Di Tepi Sungai Musi
REP | 30 March 2011 | 12:0767 7 NihilPALEMBANG bukan sekadar sebuah kota pempek bagi saya. Saya tinggal 2 tahun di kota yang indah ini, 1971-1972, menamatkan SMA dan sempat kuliah setahun di Universitas Sriwijaya. Karena itu saya boleh mengklaim menjadi “Wong Kito”!
Terang banyak teman-teman lama yang saya temui, setiap ada kesempatan berkunjung ke kota yang dibelah Sungai Musi ini. Kami bernostalgia.
Pada masa dulu memang terasa kota ini memiliki dinamika ekonomi yang baik. Maklum, sejak dulu sampai puncak masa keemasannya Bumi Sriwijaya kaya dengan minyak, gas dan batubara. Kilang minyak Plaju dan Sungai Gerong pada zaman itu mentereng, tertata rapi seperti perkampungan di Amerika saja.
Pada tahun 2002-2006 saya sering datang ke kota ini. Saya membantu mempromosikan potensi Sumsel yang tidak saja kaya di bidang energi batubara, tetapi juga potensinya menjadi lumbung pangan nasional.
Sempat saya menyusuri Sungai Musi sampai ke muaranya di Tanjung Api-Api, Selat Malaka. Ketika itu sedang digalakkan pembangunan jalur kereta api Palembang – Tanjung Api-Api, pelabuhan laut dalam dan sentra-sentra pertanian.
Pada setiap kesempatan berkunjung ke kota yang telah jauh berubah maju ini saya menyempatkan waktu untuk napak-tilas: Jembatan Ampera, stasiun 16 Ilir, Jalan Sudirman, kampus Universitas Sriwijaya di Bukit Besar, Kuto Besak dan tempat menarik lainnya.
Kota ini rajin menjadi tuan rumah event-event nasional dan bahkan internasional. Sukses dalam Pekan Olahraga Mahasiswa (POM), Pekan Olahraga Nasional (PON), kini Palembang bersiap untuk menjadi tuan rumah SEA Games.
Tidak mudah tentu bagi para teman-teman di Palembang untuk bekerja keras menyukseskan event yang bisa membawa harum nama bangsa. Karena itu kita perlu mendukungnya, dalam kapasitas apa pun.Palembang akan maju setapak lagi, meninggalkan kota-kota lainnya yang masih bergelut dengan masalah-masalah internal tak-berkesudahan.
Di sisi lain: perubahan memang sempat membuat saya merasa asing, tetapi saya menyadari untuk maju kota di era otonomi daerah harus mau berubah dan menata diri.
Untuk menikmati kuisin Palembang kini telah banyak restoran dan warung pinggir jalan. Sesekali saya menikmati sup ikan Patin dan ikan Belido di restoran Sri Melayu.
Tidak lupa, anak saya selalu berpesan sebelum pulang ke Jakarta untuk membawa oleh-oleh pempek dan mi celor yang maut itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar