Roma: Antara Colosseum, Kastanye Panggang, dan Copet
Kalau takut dengan ombak, jangan berumah di tepi pantai. Pepatah yang tepat untuk kisahku kali ini. Makna kasarnya, kalau takut akan situasi yang tidak aman, lebih baik tidak usah jalan-jalan. Resiko naas ada dimana-mana, termasuk di Roma yang notabene merupakan kota wisata terkenal di Eropa. Seperti pengalaman kami ini.
Sebulan setelah kepindahanku ke Belanda, aku dan suami berkunjung ke Roma. Saat itu bulan Desember, suhu udara sangat dingin, hampir menuju titik nol. Dari lapangan terbang, kami naik kereta api ke Roma. Dengan penuh rasa ingin tahu, kupandangi apartemen-apartemen yang kami lewati. Seprei dan pakaian melambai-lambai di tali-tali jemuran yang merentang di antara dua jendela kamar. Ah, tampaknya kehidupan mereka hampir sama dengan kita. Minimal dalam hal menjemur pakaian hahaha.
Hotel kami terletak di tengah-tengah pusat kota. Sambil menggeret-geret koper, kubiarkan ‘ciri khas’ kota tua ini merasuk, menyelusup panca indera. Butik-butik mungil, toko-toko, dan resto-resto yang terkadang letaknya lebih rendah dari jalanan. Skuter-skuter yang mendominasi lalu lintas dan mobil-mobil berkecepatan tinggi di jalan-jalan kecil. Sebagai pejalan kaki, kami harus waspada.
Suamiku hampir saja bersenggolan dengan mobil pengangkut barang karena supirnya memundurkan kendaraan secara sembarangan. Belakangan kami perhatikan sebagian besar badan-badan mobil di sini, dipenuhi goresan-goresan yang tampaknya hasil ‘gesekan’ dengan benda keras. Hmmm…It tells us something about how they ride!
Tanpa bisa diduga, suamiku sakit di hari pertama. Sebenarnya, dia selalu membawa obat-obatan standar setiap kali ke luar negeri. Sayang, kali ini sakitnya tidak “standard”. Rencana jalan-jalan pun batal. Yang ada, pagi-pagi aku sudah menerobos gang-gang kota Roma mencari apotek.
Bermodalkan Bahasa Inggris, kujelaskan gejala-gejalanya. Logat Inggris orang Itali ternyata lebih sulit kutangkap daripada yang semula kusangka. Sementara informasi yang tertera di kemasan obat didominasi oleh Bahasa Itali yang sama sekali tidak kumengerti. Entah bagaimana caranya, akhirnya kami bisa saling berkomunikasi dan memilih obat yang sesuai. Untunglah.
Tidak sulit untuk memperoleh informasi mengenai tempat-tempat yang patut dikunjungi di Roma. Buku panduan kecil dari Belanda dan info dari hotel sudah cukup buat kami untuk memutuskan arah perjalanan. Prioritas utama, tentu saja Colosseum - salah satu keajaiban dunia. Teater megah peninggalan zaman Romawi, yang merupakan arena pertarungan antartawanan atau antara tawanan dengan hewan-hewan buas. Inilah bentuk hukuman masa itu, sekaligus hiburan bagi rakyat dan anggota kerajaan.
Meskipun tidak utuh lagi, bangunan yang tersisa masih dilengkapi dengan jejak-jejak ruang tawanan, kandang hewan buas, panggung arena, dan tempat duduk para anggota kerajaan serta rakyat biasa. Imajinasiku melayang membayangkan ekspresi tegang para gladiator, auman singa-singa kelaparan yang melesat memasuki panggung, ditengahi sorak-sorai penonton serta tatapan puas dan angkuh para anggota kerajaan. Puji syukur kepada Tuhan yang telah melahirkanku tidak pada jaman itu.
Luasnya Colosseum membutuhkan hasrat yang kuat dan kondisi fisik yang prima. Sebelum masuk, mesti disiapkan barang-barang primer seperti botol minuman, obat, dan tidak lupa ke toilet dulu. Tidak jauh dari Colosseum, terdapat bangunan-bangunan lain yang juga berasal dari zaman Romawi, dengan fungsinya yang berbeda-beda. Kunjungan kami yang mencakup Colosseum dan kelompoknya menghabiskan waktu sehari penuh, yang diselingi istirahat di tempat tertentu pada tengah hari.
Kekayaan bangsa Romawi pada masa itu tidak bisa dipungkiri. Koleksi masa lalu yang tak terhingga jumlahnya tersebar di berbagai penjuru, berupa komplek perumahan lengkap dengan fasilitas-fasilitas umumnya, komplek pemandian umum zaman Romawi dan dekorasi-dekorasi berseni tinggi semacam mozaik-mozaik, patung-patung, tegel-tegel, hiasan lantai, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak ada ruginya untuk mengunjungi museum-musem dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Jangan lupa, dari sini kita bisa berjalan kaki ke negara lain, yakni Vatikan.
Cukup puas dengan ‘wangi sejarah’, kami berjalan-jalan menelusuri kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Pagi hari, pasar ramai dengan para penjual sayur mayur. Ada juga penjual baju-baju dingin, syal, dan topi-topi. Toko-toko pakaian memberikan harga potongan akhir tahun. Tempat-tempat tertentu menggelar pasar buku murah dan barang-barang second hand.
Yang lebih asyik lagi, ketika siang menjelang menyebarlah para pedagang kastanye panggang. Barangkali memang saat itu musim buah kastanye. Kaki yang penat dan jemari yang kedinginan menemukan penawarnya begitu menggenggam hangatnya sebungkus kastanye panggang. Apalagi kalau kastanye yang hangat merekah sudah sampai di lidah, hmmm… Mak nyesss!
Komplek perumahan di gang-gang kecil beserta toko-toko makanan maupun suvenir yang ukurannya mungil-mungil, juga merupakan salah satu favorit kami. Senang rasanya berjalan di lorong-lorong perumahan dan sesekali memasuki toko kue atau sejenisnya yang imut-imut. Musim dingin membuat hari lekas gelap, namun sinar lampu-lampu toko menambah indah suasana. Rasanya bagaikan bernostalgia akan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada, hehehe…
Kembali ke hotel, kami lewati jalan-jalan umum yang penuh gelandangan dan pengemis. Beberapa dari mereka sudah menyiapkan tempat tidurnya untuk melewati malam yang dingin menggigit. Ah, tak berumah di negara dengan empat musim seperti ini. Dengan sedih, kuteringat si gadis kecil penjual korek api - tokoh karangan H. C. Andersen - yang wafat pada suatu malam bersalju tebal.
Sebelum sampai di hotel, kami mencoba resto asli Itali. Aku memesan pizza vegetaris yang ukurannya ternyata cukup untuk empat orang. Bayangan tentang orang-orang yang mesti tidur di luar, membuatku kurang bersemangat menikmati hidangan dan tidak memperhatikan situasi sekitar. Detik-detik terakhir baru kusadari bahwa penampilan karyawan-karyawan resto yang melayani kami mengalahkan bintang film dunia. Mungkin lebih tepatnya, serasa dikelilingi kesebelasan Itali.
La Fontana di Trevi (air mancur dengan dekorasi aduhai) dan Spaanse trappen (tangga-tangga Spanyol) juga layak dikunjungi. Butik-butik mungil bermerk dunia menghiasi jalan-jalan di bawah tangga. Sampai di tangga teratas, kami memasuki wilayah seniman-seniman jalanan dengan lukisan-lukisannya yang kaya warna. Sempat pula kami singgahi sungai Tiber yang membelah kota Roma. Sayang, musim dingin membuat aktivitas di sekitarnya seolah-olah mati.
Musim dingin ini pula yang mendorong kelancaran metabolisme kami. Sialnya, fasilitas toilet amat jarang serta susah ditemui. Akibatnya, setiap kali melakukan perjalanan jauh, aku mengurangi minum dan makan buah berair, sementara suamiku bersikukuh menjamak makan siang di malam hari.
Mengenali suasana kota memang selayaknya dilakukan dengan berjalan kaki. Tanpa kami sadari, seringkali kaki ini telah jauh melangkah dan tidak kuat menempuh arah balik. Lebih parah lagi bila lupa akan jalan menuju penginapan.
Inilah yang terjadi, hari menjelang sore, dingin, dan rintik-rintik hujan membuat kami memutuskan untuk menggunakan bis umum. Bis yang penuh dengan penumpang berhenti pada halte tertentu. Seorang pemuda berparas rapi menerobos masuk. Suamiku terdorong ke sudut lain menjauhiku disebabkan gerakan penumpang yang baru naik itu. Kaya akan pengalaman di bis-bis jurusan Grogol, segera kuperingati suamiku untuk mendekap dompetnya.
Belum sempat situasi tersebut dipahaminya, tiba-tiba bis berhenti dan pemuda tersebut bergegas turun. Secepat itu pula, bis kembali berjalan. Kami turun di halte berikutnya dan segera menguras isi jaket musim dingin milik suamiku yang cukup tebal yang tentu saja tidak mudah dirogoh. Terlambat, betul saja, dompet beserta isinya melayang. Suamiku panik karena tidak menyangka kalau kejadian seperti ini bisa menimpa dirinya yang notabene sangat berhati-hati dalam menjaga barang-barang berharga dalam perjalanan.
Malam itu acara utama kami adalah ke kantor polisi untuk meminta surat kehilangan agar bisa diklaim ke asuransi perjalanan dan memblokir rekening bank via telepon. Sedikit uang di dompetku cukup untuk makan malam dan mengembalikan energi. Belakangan, beberapa kenalan bercerita mengenai pengalaman senada. Lebih parah lagi, paspor mereka ikut terambil. Rupanya kami masih beruntung, karena kartu identitas diri tersimpan rapi di hotel.
Hari terakhir, kami menggunakan taksi bukan kereta api agar tidak terlambat tiba di bandara. Mungkin itu bukan pilihan yang tepat, sebab risiko kecelakaan malah jauh lebih tinggi. Supir kami menggunakan jalan raya sebagai sirkuit balapan. Semangat mengobrolnya tinggi dan hasratnya mengkritik pengguna jalan raya lain tidak bisa diredam. Kuingat papan peringatan di kendaraan umum "Dilarang berbicara dengan supir". Mestinya di taksi ini dipajang informasi sebaliknya "Dilarang berbicara dengan penumpang", sebab konsentrasi supir kami amat sangat diragukan.
Kami baru bisa bernafas lega saat taksi tiba dan berhenti di lapangan terbang dengan selamat. Sopir tersebut menyalami kami dengan hangat, khas Itali, sambil menyerahkan kartu namanya dengan harapan kami menggunakannya lagi pada kesempatan lain. Dalam hati aku membatin sambil mengutip dendangan lagu dangdut yang tersohor itu: "Cukup sekali, aku merasa a a a, ketakutan ini…OOO, ya nasib, ya nasib..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar