Apakah Anda Ingin Kaya?
by Johan Wahyudi Sejarah adalah sebuah pelajaran. Tanpa sejarah, kita tidak dapat memahami segala masalah secara objektif. Studi empiris memang diperlukan agar sikap kita tetap kritis. Dan sejarah itu tak berulang.
Sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat begitu berhati mulia. Kebaikan hatinya begitu abadi di mata umat. Kesantunan berbicara, kerendahan hati dalam bersikap, dan kemurahan hati dalam bederma telah dilakukannya tanpa tertutupi niat selain-Nya.
Satu sikap yang membuatku malu adalah bederma. Semasanya, semua sahabat yang tergolong dalam khulafaurraasyidiin adalah saudagar kaya. Bahkan terkaya di masanya. Namun, kerendahan hati dan kedermawanannya benar-benar ditampakkan.
Kisah demi kisah telah membuktikannya. Anda tentu masih ingat ketika Islam memerlukan biaya yang sangat banyak untuk menghadapi kaum kafir. Spontan, semua harta Abu Bakar ra. diberikan. Rasulullah sempat terhenyak dengan “kenekatan” Abu Bakar itu. Lalu, beliau pun bertanya, “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau berikan semua hartamu? Bagaimana keluargamu nanti makan?” Mendengar pertanyaan itu, Abu Bakar tersenyum sembari menjawab, “Saya masih punya Allah.” Kalimat sederhana kaya makna.
Melihat gelagat seperti itu, Umar bin Khattab tidak tinggal diam. Meskipun diliputi keraguan, akhirnya beliau pun menyerahkan semua hartanya. Namun, Rasulullah hanya menerima sebagian. Begitulah sikap terpuji itu.
Lalu, miskinkah mereka setelah bersedekah? Tidak! Kita belum pernah membaca atau mendengar riwayat tentang kemiskinan beliau. Belum pernah ada sejarah yang menyebut bahwa di masa Rasulullah dilanda kemiskinan atau kekurangan. Sementara, sikap-sikap dermawan itu benar-benar menjadi tradisi kuat melekat.
Dari hari ke hari, kekayaan mereka justru kian bertambah. Mereka begitu mengimani janji Tuhannya. ”Dan sesungguhnya Aku itu mengadakan jual beli yang sangat baik dengan mereka”. Tuhan itu akan membeli ”perniagaan” mereka dengan harga yang sangat mahal. Maksudnya, Tuhan akan memberikan keuntungan berlipat kepada hamba yang benar-benar bermaksud berniaga dengan-Nya.
Untuk kisah-kisah di atas, kita baru sebatas percaya. Dan kepercayaan itu begitu kuat. Namun, tak satupun tindakan sebagai wujud kepercayaan itu kita lakukan. Wajarlah kita terus merasa miskin.
Dari hari ke hari, kita terus berburu harta. Sementara, harta itu tak dapat memberi pertolongan kepada pemiliknya kecuali harta yang dibersihkan dengan zakat, sedekah, atau infaq. Kita begitu takut anak-cuku kita berkekurangan. Kita pun mendepositokan begitu banyak kekayaan. Kita membangun rumah megah meskipun anak baru berumur SD. Kita mendirikan perusahaan untuk diwariskan karena ketakutan anak cucu akan kelaparan. Mengapa kita justru tidak merasa takut ketika tiada kawan di kuburan? Dengan siapakah kita akan berkawan? Seandainya penghuni kuburan bisa kirim SMS ke kita….??? (www.solopeduli.com)
Sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat begitu berhati mulia. Kebaikan hatinya begitu abadi di mata umat. Kesantunan berbicara, kerendahan hati dalam bersikap, dan kemurahan hati dalam bederma telah dilakukannya tanpa tertutupi niat selain-Nya.
Satu sikap yang membuatku malu adalah bederma. Semasanya, semua sahabat yang tergolong dalam khulafaurraasyidiin adalah saudagar kaya. Bahkan terkaya di masanya. Namun, kerendahan hati dan kedermawanannya benar-benar ditampakkan.
Kisah demi kisah telah membuktikannya. Anda tentu masih ingat ketika Islam memerlukan biaya yang sangat banyak untuk menghadapi kaum kafir. Spontan, semua harta Abu Bakar ra. diberikan. Rasulullah sempat terhenyak dengan “kenekatan” Abu Bakar itu. Lalu, beliau pun bertanya, “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau berikan semua hartamu? Bagaimana keluargamu nanti makan?” Mendengar pertanyaan itu, Abu Bakar tersenyum sembari menjawab, “Saya masih punya Allah.” Kalimat sederhana kaya makna.
Melihat gelagat seperti itu, Umar bin Khattab tidak tinggal diam. Meskipun diliputi keraguan, akhirnya beliau pun menyerahkan semua hartanya. Namun, Rasulullah hanya menerima sebagian. Begitulah sikap terpuji itu.
Lalu, miskinkah mereka setelah bersedekah? Tidak! Kita belum pernah membaca atau mendengar riwayat tentang kemiskinan beliau. Belum pernah ada sejarah yang menyebut bahwa di masa Rasulullah dilanda kemiskinan atau kekurangan. Sementara, sikap-sikap dermawan itu benar-benar menjadi tradisi kuat melekat.
Dari hari ke hari, kekayaan mereka justru kian bertambah. Mereka begitu mengimani janji Tuhannya. ”Dan sesungguhnya Aku itu mengadakan jual beli yang sangat baik dengan mereka”. Tuhan itu akan membeli ”perniagaan” mereka dengan harga yang sangat mahal. Maksudnya, Tuhan akan memberikan keuntungan berlipat kepada hamba yang benar-benar bermaksud berniaga dengan-Nya.
Untuk kisah-kisah di atas, kita baru sebatas percaya. Dan kepercayaan itu begitu kuat. Namun, tak satupun tindakan sebagai wujud kepercayaan itu kita lakukan. Wajarlah kita terus merasa miskin.
Dari hari ke hari, kita terus berburu harta. Sementara, harta itu tak dapat memberi pertolongan kepada pemiliknya kecuali harta yang dibersihkan dengan zakat, sedekah, atau infaq. Kita begitu takut anak-cuku kita berkekurangan. Kita pun mendepositokan begitu banyak kekayaan. Kita membangun rumah megah meskipun anak baru berumur SD. Kita mendirikan perusahaan untuk diwariskan karena ketakutan anak cucu akan kelaparan. Mengapa kita justru tidak merasa takut ketika tiada kawan di kuburan? Dengan siapakah kita akan berkawan? Seandainya penghuni kuburan bisa kirim SMS ke kita….??? (www.solopeduli.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar