Ini berpotensi bisa dimanfaatkan.
Kekhawatiran terbesar dalam situasi krisis adalah penolakan.
Penolakan adalah tanda yang lebih baik dari apatis alias rasa tidak peduli.
Penolakan adalah bentuk kepedulian: terhadap persepsi dan pendapat sendiri.
I Care About You,
Dwika
Mengkomunikasikan Krisis, Musibah dan Bencana
QA-Communication
Berikut ini adalah semacam panduan kasar tentang mengkomunikasikan krisis, musibah atau bencana. Sedikit banyak kita berharap bahwa ini bisa berguna tanpa kita mendoakan datangnya lagi musibah dan bencana.
Semoga bermanfaat bagi siapapun yang terlibat dalam penanganan krisis, musibah dan bencana.
EMPAT MACAM KOMUNIKASI KRISIS
1. RELASI PUBLIK: TINGKAT KERUGIAN TINGGI, REAKSI MASSA RENDAH
Reaksi massa yang rendah, berarti massa (dalam hal ini audience) yang apatis akibat shock atau ketakutan. Mengontrol massa ini adalah sangat sulit. Oleh sebab itu, komunikator -- dalam hal ini bisa pejabat SAR, pejabat negara atau daerah, kepala unit reaksi tanggap darurat, ketua tim evakuasi atau bahkan kepala negara, harus memahami PESAN KUNCI yang harus disampaikan kepada masyarakat yang sedang kacau-balau.
Gunakan SESEDIKIT MUNGKIN kata-kata, dan TEMUKAN CARA untuk membuatnya MENARIK PERHATIAN. Dalam situasi ini, massa yang dihadapi adalah massa yang sangat berkonsentrasi pada diri mereka sendiri-sendiri.
Tugas utama komunikator dalam situasi seperti ini adalah MEMPROVOKASI REAKSI yang lebih besar dan TERARAH.
Massa yang apatis adalah massa yang sangat besar. MEDIA MASSA akan memegang peranan yang sangat penting. Hambatan akan muncul dari sisi:
- Ketidakwaspadaan massa audience;
- Besarnya massa audience;
- Penolakan oleh media massa;
- Kebutuhan untuk "mempaket" ulang pesan menjadi singkat dan berimplikasi kuat;
- Implikasi berbagai kebijakan penanganan krisis.
Komunikator dalam hal ini hanya perlu MENDENGAR SEDIKIT saja berkaitan dengan pertimbangan, penolakan dan keberatan massa yang bersangkutan.
Komunikator harus selalu siap untuk mengganti taktik dalam menangani krisis, saat massa audience mulai menunjukkan gejala mau bekerjasama.
2. RELASI STAKEHOLDER: TINGKAT KERUGIAN MODERAT, REAKSI MASSA MODERAT
Tidak seperti publik yang menjadi korban langsung dari krisis, musibah dan bencana, stakeholders lebih punya perhatian terhadap persoalan yang besar dan luas.
Dalam hal ini, komunikator krisis harus mau MENDISKUSIKAN isu yang sedang terjadi dengan TERBUKA dan RASIONAL bersama mereka. Komunikator harus MENJELASKAN sudut pandang dan mau MERESPON pertanyaan dan pertimbangan dari pihak stakeholder.
Stakeholders adalah segala pihak yang punya kemampuan untuk mengontrol massa, atau memiliki otoritas untuk ikut berkoordinasi di dalam krisis, musibah dan bencana, dan bukan massa yang menjadi korban krisis, musibah dan bencana itu sendiri.
Komunikasi dengan para stakeholder sangat tergantung pada DIALOG ANTAR PERSONAL. Komunikasi ini bisa bergeser menjadi komunikasi yang sangat tidak efisien. Waspadalah tentang hal ini.
Selain media massa umum, MEDIA MASSA KHUSUS sangat memegang peranan. Komunikator harus siap untuk menjelaskan DETIL TEKNIS. Audience inilah yang paling ingin mendengarkan soal teknis. Selanjutnya, biarkan para stakeholder ini yang menduplikasikan pesan-pesan yang akan dikomunikasikan.
3. MANAJEMEN MASSA: TINGKAT KERUGIAN RENDAH, REAKSI MASSA TINGGI
Ada saat di mana massa yang menjadi korban krisis, musibah dan bencana menjadi kacau-balau dan diserang kepanikan. Satu hal yang perlu dipahami oleh setiap komunikator adalah bahwa tingkat bahaya dari kepanikan itu sendiri biasanya RENDAH.
Massa yang panik ini biasanya di-"provokasi" oleh sekelompok massa kecil yang histeris. Di sisi yang lain, ada kelompok lain dari massa yang mengobservasi dan memantau bagaimana berbagai kontroversi dan spekulasi berkembang.
Dalam situasi ini, apa yang diperlukan dari seorang komunikator adalah MENDENGARKAN, MENGAKUI, MEMINTA MAAF dan BERBAGI KENDALI dengan massa, khususnya yang menjadi elemen "provokator". Berbagai kontroversi biasanya akan berhenti manakala kelompok "provokator" ini bisa terpuaskan.
Bentuk komunikasi terbaik dalam situasi seperti ini adalah DIALOG IN-PERSON, sekalipun massa biasanya akan mendominasi komunikasi.
Kendala komunikasi yang terjadi di antaranya disebabkan oleh:
- Agresifitas massa terhadap komunikator;
- Agresifitas komunikator terhadap massa;
- Kehilangan fokus untuk mengkomunikasikan substansi krisis;
- Komplikasi atau kontradiksi dengan media komunikasi yang lain.
4. KOMUNIKASI KRISIS: TINGKAT KERUGIAN TINGGI, REAKSI MASSA TINGGI
Ini sangat jarang terjadi, namun bisa dipastikan akan terjadi dalam situasi krisis yang gawat seperti bencana alam. Massa atau audience-nya raksasa. Dan pada saat yang sama, dikuasai oleh amarah, kepanikan, ketakutan dan teror. KETAKUTANLAH yang sebenarnya menguasai massa ini.
Tugas utama komunikator dalam hal ini adalah membantu massa menghadapi BEBAN, KETAKUTAN dan KEPILUAN yang dialami.
Strategi kuncinya adalah:
- Menghindari memberi pernyataan atau jaminan keselamatan yang berlebihan;
- Melakukan sharing untuk berbagai dilema yang muncul dalam situasi krisis;
- Bersikap manusiawi dan simpatik;
- Penyediaan dan fasilitasi berbagai hal dan aksi yang bisa dilakukan;
- Memantau dan memonitor berbagai ketidakpastian.
Komunikasi krisis akan sangat tergantung pada MEDIA MASSA. Dan dalam hal ini, TIDAK TERLALU DIPERLUKAN ungkapan atau pernyataan yang diperhalus. Dalam situasi krisis SETIAP ORANG ADALAH STAKEHOLDER, termasuk para penonton dan pembaca media massa yang berada jauh dari tempat terjadi krisis, musibah atau bencana.
Kendala terbesar komunikasi dalam situasi ini adalah:
- KEGAGALAN dalam MEMBEDAKAN metode komunikasi dengan tugas ke-PR-an yang rutin. Orang yang biasa berkomunikasi baik dalam situasi normal, dapat saja menjadi komunikator yang buruk dalam situasi krisis. Mereka harus bisa menyesuaikan diri dan metode komunikasinya dengan situasi yang sedang terjadi;
- TEKANAN KRISIS itu sendiri. Apa yang perlu diingat oleh komunikator dalam situasi ini, adalah bahwa apapun yang dilakukan oleh massa yang panik dan dikecam teror, TIDAK ditujukan untuk menyerang komunikator. Bahkan, setiap bentuk kemarahan yang tertuju pada komunikator, HARUS DIABAIKAN sampai krisis berlalu.
ELEMEN KOMUNIKASI KRISIS
1. INFORMASI
Apa yang kita ketahui tentang krisis ini?
Apa yang ingin diketahui orang banyak?
Bagaimana mengkomunikasikannya dengan efektif?
Semua itu berbeda-beda dalam setiap krisis. Komunikator bisa merencanakan di muka, untuk berbagai krisis yang bisa diprediksi.
2. LOGISTIK DAN MEDIA
Bagaimana sesungguhnya pesan-pesan bisa disampaikan ke tangan (dan sebisa mungkin ke pikiran) audience?
Ini melibatkan berbagai hal mulai dari penanganan telepon (jalur apa, provider mana, gratis atau bayar dan sebagainya), penyamaan frekuensi radio antar unit atau instansi (polisi, SAR, pemadan kebakaran, rumah sakit) dan sebagainya.
Untuk manajemen dan organisasi ini, setiap komunikator dan organisasi yang terlibat dalam penanganan krisis, sebaiknya memahami panduan yang telah ada dalam bentuk CD/DVD, yang bisa diperoleh dari U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang berjudul "Emergency Risk Communication CDCynergy”.
3. AUDIENCE ASSESMENT
Pihak mana sajakah yang harus dicapai?
Apa yang sudah terpikirkan oleh mereka?
Bagaimana semua itu mempengaruhi apa yang akan kita komunikasikan?
Dalam setiap krisis, audience tidak semuanya sama dan tidak berada dalam kekosongan informasi. Dalam faktanya, informasi itu bahkan mungkin simpang-siur dan ditambahi dengan sistem nilai dan emosional yang ada pada mereka sendiri. Ini akan menyulitkan komunikasi.
Untuk itu komunikator harus bisa memulainya dari TITIK DI MANA MEREKA MEMULAINYA.
4. KETERLIBATAN AUDIENCE
Bagaimana komunikasi bisa terjadi secara DUA ARAH dengan efektif?
Bagaimana membuat audience aktif dan bukan pasif?
Keterlibatan massa audience adalah sangat penting. Setiap orang yang secara aktif TERLIBAT dan MELAKUKAN SESUATU, lebih punya daya tahan terhadap teror. Oleh sebab itu, jika tidak mengalami sesuatu yang parah, setiap anggota massa audience yang CUKUP SEHAT, semestinya didorong untuk ikut melakukan berbagai hal secara aktif, dan bukan menyelami perasaannya sendiri. Sebab, ini akan mengakibatkan mereka makin terjerumus ke dalam situasi shock-nya. Mereka akan lebih rentan terhadap berbagai isu dan teror. Jadi, libatkan mereka.
Berikan daftar kepada mereka, apa-apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu, dan tidak berdiam diri saja dicekam ketakutan dan teror.
5. METAMESSAGING
Ini adalah sebuah metode atau cara untuk memberi penekanan pada ISI atau SUBSTANSI dari krisis dan bukan hanya sekedar INFORMASI tentang krisis.
- Bagaimana meyakinkan massa;
- Bagaimana meyakinkan diri;
- Bagaimana menangani emosi massa; dan sebagainya.
Jebakan yang sering muncul, adalah bahwa elemen perencana penanganan krisis lebih berfokus pada intuisi, yang berakibat:
- Berlebihan dalam meyakinkan;
- Berlebihan dalam percaya diri;
- Tidak manusiawi;
- Tidak toleran pada emosi pihak lain.
Strategi terbaik yang bisa dilakukan adalah mengkounter berbagai upaya implementasi yang berbasis intuisi.
6. SELF ASSESSMENT
Bagaimana sistem nilai kita, emosi kita, dan berbagai persoalan politik berpengaruh terhadap penanganan krisis?
Dalam situasi apa biasanya kita salah?
Apa hambatan yang berasal dari dalam?
Bagaimana mengatasinya?
7. REKOMENDASI UNTUK KOMUNIKASI KRISIS
- Jangan berlebihan dalam meyakinkan sesuatu kepada massa;
- Ungkapkan hal itu BUKAN sebagai pernyataan utama;
- Singkirkan atau tunda berbagai hal yang bisa menghambat penanganan krisis;
- Telusuri berbagai ketidakpastian;
- Sharing berbagai dilema yang muncul;
- Pahami berbagai perbedaan pendapat yang terjadi;
- Mau berspekulasi untuk situasi tertentu;
- Tidak perlu perencanaan yang berlebihan, tidak perlu diagnosis yang berlebihan;
- Jangan berharap bisa menghilangkan ketakutan dan teror;
- Jangan permainkan emosi massa;
- Legitimasikan ketakutan dan teror massa;
- Bertoleransilah untuk reaksi awal yang cenderung berlebihan;
- Mantapkan rasa manusiawi;
- Katakan kepada massa apa yang diharapakan;
- Tawarkan kepada massa hal-hal yang bisa dilakukan;
- Biarkan orang memilih tindakan sepanjang tidak membahayakan;
- Minta bantuan personil lebih banyak;
- Pahami tentang kesalahan, defisiensi dan perilaku menyimpang dalam penanganan krisis;
- Eksplisit jika berkaitan dengan pernyataan yang menjadi patokan;
- Eksplisit jika merubah pernyataan, prediksi atau kebijakan resmi;
- Tidak berbohong, tidak mengatakan hanya separuh-separuh;
- Capailah keterbukaan dan transparansi yang total;
- Berhati-hati dalam membandingkan risiko.
DILEMA DALAM KOMUNIKASI KRISIS
- Keterbukaan versus kerahasiaan;
- Spekulasi versus keengganan berspekulasi;
- Keragu-raguan versi kepercayaan diri dan keyakinan;
- Menjadi pengingat atau menjadi pihak yang menakut-nakuti;
- Profesionalisme versus manusiawi;
- Memaafkan versus defensif;
- Desentralisasi versus sentralisasi;
- Kontrol oleh publik versus kontrol oleh pakar;
- Perencanaan untuk penolakan versus perencanaan karena kepanikan;
- Penundaan versus reaksi cepat.
Berhati-hatilah dalam menghadapi dilema-dilema di atas.
PENANGANAN EMOSI
1. KETAKUTAN, PANIK DAN PENOLAKAN
Ketakutan mencakup:
- Apatis;
- Concern;
- Takut;
- Teror;
- Panik;
- Penolakan.
Panik SANGAT DESTRUKTIF dan SANGAT MENULAR. Dalam banyak kasus, menangani kepanikan sering dijadikan sasaran dalam manajemen krisis. Namun dalam banyak kasus juga, sasaran itu justru salah karena kepanikan jarang terjadi, dan bukan itu yang paling utama ditangani.
Dalam banyak kasus, otoritas penanganan krisis sering salah mempersepsi kepanikan. Orang-orang yang berlarian kesana kemari menyelamatkan diri, bukanlah bentuk kepanikan. Mereka hanya melakukan apa yang menurut mereka terbaik dan bisa dilakukan, yaitu menyelamatkan diri. Ini bukan kepanikan. Itu semua bukan bentuk
kepanikan, sepanjang bermuara pada keselamatan dan tidak membahayakan orang lain. Lebih baik lagi, jika semua aktivitas itu dilakukan secara terkoordinir.
Panik adalah segala aktivitas atau tindakan yang merusak atau membahayakan.
Kekhawatiran terbesar dalam situasi krisis adalah penolakan. Penolakan adalah tanda yang lebih baik dari apatis alias rasa tidak peduli. Penolakan adalah bentuk kepedulian: terhadap persepsi dan pendapat sendiri. Ini berpotensi bisa dimanfaatkan. Apa yang penting, adalah bahwa pesan yang disampaikan tidak membuat mereka menjadi lebih takut, melainkan menjadi lebih berani mengambil tindakan yang kooperatif.
2. PARANOID DAN VIGILANCE
Sikap ini mencerminkan persepsi tentang tingginya suatu risiko. Saat komunikator meminta massa untuk sangat waspada, ia meminta mereka menjadi vigilant. "Awas!!"
Peringatan keras seperti di atas harus diberikan secara spesifik dengan berbagai pembedaan agar tidak semua hal dipandang punya tingkat risiko yang sama. Jika hal ini gagal dilakukan, maka massa akan cenderung terdorong menjadi paranoid.
Sikap vigilance dalam banyak hal masih lebih rasional. Ini berbeda dari paranoid, yang sama sekali telah kehilangan rasionalitas. Paranoid menjadi lebih berbahaya.
3. EMPATI, PENDERITAAN DAN DEPRESI
Empati mendorong kita untuk membantu. Makin tinggi tingkat krisis, musibah atau bencana, kesedihan akan bergeser menjadi penderitaan, duka lara dan nestapa. Semua ini harus diakui keberadaannya di dalam krisis, tanpa menjadikannya sebagai hambatan untuk penanganan lebih lanjut.
4. LUKA DAN KEMARAHAN
Dalam tingkat tertentu, kemarahan bisa menjadi alat yang fungsional dan cukup membantu. Namun jika itu telah bergeser menjadi amuk atau murka, maka ia kehilangan manfaatnya.
Ini juga harus diakui, sehingga tidak memunculkan efek penolakan yang akan mengganggu jalannya proses penanganan krisis, musibah dan bencana.
5. RASA BERSALAH
Ada tiga sebab munculnya rasa bersalah:
- Caretaker: mis; orang tua yang merasa gagal menyelamatkan anak-anaknya;
- Survivor: orang yang selamat dari krisis, musibah dan bencana;
- Rutinitas: kebiasaan dalam berbagai proses.
REKOMENDASI KOMUNIKASI PASKA KRISIS, MUSIBAH DAN BENCANA
1. Katakan kepada setiap pihak yang perlu tahu;
2. Katakan kepada setiap pihak yang sudah tahu atau ingin tahu;
3. Jangan "perkecil" apa yang telah terjadi;
4. Jangan singkirkan informasi kerusakan yang terjadi;
5. Ungkapkan belasungkawa;
6. Tunjukkan apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki keadaan;
7. Lakukan investigasi publik;
8. Diskusikan rumor, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun;
9. Publikasikan info yang nyaris tidak terlihat;
10. Jadilah yang terakhir dalam "melupakan" krisis.
MENGKOMUNIKASIKAN JENAZAH DAN MAYAT KORBAN
Meyakinkan massa untuk segera mengurus jenazah bukanlah pekerjaan mudah. Massa yang sibuk dengan berbagai perasaan, ketakutan dan teror yang dialaminya, sering cenderung kurang kooperatif dalam mengurus jenazah dan mayat yang berserakan. Beberapa sebab di antaranya adalah berikut ini. Komunikasikannlah apa-apa yang perlu untuk menguranginya.
1. NAUSEA
Orang merasa mual dan ingin muntah manakala menghadapi mayat dan jenazah yang memilukan. Segeralah komunikasikan kepada mereka tentang bahaya keberadaan mayat di tempat terbuka. Mayat manusia bisa membawa penyakit.
2. RASA BERSALAH SURVIVOR
Mayat mengingatkan massa bahwa mereka "berhasil" dan mayat-mayat itu "tidak". Menguburkannya sesegera mungkin akan membuat mereka segera mengalihkan pikiran dan perasaannya dari rasa bersalah itu.
3. KETAATAN PADA AGAMA
Agama pada umumnya memerintahkan untuk sesegera mungkin mengurus mayat dan jenazah.
4. RESPEK
Menyegerakan mengurus mayat dan jenazah, tidak hanya menghormati si mayat akan tetapi juga menghormati diri sendiri sebagai manusia.
5. SIMBOL RECOVERY
Berseraknya mayat dan jenazah di mana-mana, menunjukkan situasi yang masih kacau dan bencana yang masih mencekam. Upaya pengurusan mayat dan jenazah menyimbolkan kebangkitan. Ini adalah perlambang proses normalisasi.
6. HANTU DAN TAKHYUL
Segera mengurus jenazah dan mayat akan menekan merebaknya kepercayaan dan takhyul yang menyimpang.
Semoga musibah dan bencana bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amiiieen.
Sebagian besar disarikan dari materi oleh:
Peter M sandman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar