[Elektro85 UI] Ingin Kaya & Gelar S-2
Dwika Sudrajat dwikasudrajat@yahoo.com [elektro85] | Apr 6 (1 day ago) | ||
Okto Sriyono [elektro85] | Apr 6 (1 day ago) | ||
|
Apr 6 (1 day ago)
| |||
Kayaknya yg nulis belum pernah sekolah MBA nih.
Kalo mau kaya ya jadi pengusaha atau ikut mlm.
Kalau sekolah lagi kan kita kaya ilmu. Dosen juga kaya kok. Paling ngga ilmu yg bermanfaat pahalanya tidak berhenti.
Serpong university.
Sent from my iPhone
Sent from my iPhone
__._,_.___
Posted by: Sony SN <sonisn2004@yahoo.com>
S-2 akan berguna bagi kamu yang ingin jadi akademisi, dosen, peneliti, jurnalis, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntut pemahaman ilmu lebih dalam.
I deliver happiness,
Dwika
Ingin Kaya? Jangan Ambil Gelar S-2!
Apakah sampai sekarang kamu masih beranggapan bahwa gelar S-2, khususnya MBA (Master of Business Administration), akan berpengaruh besar bagi kesuksesan finansialmu?
Apakah sampai sekarang kamu masih punya keyakinan bahwa untuk disegani dalam dunia bisnis atau menjadi manager perusahaan yang hebat, kamu perlu sekolah lagi selepas S-1?
Kalau iya, sudah saatnya kamu berpikir ulang.
Gelar MBA tak selalu berpengaruh pada nominal gajimu
Dalam bukunya yang berjudul “The MBA Bubble“, penulis asal Spanyol sekaligus lulusan MBA sekolah bisnis top internasional Mariana Zanetti berargumen bahwa mengejar gelar Master of Business Administration itu buang-buang waktu dan uang. Zanetti, yang bekerja untuk Shell sebelum mengambil program MBA satu tahun di sekolah terkenal Instituto de Impresa (IE) Madrid, akhirnya bekerja di sebuah perusahaan penjual furnitur rumah tangga di Spanyol dengan gaji yang mirip.
“Gaji saya memang tinggi, tapi itu bukan karena gelar MBA saya. Itu karena pengalaman saya bekerja di Shell sebelumnya.Jangan salah, saya tidak bilang bahwa MBA itu tidak berguna sama sekali. Saya bertemu banyak profesor genius dan rekan-rekan yang ambisius. Saya pun mendapatkan banyak ilham tentang bagaimana bisnis berskala global dijalankan. Tapi, itu semua juga akan saya dapatkan seandainya saya tetap bekerja di Shell. Saya tidak perlu secara khusus mengambil gelar ini.”
Wisudawan Pascasarjana UGM via isaninside.net
Zanetti memberi perkecualian:
“Memang ada beberapa jenis pekerjaan yang “menuntut” sang pekerja untuk mengambil gelar MBA. Contohnya, management consulting dan investment banking. Tapi tidak dengan jenis pekerjaan yang lain. Pekerjaan lain lebih mengutamakan kemampuan serta keahlian spesifik seorang individu daripada gelar MBA, yang hanya akan memberi seseorang pengetahuan umum.”
Selain itu, Zanetti menekankan bahwa nominal gaji bulanan yang kamu terima — seberapa tinggi pun itu — tidak akan serta-merta membuat kamu menjadi bagian dari masyarakat kelas atas. Hal ini juga sudah dari dulu ditekankan oleh beberapa penulis yang bukunya berisi soal kemakmuran dan kekayaan. Jika kamu ingin “naik level” dari tingkat masyarakat kelas menengah, kamu wajib mencari sumber pemasukan lain selain gaji bulanan.
Jadi, bagaimana sebenarnya para CEO dan wirausahawan memperoleh kekayaan?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya “Rich Dad, Poor Dad” menjelaskan bahwa orang kaya tidak bekerja demi uang. Mereka bekerja demi menghasilkan aset yang nantinya akan “mencari” uang untuk mereka.
Kalau kamu ingin bekerja demi uang, kuliahlah. Kalau kamu ingin bekerja lebih keras lagi demi hal tersebut, kamu boleh mengambil gelar master. Tapi kalau kamu ingin bekerja demi aset, yang nantinya akan mencarikanmu uang? Gelar akademik yang tercatat dalam CV-mu belum tentu membantu.
Mungkin banyak dari kamu yang menyangka bahwa para jutawan dan CEO perusahaan-perusahaan dunia bisa mencapai posisi mereka yang sekarang berkat kuliah S-2. Padahal dari studi yang dikeluarkan Businessweek, tidak ditemukan adanya korelasi antara gelar master dengan kesuksesan finansial. Coba lihat profil para CEO yang perusahaannya terdaftar di CAC 40 (bursa saham Prancis). Kamu akan menemukan bahwa gelar master itu cuma pilihan segelintir dari mereka. Itu sama sekali bukan kewajiban.
Wisuda program Master di Harvard Business School via www.nextventured.com
Di beberapa perusahaan, gelar S-2 memang diwajibkan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi. Tapi ingat, ini tidak berlaku di semua perusahaan. Dan seperti kata Zanetti tadi: mengandalkan gaji bulanan — bahkan kalaupun kamu sudah ada dalam jenjang yang tinggi di perusahaan itu — tidak akan lantas menjadikanmu masyarakat kelas atas.
Jadi gimana caranya supaya bisa kaya? Kalau kamu mau kaya jadilah entrepreneur, investor, atau jadi kedua-duanya. Kalau kamu mau realistis, hapus impianmu untuk jadi bintang rock, olahragawan, atau CEO Garuda Indonesia. Menurut hitung-hitungan statistik, peluang kamu kecil.
Orang-orang terkaya di dunia saat ini adalah entrepreneur yang tidak punya gelar master. Banyak juga di antaranya yang tidak punya gelar sarjana sama sekali. Mereka berhenti kuliah setelah menyadari kuliah cuma mengajari mereka untuk patuh dan jadi karyawan.
Mark Zuckerberg menerima standing ovation dari karyawannya via www.google.co.id
Hari ini, orang-orang tanpa gelar master ini malah membawahi karyawan yang gelar akademisnya panjang kayak kereta. Contohnya, Mark Zuckerberg di Facebook, Bill Gates (Microsoft), mendiang Steve Jobs (Apple). Amancio Ortega (Zara), Sir Richard Branson (Virgin), dan Ingvar Kampard (Ikea).
Kalau kamu memang masih berminat kuliah S-2, pastikan tujuanmu bukanlah mau jadi kaya. Misalnya, S-2 akan berguna bagi kamu yang ingin jadi akademisi, dosen, peneliti, jurnalis, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntut pemahaman ilmu lebih dalam (Hipwee pernah membahas lebih jauh soal manfaat kuliah S-2 disini).
Jadi, gimana pendapatmu sekarang? Apa kamu masih mau kuliah s-2?
Diadaptasi dari laman Business Insider.
S-2 akan berguna bagi kamu yang ingin jadi akademisi, dosen, peneliti, jurnalis, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntut pemahaman ilmu lebih dalam.
I deliver happiness,
Dwika
Ingin Kaya? Jangan Ambil Gelar S-2!
Apakah sampai sekarang kamu masih beranggapan bahwa gelar S-2, khususnya MBA (Master of Business Administration), akan berpengaruh besar bagi kesuksesan finansialmu?
Apakah sampai sekarang kamu masih punya keyakinan bahwa untuk disegani dalam dunia bisnis atau menjadi manager perusahaan yang hebat, kamu perlu sekolah lagi selepas S-1?
Kalau iya, sudah saatnya kamu berpikir ulang.
Gelar MBA tak selalu berpengaruh pada nominal gajimu
Dalam bukunya yang berjudul “The MBA Bubble“, penulis asal Spanyol sekaligus lulusan MBA sekolah bisnis top internasional Mariana Zanetti berargumen bahwa mengejar gelar Master of Business Administration itu buang-buang waktu dan uang. Zanetti, yang bekerja untuk Shell sebelum mengambil program MBA satu tahun di sekolah terkenal Instituto de Impresa (IE) Madrid, akhirnya bekerja di sebuah perusahaan penjual furnitur rumah tangga di Spanyol dengan gaji yang mirip.
“Gaji saya memang tinggi, tapi itu bukan karena gelar MBA saya. Itu karena pengalaman saya bekerja di Shell sebelumnya.Jangan salah, saya tidak bilang bahwa MBA itu tidak berguna sama sekali. Saya bertemu banyak profesor genius dan rekan-rekan yang ambisius. Saya pun mendapatkan banyak ilham tentang bagaimana bisnis berskala global dijalankan. Tapi, itu semua juga akan saya dapatkan seandainya saya tetap bekerja di Shell. Saya tidak perlu secara khusus mengambil gelar ini.”
Wisudawan Pascasarjana UGM via isaninside.net
Zanetti memberi perkecualian:
“Memang ada beberapa jenis pekerjaan yang “menuntut” sang pekerja untuk mengambil gelar MBA. Contohnya, management consulting dan investment banking. Tapi tidak dengan jenis pekerjaan yang lain. Pekerjaan lain lebih mengutamakan kemampuan serta keahlian spesifik seorang individu daripada gelar MBA, yang hanya akan memberi seseorang pengetahuan umum.”
Selain itu, Zanetti menekankan bahwa nominal gaji bulanan yang kamu terima — seberapa tinggi pun itu — tidak akan serta-merta membuat kamu menjadi bagian dari masyarakat kelas atas. Hal ini juga sudah dari dulu ditekankan oleh beberapa penulis yang bukunya berisi soal kemakmuran dan kekayaan. Jika kamu ingin “naik level” dari tingkat masyarakat kelas menengah, kamu wajib mencari sumber pemasukan lain selain gaji bulanan.
Jadi, bagaimana sebenarnya para CEO dan wirausahawan memperoleh kekayaan?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya “Rich Dad, Poor Dad” menjelaskan bahwa orang kaya tidak bekerja demi uang. Mereka bekerja demi menghasilkan aset yang nantinya akan “mencari” uang untuk mereka.
Kalau kamu ingin bekerja demi uang, kuliahlah. Kalau kamu ingin bekerja lebih keras lagi demi hal tersebut, kamu boleh mengambil gelar master. Tapi kalau kamu ingin bekerja demi aset, yang nantinya akan mencarikanmu uang? Gelar akademik yang tercatat dalam CV-mu belum tentu membantu.
Mungkin banyak dari kamu yang menyangka bahwa para jutawan dan CEO perusahaan-perusahaan dunia bisa mencapai posisi mereka yang sekarang berkat kuliah S-2. Padahal dari studi yang dikeluarkan Businessweek, tidak ditemukan adanya korelasi antara gelar master dengan kesuksesan finansial. Coba lihat profil para CEO yang perusahaannya terdaftar di CAC 40 (bursa saham Prancis). Kamu akan menemukan bahwa gelar master itu cuma pilihan segelintir dari mereka. Itu sama sekali bukan kewajiban.
Wisuda program Master di Harvard Business School via www.nextventured.com
Di beberapa perusahaan, gelar S-2 memang diwajibkan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi. Tapi ingat, ini tidak berlaku di semua perusahaan. Dan seperti kata Zanetti tadi: mengandalkan gaji bulanan — bahkan kalaupun kamu sudah ada dalam jenjang yang tinggi di perusahaan itu — tidak akan lantas menjadikanmu masyarakat kelas atas.
Jadi gimana caranya supaya bisa kaya? Kalau kamu mau kaya jadilah entrepreneur, investor, atau jadi kedua-duanya. Kalau kamu mau realistis, hapus impianmu untuk jadi bintang rock, olahragawan, atau CEO Garuda Indonesia. Menurut hitung-hitungan statistik, peluang kamu kecil.
Orang-orang terkaya di dunia saat ini adalah entrepreneur yang tidak punya gelar master. Banyak juga di antaranya yang tidak punya gelar sarjana sama sekali. Mereka berhenti kuliah setelah menyadari kuliah cuma mengajari mereka untuk patuh dan jadi karyawan.
Mark Zuckerberg menerima standing ovation dari karyawannya via www.google.co.id
Hari ini, orang-orang tanpa gelar master ini malah membawahi karyawan yang gelar akademisnya panjang kayak kereta. Contohnya, Mark Zuckerberg di Facebook, Bill Gates (Microsoft), mendiang Steve Jobs (Apple). Amancio Ortega (Zara), Sir Richard Branson (Virgin), dan Ingvar Kampard (Ikea).
Kalau kamu memang masih berminat kuliah S-2, pastikan tujuanmu bukanlah mau jadi kaya. Misalnya, S-2 akan berguna bagi kamu yang ingin jadi akademisi, dosen, peneliti, jurnalis, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntut pemahaman ilmu lebih dalam (Hipwee pernah membahas lebih jauh soal manfaat kuliah S-2 disini).
Jadi, gimana pendapatmu sekarang? Apa kamu masih mau kuliah s-2?
Diadaptasi dari laman Business Insider.
Apakah sampai sekarang kamu masih beranggapan bahwa gelar S-2, khususnya MBA (Master of Business Administration), akan berpengaruh besar bagi kesuksesan finansialmu?
Apakah sampai sekarang kamu masih punya keyakinan bahwa untuk disegani dalam dunia bisnis atau menjadi manager perusahaan yang hebat, kamu perlu sekolah lagi selepas S-1?
Kalau iya, sudah saatnya kamu berpikir ulang.
Gelar MBA tak selalu berpengaruh pada nominal gajimu
Dalam bukunya yang berjudul “The MBA Bubble“, penulis asal Spanyol sekaligus lulusan MBA sekolah bisnis top internasional Mariana Zanetti berargumen bahwa mengejar gelar Master of Business Administration itu buang-buang waktu dan uang. Zanetti, yang bekerja untuk Shell sebelum mengambil program MBA satu tahun di sekolah terkenal Instituto de Impresa (IE) Madrid, akhirnya bekerja di sebuah perusahaan penjual furnitur rumah tangga di Spanyol dengan gaji yang mirip.
“Gaji saya memang tinggi, tapi itu bukan karena gelar MBA saya. Itu karena pengalaman saya bekerja di Shell sebelumnya.Jangan salah, saya tidak bilang bahwa MBA itu tidak berguna sama sekali. Saya bertemu banyak profesor genius dan rekan-rekan yang ambisius. Saya pun mendapatkan banyak ilham tentang bagaimana bisnis berskala global dijalankan. Tapi, itu semua juga akan saya dapatkan seandainya saya tetap bekerja di Shell. Saya tidak perlu secara khusus mengambil gelar ini.”
Wisudawan Pascasarjana UGM via isaninside.net
Zanetti memberi perkecualian:
“Memang ada beberapa jenis pekerjaan yang “menuntut” sang pekerja untuk mengambil gelar MBA. Contohnya, management consulting dan investment banking. Tapi tidak dengan jenis pekerjaan yang lain. Pekerjaan lain lebih mengutamakan kemampuan serta keahlian spesifik seorang individu daripada gelar MBA, yang hanya akan memberi seseorang pengetahuan umum.”
Selain itu, Zanetti menekankan bahwa nominal gaji bulanan yang kamu terima — seberapa tinggi pun itu — tidak akan serta-merta membuat kamu menjadi bagian dari masyarakat kelas atas. Hal ini juga sudah dari dulu ditekankan oleh beberapa penulis yang bukunya berisi soal kemakmuran dan kekayaan. Jika kamu ingin “naik level” dari tingkat masyarakat kelas menengah, kamu wajib mencari sumber pemasukan lain selain gaji bulanan.
Jadi, bagaimana sebenarnya para CEO dan wirausahawan memperoleh kekayaan?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya “Rich Dad, Poor Dad” menjelaskan bahwa orang kaya tidak bekerja demi uang. Mereka bekerja demi menghasilkan aset yang nantinya akan “mencari” uang untuk mereka.
Kalau kamu ingin bekerja demi uang, kuliahlah. Kalau kamu ingin bekerja lebih keras lagi demi hal tersebut, kamu boleh mengambil gelar master. Tapi kalau kamu ingin bekerja demi aset, yang nantinya akan mencarikanmu uang? Gelar akademik yang tercatat dalam CV-mu belum tentu membantu.
Mungkin banyak dari kamu yang menyangka bahwa para jutawan dan CEO perusahaan-perusahaan dunia bisa mencapai posisi mereka yang sekarang berkat kuliah S-2. Padahal dari studi yang dikeluarkan Businessweek, tidak ditemukan adanya korelasi antara gelar master dengan kesuksesan finansial. Coba lihat profil para CEO yang perusahaannya terdaftar di CAC 40 (bursa saham Prancis). Kamu akan menemukan bahwa gelar master itu cuma pilihan segelintir dari mereka. Itu sama sekali bukan kewajiban.
Wisuda program Master di Harvard Business School via www.nextventured.com
Di beberapa perusahaan, gelar S-2 memang diwajibkan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi. Tapi ingat, ini tidak berlaku di semua perusahaan. Dan seperti kata Zanetti tadi: mengandalkan gaji bulanan — bahkan kalaupun kamu sudah ada dalam jenjang yang tinggi di perusahaan itu — tidak akan lantas menjadikanmu masyarakat kelas atas.
Jadi gimana caranya supaya bisa kaya? Kalau kamu mau kaya jadilah entrepreneur, investor, atau jadi kedua-duanya. Kalau kamu mau realistis, hapus impianmu untuk jadi bintang rock, olahragawan, atau CEO Garuda Indonesia. Menurut hitung-hitungan statistik, peluang kamu kecil.
Orang-orang terkaya di dunia saat ini adalah entrepreneur yang tidak punya gelar master. Banyak juga di antaranya yang tidak punya gelar sarjana sama sekali. Mereka berhenti kuliah setelah menyadari kuliah cuma mengajari mereka untuk patuh dan jadi karyawan.
Mark Zuckerberg menerima standing ovation dari karyawannya via www.google.co.id
Hari ini, orang-orang tanpa gelar master ini malah membawahi karyawan yang gelar akademisnya panjang kayak kereta. Contohnya, Mark Zuckerberg di Facebook, Bill Gates (Microsoft), mendiang Steve Jobs (Apple). Amancio Ortega (Zara), Sir Richard Branson (Virgin), dan Ingvar Kampard (Ikea).
Kalau kamu memang masih berminat kuliah S-2, pastikan tujuanmu bukanlah mau jadi kaya. Misalnya, S-2 akan berguna bagi kamu yang ingin jadi akademisi, dosen, peneliti, jurnalis, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntut pemahaman ilmu lebih dalam (Hipwee pernah membahas lebih jauh soal manfaat kuliah S-2 disini).
Jadi, gimana pendapatmu sekarang? Apa kamu masih mau kuliah s-2?
Diadaptasi dari laman Business Insider.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar