To: Me
on: Jun 16
Tks Dwika…inginnya murah dan kwalitas bagus, mewah…
From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 14 Juni 2014 18:29
To: Yudi E85; Onny_Indrianto
Subject: Fw: Menggoda Diskon Harga
Sent: 14 Juni 2014 18:29
To: Yudi E85; Onny_Indrianto
Subject: Fw: Menggoda Diskon Harga
On Friday, June 13, 2014 7:35 PM, Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com> wrote:
Diskon
sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon
merangsang siapa pun dia,
untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan
dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli
perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan
keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.
I Deliver Happiness,
Dwika
I Deliver Happiness,
Dwika
Rayuan Menggoda Diskon Harga
Berapa pun besarnya, potongan harga umumnya mampu membuat calon pembeli tertarik.
Membeli adalah keputusan emosional. Karena itulah penjual harus pandai-pandai bermain siasat.
Ada sebuah lelucon berbentuk teka-teki: apa bedanya Bulan dengan Matahari? Jawaban resminya tentu Anda sudah tahu. Tapi jawaban ngawur dari teka-teki ini adalah: kalau Bulan bisa ngomong, kalau di Matahari (nama toko) ada diskon! He-he-he, memang lelucon basi. Kalau dalam istilah anak muda, garing!
Lelucon itu paling tidak menunjukkan bahwa toko eceran (ritel) nyaris identik dengan program potongan harga atau diskon. Pada "musim diskon", toko-toko itu memajang tulisan besar-besar berupa persentasi potongan harga sebesar 20%, 30%, 50%, atau 70%. Pengelola toko berharap, orang yang lewat akan menengok. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka tertarik dan akhirnya membeli barang.
Apakah strategi ini selalu berhasil? Sayangnya, kebanyakan iya. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan saat mereka menggelar acara diskon besar-besaran. Pembeli ramai berdatangan dan berebut membeli barang yang diberi harga khusus. Penjualan diberitakan meningkat. Begitu paling tidak keterangan resmi dari bagian humas toko itu kepada para wartawan.
Cerita paling heboh di Jakarta adalah ketika produsen alas kaki plastik "Crocs" menggelar diskon besar-besaran sampai 70%, Mei 2009, di pusat perbelanjaan Senayan City. Calon pembeli mengular sampai berpuluh meter. Berjam-jam mereka rela antre hanya untuk sekadar bisa masuk ke dalam ruang penjualan. Ketika selesai bertransaksi, umumnya pembeli menenteng belanjaan sampai beberapa tas sekaligus.
Rupanya fenomena itu ternyata bukan semata masalah harga. Ceritanya tak jauh berbeda ketika sebuah toko permata, di mal yang sama, menggelar diskon untuk produk yang harganya tidak bisa dibilang murah. Jutaan rupiah! Pembeli tetap mengular. Mereka juga masih rela menunggu berjam-jam, sampai kaki terasa kesemutan.
Membeli karena emosi
Ada pendapat bahwa diskon, sale, potongan harga, apa pun namanya, konon paling diminati kaum wanita. Dugaan itu masuk akal. Penelitian menyebutkan, kaum perempuan memang lebih banyak dan lebih tahan menghabiskan waktunya di pusat perbelanjaan dibanding lelaki, meski mereka tidak selalu membeli sesuatu. Penelitian mutakhir malah menyatakan, belanja bisa membuat perempuan lebih sehat, karena selama menjalaninya emosi mereka cenderung positif.
Padahal diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.
Keputusan seseorang dalam membeli suatu barang sesungguhnya emosional, seperti ditulis Brian Tracy, pakar pemasaran Amerika Serikat (AS) dalam bukunya "The Psychology of Selling" (diterbitkan Bhuana Ilmu Populer 2007). Karena itu kepada para penjual, Tracy berpesan: jangan pernah berpikir tentang cara-cara menjual secara rasional, melainkan emosional.
Penjelasan Tracy, pada dasarnya emosi manusia (dalam hal ini calon pembeli) amat beragam. Dalam memutuskan atau bertindak, emosi terkuatlah yang akan menentukan. Jadi ada semacam pertarungan emosi dalam diri manusia. Para penjual harus sadar hal itu, sehingga mereka harus bisa meningkatkan emosi "positif" pembeli.
Sebenarnya pembeli mulai berpikir tentang manfaat ketika ia pertama kali tertarik kepada suatu barang. Tapi di sisi lain, ia punya ketakutan untuk berbuat kesalahan jika membelinya. Entah perasaan takut kemahalan, tidak berguna, tidak awet, dsb. Nah, di saat itulah penjual harus pandai-pandai menghilangkan rasa takut dari pembeli. Misalnya, penjual bisa bertindak dengan cara memberi potongan harga.
Dari sisi psikologis pembeli, tulisan besar "diskon 50%" saja sudah dapat merangsangnya untuk menghampiri sebuah barang. Apabila sudah tertarik, maka ia mulai memperhatikan corak dan bentuknya. Menghitung besarnya diskon dari harga aslinya. Dan tanpa perlu berpikir panjang lagi, langsung bergegas menuju kasir. Kalau tidak bawa uang kontan, ya gesek kartu kredit saja. Beres.
Jadi umpan
Jika jurus awal penjual masih belum cukup merayu pembeli, maka bisa disiapkan jurus kedua untuk mencolek emosi yaitu dengan memberi batas waktu. Penjual harus meyakinkan bahwa jangka waktu pembelian sangat terbatas. Harga naik besok pagi! Itu misalnya.
Tracy berteori, pembeli yang tadinya ragu-ragu pasti akan membeli jika dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia tidak akan dapat membeli dengan harga serendah itu. Atau malah akan kehilangan kesempatan itu sama sekali.
Dari ilustrasi tadi, bisa tergambarkan, dalam sekejap saja kondisi lapar mata pembeli yang semula niatnya cuma mau cari angin saja, begitu mudah terpuaskan. "Belinya pas lagi diskon kok, jadi murah," katanya kepada para kolega, ketika ditanya masalah harga. Menurut Tracy, di sini pembeli mulai mencoba merasionalkan tindakan yang sebenarnya dilandasi emosinya.
Kesan "harga murah" jelas tidak tercipta begitu saja. Kesan itu adalah tujuan dari strategi promosi berupa diskon. Strategi lain, menurut teori pemasaran, bisa berupa iklan, brosur atau pemasaran langsung.
Strategi semacam ini bisa kita lihat dijalankan saban akhir pekan oleh sejumlah hipermarket. Jumat pagi, para pengelola hipermarket sudah memasang iklan besar-besaran di surat kabar dan memajang produk-produk yang mendapat pemotongan harga. Mulai dari sembako, barang keperluan rumah tangga sehari-hari, sampai barang-barang elektronik.
Pada praktiknya, tidak usah menunggu Sabtu, apalagi Minggu. Jumat siang itu saja, barang-barang yang diberi diskon sudah menghilang dari rak karena diserbu pembeli.
Kafi Kurnia, praktisi pemasaran, menyatakan sejauh ini strategi ini terbukti cukup ampuh memancing konsumen untuk datang ke hipermarket di akhir pekan. Padahal harapan pengelola toko lebih dari itu, yakni bukan hanya barang diskon yang diserbu pembeli, tetapi barang-barang lain yang harganya normal. Kesimpulannya, barang yang didiskon juga bisa menjadi umpan.
Untuk menggelar acara diskon, pengelola toko tentu tidak bermain solo. Pihak produsen atau pemegang merek ikut dilibatkan, karena pada dasarnya hampir semua produk di hipermarket atau pusat perbelanjaan dijual dengan sistem titip jual atau istilahnya konsinyasi. Strategi promosi antara toko dan produsen harus sejalan. Walau kabarnya ada juga hipermarket tertentu yang berani memotong margin keuntungannya, bahkan merugi untuk barang tertentu, hanya untuk menggelar acara diskon.
Cuma untuk barang lama
Ada kalanya program diskon terkait dengan musim penjualan dan stok barang. Misalnya produk ritail pakaian yang umumnya didiskon dua kali setahun, yaitu pertengahan tahun dan akhir tahun. Di luar itu kadang digelar dengan tema tertentu seperti Idul Fitri, tahun ajaran baru, Imlek, atau Valentine. "Bentuknya tidak selalu dengan potongan harga. Bisa lucky dip (hadiah kejutan) atau hadiah voucher pada jumlah pembelian tertentu," kata Joseph Landri, Group Head of Investor Relations PT Mitra Adiperkasa Tbk, perusahaan pemegang 85 merek internasional di Indonesia. Beberapa merek di antaranya: Marks & Spencer, Zara, Next, Massimo Dutti, dsb.
Pemotongan harga, jelas Joseph, didasari banyak pertimbangan. Seperti margin keuntungan dari barang, ketersediaan stok di pasaran, usia barang, adanya produk baru, atau tema promosi pada saat tertentu. Produsen juga harus berhitung cermat tentang besaran angka potongan harga yang diberikan, apakah 20%, 30%, atau mungkin 50%. Tergantung kepada situasi bisnis pada saat itu serta mempertimbangkan kondisi produk yang akan diberi potongan harga.
Sebuah produk yang promosinya sudah berjalan tapi ingin dipacu lagi penjualannya, bisa diberi potongan harga atau bonus tertentu. Sementara produk yang sudah memasuki akhir masa penjualan, sudah ketinggalan mode, serta ukuran dan modelnya sudah tidak lengkap, bisa dijual dengan diskon yang besar. Apalagi kalau sudah akan masuk produk penggantinya, stok harus segera dihabiskan.
Karena itu pembeli harap maklum. Diskon umumnya hanya diberikan untuk barang-barang lama, yang mungkin sudah ketinggalan mode. Untuk produk-produk baru, sering diistilahkan "new arrival", jangan bermimpi untuk mendapatkan harga miring. "Hal ini penting untuk menjaga positioning brand, sebagaimana yang telah ditentukan pemilik merek," jelas Joseph.
Sebuah produk bisa saja tidak akan dikenai diskon, jika ternyata respons konsumen (dibaca: penjualan) dianggap bagus. Karena produsen tidak harus mengejar target penjualan tertentu. Dari jangka waktu penjualan, mereka yakin akan mampu menghabiskan stok dan mendapatkan margin penjualan tertentu. Dalam pengertian Kafi Kurnia, strategi pemotongan harga sangat fleksibel dan terkait dengan strategi penjualan yang lebih luas.
Pada industri yang lebih besar, seperti misalnya automotif, menurut Kafi diskon hanyalah menjadi satu alat disamping berbagai strategi dan aspek bisnis lainnya. Jika ada produk mobil tertentu yang tidak laku, pihak marketing akan segera mengarahkan penjualannya untuk pasar dan wilayah tertentu. Soal harganya turun atau tetap, bisa sangat fleksibel. Yang terpenting, target penjualan tercapai.
Loyal pada harga
Tidak selamanya pemotongan harga terdengar merdu di telinga konsumen. September 2007, perusahaan komputer Apple pernah menurunkan harga jual produk ponsel iPhone sebanyak AS $ 200, menjadi AS $ 400. Dengan pemotongan mereka berharap mencapai target penjualan 2,5 juta unit iPhone pada tahun itu.
Namun akibatnya Steve Jobs, Chief Executive Officer Apple kebanjiran e-mail protes dari para pembeli iPhone yang terlanjur membeli sebelum harga turun. Jobs kemudian memberi kompensasi kepada mereka yang membeli dua minggu sebelum harga turun, untuk berbelanja produk Apple sebesar AS $ 200. Kabarnya setelah pemotongan harga, penjualan ponsel saingan Blackberry itu naik luar biasa dari 9.000 unit per hari menjadi 27.000 unit per hari.
Beruntung, strategi Apple tidak berdampak negatif terhadap citra perusahaan. Karena Michael Goodman, ahli pemasaran AS, dalam bukunya "Reduction Price can Backfire" mewanti-wanti agar berhati-hati karena potongan harga bisa berdampak kepada loyalitas konsumen. Jika ada dua produk yang saling bersaing, adalah wajar jika konsumen memilih produk yang memberi potongan harga. Akhirnya konsumen bisa lebih loyal kepada harga daripada terhadap merek.
Manakala situasi itu terjadi, produk itu nantinya sangat rentan terhadap perubahan harga karena persaingan. Produsen lalu terdorong untuk mengurangi harga (dan keuntungan!) untuk menjaga posisi mereka di pasar. "Faktor loyalitas sangat penting dan tidak untuk dikompromikan dengan harga atau promosi harga yang berlebihan," jelas Goodman.
Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapat loyalitas konsumen sekaligus meningkatkan penjualan. Misalnya pemberian bonus yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh konsumen, pemberian voucher, atau servis gratis selama jangka waktu tertentu. Dalam jangka panjang, pemotongan harga malah bisa mengundang risiko.
Jadi kesimpulannya, bukan cuma pembeli yang harus teliti. Penjual juga harus berhati-hati.
Ada sebuah lelucon berbentuk teka-teki: apa bedanya Bulan dengan Matahari? Jawaban resminya tentu Anda sudah tahu. Tapi jawaban ngawur dari teka-teki ini adalah: kalau Bulan bisa ngomong, kalau di Matahari (nama toko) ada diskon! He-he-he, memang lelucon basi. Kalau dalam istilah anak muda, garing!
Lelucon itu paling tidak menunjukkan bahwa toko eceran (ritel) nyaris identik dengan program potongan harga atau diskon. Pada "musim diskon", toko-toko itu memajang tulisan besar-besar berupa persentasi potongan harga sebesar 20%, 30%, 50%, atau 70%. Pengelola toko berharap, orang yang lewat akan menengok. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka tertarik dan akhirnya membeli barang.
Apakah strategi ini selalu berhasil? Sayangnya, kebanyakan iya. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan saat mereka menggelar acara diskon besar-besaran. Pembeli ramai berdatangan dan berebut membeli barang yang diberi harga khusus. Penjualan diberitakan meningkat. Begitu paling tidak keterangan resmi dari bagian humas toko itu kepada para wartawan.
Cerita paling heboh di Jakarta adalah ketika produsen alas kaki plastik "Crocs" menggelar diskon besar-besaran sampai 70%, Mei 2009, di pusat perbelanjaan Senayan City. Calon pembeli mengular sampai berpuluh meter. Berjam-jam mereka rela antre hanya untuk sekadar bisa masuk ke dalam ruang penjualan. Ketika selesai bertransaksi, umumnya pembeli menenteng belanjaan sampai beberapa tas sekaligus.
Rupanya fenomena itu ternyata bukan semata masalah harga. Ceritanya tak jauh berbeda ketika sebuah toko permata, di mal yang sama, menggelar diskon untuk produk yang harganya tidak bisa dibilang murah. Jutaan rupiah! Pembeli tetap mengular. Mereka juga masih rela menunggu berjam-jam, sampai kaki terasa kesemutan.
Membeli karena emosi
Ada pendapat bahwa diskon, sale, potongan harga, apa pun namanya, konon paling diminati kaum wanita. Dugaan itu masuk akal. Penelitian menyebutkan, kaum perempuan memang lebih banyak dan lebih tahan menghabiskan waktunya di pusat perbelanjaan dibanding lelaki, meski mereka tidak selalu membeli sesuatu. Penelitian mutakhir malah menyatakan, belanja bisa membuat perempuan lebih sehat, karena selama menjalaninya emosi mereka cenderung positif.
Padahal diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.
Keputusan seseorang dalam membeli suatu barang sesungguhnya emosional, seperti ditulis Brian Tracy, pakar pemasaran Amerika Serikat (AS) dalam bukunya "The Psychology of Selling" (diterbitkan Bhuana Ilmu Populer 2007). Karena itu kepada para penjual, Tracy berpesan: jangan pernah berpikir tentang cara-cara menjual secara rasional, melainkan emosional.
Penjelasan Tracy, pada dasarnya emosi manusia (dalam hal ini calon pembeli) amat beragam. Dalam memutuskan atau bertindak, emosi terkuatlah yang akan menentukan. Jadi ada semacam pertarungan emosi dalam diri manusia. Para penjual harus sadar hal itu, sehingga mereka harus bisa meningkatkan emosi "positif" pembeli.
Sebenarnya pembeli mulai berpikir tentang manfaat ketika ia pertama kali tertarik kepada suatu barang. Tapi di sisi lain, ia punya ketakutan untuk berbuat kesalahan jika membelinya. Entah perasaan takut kemahalan, tidak berguna, tidak awet, dsb. Nah, di saat itulah penjual harus pandai-pandai menghilangkan rasa takut dari pembeli. Misalnya, penjual bisa bertindak dengan cara memberi potongan harga.
Dari sisi psikologis pembeli, tulisan besar "diskon 50%" saja sudah dapat merangsangnya untuk menghampiri sebuah barang. Apabila sudah tertarik, maka ia mulai memperhatikan corak dan bentuknya. Menghitung besarnya diskon dari harga aslinya. Dan tanpa perlu berpikir panjang lagi, langsung bergegas menuju kasir. Kalau tidak bawa uang kontan, ya gesek kartu kredit saja. Beres.
Jadi umpan
Jika jurus awal penjual masih belum cukup merayu pembeli, maka bisa disiapkan jurus kedua untuk mencolek emosi yaitu dengan memberi batas waktu. Penjual harus meyakinkan bahwa jangka waktu pembelian sangat terbatas. Harga naik besok pagi! Itu misalnya.
Tracy berteori, pembeli yang tadinya ragu-ragu pasti akan membeli jika dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia tidak akan dapat membeli dengan harga serendah itu. Atau malah akan kehilangan kesempatan itu sama sekali.
Dari ilustrasi tadi, bisa tergambarkan, dalam sekejap saja kondisi lapar mata pembeli yang semula niatnya cuma mau cari angin saja, begitu mudah terpuaskan. "Belinya pas lagi diskon kok, jadi murah," katanya kepada para kolega, ketika ditanya masalah harga. Menurut Tracy, di sini pembeli mulai mencoba merasionalkan tindakan yang sebenarnya dilandasi emosinya.
Kesan "harga murah" jelas tidak tercipta begitu saja. Kesan itu adalah tujuan dari strategi promosi berupa diskon. Strategi lain, menurut teori pemasaran, bisa berupa iklan, brosur atau pemasaran langsung.
Strategi semacam ini bisa kita lihat dijalankan saban akhir pekan oleh sejumlah hipermarket. Jumat pagi, para pengelola hipermarket sudah memasang iklan besar-besaran di surat kabar dan memajang produk-produk yang mendapat pemotongan harga. Mulai dari sembako, barang keperluan rumah tangga sehari-hari, sampai barang-barang elektronik.
Pada praktiknya, tidak usah menunggu Sabtu, apalagi Minggu. Jumat siang itu saja, barang-barang yang diberi diskon sudah menghilang dari rak karena diserbu pembeli.
Kafi Kurnia, praktisi pemasaran, menyatakan sejauh ini strategi ini terbukti cukup ampuh memancing konsumen untuk datang ke hipermarket di akhir pekan. Padahal harapan pengelola toko lebih dari itu, yakni bukan hanya barang diskon yang diserbu pembeli, tetapi barang-barang lain yang harganya normal. Kesimpulannya, barang yang didiskon juga bisa menjadi umpan.
Untuk menggelar acara diskon, pengelola toko tentu tidak bermain solo. Pihak produsen atau pemegang merek ikut dilibatkan, karena pada dasarnya hampir semua produk di hipermarket atau pusat perbelanjaan dijual dengan sistem titip jual atau istilahnya konsinyasi. Strategi promosi antara toko dan produsen harus sejalan. Walau kabarnya ada juga hipermarket tertentu yang berani memotong margin keuntungannya, bahkan merugi untuk barang tertentu, hanya untuk menggelar acara diskon.
Cuma untuk barang lama
Ada kalanya program diskon terkait dengan musim penjualan dan stok barang. Misalnya produk ritail pakaian yang umumnya didiskon dua kali setahun, yaitu pertengahan tahun dan akhir tahun. Di luar itu kadang digelar dengan tema tertentu seperti Idul Fitri, tahun ajaran baru, Imlek, atau Valentine. "Bentuknya tidak selalu dengan potongan harga. Bisa lucky dip (hadiah kejutan) atau hadiah voucher pada jumlah pembelian tertentu," kata Joseph Landri, Group Head of Investor Relations PT Mitra Adiperkasa Tbk, perusahaan pemegang 85 merek internasional di Indonesia. Beberapa merek di antaranya: Marks & Spencer, Zara, Next, Massimo Dutti, dsb.
Pemotongan harga, jelas Joseph, didasari banyak pertimbangan. Seperti margin keuntungan dari barang, ketersediaan stok di pasaran, usia barang, adanya produk baru, atau tema promosi pada saat tertentu. Produsen juga harus berhitung cermat tentang besaran angka potongan harga yang diberikan, apakah 20%, 30%, atau mungkin 50%. Tergantung kepada situasi bisnis pada saat itu serta mempertimbangkan kondisi produk yang akan diberi potongan harga.
Sebuah produk yang promosinya sudah berjalan tapi ingin dipacu lagi penjualannya, bisa diberi potongan harga atau bonus tertentu. Sementara produk yang sudah memasuki akhir masa penjualan, sudah ketinggalan mode, serta ukuran dan modelnya sudah tidak lengkap, bisa dijual dengan diskon yang besar. Apalagi kalau sudah akan masuk produk penggantinya, stok harus segera dihabiskan.
Karena itu pembeli harap maklum. Diskon umumnya hanya diberikan untuk barang-barang lama, yang mungkin sudah ketinggalan mode. Untuk produk-produk baru, sering diistilahkan "new arrival", jangan bermimpi untuk mendapatkan harga miring. "Hal ini penting untuk menjaga positioning brand, sebagaimana yang telah ditentukan pemilik merek," jelas Joseph.
Sebuah produk bisa saja tidak akan dikenai diskon, jika ternyata respons konsumen (dibaca: penjualan) dianggap bagus. Karena produsen tidak harus mengejar target penjualan tertentu. Dari jangka waktu penjualan, mereka yakin akan mampu menghabiskan stok dan mendapatkan margin penjualan tertentu. Dalam pengertian Kafi Kurnia, strategi pemotongan harga sangat fleksibel dan terkait dengan strategi penjualan yang lebih luas.
Pada industri yang lebih besar, seperti misalnya automotif, menurut Kafi diskon hanyalah menjadi satu alat disamping berbagai strategi dan aspek bisnis lainnya. Jika ada produk mobil tertentu yang tidak laku, pihak marketing akan segera mengarahkan penjualannya untuk pasar dan wilayah tertentu. Soal harganya turun atau tetap, bisa sangat fleksibel. Yang terpenting, target penjualan tercapai.
Loyal pada harga
Tidak selamanya pemotongan harga terdengar merdu di telinga konsumen. September 2007, perusahaan komputer Apple pernah menurunkan harga jual produk ponsel iPhone sebanyak AS $ 200, menjadi AS $ 400. Dengan pemotongan mereka berharap mencapai target penjualan 2,5 juta unit iPhone pada tahun itu.
Namun akibatnya Steve Jobs, Chief Executive Officer Apple kebanjiran e-mail protes dari para pembeli iPhone yang terlanjur membeli sebelum harga turun. Jobs kemudian memberi kompensasi kepada mereka yang membeli dua minggu sebelum harga turun, untuk berbelanja produk Apple sebesar AS $ 200. Kabarnya setelah pemotongan harga, penjualan ponsel saingan Blackberry itu naik luar biasa dari 9.000 unit per hari menjadi 27.000 unit per hari.
Beruntung, strategi Apple tidak berdampak negatif terhadap citra perusahaan. Karena Michael Goodman, ahli pemasaran AS, dalam bukunya "Reduction Price can Backfire" mewanti-wanti agar berhati-hati karena potongan harga bisa berdampak kepada loyalitas konsumen. Jika ada dua produk yang saling bersaing, adalah wajar jika konsumen memilih produk yang memberi potongan harga. Akhirnya konsumen bisa lebih loyal kepada harga daripada terhadap merek.
Manakala situasi itu terjadi, produk itu nantinya sangat rentan terhadap perubahan harga karena persaingan. Produsen lalu terdorong untuk mengurangi harga (dan keuntungan!) untuk menjaga posisi mereka di pasar. "Faktor loyalitas sangat penting dan tidak untuk dikompromikan dengan harga atau promosi harga yang berlebihan," jelas Goodman.
Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapat loyalitas konsumen sekaligus meningkatkan penjualan. Misalnya pemberian bonus yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh konsumen, pemberian voucher, atau servis gratis selama jangka waktu tertentu. Dalam jangka panjang, pemotongan harga malah bisa mengundang risiko.
Jadi kesimpulannya, bukan cuma pembeli yang harus teliti. Penjual juga harus berhati-hati.
Lebih Tertarik Manfaat Langsung
Survei
Nielsen ShopperTrends 2009 oleh lembaga survei AGB Nielsen,
menyimpulkan bahwa
konsumen di Indonesia lebih tertarik dengan promosi yang memberikan
keuntungan secara langsung, seperti diskon. Namun bukan berarti konsumen
abai terhadap kualitas produk. Kenaikan penjualan produk berkualitas
tetap lebih baik dari produk biasa saja
Diskon (77), Beli sejumlah barang dengan bonus 1 gratis (49), Diskon dengan menunjukkan bukti pembelian (22), Voucher (21), Hadiah langsung (21), Mendapat poin (15), Pembelian dengan pembelian (8), Hadiah undian (5), Uang kembali/cashback (4), Cicilan bunga 0% (3)
Sumber: AGB Nielsen
Diskon (77), Beli sejumlah barang dengan bonus 1 gratis (49), Diskon dengan menunjukkan bukti pembelian (22), Voucher (21), Hadiah langsung (21), Mendapat poin (15), Pembelian dengan pembelian (8), Hadiah undian (5), Uang kembali/cashback (4), Cicilan bunga 0% (3)
Sumber: AGB Nielsen
Pilih Angka Nominal atau Persen?
Diskon atau potongan harga bisa ditawarkan dalam bentuk nominal harga (Rp...) atau dalam persentase (...%).
Masalahnya, manakah yang lebih menarik di mata konsumen?Berdasarkan penelitian Devon DelVecchio, profesor pemasaran dari Miami University, pada 2007, konsumen lebih mudah mengingat angka dalam persentase dibanding dalam nominal. Selain itu, jika potongan harga tergolong tinggi, akan lebih efektif jika disampaikan menggunakan persentasi. Pengaruhnya ada pada ekspektasi harga di benak konsumen. Mereka membayangkan sejumlah angka yang pasti jauh lebih murah.
Sedangkan jika potongan harga rendah, sebaiknya digunakan dalam bentuk angka nominal. Cara ini membuat konsumen bisa lebih cepat mengkalkulasi harga dan bisa cepat dalam mengambil keputusan.
Dimuat di: Majalah INTISARI, September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar