Porkas, Katak, Dan Komputer
http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1986/08/23/PDK/mbm.19860823.PDK35708.id.html
KANTOR Departemen Sosial setempat melarang. Guru pembimbingnya tidak setuju. Tapi Fietber Soleman Rico, siswa SMA Kristen Tomohon, Minahasa, jalan terus: meneliti soal Porkas yang dinilainya berdampak negatif. Dan jadilah ia satu di antara 25 finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 1986 yang diadakan oleh Departemen P dan K, bekerja sama dengan PT Philips, tahun ini. Soleman, yang jangkung, tidak keluar sebagai pemenang, memang Namun, dewan juri yang diketuai Andi Hakim Nasoetion, Rektor IPB, sempat memuji penelitiannya, terutama karena ia berani melawan arus. Soleman hanya contoh, betapa remaja bisa bersikap kritis terhadap kejadian di lingkungannya. Dan inilah yang menggembirakan dewan juri umumnya. Selain itu, "Bobot rata-rata finalis meningkat," ujar Andi Hakim. Di tahun-tahun sebelum ini, sejak awal biasanya sudah bisa ditebak siapa kira-kira yang bakal menang. Tahun ini tidak, karena kemampuan finalis merata. Toh, hingga lomba ke-10 kini, jagonya penelitian masih ada di bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Bidang Sosial-Budaya umpamanya soal Porkas itu -- boleh jadi pilihan topiknya unik. Tapi, seperti pernah dikatakan oleh seorang juri, peserta yang masih duduk di bangku SMTA itu sering tergelincir dalam menyimpulkan data dan fakta.
Dan keluarlah Erma Wahayuni, 18, dari SMA St. Bonaventura Madiun, Jawa Timur, sebagai pemenang pertama. Karyanya, "Katak sebagai Pengukur Pencemaran Ekosistem Air", memang dibuat dengan susah payah. Sembilan bulan ia berkutat di tepi kolam yang sengaja dibuat, sebelum bisa menyimpulkan bahwa limbah industri, pupuk buatan, pestisida, dan deterjen, dapat melahirkan katak abnormal. Seperti, terbentuknya dua jari menjadi satu atau hilangnya telapak kaki yang menyerupai sekop. Dengan kata lain, adanya katak abnormal bisa dijadikan petunjuk tercemar tidaknya suatu tempat. Kian banyak dijumpai katak yang cacat, berarti tingkat pencernarannya kian tinggi, tulisnya. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah seorang sinder di perkebunan tebu, PTP XX, ini memang pencinta alam. Dan di antara kebun tebu dan pabrik gula ia tinggal, hingga cewek ini tahu persis, limbah pabrik bisa berbahaya. Ia memperoleh katak-katak hijau (Clasis Amphibia) dari pekerja kebun tebu. Hewan amfibi itu lantas diternakkannya sendiri, dan diamati dari hari ke hari: mulai dari telurnya, proses metamorfosisnya, sampai menjadi katak dewasa. "Katak abnormal jarang berumur panjang karena dalam tubuhnya ada endapan senyawa," ujar gadis pemalu yang bercita-cita menjadi ahli biologi ini. Lalu kenapa engkau merisaukan benar bila katak mati, Erma? Karena katak mati muda, populasi nyamuk meningkat. Juga, bila katak itu dikonsumsi, si konsumen bisa keracunan, jawabnya tangkas. Dari Ujungpandang, Sulawesi Selatan, datang Helda Haris dari Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan (SMTK). Cewek 18 tahun ini, meski tak menjadi pemenang, karyanya cukup menarik. Dia bicara soal "KB di Mata Remaja. Sebuah Studi Kasus di SMTK" -- lagi, bukti perhatian remaja terhadap lingkungannya.
Helda bertanya-tanya, mengapa selama ini penerangan KB hanya ditujukan kepada pasangan suami-istrri. Padahal, remajalah sebenarnya yang perlu mendapat perhatian. Sebab, dalam waktu dekat mereka 'kan akan juga berumah tangga. Helda, agaknya, tertarik mengupas soal KB, karena dia sendiri berasal dari keluarga besar. Ia tahu persis bagaimana repotnya. Helda anak kesebelas dari 12 bersaudara, ayahnya pensiunan DLLAJR. Dan inilah F.X. Harianto Koesoemo, 21, satu-satunya finalis yang berasal dari luar negeri. Ia kini mahasiswa tingkat satu di University of Canterbury Christchurch 1, Selandia Baru. Karyanya berjudul "Segitiga X, Studi Perbandingan Emas yang Dibentuk oleh Sisi dan Garis Tinggi Segitiga Sama Kaki" mengantarkannya sebagai juara kedua. Sejak di SMA Stella Maris, Surabaya, remaja bertubuh kekar ini memang sudah menggandrungi matematika. Malah, dia pernah mengikuti lomba matematika di Australia dan mendapat penghargaan. Tapi, anak sulung seorang wiraswasta yang punya tiga adik ini ingin mendalami fisika.
Adalah Dwika Sudrajat, 21, yang gemar mengotak-atik komputer. Suatu ketika komputer miliknya ngambek. Ternyata, ada komponen yang rusak. Celakanya, setelah dibetulkan, data-data yang merupakan memori tak bisa lagi digunakan. Akhirnya, dia sadar bahwa salah satu komponennya, Eprom, telah terkena sinar ultraviolet yang berasal dari lampu neon. Dari situ dia lalu punya pikiran untuk menggunakan Eprom 2716 sebagai decoder. Pengalamannya itu mendorong Dwika memperdalam soal Eprom. Ia pun lalu ikut lomba, dan "Penggunaan Eprom 2761 sebagai Decoder Alphanumerik dan Rancangan Sistem Komunikasi Digital", yang diselesaikannya dalam waktu enam bulan meraih gelar juara III. Para juri belum mengubah kriteria penilaian. Betapapun meningkatnya kualitas karya, menurut Andi Hakim, tetap penelitian-penelitian dari remaja ini "belum tuntas dan masih sederhana". Namun, dilihat dari metode penelitian dan pemilihan topik yang orisinil plus dekat tidaknya topik itu dengan lingkungan peserta -- dan inilah yang utama dinilai -- sungguh menggembirakan. Yang mungkin perlu dicatat, lomba oleh Departemen P dan K ini tak memberikan hadiah per bidang ilmu. Mungkin ini sebabnya hasil penelitian sosial-budaya tak sempat muncul, selalu kalah oleh hasil penelitian bidang ilmu pengetahuan alam. Bisa dimaklumi, karena bidang sosial-budaya banyak seginya, kesimpulan perlu mempertimbangkan segala segi, sementara bidang satunya lagi memang eksak. Tak berarti tertutup kemungkinan bagi remaja buat muncul sebagai juara dalam bidang sosial-budaya. Umpamanya lomba sejenis oleh LIPI (lihat Siapa Mendapat Madu, Siapa Racun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar