To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Friday, March 8, 2013 8:21 AM
Subject: RE: “merayakan” kegagalan
Tks a lot Dwika, mantap…semoga sharing ilmunya berbalas barokah dan murah rejeki…amien..
From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 08 Maret 2013 5:24
To: dwika@andercakrabuana.com
Subject: “merayakan” kegagalan
Sent: 08 Maret 2013 5:24
To: dwika@andercakrabuana.com
Subject: “merayakan” kegagalan
Perusahaan yang super sukses, kerap “merayakan” kegagalan, bahkan menyebut beberapa kegagalannya sebagai “glorious failures”. Mereka sangat jelas memahami sumber kegagalannya dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melakukan “breakthrough”. Parlemen sendiri kita lihat ada acara “hearing” atau “dengar pendapat” yang dimaksudkan untuk “mendengar” apa, bagaimana, mengapa suatu kejadian terjadi dan apa solusinya.
‘Belajar dari kegagalan’ benar-benar harus kita pelajari kembali. Istilah “success by failure” memang ada dan merupakan kenyataan.
I Deliver Happiness,
Dwika
Gagal
Kita tidak
bisa menutup mata mengenai banyaknya kegagalan yang terjadi di tengah
kita. Mulai dari kekalahan dalam olahraga sepak bola, bulutangkis,
sampai kinerja lembaga
yang hasil kerjanya belum kunjung bisa membuktikan kesuksesannya. Ada
juga kegagalan yang menyebabkan tidak hanya kerugian finansial yang
besar, tapi juga hilangnya nyawa, seperti jembatan ambruk. Hal yang
lebih berbahaya lagi malah bila dampak kegagalan sampai
tidak bisa dihitung kerugiannya secara finansial, tapi
kerusakannya begitu nyata, seperti suburnya korupsi sampai ke generasi
yang lebih muda, ataupun lunturnya pendidikan moral dan budi pekerti.
Dengan gencarnya media sosial sekarang ini, caci maki
bila kegagalan terjadi seringkali membuat kita merinding. Terlepas dari
besar-kecilnya kerugian yang ditimbulkan, komentar-komentar yang
“sadis” segera saja menohok pelaku yang pada kenyataannya memang berbuat
salah atau bodoh. Di perusahaan, bahkan dalam
keluarga pun hal ini terjadi. Ada orang tua yang langsung menghukum
anak yang mendapat angka buruk di ujian, ulangan atau pe-ernya. Ada juga
atasan yang segera mengganjar kesalahan atau kelalaian dengan cercaan,
sehingga pelaku seolah-olah tidak diberi nafas,
baik untuk memberi keterangan atau membela diri.
Beratnya
hukuman terhadap kegagalan menyebabkan kegagalan bisa dianggap sesuatu
yang alergik, tidak boleh terjadi, bahkan tidak boleh ada. Tak heran
bila kita melihat
tumbuh suburnya sikap defensif. Begitu ada gejala ke arah kegagalan,
individu sudah pasang kuda-kuda, siap dengan telunjuknya untuk menuding
orang lain. Bisa juga, ia memutar otak untuk berteori panjang lebar,
mengeluarkan segala jurus analisa, yang penting,
dirinya terlepas dari sorotan, apalagi tanggung jawab untuk menanggung
akibatnya. Kebiasaan untuk menghindari kegagalan ini selain menimbulkan
stress, juga menghilangkan separuh kesempatan untuk belajar. Padahal
kalau dipikir-pikir, mungkinkah kita belajar
dari kesuksesan saja? Bila kita sedang mengalami sebuah sukses besar,
bukankah kita cenderung tidak belajar dari situasi tersebut? Kita jarang
sekali menganalisa “mengapa sukses ini terjadi?“, “Faktor apa
yang dominan?“. “Apa tindakan kita ambil sehingga
kesuksesan bisa berulang?”, Atau, apakah ini hanya keberuntungan saja?
Sementara, bila kegagalan terjadi, dari orang awam sampai ahlinya, akan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk menganalisa penyebabnya. Individu
yang bijak akan langsung memikirkan solusi
dan tindakan perbaikan. Jadi, mengapa kita begitu takut gagal?
Dekati Kegagalan
Pesta-pesta
kesuksesan di perusahaan sudah lazim kita alami. Sebaliknya, pernahkah
kita menelaah bagaimana perusahaan menyikapi kegagalan? Microsoft,
perusahaan yang
super sukses, kerap “merayakan” kegagalan, bahkan menyebut beberapa
kegagalannya sebagai “glorious failures”. Mereka sangat jelas memahami sumber kegagalannya dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melakukan “breakthrough”.
Sebenarnya, bahkan di parlemen sendiri kita lihat ada acara “hearing”
atau
“dengar pendapat” yang dimaksudkan untuk “mendengar” apa, bagaimana,
mengapa suatu kejadian terjadi dan apa solusinya. Jadi, slogan ‘belajar
dari kegagalan’ benar-benar harus kita pelajari kembali. Istilah “success
by failure” memang ada dan merupakan kenyataan.
Sebuah perusahaan, bahkan berani membuat “Hall of failure” dan bukan “hall of fame”
seperti biasanya. Latar belakang pemikiran perusahaan tersebut sangat
jelas.
Perusahaan mengupayakan agar para karyawan meyakini bahwa kegagalan
adalah bagian dari upaya perusahaan yang menginginkan karyawan mau
mengambil risiko dan tidak dihantui ketakutan akan kegagalan. Perusahaan
tersebut bahkan menginstrusikan untuk mencantumkan
cerita kegagalan dan apa yang dipelajari dari kegagalan tersebut,
dilengkapi dengan tandatangan yang bersangkutan. Ada individu yang
menulis di “hall of failure” dengan mengatakan bahwa setelah 7 tahun berusaha, ia berhenti belajar bermain biola. “Lesson
learned” yang ia sampaikan adalah “saya tidak akan peduli dengan
pendapat orang bahwa saya tidak bisa main musik”. Pernyataan ini,
meskipun nampaknya tidak relevan dengan proses bisnis perusahaan, namun
sebenarnya menanamkan keberanian pada mental individu
untuk siap menghadapi kesulitan dalam situasi apapun. Pimpinan
perusahaan bahkan mengatakan “We don't just encourage risk taking at our offices: we demand failure”. Kemajuan, inovasi dan sukses memang sesungguhnya lebih mudah dipelajari dari kesalahan-kesalahan
di sana sini. Hal seperti ini bermanfaat bila saja pendekatan kita terhadap kesalahan memang positif, mendalam dan ditekuni.
Budaya "strongly - weak!"
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar