Kabur ke Inner Mongolia
Lagi enak-enaknya jalan-jalan di Beijing di bulan Oktober 2009, tiba-tiba saya terima surat yang nyelip dari kolong pintu kamar hostel. Surat itu berasal dari pemerintah China yang menyatakan bahwa dalam 3 hari ke depan semua tamu hostel dilarang keluar gedung dengan alasan keamanan negara! Ah, gila sekali, saya berasa jadi tahanan rumah! Masa udah jauh-jauh ke Beijing saya disuruh bobo di kamar selama 3 hari? Saya lalu kasak-kusuk dengan tamu-tamu hostel lain. Dasar bule banyak waktu, sebagian mereka cuek aja. Sebagian lain segera merencanakan cabut ke kota/negara lain.
Saya dan Yasmin pun ikutan pasang strategi. Pertama ke warnet untukbrowsing tempat kabur. Sialnya website yang kebuka kok ya banyakan karakter Cina sampe nggak bisa beli tiket online. Saya baru sadar kalau di China facebook dan twitter di-ban! Secara visa China cuma single entry, berarti kami hanya bisa cabut ke kota lain. To make it worse, saat itu lagi musim liburan besar di China dimana semua orang pulang kampung kayak Lebaran. Saya pun keliling travel agent untuk cari tiket pesawat, sementara Yasmin nongkrongin stasiun kereta api. Buset, alat transportasi publik dari Beijing ke luar kota semua fully booked! Strategi selanjutnya adalah pergi ke tempat yang nggak ngetop di China. Pilihan pun jatuh ke kota Hohhot karena cuma itu tiket pesawat yang tersedia dan terjangkau naik Hainan Airlines. Saya sampe ngakak guling-guling karena lambangnya maskapai Hainan ini adalah gambar seekor ayam berwarna merah digeprek jadi penyet! Duh, nggak kebayang nama maskapai yang mengingatkan saya akan “nasi hainan” ini keamanannya kayak apa, yang penting bisa segera keluar dari Beijing.
Hohhot adalah ibukota Inner Mongolia, sebuah propinsi di China utara yang berbatasan dengan negara Mongolia. Dulunya Inner dan Outer Mongolia (negara Mongolia) bersatu di bawah pimpinan Jengis Khan dan Kublai Khan, tapi sejak tahun 1921 si Outer jadi negara merdeka karena di-backing USSR. Kalau di China biasa lihat foto Mao dipajang di mana-mana, di Inner Mongolia malah foto Jengis Khan. Secara garis besar, orang Mongol di Inner (hanya 20% dari total penduduknya) dan Outer ya sama aja budayanya. Mereka suku yang hidup nomaden di padang rumput luas sambil naik kuda liar. Bahasa keduanya sama, tulisannya mirip sisir. Saya pun jadi semangat ke sana, soalnya belum kesampean pergi ke negara Mongolia. Jadi “KW2”-nya pun oke lah.
Hohhot dalam bahasa Mongolia berarti “blue city”. Nama itu bener banget karena warna langitnya sangat biru-ru-ru tanpa awan sama sekali. Bila di Beijing aja udah mati gaya nggak bisa berkomunikasi, di Hohhot tambah parah lagi karena bahasanya beda. Untuk nginep di hotel sana harus cari yang punya lisensi “menerima tamu asing”, tapi semua staf hotel tidak bisa berbahasa Inggris. Maka cari makan, naik bus, beli tiket, dll, semua pake bahasa Tarzan. Tak banyak yang bisa dilakukan di Hohhot. Yang paling menarik adalah Inner Mongolia Museum yang gede dan keren banget. Sisanya kami luntang-lantung di kota dan nongkrong mratiin orang-orang di taman.
Supaya nggak repot mikir mau ngapain, hari selanjutnya kami ikut paket tur ke Grasslands. Memang sih tur ini turis banget, tapi kami tidak punya pilihan. Di Hohhot garing, sementara ke Grasslands nggak mungkin pergi sendiri. Dalam serombongan yang orang asing cuman kami dan 2 orang Perancis, sisanya orang-orang China entah dari mana. Sampe di daerah Baotou, widih.. pemandangannya bener-bener spekakuler! Sepanjang mata ya dataran rata padang rumput, nggak ada pohon sama sekali. Sesekali terlihat sekawanan kuda dan sapi.
Namanya juga paket yang udah didesain untuk turis, begitu datang kami disambut dengan tari-tarian Mongol dan ditenggakin minuman tradisional yang beralkohol. Makan siang diadakan di dalam sebuah tenda besar, menunya berupa nasi, sayuran, dan kambing rebus yang diletakkan di tengah meja dan harus berbagi sama tamu-tamu lain. Aktivitas selanjutnya nonton pertunjukan gulat Mongol antar para lelaki muda yang saling mendorong. Dilanjut dengan nonton balapan kuda.
Lalu kami pun menyewa kuda untuk berkeliling. Si pemilik kuda mengajarkan cara naik kuda dan cara memerintah kuda… dalam bahasa Mongol! Susah payah saya menghapal bahasa Mongol untuk “belok kanan, belok kiri, lari cepat, lambat, berhenti” soalnya satu orang naik satu kuda sementara si bos ngacir entah ke mana. Untung jalannya sudah ada path, jadi tinggal ngikutin jalan tanahnya aja. Pemandangan masih berupa rumput, semak-semak, beberapa kompleks yurt(tenda orang Mongol terbuat dari kain putih, dari jauh mirip bakpao) dan tiang pemujaan yang dipenuhi bendera warna-warni.
Tiba-tiba langit mendung dan hujan turun. Kami singgah ke “Perumnas” orang Mongol yang rumahnya sudah terbuat dari tembok bata. Di dalam rumah sebuah keluarga, kami disuguhi susu kambing dan kue kering yang terbuat dari susu kambing. Saat saya izin ingin ke toilet, haa.. ternyata mereka tidak punya toilet! Saya perhatikan bentuk rumahnya, ya iya sih cuma kotak gitu doang, nggak ada kamar tidur, apalagi kamar mandi. Si pemilik rumah pun menunjuk-nunjuk padang rumput. Jiaah, pipis di padang rumput kan kelihatan dari segala arah. Mau ngumpet di mana coba?
Kembali ke tenda besar, kami makan malam (lagi-lagi kambing rebus yang prengus) sambil nonton tari-tarian tradisional. Kelar makan, dilanjutkan acara nyanyi diiringi dengan ortung (organ tunggal). Duh, mulai deh tu tamu-tamu Cina berebutan nyanyi. Ada satu bapak-bapak kekeuh nyanyi terus padahal fals nggak ketulungan sampe si Yasmin melempar si bapak pake sumpit!
Malam itu kami berdua menginap di sebuah yurt yang hanya memiliki 1 pintu dan tidak berjendela. Karena terletak di tengah padang rumput, kawanan sapi dan kuda cuek aja lewat-lewat di depan tenda sampe kadang ngagetin karena tiba-tiba mengendus di sebelah kami. Di dalam yurt, ya hanya ruang kosong aja yang alasnya ditumpuk selimut-selimut tebal. Menjelang malam, temperatur drop menjadi 2°C! Ngomong pun jadi berasap kayak di “AC Milan”, saking dinginnya. Nah, tinggal di dalam tenda kain di tengah padang rumput yang luas tanpa pohon.. tentu bikin angin bablas masuk sampe gigi kami bergeretak menggigil. Dan di malam yang dingin dan sepi ini pun kami main gaple sambil diliatin muke Jengis Khan yang tergantung di dinding.
It’s not bad after all… Tapi dari pengalaman ini, saya kok jadi kurang tertarik untuk mengunjungi negara Mongolia ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar