Meski teknologi telekomunikasi seluler generasi ketiga atau dikenal dengan 3G telah diluncurkan dan pelanggannya mulai bertambah, namun ketidakpercayaan dan kekecewaan terhadap bisnis 3G ini belumlah hilang.
Hal itu terjadi karena teknologi 3G masih mewarisi infrastruktur dari generasi kedua (2G) bukan internet protokol (IP), streaming video yang digembar-gemborkan masih nampak seperti slideshow beresolusi rendah serta data rate yang hampir sama dengan dial up daripada digital subscriber line (DSL).
Itu yang disebut-sebut banyak pihak bahwa teknologi 3G belum matang, bahkan masih dianggap sebagai 'versi beta', di mana 'versi jualan'-nya masih berada di masa depan. Ketidakpuasan itulah yang memacu percepatan generasi yang lebih tinggi daripada 3G, yaitu 4G.
Semula, teknologi seluler generasi keempat ini yang mampu mengirimkan data hingga 100 megabit per second (Mbps) ini diprediksi baru hadir pada 2010, namun beberapa perusahaan telepon seluler menargetkan 4G siap pakai pada 2006.
Generasi Ketiga
Sebelum kehadiran 3G, diramalkan akan terjadinya perkembangan signifikan terhadap sistem telekomunikasi seluler. Keunggulan utama 3G adalah pada kemampuannya mengirimkan data per detik yang lebih besar dari generasi kedua (2G) maupun 2,5 G. Misalnya WCDMA (wide code division multiple access) yang mampu mengirim data 2 Mbits per detik, CDMA 2000 1X dengan 4,8 Mbps. Bandingkan dengan GSM yang hanya mampu mengirimkan data 9,6 kilobit per second (Kbps).
Tidak mengherankan jika begitu banyak operator seluler di seluruh dunia yang mengajukan lisensi. Berdasarkan laporan dari 3GSM World Congress 2002, Singapura mengajukan tiga lisensi, Inggris lima lisensi, Jerman enam lisensi, Jepang tiga lisensi, Australia enam lisensi, Italia lima lisensi, Denmark empat lisensi, Prancis empat lisensi, Hong Kong empat lisensi dan Korea Selatan dua lisensi.
Euforia akan hadirnya teknologi seluler yang lebih menjanjikan dibanding pendahulunya ini membuat para operator menghabiskan jutaan hingga miliar-an dolar untuk biaya lisensi. Seperti Singapura yang mengeluarkan dana US$173 juta, Inggris dengan lima lisensi US$35,56 miliar, Australia US$580 juta, Denmark US$472 juta, Prancis US$524 juta, Hong Kong US$2,23 miliar, serta Korsel US$3,3 miliar.
Kemduian, terjadi perkembangan sebaliknya. Biaya investasi yang cukup tinggi membuat para operator berniat mengembalikan lisensinya. Apalagi dengan melihat kemajuan yang didapat salah satu perusahaan pertama yang menggunakan layan 3G, NTT DoCoMo, dari Jepang, yang hanya mampu menggaet 155.000 pelanggan hingga awal tahun ini. Kekecewaan menyelimuti sejumlah operator dengan daya serap teknologi ini yang tidak sesuai dengan harapan.
Kendala penetrasi 3G adalah persoalan beban biaya yang kemudian menjadi beban konsumen. Harga layanan 3G dan juga handset yang mendukung teknologi ini masih begitu mahal. Seperti ponsel yang dikembangkan Hutchison bersama Motorola dan NEC, dilepas ke pasar seharga US$750 per unit.
Tidak hanya itu, saat ini juga sedang ramai diangkat ke permukaan mengenai royalti yang harus dibayar operator dan vendor kepada pemilik hak atas kekayaan intelektual 3G.
Akibatnya, banyak proyek-proyek 3G yang kemudian dihentikan atau paling tidak ditunda. Alasannya jelas. Return of investment sulit dikalkulasi. Sebab jika tidak begitu, maka kerugian yang diderita akan makin banyak.
Memang tidak dapat disangkal bahwa 3G juga sukses lewat operator Jepang KDDI yang menggunakan teknologi CDMA 2000 1x EVDO/EVDV. Hingga September 2002, pelanggan mereka lebih dari dua juta orang dan ditargetkan akan mencapai 6 juta-7 juta pelanggan pada bulan ini.
Hanya saja, laporan Research Allied Business Intelligence (ABI) tetap berkeyakinan bahwa perkembangan 3G sulit diprediksi. Banyak kendala di masa depan yang harus dihadapi. Selain itu, penggunaan jaringan 3G juga akan dipengaruhi teknologi EDGE dan Wi-Fi.
Generasi Keempat
Penelitian mengenai 4G telah berlangsung lebih dari satu dekade. Riset pertama dilakukan di Eropa pada awal 1990-an. Riset ini dimaksudkan untuk menginvestigasi teknologi yang memungkinkan mentransmisikan data dengan kecepatan tinggi yang mampu melayani kebutuhan komunikasi bergerak hingga tahun 2020.
Proyek yang paling maju adalah mobile broadband system (MBS) sebagai hasil kolaborasi antara beberapa perusahaan dan perguruan tinggi yang diawasi oleh komisi Eropa. Para investor MBS menginginkan terciptanya sistem seluler yang menjamin kualitas pelayanan dan mampu mentransmisikan data hingga 155 Mbps (STM-1 atau Oc-3) yang setara dengan 63 x 2 Mbps atau 1890 kanal 64 Kbps.
Pada tahun 1995, MBS telah mencapai 34 Mbps. Transmisi Data yang lebih tinggi didapat dengan penggunaan beberapa jaringan secara paralel. Pengetesan telah dilakukan baik secara indoor maupun outdoor. Tingkatan fisik (physical layer) yang digunakan MBS berdasarkan varian TDMA (time division multiple access), yang digunakan oleh sebagian besar telepon 2G.
Namun, seiring dengan percepatan dari 2020 menjadi 2010 yang kemudian 2006, spesifkasi juga berubah. Tingkatan fisik yang digunakan berubah menggunakan orthogonal frequency division multiplexing (OFDM). OFDM merupakan teknologi yang tahan terhadap interferensi yang disebabkan sinyal radio pada jalur yang banyak (multiple path) dan menggunakan IPv6.
MBS diharapkan menjadi layanan yang mandiri. Sebuah pipa data besar yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Dalam 4G, tiap ponsel dirancang mempunyai alamat IP (Internet protocol) permanen. Karena begitu banyak alamat dan tingkatan sub jaringan, maka IPv6 dibutuhkan untuk mobilitas ini.
Pengguna jaringan bergerak membutuhkan IPv6, sebab ketika melebihi pengguna telepon tetap, maka jaringan internet yang ada akan menyesuaikannya. Sebagai dukungan terhadap 4G, karena itu pula semua ISP (internet service provider) diharapkan telah menggunakan penggunaan IPv6 pada 2006.
Posisi Indonesia
Walaupun beberapa operator di Indonesia mengaku siap menggelar 3G, namun diprediksi banyak pengamat dan praktisi telekomunikasi bahwa perkembangan 3G di Indonesia masih butuh waktu hingga lima tahun mendatang.
Alasannya, selain melihat lesunya minat terhadap 3G di dunia dan belum nampaknya killer application yang benar-benar menunjukkan keunggulan teknologi 3G, operator lokal juga masih bersibuk dengan peningkatan teknologi dari 2G ke 2,5G.
Memang International Mobile Telecommunication 2000 Forum telah mengalokasikan spektrum frekuensi 3G untuk Indonesia, yaitu 1920-1980 MHz dan 2110-2170 MHZ untuk komponen darat (terestrial) dan 1980-2010 MHz dan 2170-2200 MHz untuk komponen satelit. Namun, pemilihan teknologi ini untuk diadopsi dan diimplemetasi perlu dipertimbangkan dengan masak.
Operator perlu memperhatikan kemampuannya dan jangan sampai memaksakan diri memakai teknologi ini. Kasus kegagalan Digital Cellular System (DCS) 1800 menjadi pelajaran.
Apalagi, 4G sudah di depan mata, bahkan mungkin bisa lebih cepat daripada perkembangan 3G sendiri di tanah air. Jangan sampai ketika 4G hadir, para operator tanah air masih sibuk dengan teknologi 3G yang belum matang.
Itu tidak berarti kita hanya menunggu kehadiran 4G yang lebih bisa mendukung layanan multimedia, lebar pita dan transmisi data lebih lebih lebar, serta disebut-sebut lebih murah dibanding 3G, tanpa berbuat apa-apa.
'Lompatan' ini perlu didukung para ISP untuk menggunakan IPv6 dan ketersediaan handset dengan harga murah. Dengan begitu, ketika 4G diluncurkan, Indonesia benar-benar siap mengadopsinya. Kita lihat saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar