Manfaat Teman (Nemu di) Jalan
Idealnya kalau kita traveling memang lebih mengasikkan bila bersama dengan teman, paling tidak ada orang lain yang bisa diajak ngomongin orang. Lebih asik lagi kalau teman tersebut mempunyai hobi yang sama, seperti sama-sama suka menyelam, sama-sama suka dugem, sama-sama tidak suka shopping. Tapi apa daya tidak semua teman berhobi sama, tidak semua teman mempunyai waktu libur yang sama, dan yang paling sering terjadi adalah tidak semua teman mempunyai jumlah tabungan yang sama.
Ada teman saya (bahkan banyak orang) yang lebih baik membatalkan perjalanan jika tidak ada yang menemani, tapi bagi saya the show must go on– saya bisa cari teman sendiri bukan? Sebagai seorang backpacker yang mempunyai keterbatasan uang, saya senang mencari teman di jalan dengan tujuan utama untuk menghemat biaya selain mencari teman ngobrol.
Ideal kedua adalah mempunyai teman lokal yang bisa ditebengi menginap dan diajak jalan-jalan, apalagi yang mempunyai mobil. Biasanya teman-teman golongan (tajir) ini adalah teman lama yang tinggal di luar negeri. Fasilitas ini saya nikmati saat saya ke London, Paris, dan beberapa kota di Amerika. Mereka mengenal betul daerahnya, jadi kita ga usah pusing-pusing baca peta, hemat biaya akomodasi pula.
Cara lain adalah menjadi anggota kumpulan para traveler di dunia yang suka mengadakan pertemuan di suatu negara. Spot ini berguna untuk mencari teman buat patungan, seperti di Auckland, NZ, tahun 2003, saat saya menemukan cowok asal Scotland yang bersedia patungan bensin dan sewa mobil. Untungnya lagi, dia jago masak, jadi kami tinggal patungan belanja bahan makanan ke supermarket dan dia bersedia masak setiap hari.
Cara cari teman jika Anda tinggal di hostel (ingat, di tengahnya ada huruf ‘s’ artinya ini penginapan khusus backpackers) dimana isinya adalah sesama orang kere dan berjiwa muda, adalah dengan modal pede. Berkenalanlah dengan orang-orang yang Anda anggap mempunyai aura yang positif, biasanya pada saat makan malam di hall utama. Trik ini berhasil saya lakukan tahun 1998 saat saya menginap di hostel di Florence, Italia.
Di Eropa yang multi bahasa, saya tinggal mensensitifkan pendengaran dan mulai mencari arah suara yang berbahasa Inggris. Dimulai dari berkenalan dengan seeorang cewek Inggris yang funky, lalu saya berteriak dengan bossy-nya “Anybody who speaks English sit here please!”, jadilah saya berkumpul dengan 3 orang cewek lain berkebangsaan Amerika. Kami berlima puntraveling bersama keliling Italia, bisa share makan pizza di restoran, bisa share menginap di bekas istana tua yang cantik di pinggir pantai, bisa share naik taksi, bisa ngegosipin orang lagi!
Teman traveling yang paling salah adalah ketika saya ke Kamboja tahun 2002. Terus terang karena saya nggak pede traveling di negara ga jelas begitu, saya mengajak seorang teman yang baru kenalan. Seorang cowok India tinggal di Pasar Baru, berdandan seperti detektif partikelir, pekerjaannya adalah seorang bookie (bandar taruhan sepak bola). Duh, dia belum pernah sama sekali ke luar negeri, berjalan dengan pace yang lambat, membawa boomboxyang selalu memutar lagu jadul, bawelnya minta ampun, dan ini temuan yang paling lucu – selalu menutup pintu dan jendela kamar rapat-rapat sehabis mandi karena dia harus memblow poninya yang panjang dan dibentuk sedemikian rupa untuk menutupi kebotakannya! Alhasil di tengah perjalanan kami pun ‘bercerai’. Rasanya saya tidak beruntung banyak selain sedikit hemat biaya akomodasi. Yang pastinya dia yang paling beruntung mendapatkan teman jalan yang expert. Hehe!
Saya juga pernah menemukan teman karena teman tersebut kasihan sama saya saking kerenya. Di San Juan, Puerto Rico tahun 2001, saat saya trip ke El Yunqe Forrest saya diajak berkenalan di bis dengan seorang bapak-bapak asal Canada. Pas saya turun dari bis di depan penginapan saya, si bapak merasa kasihan, “Are you staying here in this uhm…place?”. Karena dia ke Puerto Rico untuk bisnis, sementara dia bekerja saya diperbolehkan mempergunakan fasilitas hotel, boleh pesan makan dan minum sepuasnya pula di hotel berbintang lima Hilton Caribe. Setelah dia kembali dari kerja, saya pun kembali menginap di penginapan saya yang disebutnya ‘uhm…place’.
Di Nice, Perancis, saya juga pernah berkenalan dengan sepasang suami-istri manula di stasiun kereta. Saya menolong mereka mengangkat kopernya dan mengajarkan cara efektif pergi dari suatu tempat ke tempat lain (termasuk mengantrikan tiket). Imbalannya, saya sih ga pernah minta, tapi saya selalu dibayari tiket dan ditraktir makan minum. Hehe, cheap shit ngga sih saya?
Saat-saat terakhir traveling pun saya pernah menemukan teman yang baik hati. Di pesawat dari Jepang ke Singapura, cewek Cina di sebelah saya mengajak ngobrol. Mungkin lagi-lagi karena dia kasihan sama saya yang kere, akhirnya saya diajak menginap di apartemennya karena tahu saya punya 1 malam transit di Singapura sebelum terbang ke Jakarta. Tapi saya disuruh tidur di kamar yang seranjang sama ibunya dan tukang ngorok berat! Benar juga kata pepatah yang dipercayai para backpackers bahwa ‘beggars can’t be choosers’.
Coba deh kita kontak-kontak sekali waktu.
Diana