link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Kamis, 31 Maret 2011

Octopus Card


[Catatan Perjalanan] Hong Kong - Ada Octopus yang Menggurita

REP | 22 February 2011 | 17:05157  Nihil

Saya bukanlah orang kaya yang banyak duit untuk pelesiran. Saya bukanlah pejabat pemerintah yang mengharuskan untuk dinas luar negeri. Saya bukanlah anggota dewan yang ‘mengharuskan diri’ untuk studi banding. Saya juga bukan koruptor yang ke luar negeri untuk bersembunyi. Saya hanyalah seorang enjiner produksi dalam negeri, yang hanya karena ‘kecelakaan’ bekerja di perusahaan swasta asing dan “secara kebetulan” mendapatkan beberapa kesempatan bekerja di kantor cabang di negara lain untuk jangka waktu tertentu. Itulah mungkin kenapa saya tidak terlalu mempermasalahkan jika ada orang memanggil saya TKI.
Artikel seri Catatan Perjalanan ini sekedar merangkum pengalaman saya terutama berkaitan dengan beberapa hal istimewa yang tidak atau belum saya temui di negara kita.
—-****—-
Jika saya mendengar nama Hongkong disebut orang, satu hal yang ada di benak saya langsung adalah public transportasinya yang bagus, dengan networknya yang menjangkau segala daerah dan rambu-rambu dan penjelasannya yang informatif.
Kereta – MTR dengan pemberitahuan tiga bahasa
Berjenis-jenis moda tranportasi ada. Sebut saja kereta listrik AC nyaman dengan frekuensi yang cepat dan tepat waktu serta dengan network yang lengkap: utara, selatan, barat, timur, bahkan tenggara, daya dan laut. Ada yang di atas bumi dan ada yang dibawah permukaan, baik darat dan laut, pusat kota maupun pesisian. Rambu-rambu serta informasi visual dan verbal sangat mudah didapat, lengkap dengan tiga bahasa – Cina, Kanton dan Inggris.
Minibus kecil
Bus normal dan double decker
Star ferry, menyebrangi selat, dari HK daratan ke pulang Hong Kong
Tram – pelan tapi mengasyikan
Mau berkendara dengan bis? Bis model mikrolet atau bis tingkat dua pun ada. Naik taksi? No problem. Naik ferry? Star ferry cukup indah dinikmati. Tram? Jalannya pelan tapi mengasyikkan.
Dengan transportasi yang begitu gampang, ada satu lagi sarana yang membuat berkendaraan umum di Hongkong mengasyikan. Itulah kartu debit Octopus.
Octopus Card
Jauh sebelum BCA mengenal BCA Flash, dan sepuluh tahun sebelum Singapur mengenal EZ Link Card, Hongkong telah menggunakan kartu seperti itu, sebuah kartu yang bisa kita isi dengan duit kita – tentunya HK dolar, dengan nominasi yang kita inginkan. Setiap memasuki stasiun kereta atau fery, atau di pintu masuk dalam bis atau tram, kita tinggal menempelkan kartu itu – atau dompet jika kartu dimasukkan ke dompet, ke alat yang ada. Dengan otomatis kartu debit tersebut akan berkurang nominalnya.
Mesin pengisi Octopus card
Dengan adanya kartu Octopus itu, pergerakan orang lebih mudah, tidak akan terjadi kemacetan di pintu keluar stasiun dan tidak mungkin orang yang tidak bayar – bonek – bisa menaikinya. Kemudahan juga didapatkan pada saat mengisi ulang kartu tersebut, yang bisa diisi pada mesin otomatis yang banyak tersedia di Stasiun Kereta, sehingga tidak akan banyak antrian di loket.
Octopus card juga bisa dipakai di kiosk seperti ini
Yang lebih menarik dari kartu ini adalah dapat digunakannya kartu ini tidak hanya untuk berkendaraan umum. Mau beli air minum kemasan di kantin 711? Pakai Octopus. Mau belanja bulanan di supermarket Park and Shop? Pakai Octopus. Mau beli perangko atau SIM card? Pakai Octopus. Tentunya semuanya jika kita mempunyai dana di kartu itu. Karena penggunaannya yang luas dan menjangkau segala hal, itulah mungkin kartu itu dinamakan Octopus: menggurita. Hanya pedagang kaki lima dan pengemis saja mungkin yang tidak menerima Octopus.
Ternyata orang Hongkong mempunyai solusi efisiensi yang begitu canggih. Masuk akal jika transportasi publik di sana menjadi vital, dan setidaknya mengatasi kemacetan parah di jalanan.
Soon, positif saja lah. Insya Allah kita akan memiliki sarana yang efisien seperti itu, jika – dan hanya jika – pemerintah berpikir jernih, lurus, profesional yang tidak terkontaminasi kepentingan sesaat, kepentingan politik dan golongan. Insya Allah.
Cag, 22 Feb 2011
http://rifkiferiandi.wordpress.com

Visa kerja dengan majikan baru


Perjuangan Seorang BMI Hong Kong Demi Mendapatkan Haknya: Antara Peraturan & Hukum Dengan Kenyataan

REP | 26 July 2010 | 06:00215 48  6 dari 6 Kompasianer menilai Bermanfaat

Foto: Indonesian Migrant Workers Union
Prolog:
Peraturan Ketenagakerjaan dan Hukum yang berlaku di Hong Kong sesungguhnya sangat berpihak dan melindungi kaum BMI. Banyak juga BMI kita yang telah ditolong dan dilindungi oleh Pemerintah Hong Kong dari ketakadilan atau kekejaman yang diterima baik dari majikan maupun agen. Berikut adalah pengalaman Yana, seorang aktivis, volunteer dari Dompet Dhuafa Hong Kong. Dia sering membantu teman-teman BMI yang sedang tertimpa masalah.
Yana menuturkannya sbb;
Hukum di Hong Kong diatur demikian jelas, termasuk bagi nakerwan yang bekerja di sektor rumah tangga. Siapaun yang melanggar baik majikan maupun pekerjanya akan mendapat hukuman yang tidak ringan. Perlu diketahui oleh para BMI bahwa jika ketahuan dipekerjakan selain di sektor rumah tangga, ia akan di-black list dan tidak diizinkan bekerja lagi di Hong Kong.
Pada kenyataannya, di lapangan masih banyak terjadi pelanggaran. Sebagaimana dialami oleh Yati yang dipekerjakan pabrik pembuatan sambal di daerah Stuen Wan. Yati menerimanya begitu saja, karena tidak mengetahui urusan hokum dan peraturan yang berlaku di Hong Kong. Selain itu ada kendala dalam komunikasi alias belum paham berbahasa Kanton.
Hampir satu setengah tahun Yati bekerja di pabrik itu, menerima gaji sebesar $2200 dan mendapat libur satu kali dalam satu bulan. Belakangan Yati mendapat informasi bahwa pekerjannya ini sangat mengandung resiko. Teman-teman yang dijumpainya saat libur menganjurkannya untuk kabur, dan menyewa pengacara Indonesia yang berada di kawasan Causeway Bay.
Berita tentang rencana Yati terdengar di kalangan saudara-saudaranya yang bekerja di Hong Kong. Salah satu saudaranya mengenal saya dan menceritakan masalah yang sedang dihadapi Yati. Saya sarankan untuk merekam pembicaraan dengan majikan saat menerima gaji, dan menanyakan kenapa setiap ingin libur lebih dari satu kali gajinya selalu dipotong?
Rekaman itu bisa dijadikan bukti. Selama ini Yati selalu menandatangani kertas kosong setiap menerima gaji. Setelah dirasa cukup memiliki bukti kuat berupa rekaman, pertengahan Oktober 2009, Yati memutuskan untuk meninggalkan rumah majikan menuju Jordan untuk meminta bantuan.
Setelah melakukan laporan, pihak Cristian Action memberikan 3 lembar surat berbahasa Inggris yang ditujukan kepada polisi agar bersedia membantu Yati, terutama mengambil kembali dokumen dari majikan atau Agency.
Sore hari saya sendiri yang menemaninya ke rumah majikan di daerah Tsuen Wan kebetulan saya juga tinggal di shelter untuk menunggu Visa. Sesampai di rumah majikan ternyata pihak Agency telah menghubunginya lebih dahulu. Majikan memberitahukan bahwa dokumen Yati disimpan oleh istrinya yang sedang kerja lembur, disarankan untuk kembali lagi besok pagi.
Besok paginya kami berdua kembali mendatangi rumah majikan. Kali ini pun ternyata majikan tidak bisa menemui, hanya memberitahukan bahwa semua dokumen disimpan oleh Agency. Rasa kecewa menggelayuti hati kami, merasa telah dipermainkan oleh majikan. Perjalanan kami lanjutkan menuju kantor Agency di daerah Lai Chi Kok.
Sesampai di kantor Agency kami disambut dengan sangat tidak ramah, bahkan dimarahi dengan kata-kata yang sangat melukai hati. Kami masih berusaha bersikap sabar, menahan diri dan tetap dengan baik-baik meminta dokumen Yati. Eeeeh, malah semakin dipersulit!
Karena merasa sudah tidak nyaman dengan perlakuan Agency, saya memutuskan untuk melapor pada polisi. Akhirnya dengan bantuan polisi Hong Kong yang tak pernah kenal suap-suapan, tidak seperti di Tanah Air itu, kami pun mendapatkan dokumen yang dimaksud.
Yati disuruh menuliskan pernyataan bahwa setelah keluar dari Agency tersebut semua resiko ditanggung sendiri. Awalnya Yati ragu, tetapi saya yakinkan bahwa untuk bisa hidup sukses di negeri orang kita tidak boleh bergantung kepada siapapun termasuk Agency.
Memang sebuah Agency telah berjasa bagi kita para perantau tetapi imbal balik yang mereka peroleh juga tidak sedikit. Potongan gaji yang sangat tinggi selalu menjadi perhatian LSM negara lain. Sedangkan kami kaum nakerwan di Hong Kong harus pontang-panting untuk mendapatkan hak-hak. Malangnya pula, pemerintah kita seolah tidak berdaya menindak tegas para penyalur tenaga kerja yang nakal, bahkan sering tanpa rasa kemanusiaan ini!
Lanjut!
Setelah berhasil mendapat dokumen, proses dilanjutkan seperti biasa yaitu menyerahkan klaim ke labour cabang wilayah rumah majikan di Tsuen Wan. Dari labour Yati harus memperpanjang Visa (extend Visa) ke imigrasi. Tiga minggu kemudian pertemuan dengan majika. Awalnya majikan menolak memberikan ganti rugi dengan menunjukan selembar kertas yang telah ditandatangani oleh Yati setiap menerima gaji.
Mujurlah, Yati memiliki bukti rekaman pembicaraan mengenai gaji yang dipotong setiap meminta libur lebih dari satu kali dalam satu bulan. Akhirnya majikan tidak mampu memberikan alasan dan bersedia memberikan uang ganti rugi sebesar $20.250 plus tiket ke Surabaya. Setelah kasus selesai Yati masih memiliki waktu satu minggu untuk mencari majikan, alhamdulillah sebelum waktunya habis Yati telah mendapat majikan.
Karena telah memenangkan kasus lebih dari 50% total dari tuntutan, maka oleh Imigrasi diizinkan untuk menunggu Visa kerja dengan majikan baru tanpa harus meninggalkan Hong Kong. Kini Yati telah bekerja di daerah Ma On Shan.
Nah, Kompasianer yang disayang Allah….
Demikian pengalaman Yana, dan masih banyak lagi pengalaman lain yang pernah dilakoninya di negeri beton ini. Semoga mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait.
Salam manis dari Causeway Bay, Pipiet Senja.

Bandara Hongkong


Minggu Sore di Bandara Hongkong

REP | 12 October 2010 | 15:58404  1 dari 1 Kompasianer menilai Aktual

Membaca judul tulisan ini saya rasa pembaca semuanya tidak asing lagi dengan kata Hongkong yaitu kota megah dengan gedung-gedung pencakar langit dan juga hiruk pikuk manusia berlalu lalang. Itulah ciri khas kota Hongkong yang never sleep. Di tulisan ini saya tidak akan membicarakan kemegahan dan juga bagaimana modernnya kota itu. Saya menulis tulisan ini terinspirasi tulisan yang membahas tentang film Minggu Pagi di Victoria Park (MPDVP) yang telah diputar di bioskop-bioskop Indonesia yang menceritakan liku-liku kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hongkong. Saya sendiri terus terang belum menyaksikan film yang banyak dikatakan orang bagus dan sukses pemutarannya itu. Membaca ulasan tentang film itu mengingatkan saya sewaktu di hari Minggu berada di bandara Hongkong melihat, bertemu dan berbincang dengan beberapa Tenaga Kerja Indonesia pada bulan Mei 2010 yang lalu. Maka dari itu ulasan film yang telah saya baca itu menginspirasikan saya untuk memberi judul tulisan ini dengan judul yang mirip dengan judul film itu. Berikut adalah cerita “Minggu Sore Di Bandara Hongkong” (MSDBH) saya.
Setelah tiga hari memuaskan diri berwisata di Hongkong bulan Mei yang lalu, tiba saatnya saya meninggalkan Negara itu untuk kembali ke Jepang, tempat saya berdomisili. Ada saja masalah diakhir detik-detik saya berada di Hongkong, tepatnya saat saya menuju bandara itu dari ‘Town Gate”, sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal menjual barang bermerek dengan harga miring yang berada di distrik Tung Chung. Walau jarak antara Town Gate dan Bandara hanya sekitar 7 menit dengan taksi, saya terlambat juga naik pesawat Cathay Pacific waktu itu oleh sebab keliru tepat antre taksi yang sebelumnya harus membiarkan dua anak saya minta makan siang di “Food Rebublik” yang ada di Mall itu dan setelah selesai makan harus juga mengantar dan menunggui mereka ke toilet. Akhirnya terlambat naik pesawat dan hanya bisa berkata apa boleh buat!
Karena terlambat dan negosiasi saya dengan petugas Check In di bandara itu tidak membuahkan hasil apapun. Dengan begitu terpaksa saya bersama keluarga harus rela menunggu selama 4 jam untuk bisa bernegosiasi lagi supaya bisa naik pesawat berikutnya kembali ke Jepang. Terpaksa saya duduk di antara banyak kursi yang ada di lantai dua bandara itu dengan tanpa kepastian bisa naik pesawat berikutnya atau tidak. Sedih sekali saat itu tapi….
Kesedihan itu ternyata bisa agak terlupakan karena di bandara yang sangat luas itu, mata saya selalu saja bisa memandang tampang-tampang orang perempuan yang sudah bisa saya pastikan mereka adalah orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong dari cara bicara dan bahasanya. Pertama kali saya bisa menghitung berapa banyak mereka saat bertemu di depan toilet bandara itu, di toko dan di tempat lain. Lama kelamaan saya tidak sanggup lagi menghitung mereka karena terlalu banyak jumlah mereka yang ada di bandara Hongkong di hari Minggu sore waktu itu.
Kami sebenarnya sejak awal duduk hanya bersama keluarga tapi lama kelamaan terasa saya duduk dikelilingi rombongan perempuan Tenaga Kerja Indonesia yang datang ke bandara dengan bermacam-macam penampilan dan kepentingan sendiri-sendiri. Mereka duduk-duduk ada yang sekedar menunggu temannya, menjemput temannya yang datang dari Indonesia, mengantar temannya yang ingin pulang ke Indonesia, baru saja datang dari Indonesia dan ada juga yang ingin terbang pulang ke kampung halamannya.
Selama beberapa menit saya mendengarkan mereka berbicara berbagai hal dengan teman-temannya dengan seratus persen Bahasa Jawa yang medok. Sesekali mereka ada yang menerima telepon dan menjawabnya dengan Bahasa Inggris, karena orang Hongkong berbahasa Inggris juga. Saya hanya mendengarkan dan berpikir, oh seperti inikah gaya TKI di Hongkong. Mereka kerap kali bercanda dengan berteriak dengan temannya dan yang membuat saya terheran-heran banyak di antara mereka yang berpenampilan layaknya bintang film Hongkong. Ada yang memakai sepatu hak tinggi, sepatu boot dan rok yang super pendek.
Saya merasa mereka semua adalah sebangsa dengan saya dan berasal dari Negara bahkan pulau yang sama. Dengan mendengarkan Bahasa Jawa mereka saya malah berpikir mereka adalah suku yang sama dengan saya. Saya hanya berbicara dengan anak-anak saya dan karena agak terganggu saya pun sesekali keluar dari kerumunan para TKI itu untuk sekedar berjalan-jalan keliling bandara Hongkong. Karena tempat duduk saya yang bersebelahan dengan para TKI itu sangat enak dan strategis dan juga barang bawaan saya berada di tempat itu, maka akhirnya saya kembali lagi duduk-duduk bersama mereka. Karena terbawa budaya Jawa yang masih melekat pada diri saya, saya pun mencoba menyapa salah seorang di antara mereka. Saya lupa nama perempuan muda itu tetapi saya tetap masih ingat kalau dia berasal dari Jawa Timur, tepatnya dari Kota Tulung Agung.
Pembicaraan kami mulai akrab dengan perempuan muda pembantu itu dan dia dengan baiknya mengenalkan beberapa temannya. Diantara teman-temanya yang ada di tempat yang sama ada yang sudah sekitar 10 tahun kerja di Hongkong sebagai TKI. Saya mendengar hal itu sempat berpikir kenapa dan pasti sudah punya banyak pengalaman dia, maksud saya terutama pengalaman sebagai pembantu rumah tangga. Karena saya penasaran dengan masalah itu, saya bertanya kepada dia, kalau begitu dia meresa enak dan senang hidup di Hongkong sebagai TKI. Jawaban dia ternyata, merasa enak kalau dicintai majikan dan tidak ada masalah atau sedikit masalah tapi kalau sempat terbawa pengaruh persahabatan yang keliru maka keadaanya bisa semakin parah karena ada keluarga juga di Indonesia. Saya semakin tertarik bertanya kepada dia setelah mendengar jawaban dengan kata persahabatan yang keliru. Sesuai dengan penjelasan dia, keadaan banyak diantara TKI di Hongkong sudah menyimpang tidak lagi menjalin hubungan dengan lawan jenis tetapi sudah banyak yang melakukan hubungan dengan sesama jenis kelamin perempuan atau lesbi.
Keterangan tersebut mengingatkan dan membuat saya semakin yakin dengan penjelasan seorang teman saya yang bekerja di salah satu kantor agen Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong sewaktu hari kedua saya berada di Hongkong. Dia berkata, “pekerjaan saya mengurusi para “mbak-mbak” TKI itu, terutama dalam menghadapi masalah hidupnya di Hongkong” setelah setiap kali dia mengangkat telepon dari TKI yang diurusinya. Teman saya itu juga berkata kalau para TKI malah sudah banyak yang menjadi lesbi, setelah saya bertanya pada dia kalau orang Hongkong pacaran dan bermesraan banyak yang melakukan ciuman di tempat umum. Apakah itu penyebabnya? Dia jawab kurang tahu tapi memang di Hongkong membiarkan hal-hal seperti itu dilakukan di tempat umum. Memang saya sendiri awalnya kaget karena sepasang anak muda yang antre giliran di tempat arena permainan tepat berdiri di depan saya berciuman beberapa kali dan beerapa lama. Saya hanya bisa menarik nafas dan merasa terganggu dengan pemandangan itu, beruntung anak-anak saya, saya berikan mainan dan tak sempat kaget seperti saya karena asik dengan mainanya. Mungkin sangat banyak sebabnya dan bermacam-macam alasan sehingga diantara TKI di Hongkong menjadi kaum lesbi. Cerita film “Minggu Pagi di Victoria Park” memang ada benarnya.
Lebih yakin dengan kebenaran itu pada saat saya tak sengaja ternyata melihat sendiri beberapa pasang perempuan lesbi yang ada di antara kumpulan TKI yang ada di tempat yang sama dengan saya. Saat itu anak sayaberkata, “kok ada perempuan yang mirip laki-laki dan ada juga laki2 yang mirip dengan perempuan”. Ternyata mereka adalah pasangan-pasangan lesbi yang berpenampilan layaknya sepasang suami-istri. Ternyata film Minggu Pagi di Victoria Park benar-benar menggambarkan hal yang sebenarnya bagaimana hubungan sesama jenis (lesbian) menjadi hal yang sangat biasa. Bahkan mereka tidak sungkan berciuman di depan umum dan juga tinggal serumah bareng. Memang benar kalau mereka berciuman di tempat itu, di depan saya. Sekali lagi hal itu membuat saya menarik nafas lagi.
Itulah fenomena kehidupan sebagian TKI di Hongkong. Berharap semakin banyak lembaga yang memperhatikan permasalahan-permasalahan TKI di sana.
Kisah Minggu Sore di Bandara Hongkong (MSDBH) saya berakhir saat tiba saatnya saya harus bernegosiasi lagi dengan petugas Check-in perusahaan penerbangan Cathay Pacific untuk bisa mendapatkan tiket pulang kembali ke Jepang.
Selamat tinggal Hongkong. Sayonaraaaa…..

Kampung Indonesia Di Hongkong


Mengintip Sudut Victoria Park (Mengintip Sudut Victoria Park (Kampung indonesia) Di Hongkong

REP | 21 June 2010 | 05:50528 58  5 dari 8 Kompasianer menilai Menarik

 

suasana pagi di victoria park
suasana pagi di victoria park
VICTORIA PARK terletak di pusat kota Hong Kong, dibuka pada bulan Oktober 1957 dan diberi nama setelah  dibangun patung Ratu Victoria. The Park telah diperbaharui 2000-2002 dan sekarang dengan perkebunan di atas 5 500 pohon. Dengan luas lebih dari 19 hektar, Victoria Park adalah taman terbesar di Hong Kong Island.



 
 
 



Victory park juga dikenal sebagai kampung orang Indonesia di Hongkong .Taman Victory dijadikan para BMI(Buruh Migran Indonesia) sebagai  tempat untuk melakukan aktifitas untuk mengisi liburan di hari minggu.Orang-orang hongkong pasti akan berfikir dua kali untuk jalan-jalan ke victory park dihari minggu atau hari-hari libur lainnya karena para BMI tumplek blek Berada disini.
Queen Victoria Statue
Queen Victoria Statue
Di lapangan rumput itupun tak pernah sepi,para BMI mengelar tikar untuk berkumpul atau melepas lelah bersama-sama teman seperjuangannya.Ada yang latihan volli,ada yang latihan dancer,gitar,Belajar ngaji, jurnalistik maupun fotografi di alam terbuka itu.




Lapangan Rumput
Lapangan Rumput






Orang-orang Hongkong pun memanfaatkan moment itu untuk menjual jasa seperti jualan krudung,foto studio terbuka,baju-baju model Hongkong dapat di temui disini dengan harga terjangkau.



 
 
 





Krudung dengan harga murah
Krudung dengan harga murah

Salah satu tempat fhoto di victory
Salah satu tempat fhoto studio terbuka di victory park


Penjual baju di victoria park
Penjual baju di victoria park

Kemudian Saya ajak Anda, untuk melihat kepinggir taman Victory  depan Library , di bawah jembatan itu,kita akan melihat para BMI mengisi liburannya dengan berjualan macam-macam masakan indonesia yang lezat dengan harga murah 20-25 dollar hk.Betapa gigihnya perjuangan mereka dinegri orang.Walau dengan sembunyi-sembunyi berjualan karena para Pak De (polisi/petugas Imigrasi di hkg) begitu kita menyebutnya, selalu mengincar dan menciduk para BMI yang berjualan karena melanggar kontrak sebagai  Prt.Dan bila tertangkap basah oleh Pak De pemecatan dari majikan serta penjara siap menunggu mereka.Hemm…miris kalau sedang ada razia!!



BMI membuka warung lesehan
BMI membuka warung lesehan
Tak sedikit juga para BMI menghabiskan liburan di Library terbesar di Hongkong, dekat taman victory seperti yang saya lakukan dengan teman-teman saya setiap hari minggu.Setelah sore hari kita bisa melihat di bunderan air mancur dan lapangan sepak bola/basket yang luas itu, dipenuhi para BMI untuk menikmati senja sambil menunggu jam pulang ketempat kerja masing-masing.

suasana dibunderan air mancur
suasana dibunderan air mancur
Suasana Di library
Suasana Di library


Suasana sore dihari minggu
Suasana sore dihari minggu

Sore hari aku juga suka duduk dilapangan victoria sambil ngompasiana dan berkumpul dengan teman2ku sambil bernyayi xxixiiiixii gaya pengamen nichhh
Sore hari aku juga suka duduk dilapangan victoria sambil ngompasiana dan berkumpul dengan teman2ku sambil bernyayi xxixiiiixii gaya pengamen nichhh Narcizzzzzzzz
 
 




Salam Kompasiana
REP | 21 June 2010 | 05:50528 58  5 dari 8 Kompasianer menilai Menarik

 

suasana pagi di victoria park
suasana pagi di victoria park
VICTORIA PARK terletak di pusat kota Hong Kong, dibuka pada bulan Oktober 1957 dan diberi nama setelah  dibangun patung Ratu Victoria. The Park telah diperbaharui 2000-2002 dan sekarang dengan perkebunan di atas 5 500 pohon. Dengan luas lebih dari 19 hektar, Victoria Park adalah taman terbesar di Hong Kong Island.



 
 
 



Victory park juga dikenal sebagai kampung orang Indonesia di Hongkong .Taman Victory dijadikan para BMI(Buruh Migran Indonesia) sebagai  tempat untuk melakukan aktifitas untuk mengisi liburan di hari minggu.Orang-orang hongkong pasti akan berfikir dua kali untuk jalan-jalan ke victory park dihari minggu atau hari-hari libur lainnya karena para BMI tumplek blek Berada disini.
Queen Victoria Statue
Queen Victoria Statue
Di lapangan rumput itupun tak pernah sepi,para BMI mengelar tikar untuk berkumpul atau melepas lelah bersama-sama teman seperjuangannya.Ada yang latihan volli,ada yang latihan dancer,gitar,Belajar ngaji, jurnalistik maupun fotografi di alam terbuka itu.




Lapangan Rumput
Lapangan Rumput






Orang-orang Hongkong pun memanfaatkan moment itu untuk menjual jasa seperti jualan krudung,foto studio terbuka,baju-baju model Hongkong dapat di temui disini dengan harga terjangkau.



 
 
 





Krudung dengan harga murah
Krudung dengan harga murah

Salah satu tempat fhoto di victory
Salah satu tempat fhoto studio terbuka di victory park


Penjual baju di victoria park
Penjual baju di victoria park

Kemudian Saya ajak Anda, untuk melihat kepinggir taman Victory  depan Library , di bawah jembatan itu,kita akan melihat para BMI mengisi liburannya dengan berjualan macam-macam masakan indonesia yang lezat dengan harga murah 20-25 dollar hk.Betapa gigihnya perjuangan mereka dinegri orang.Walau dengan sembunyi-sembunyi berjualan karena para Pak De (polisi/petugas Imigrasi di hkg) begitu kita menyebutnya, selalu mengincar dan menciduk para BMI yang berjualan karena melanggar kontrak sebagai  Prt.Dan bila tertangkap basah oleh Pak De pemecatan dari majikan serta penjara siap menunggu mereka.Hemm…miris kalau sedang ada razia!!



BMI membuka warung lesehan
BMI membuka warung lesehan
Tak sedikit juga para BMI menghabiskan liburan di Library terbesar di Hongkong, dekat taman victory seperti yang saya lakukan dengan teman-teman saya setiap hari minggu.Setelah sore hari kita bisa melihat di bunderan air mancur dan lapangan sepak bola/basket yang luas itu, dipenuhi para BMI untuk menikmati senja sambil menunggu jam pulang ketempat kerja masing-masing.

suasana dibunderan air mancur
suasana dibunderan air mancur
Suasana Di library
Suasana Di library


Suasana sore dihari minggu
Suasana sore dihari minggu

Sore hari aku juga suka duduk dilapangan victoria sambil ngompasiana dan berkumpul dengan teman2ku sambil bernyayi xxixiiiixii gaya pengamen nichhh
Sore hari aku juga suka duduk dilapangan victoria sambil ngompasiana dan berkumpul dengan teman2ku sambil bernyayi xxixiiiixii gaya pengamen nichhh Narcizzzzzzzz
 
 




Salam Kompasiana

Pelabuhan Nagoya


Jepang #10 - Nagoya

REP | 23 March 2011 | 23:14102  Nihil

13008968101597119240
Ini Nagoya yang di Jepang ya, bukan di Batam. :D Seperti yang sempat saya singgung di tulisan mengenai Imperial Palace, saya datang ke Tokyo pakai Tokaido Shinkansen dari Nagoya. Kota ini adalah ibukota Aichi Prefecture dan termasuk empat besar kota berpopulasi tertinggi di Jepang. Waktu saya datang pertama kali ke Nagoya, bandaranya masih yang lama, belum pindah ke Chubu Centrair. Di kota inilah pertama kali saya melihat Karakuri Ningyo, tepatnya di Toyota Museum. Meskipun Aichi Prefecture berada di pesisir pasifik pulau Honshu, waktu itu saya tinggal di Toyota city [35°5′N 137°9′E / 35.083°N 137.15°E / 35.083; 137.15] daerah Mikawa (sebelah timur Nagoya) yg nota bene daerah pegunungan. Bener-bener berasa di dusun antah berantah deh, buka jendela kamar aja pemandangannya hutan. Praktis saya ga pernah buka-buka jendela lagi kalo malam, takut ada hantu yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. :p
Enak sih udaranya, di musim panas aja saya masih berjaket kalo pagi & malam. Saking bosennya sama daerah pegunungan, saya mengajak teman yang orang Filipina untuk jalan-jalan ke pelabuhan Nagoya. Disini ada Nagoya Public Aquarium, akuarium besar berisi lumba-lumba, asyik… I always love seaworld. Sesampainya kami disana, ternyata untuk masuk seaworld tiketnya lumayan mahal. Gapapa deh, takut ga sempet lihat laut lagi selama di Jepang. Tentu saja tidak hanya lumba-lumba yang ada disana, tapi dari berbagai macam ikan dari lima benua sampai penguin pun ada. Lagi asyik-asyiknya memperhatikan sepasang lumba-lumba yang berkejaran dibalik dinding kaca seluas layar bioskop 21, tiba-tiba ada seorang bapak yang jatuh dan kejang-kejang. Para petugas seaworld bergerak cepat ada yang mengecek kondisi bapak itu, ada yang langsung mengambil kursi roda, ada juga yang saya dengar memanggil ambulans dari telepon genggamnya. Wah, sigap sekali orang-orang ini ya. Dalam waktu singkat, bapak itu sudah dibawa keluar. Mungkin dia ada phobia kali ya… apa itu istilahnya? Kalo hydrophobia kan takut air, nah kalo takut laut kan thallasophobia, atau mungkin phallainophobia alias takut ikan paus. Kasian juga. Saat kami makan di foodcourt seaworld, ternyata kami bertemu teman satu penginapan yang berasal dari Chile. Teman Filipin saya lupa namanya, tapi dengan semangat memanggilnya “Hey… Chile!”. Haduh, bikin malu. Belakangan saya agak menyesal bela-belain pergi ke pelabuhan Nagoya, sementara sisa waktu saya di Jepang akan tinggal di daerah pesisir Yokohama.
Disini nggak terlalu banyak obyek wisata, tapi lumayanlah saya sempat jalan-jalan ke Nagoya Castle dan Osu Kannon. Ceritanya tahun 1610, Tokugawa Ieyasu mindahin ibukota propinsi Owari dari Kiyasu ke Nagoya. Yup, Tokugawa Ieyasu itu orang yang sama yang mindahin ibukota Kyoto ke Tokyo. Kayaknya emang dia hobi mindah-mindahin ibukota deh… *apa sih? :p Nagoya Castle tuh dibangun dari material yang diambil dari Kiyasu Castle. Nggak cuma itu aja, selama pembangunan istana baru ini, seluruh kota termasuk 60ribu penduduk lengkap dengan kuil-kuilnya dipindahin juga ke sekitar Nagoya Castle. Woohoo! Ini baru namanya bedol kota. Nggak seperti Imperial Palace yang tertutup karena masih ditinggali Kaisar dan keluarganya, Nagoya Castle dibuka untuk umum sebagai objek wisata. Lokasinya ga terlalu jauh dari Nagoya station, trus biaya masuknya standar lah, 500 yen aja. Disekitarnya banyak taman & deretan kios bunga. Berhubung ini musim panas, yang banyak ya Hydrangea macam yang ada di Hasedera, selain itu ada juga bunga Iris & Lily.Masuk dari sub donjon (bangunan yang lebih kecil, 3 lantai) saya masuk ke main donjon berlantai tujuh. Di lantai pertama ada gambar mural & dekorasi Hommaru Palace, disini nggak boleh motret pake flash. Lantai dua sedang ga ada pameran jadi langsung lanjut ke lantai 3 yang berdekorasi Jepang jaman dulu, lengkap dengan suara dan pencahayaannya. Di lantai 4 dipamerkan baju perang plus pedang, helm dan sepatunya, mirip kayak yang dipake Takezo Kensei a.k.a Adam Monroe di serial Heroes. Oya, istana ini punya hiasan spesifik berupa ikan yang disebut kinsachi alias golden dolphin yang dipasang diatap. Sebenernya ikan ini lebih mirip ikan kakap dibandingkan lumba-lumba, tapi jelek kali ya kalo di-bahasa inggris-in jadi golden carp, xixixi… Sampai lantai 5, ada replika kinsachi berukuran sama dengan aslinya, bisa diduduki untuk difoto. Yang mau ber-narsis-ria kudu ngantri karena hampir semua orang pengen difoto disana sebagai bukti pernah ke Nagoya Castle. Sayangnya saya nggak bisa naik ke observation deck di lantai 7 karena sedang ada perbaikan.