil Haram, termasuk rukun-rukun haji dan keutamaannya. Suaranya pun lanntang, sehingga dapat diikuti oleh jamaah saat kami melakukan tawaf.
“Dek, Dek…siapa sih, namanya? Mau ya diambil menantu…kalau dirimu belum menikah geto loh,” ada saja yang menggpda Rosidi hingga wajah anak muda itu memerah dadu.
“Oh, bukan termasuk Bahrain bersaudara, ya? Jadi bukan KKN dong?”
“Aduuuh…ibu-ibu ini, ada-ada saja. Tak ada KKN di Tanah Haram, Bu, insya Allah…”
Kami bergerak memasuki Masjidil Haram. Nuansa Haji Akbar sudah terasa sekali. Manusia memenuhi pelataran, dan berdesak-desakan di pintu masuk. Wajah-wajah askar pun tampak serius sekali, terkesan sangat waspada, hingga melakukan sweeping dengan cermat dan ketat kepada setiap jamaah. Beberapa jamaah yang membawa ponsel atau kamera harus gigit jari dan kecewa. Barangnya baru akan dikembalikan setelah usai beribadah di Masjidil Haram.
Doa memasuki Masjidil Haram tidak lupa dibacakan oleh muthowif Rosidi: “Allahumma anatas-salam, wa minkas-salam wa ilaika ya’ uddus-salam fahayyina rabbana bis-salam, wa adkhinal ya zaljalali wal ikram. Allahumaftah li abwaba rahmatika. Bismillahi walhamdulillahi wassalatu wassalamu’ala rasulillah.”
Ya Allah, Engkau sumber keselamatan dan daripada-Mu jualah datangnya keselamatan dan kepada-Mu kembalinya keselamatan. Maka hidupkanlah kami wahai Tuhan, dengan selamat sejahtera dan masukanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan. Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau, wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan. Ya Allah, bukanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu. Aku masuk masjid ini dengan nama Allah disertai dengan segala puji bagi Allah serta salawat untuk Rasulullah.
Belakangan, setiap kali aku hendak memasuki Masjidil Haram, karena harus berjuang keras, berdesak-desakan, acapkali terjebak lingkaran yang sangat-sangat crowded, terpaksalah doanya tidak sepanjang dan selengkap itu. Meskipun buku doanya ke mana-mana setia menggantung di leherku, berikit ID-Card. Tidak memungkinkan berdoa panjang, kalau tak ingin disikut sana-sini oleh pasukan tinggi besar itu. Jika kita berlama-lama di pintu masuk, niscaya akan ditegur askar, selain menghalangi jalan orang lain juga boleh jadi bikin macet lalu-lintas para jamaah.
Matahari semakin bergerak ke titik kulminasi, tapi cuacanya hangat dan sangat bersahabat. Ada arak-arakan mendung dari arah selatan sana. Kucermati berbagai hal menjelang Kabah… Dan akhirnya!
“Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa kepada Baitullah, Kabah ini. Dan tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kebaikan.”
Rosidi memimpin dengan doa demi doa, setiap putaran yang dibaca mulai dari Hajar Aswad sampai Rukun Yamani. Semuanya harus tujuh putaran. Setiap kali melintasi Rukun Yamani, kita disunahkan mengangkat tangan dan melambaikannya seraya berseru; “Bismillahi wallahu akbar!”
Di antara Rukun Yamani dengan Hajar aswad kita membaca; “Robbana atina fiddunya hasanatun wafilakhirati hasanatanwaqina azabannar….”
Ini biasa disebut juga sebagai doa sapujagat. Dan bila kita tak bisa mendengar doa muthowif, sepanjang tawaf tidak mengapa jika hanya menggumamkan doa sapujagat ini. Bahkan doa apapun, doa yang isinya kita pahami. Sungguh Allah Maha Tahu, apa yang kita ingini!
Formasinya para suami menjaga istrinya masing-masing. Para perempuan lansia dan masih lajang disatukan di bagian tengah. Di depan ada barisan anak-anak muda dan bapak-bapak, demikian pula di belakang ada barisan para bapak yang siap menjadi tameng.
Kuminta keikhlasan Iqbal dan Lukman SNADA untuk menjadi pegangan diriku. Maksudku, tangan-tanganku acapkali menempel di punggung kedua anak SNADA itu. Acapkali pula keduanya membentengi diriku dari dorongan manusia yang dari menit ke menit semakin melaut, menggelombang….
“Anggap aku ibu kalian, ya anak-anak,” pintaku.
“Iya, Teteh Emaaak,” sahut Iqbal dan Lukman terdengar ikhlas.
Pada kenyataannya, semua anggota rombongan ternyata solid sekali. Bila ada salah seorang mengalami kesulitan, maka segera dibantu ramai-ramai. Tak peduli siapa yang kesulitan, dan siapa yang membantu. Ya, saling bahu-membahu, kompaaak!
Bila ada rombongan lain berusaha menembus barisan kami, maka semuanya sama merapatkan barisan, sehingga sulit untuk ditembus. Namun, ketika ada beberapa jamaah Indonesia yang tercecer dan kesulitan, maka serempak pula jamaah Cordova pun spontan memekik: “Biarkan, biarkan lewat, saudara kita sendiri!”
“Ya, Indonesia…Indonesia….Merdekaaa!”
“Pssst, sudah lama merdekanya sih….basi tauuuk!”
“Tuuul! Mendingan juga… Allahu Akbaaaar!”
Kami melakukan tawaf di bawah tanpa banyak rintangan. Diusahakan untuk melakukan sholat dua rakaat di Maqom Ibrahim dan Hijir Ismail. Namun, sekali ini, sungguh tak memungkinkan mencapai kedua tempat tersebut. Bahkan Hijir Ismail, entah sejak kapan, sudah dinyatakan tertutup, dijaga oleh para askar. Akhirnya kami sholat dan berdoa khusuk di depan Multazam.
Di sini kulihat hampir semua jamaah mencucurkan air matanya. Mereka sama menyampaikan doa, harapan dan keinginan masing-masing. Maka, selain kusampaikan doa pribadiku, tak lupa kusampaikan doa titipan anak-anak, menantu, ibu dan saudara-saudaraku, para tetangga, sahabat, handai-taulan…
“Ini air zamzamnya, Teteh,” seorang jamaah menyodorkan air zamzam yang kusambut dengan sangat terharu.
“Terima kasih, Neng, semoga Allah Swt memberkahi dirimu,” ujarku.
Berderaian air mataku saat kusampaikan doa ingin kesembuhan, dan kesehatan. “Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, hamba mohon perkenan-Mu, ya Robb. Sembuhkanlah, sehatkanlah badan, jiwa dan raga hamba ini. Hamba mohon hilangkanlah sejak saat ini segala penyakit di dalam tubuhku…”
Kemudian melanjutkan ibadah rukun haji dengan sai. Kami mengawalinya di lantai atas, bukit Safa hingga bukit Marwah. Anda jangan membayangkan ada dua bukit sesungguhnya di areal Masjidil Haram ini, seperti sering dibayangkan oleh orang yang belum pernah berhaji. Demikian pula yang terpeta di benakku sebelum umrah. Nah, kedua tempat yang dimaksud hanyalah berupa gugusan ubin lebih tinggi dibanding lantai di bawahnya.
Sesungguhnya jika tidak disertai gelombang manusia, niscaya kita akan bisa melakukan lari-lari kecil dengan santai. Ini tempat yang nyaman dengan atap yang melindungi kepada kita dari sengatan matahari, bahkan dipasangi AC di berbagai sudut. Sungguh tidak sama situasinya tatkala Siti Hajar dahulu melakonimua di tempat yang sama.
“Ini simbol perjuangan seorang ibu, Siti Hajar yang berlari-lari mencair air untuk bayinya, Ismail, antara bukit Safa dengan bukit Marwah,” suara muthowif Rosidi terdengar di antara suara-suara dan doa-doa jamaah lainnya.
Suasana di sini tampak semakin crowded.
Manusia begitu melimpah-ruah, bagaikan gelombang yang silih berganti menggulung-gulung dari segala penjuru mata angin. Untuk mencapai satu kali putaran pun dibutuhkan tenaga ekstra, termasuk kesabaran yang pantang ada putusnya itu.
“Bagaimana keadaan di atas sana?” tanyaku ingin tahu kepada seorang muthowif yang baru kembali dari lantai dua.
“Wuaaah… Bu! Lihat tuh, coba aja tengadah ke atas sana, Bu Pipiet. Mingkin crowded!”
“Nah kan? Crowded yah… rasanya makin sering aja nih istilah kudengar,” komentarku menahan tawa, dan kembali berusaha fokus menyelesaikan putaran demi putaran.
Beberapa jamaah yang melintas di sebelah-menyebelahku, sempat kucermati. Aneh sekali, rasanya banyak pasangan jamaah belia, terutama yang bertampang Arab pakistan. Karena penasaran, beberapa sempat kutanya juga dalam bahasa Inggrisku yang hancur. Benar, 17 dan prianya 18-an. Mereka mengingatkanku kepada Haekal dan Seli.
“Ya Allah, hamba mohon, berilah kesempatan kepada anak-anak dan menantuku, limpahilah mereka rezeki-Mu….Undanglah mereka menjadi tamu-Mu, ya Rabb,” gumamku sambil berderai air mata.
Dan aku menerima pemandangan ini sebagai hadiah dari sang Khalik. Bahwa di era globalisasi ini (sering dijadikan kambing hitam!) bukan hanya diriku yang pernah merestui putranya untuk menikah di usia remaja. Banyak, ternyata masih banyak ibu yang lain di belahan dunia sana, mengizinkan putranya menikah dalam usia 18-an.
Maka, sekilas aku pun sempat terkenang kembali akan perjuangan putraku, dan Seli dalam mewujudkan cita dan cinta mereka menuju pelaminan.
Brasil (Brazil). Siapa yg tidak tau negara ini? Negara dg tim sepakbolanya yg super, negara dg pantai2 nya yg luar biasa indah, negara yg terkenal dg goyang samba yg menggairahkan. Tidak pernah mimpi apalagi terpikir aku bisa nyasar kesana, tapi saat itu ada kesempatan yg sayang kalau ditolak, maka berangkatlah aku untuk nguli (jadi Kuli) di Brasil. Berangkat dr CKG pake JAL ke Narita sekitar 7 jam an, disambung pake AA ke Dallas sekitar 12 jam an, karena tidak punya Visa US, maka aku masuk dalam ketegori TWOV, transit without Visa dan harus “dikurung” selama 6 jam an disuatu ruangan yg cukup besar di Dallas Fort Worth Airport. Untung aku nggak sendirian … kemudian naik AA lagi ke Sao Paulo 10 jam an ….. wuih jauh banget ya! Sampek mblenger naik pesawat nya.
Turun dr pesawat aku tidak merasa terlalu asing di negara ini, saat itu January, puncak musim panas di Sao Paulo yg panas sama spt Jakarta. Suasana di Guarulhos (bandaranya Sao Paulo) juga mirip2 Jakarta, kusam, tua dan tidak menarik (sebenarnya CKG lebih menarik, tp kumuhnya itu lho!). Naik mobil jemputan satu jam ke arah utara lewat freeway, suasana jalanan juga mirip tanah air tercinta, cuma kondisi jalan raya jauh lebih baik.
Sampai di hotel yg sdh disediakan aku disambut temen2 dan diajak makan siang di Mall sebelah hotel ……. suasananya juga nggak terlalu asing lah, kecuali satu. Pakaian cewek2nya luar biasa menantang. Saat itu model pamer udel sdg trend, jadi dimana mana udel2 pada berkeliaran, ditambah dg model celana panjang hipster yg seolah2 melorot itu, makin tambah lher! Malahan suatu ketika aku melihat cewek yg, minta maaf, kelihatan rambut2 halus dibawah udelnya, ada yg hitam dan ada yg pirang. Temanku terbahak bahak saja melihat mataku yg liar kesana kemari :P
Model pakaian begitu ternyata juga dipake dikantor, saat bikin badge untuk nguli, cewek yg melayani bikin badge udelnya kelihatan , hmm putih mulus, …. juga saat jalan masuk ketemu sama juragan …ada beberapa karyawati pamer udel. Hmm…. bisa betah banget aku nguli disini :D
Karena Brasil bukan Malaysia, apalagi USA, maka pak Dubes punya banyak waktu untuk ketemu kuli2 Indonesia. Beliau jauh2 dr Brasilia, ibu kota yg dibangun ditengah hutan dan berjarak ribuan km dr kota tempat aku nguli, hanya untuk ketemu kita2. Acaranya ramah tamah, makan2, ngasi wejangan gimana agar bisa hidup tenang dan aman di Brasil. Dg wajah serius pak Dubes memberikan petuahnya. Ada 3 hal yg harus dihindari bila anda pengen hidup lama di Brasil:
1. Jangan pernah melarang Sepak Bola, demo anti sepak bola, kampanye anti sepak bola ….. bisa dibayangkan dahsyatnya kerusuhan/revolusi sosial yg terjadi kalau ada yg nekat melarang sepak bola. Sebagai ilustrasi, di Brasil banyak lapangan umum yg dipake main bola, juga ada banyak FutSal, Futebol de sala, sepak bola dalam ruang. Walaupun namanya Futsal, tapi banyak nya malah terbuka alias tidak ada atapnya. Mereka main sore sampai malam, disaat libur main dimulai dr pagi. Pernah sekitar jam 3 pagi aku kaget terbangun dr tidur di Apt Lt 10, ada keributan diluar! Banyak yg teriak! Wah ada apa nih? Saat melongok keluar …. ternyata ada yg main bola jam 3 pagi dilapangan umum depan apatemen dg lampu seadanya! Gila! siapa sih mereka? Dari info petugas apto (apartemen) mereka adalah karyawan cafe terdekat yg barusan habis jam kerjanya dan sebelum pulang, main bola dulu!
2. Jangan pernah melarang Carnaval. Tau kan Carnaval yg sering ditampilakn di TV itu? Cerita tentang karnaval ini bisa panjang sekali. Pokoknya inilah saat rakyat Brasil berpesta seminggu penuh, minum bir, sex, nyanyi dan nari sepanjang minggu! Ada dua tipe karnaval yg aku tau, yaitu Carnaval model Bahia, dg pusatnya di kota Salvador. Ini pesta untuk kaum muda dan tidak semewah model Rio. Tapi kelihatannya lebih intens dr pada Rio. Yg kedua model Rio, yg mewah, glamor, pake organisasi yg rapi dan diperlombakan setiap tahunnya. Carnaval ini biasanya diadakan akhir February, sekitar 40 harian sebelum Paskah. Ada humor yg cukup populer diantara orang2 Brasil: apakah mereka “anak hasil dr carnaval”? Jika mereka lahir kira2 9 bulan setelah Carnaval maka orang tsb bisa habis di olok2 oleh teman2 yg lain. Libur carnaval ini libur besar. Libur Natal, apalagi Tahun baru nggak bisa dibandingkan dg ini. Nanti saja kalau ada kesempatan aku cerita lebih detail ttg karnaval ini. Oh ya mayoritas org Brasil, resminya adalah penganut Katolik.
3. Jangan melarang orang untuk selingkuh! Baik perempuan atau laki2 , nah!! Aku nggak tau apakah pakDubes guyon atau serius, tapi wajahnya saat itu lumayan serius. Kultur Brasil mmg sangat permisif, punya anak diluar nikah adalah biasa. Pacaran didepan umum biasa saja. Pernah aku antri tiket SubWay di Sao Paulo, didepanku sepasang muda mudi ciuman dan berpelukan sangat liar + bunyi yg sangat mengganggu tanpa ada yg menegur. Saat antri mau naik lift juga begitu, santai ciuman penuh nafsu didepan orang2 tanpa malu sama sekali. Kata salah satu temanku, kalau orang tua punya cewek remaja dan punya pacar, maka mereka dianjurkan untuk pacaran kamar rumah, sekalian diberi kondom. Kenapa? Pemuda/pemudi Brasil tidak mungkin bisa dilarang pacaran. Nah kalau diluar rumah justru tidak bisa diawasi, bisa berbahaya. Lebih baik dirumah, bersih dan aman …. begitu katanya …..
Ok sudah segitu dulu, ntar bosen krn terlalu panjang. Oh ya saat ketemu Dubes, kita juga ketemu Atase Pertahanan RI saat itu, kolonel TNI AU, yg ternyata adik kandungnya pak Syafrie Syamsuddin yg keren dan top itu. Modelnya persis dg pak Syafrie ….
Salam samba(*_*)
Saya sejak pertengahan November pindah ke Vietnam dan tinggal di kota kecil di kaki gunung Fansipan, yang bernama Sapa. Sapa merupakan bagian dari Lao Cai province di Vietnam Utara yang berbatasan langsung dengan China.
Perjalanan dari Hanoi ke Sapa lewat Lao Cai ditempuh selama 8 jam dengan menggunakan kereta api dan 1 jam dengan mobil.
Kereta api adalah mode transportasi nasional yang masih diminati karena memang terebatasnya jumlah airport di Vietnam.
Vietnam Railway Company, sebagai pengelola pusat perkeretaapian di Vietnam, menyewakan gerbong-gerbongnya ke perusahaan-perusahaan swasta untuk menjalani trayek-trayek tersebut.
Hampir semua perusahaan kereta api yang menjalani perjalanan dari Hanoi ke Lao Cai menyediakan comaprtment (bilik) untuk tidur. Ada 2-berths compartments / deluxe dan 4-berths compartments / superior.
Kereta-kereta yang menjalani trayek Hanoi – Lao Cai mempunyai nama yang unik: Fanxipan, Pumpkin, Victoria Express Train dan lain-lain.
Pada tanggal 16 November malam, saya berangkat ke Sapa menggunakan Victoria Express Train dari Stasiun Besar Hanoi (Ga Hanoi – 120 Le Duan street). Kereta api berangkat pukul 21:55.
Victoria Express Train ini terdiri dari 2 gerbong penumpang dan 1 gerbong makan yang dilengkapi dapur. Masing-masing gerbong terdiri dari 52 tempar tidur/berths dan 2 buah toliet di tiap ujungnya. Di gerbong makan ada 18 meja dan bar. Semua makanan dibuat a’la minute.
Bagi saya yang sudah biasa naik kereta, perjalanan dilalui dengan tidur nyenyak. Tidak terganggu sedikitpun. Walaupun ear-plug disediakan di tempat tidur, bersama-sama dengan satu kantong rajutan traditional H’Mong yang berisi handuk, pasta gigi, dan sikat gigi serta air mineral untuk setiap penumpang.
Masyarakat Minoritas H’Mong mendiami daerah Sapa sejak pecah perang kolonial dengan Perancis. Kaum H’Mong adalah orang gunung (Perancis: Montagnard). Mereka tinggal di gunung-gunung dan bekerja sebagai petani dan pengrajin tenunan. Setiap minggu mereka turun gunung ke Sapa untuk menjual hasil bumi dan rajutan/tenunan.
H’Mong bisa dikelompokkan sebagai penduduk asli Vietnam. Dan bahasa mereka pun lain dengan bahasa Vietnam. Walaupun sekarang mereka mau berbicara bahasa Vietnam.
Setelah berhenti di Yan Bai, daerah pertengahan menjelang Lao Cai, untuk mengisi air bersih dan membuang sampah-sampah, kereta Victoria Express tiba di Lao Cai pagi hari pukul 0615. Begitu turun, hawa pagi yang dingin menyelimuti kota. Stasiun Lao Cai adalah stasiun sederhana yang sibuk sekali pagi itu, karena begitu banyak kereta yang tiba dari Hanoi.
Saya bertanya kepada penjemput saya, apakah Sapa sedingin ini? Dia hanya tersenyum. Jawab dia, ini sih belum seberapa.
Sebelum berangkat menuju Sapa, saya sarapan pagi di warung Pho disekitar stasiun. Di Jakarta memang banyak restaurant Pho. Restaurant ya. Di Lao Cai (atau di Vietnam), Pho (baca: fe, seperti felangi) itu adalah makanan rakyak kebanyakan. Pho Bo itu beef noodle, dan Pho Ga (baca: gha) itu chicken noodle.
Mie nya lebar, tapi tidak selebar kwe tiau. Putih bersih. Ukuran bowl nya besar, ada daun parsley sehinggal wangi. Di meja sudah disediakan lemon dan cabe merah dengan cuka. Lemon disediakan bagi yang mau lebih asam lagi. Segar sebagai sarapan di pagi hari.
Setelah makan pagi, perjalanan dilanjutkan ke Sapa. Jalan menanjak selama kira-kira sejam ditempuh dengan kecepatan medium. Kabut tebal mulai menyelimuti perjalanan. Ketika itu, ada satu bagian perjalanan yang harus berhati-hati karena ada pembangunan jalan yang rusak akibat longsor. Selebihnya, lancar jaya.
Setiba di Sapa, kabut menutupi seluruh bagian kota. Kota ini tidak besar sama sekali. Hanya ada satu alun-alun, satu danau, dan satu pasar. Dengan ketinggian 1,600 meter diatas permukaan laut, Sapa menjuluki dirinya sebagai les Alpes du Tonkin atau The Tonkin’s Alps.
Entah apakah ini hanya perasaan saya, atau memang kenyataan, napas terasa berat. Jalan kaki terasa lebih cepat lelah. Tapi setelah aklimatisasi selama sehari, semua berangsur lebih baik.
Cuaca di Sapa memang selalu dingin. Terutama di bulan-bulan ini, dimana suhu minimum bisa mencapai 8 – 10 derajat Celsius.
Untung, dengan bantuan Oom Google dan Tante Wiki, saya sudah mempersiapkan jaket yang pernah saya pakai di China dua tahun yang lalu.
Pusat kota adalah alun-alun dan sebuah gereja Katolik yang masih berfungsi. Gereja Maria Putri Rosari ini masih aktif. Setiap minggu masih ada misa dan setiap jamnya masih mendentangkan lonceng gereja. Disektiar gereja, kalau malam, ada warung barbeque (nu’ong, baca: nu-eung). Berjejeran warung menjajakan barbeque nya. Tentunya Vietnamese style. Meja dan kursi pendek. Tidak lupa rice wine-nya. Rice wine ini mirip dengan arak Singaraja. Kami para expat, menyebutnya sebagai petrol. Karena rasa dan bau yang mirip bensin premium.
Demikian sekilas mengenai Sap oleh Andreas Lelanoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar