by: Satria Hadi Lubis
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar…” (QS. 46 : 35)
Sukses
juga berarti perjalanan menuju cita-cita mulia. Tidak peduli apakah
Anda berhasil meraih cita-cita itu atau tidak. Selama Anda konsisten
berada di jalan menuju cita-cita mulia berarti Anda telah sukses dalam
pengertian sebenarnya.
Apakah
Anda tahu kisah hidup Nabi Nuh, Nabi Ayub, Nabi Zakaria atau Nabi Isa?
Mereka adalah sebagian dari nabi yang lebih banyak hidup menderita di
dunia.
Mereka dicerca, dikucilkan, ditimpa berbagai musibah dan kesulitan.
Bahkan Nabi Zakaria tewas dibunuh oleh orang-orang yang membencinya.
Apakah Anda berani mengatakan mereka sebagai orang yang gagal dalam
hidup? Tentu tidak. Sebab jika mereka orang yang gagal, tidak mungkin
Tuhan memuji dan mengangkat mereka sebagai Nabi. Predikat Nabi yang
disandangkan kepada mereka sudah menunjukkan kesuksesan mereka dalam
hidup.
Apa
sebabnya Tuhan mengangkat mereka sebagai orang yang mulia dan sukses di
dunia padahal riwayat hidup mereka lebih banyak berisi kesulitan dan
penderitaan? Kuncinya terletak pada konsistensi mereka untuk berjalan
menuju cita-cita mulia, walau berbagai hambatan dan cobaan menghadang
perjalanan mereka.
Seluruh
Nabi mempunyai cita-cita agar manusia kembali kepada Tuhan dan saling
berkasih sayang satu sama lain. Cita-cita tersebut mereka perjuangkan
dengan sungguh-sungguh sepanjang hidup. Mereka rela mengorbankan waktu,
tenaga, pikiran, bahkan jiwa mereka untuk merealisir cita-cita tersebut.
Tuhan memuji konsistensi mereka dalam memperjuangkan cita-cita yang
mulia. Tuhan menghendaki agar mereka dijadikan contoh bagi manusia
lainnya dalam memperoleh kesuksesan. Mereka adalah orang-orang sukses
karena konsistensinya dalam memperjuangkan cita-cita yang mulia.
Ali
Syari’ati pernah mengajukan pertanyaan : Menurut Anda apakah orang yang
mati dibunuh karena membela seekor kuda yang disiksa majikannya dapat
dikatakan sebagai orang yang mati sia-sia dan konyol? Syari’ati menjawab
: Tidak! Orang tersebut justru mati sebagai pahlawan karena menentang
tindakan sewenang-wenang (terhadap binatang). Ia menjadi orang sukses
karena sungguh-sungguh membela kebenaran, walau terhadap binatang sekali
pun.
Sukses
sebagai proses yang konsisten menuju cita-cita mulia adalah jalan para
pahlawan yang kita kagumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Jalan
Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Tholib yang meninggal karena dibunuh.
Jalan Imam Hambali dan Ibnu Taimiyah (yang dicerca dan dikucilkan
penguasa). Jalan Sholahuddin
Al Ayyubi dan Omar Mukhtar yang menghabiskan usianya untuk berperang
melawan penjajah. Jalan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb yang dibunuh
penguasa. Juga jalan Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Abraham
Lincoln, Nelson Mandela, Jendral Soedirman dan masih banyak lagi nama
lainnya yang hidupnya lebih banyak menderita karena memperjuangkan
cita-cita mulia. Mereka adalah orang-orang besar yang dikagumi sepanjang
sejarah. Orang mengakui kesuksesan hidup mereka karena konsistensinya
memperjuangkan cita-cita mulia.
Jadi,
jika Anda ingin sukses jadilah orang-orang yang konsisten
memperjuangkan cita-cita mulia. Tak peduli apakah Anda berhasil
mewujudkan cita-cita tersebut atau tidak, Anda tetap dikatakan sebagai
orang yang sukses. Selama Anda terus
berada dalam proses menuju cita-cita mulia berarti Anda tetap sukses,
walau mungkin menghadapi kesulitan, penderitaan, cobaan dan bahaya dalam
mewujudkan cita-cita itu. Milikilah keyakinan ini. Keyakinan yang juga
dimiliki para nabi dan rasul, para pahlawan, dan orang-orang besar
sepanjang sejarah manusia. Mereka yakin jalan hidup mereka adalah jalan
kesuksesan dan mereka rela mengorbankan tenaga, pikiran, waktu dan nyawa
mereka untuk memperolehnya. Dunia pun mengakui kesuksesan hidup mereka.
Sayangnya
orang-orang sukses yang konsisten memperjuangkan cita-cita mulia
semakin langka di zaman sekarang. Tergerus oleh pengertian sukses
sebagai kekayaan, ketenaran dan jabatan yang tinggi. Justru orang yang
rela mengorbankan harta dan nyawanya demi
membela kebenaran sering dianggap sebagai orang yang konyol dan
berpikiran sempit saat ini. Mereka dijauhi masyarakat karena dianggap
sok pahlawan dan sok suci. Sebaliknya, orang-orang yang plin-plan dan
tidak punya pendirian, bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
kekayaan, ketenaran dan jabatan yang tinggi dianggap sebagai orang yang
sukses. Inilah logika terbalik tentang kesuksesan. Jangan heran jika
saat ini kita sulit menemukan para pahlawan yang sukses karena konsisten
memperjuangkan cita-cita mulia.
Jika
Anda memandang kesuksesan sebagai proses yang konsisten menuju
cita-cita mulia, maka Anda akan lebih mudah memperoleh kesuksesan. Hari
ini pun Anda bisa sukses jika mulai hari ini Anda bertekad
memperjuangkan cita-cita mulia.
Bahkan Anda telah memperoleh kesuksesan tanpa henti, walau hari ini
Anda berada dalam kesulitan dan musibah, asalkan tetap konsisten
memperjuangkan cita-cita mulia. Inilah salah satu rahasia kesuksesan
yang mudah diraih jika Anda mau melakukannya.
Apa yang Dimaksud Cita-Cita Mulia?
Sukses
sebagai proses menuju cita-cita mulia mensyaratkan pentingnya kita
memiliki cita-cita mulia terlebih dahulu. Sebab tanpa cita-cita mulia
tak ada perjalanan menuju cita-cita mulia. Lalu masalahnya, seperti apa
cita-cita mulia itu? Apa saja kriteria cita-cita yang mulia?
Kemuliaan
bukanlah berdasarkan perasaan subyektif manusia, tapi ia diukur
berdasarkan kebenaran universal yang ada di dunia ini. Kebenaran
universal adalah satu-satunya kebenaran yang sejati di dunia ini. Ia
adalah kebenaran yang bersumber pada empat hal, yaitu : agama, hati
nurani, akal sehat dan ilmu pengetahuan. Kesesuaian antara empat hal
itulah yang disebut kebenaran universal. Jika keempat hal tersebut
saling bertolak belakang maka agama menjadi batu uji terakhir untuk
menentukan kebenaran universal. Nilai-nilai seperti persamaan,
kemerdekaan, kejujuran, kesetiaan, kasih sayang, keindahan,
ketenteraman, keadilan dan keterbukaan adalah contoh dari kebenaran
universal yang sesuai
dengan hati nurani, agama, akal sehat dan ilmu pengetahuan.
Kebenaran
universal bukanlah berdasarkan budaya masyarakat atau perasaan
seseorang. Budaya dan perasaan bersifat subyektif, nisbi bahkan
seringkali tak dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Kita tak dapat
berpegang pada kebenaran berdasarkan budaya dan perasaan sebab hal itu
dapat menjerumuskan kita pada perbedaan dan perselisihan tanpa henti.
Kebenaran universal yang dapat menyatukan kita pada cita-cita yang sama.
Ia merupakan ikatan yang menyatukan peradaban manusia selama-lamanya.
Sukses
Anda tergantung dari keserasian cita-cita Anda dengan kebenaran
universal. Selama cita-cita Anda tidak bertentangan dengan kebenaran
universal, maka hal itu bisa disebut sebagai cita-cita yang mulia. Namun
jika cita-cita yang Anda canangkan bertentangan dengan kebenaran
universal; atau Anda sekedar menuruti hawa nafsu dan budaya setempat
dalam membuat cita-cita Anda, berarti cita-cita Anda bukanlah cita-cita
mulia. Jadi kata kuncinya terletak dari sejauh mana keserasian antara
cita-cita Anda dengan kebenaran universal.
Jika ingin diteliti lebih lanjut, cita-cita mulia adalah cita-cita yang sesuai dengan kriteria berikut :
1. Tidak merugikan diri sendiri Cita-cita
mulia tidak boleh merugikan diri sendiri. Tidak boleh merusak empat
dimensi yang berada pada diri manusia, yaitu akal, perasaan, hati nurani
dan tubuh manusia. Bukan merupakan cita-cita yang mulia jika Anda
mengejar sebuah keinginan yang merusak keempat dimensi tersebut.
Misalnya, bercita-cita untuk menjadi penulis film cabul, bekerja di
bisnis judi, atau menjadi stuntman (pemeran pengganti untuk
adegan-adegan berbahaya). Namun tidak termasuk merusak diri sendiri jika
Anda mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa sekali pun,
untuk memperoleh cita-cita mulia seperti yang dicontohkan para nabi dan
para pahlawan.
2. Tidak merugikan keluarga Cita-cita
mulia juga tidak boleh mengorbankan keharmonisan keluarga. Misalnya,
jangan gara-gara mengejar ambisi untuk menjadi hartawan atau politikus
terkenal, Anda kemudian sering meninggalkan keluarga, sehingga akhirnya
keluarga menjadi berantakan dan tidak harmonis.
3. Tidak merugikan masyarakat Cita-cita
mulia juga tidak boleh merugikan masyarakat, baik itu orang dekat yang
kita kenal maupun orang jauh yang tidak kita kenal. Bercita-cita menjadi
penyanyi dengan goyangan sensual atau menjadi pengusaha judi merupakan
cita-cita yang tidak mulia karena merugikan masyarakat.
4. Tidak merugikan lingkungan alam Bukan
merupakan cita-cita mulia jika lingkungan alam rusak karena mengejar
cita-cita tersebut. Merusak lingkungan alam dapat berupa merusak
tumbuh-tumbuhan, menyakiti binatang, merusak ekosistem, atau membuat
polusi dan limbah.
5. Tidak merugikan generasi pelanjut Cita-cita
mulia juga tidak boleh merugikan generasi pelanjut, seperti merusak
masa depan anak-anak dan pemuda. Cita-cita menjadi games programer untuk
mainan anak-anak yang tidak mendidik, menjadi penyalur film porno atau
menjadi bandar narkoba adalah contoh jelas dari sebuah cita-cita yang
tidak mulia karena merusak generasi pelanjut.
Jadi
jika ingin sukses, Anda perlu memiliki cita-cita yang mulia terlebih
dahulu. Contoh cita-cita mulia itu
banyak sekali, seperti menjadi penulis novel, pengusaha garmen, dosen,
guru, da’i, olahragawan, penyanyi, dan lain-lain, asalkan semua itu
tidak bertentangan dengan kriteria di atas. Tanpa adanya cita-cita
(tujuan) yang mulia tidak mungkin Anda memperoleh kesuksesan sejati.
Satria Hadi Lubis
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar