link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Minggu, 13 Maret 2011

Knowledge Management

Konsep Knowledge Management


oleh: Gatot Tri R.

Dalam dunia bisnis, dikenal istilah Knowledge Management (KM) - atau diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia sebagai manajemen pengetahuan. KM menjadi buah bibir terutama di kalangan bisnis dan industri pada tahun 1997 dan masih menjadi perbincangan hingga kini. Sebenarnya KM juga bukan hal yang baru. Dalam dunia bisnis dan manajemen, aktivitas KM bisa disebut pengumpulan data baik internal maupun eksternal yang dianalisis sehingga menjadi bahan dalam pengambilan keputusan manajemen. KM juga dilakukan dalam data-intelligent untuk mengetahui situasi pesaing sehingga manajemen dapat merumuskan strategi kompetitif untuk mengantisipasinya.

KM merupakan salah satu faktor keunggulan aset pengetahuan atau knowledge capital yang kompetitif dari suatu institusi termasuk lembaga korporat dalam menjalankan roda kegiatannya sehari-hari. Telah banyak perusahaan besar sukses mengaplikasikan KM sehingga mereka menjadi salah satu perusahaan yang paling efisien dan produktif. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Honda, Pfizer, Price Waterhouse Coopers, Hallmark, Northrop Gumman, dan lain-lain.

Kepopuleran KM menurut pendapat Pradiansyah dalam artikelnya di SWA nomor 19 tahun 2001 disebabkan kompetisi bisnis yang kian menajam, sehingga mengubah keunggulan bersaing dari kepemilikan aset fisik dan finansial menuju aset pengetahuan sehingga menyadarkan orang bahwa hanya pengetahuan yang dapat membuat keunggulan: faster, cheaper dan better (lebih cepat, lebih murah dan lebih baik.

Peneliti aplikasi KM dalam dunia bisnis, Nonaka, dalam Takeuchi dan Nonaka (2004:32) mengutarakan bahwa membuat pengetahuan seseorang agar dapat diketahui oleh orang lain merupakan kegiatan inti dari suatu perusahaan pencipta pengetahuan. Hal itu berlangsung secara kontinyu dan berlangsung di seluruh tingkatan dalam suatu organisasi.

Di sejumlah literatur KM sering direpresentasikan sebagai “benda”, bahwa KM merupakan sebentuk cara atau metode. Namun pendapat kontradiktif justru menyatakan bahwa KM adalah kultur atau budaya kasat mata di suatu lembaga atau organisasi itu sendiri. Budaya yang dimaksud berkaitan dengan kesadaran setiap elemen maupun individu didalamnya untuk berbagi informasi kepada elemen atau individu lain sehingga informasi tersebut bermanfaat untuk membangun suatu kesepahaman dalam mencapai kinerja dan produktivitas yang lebih baik, baik secara internal maupun eksternal. Kultur inilah yang menjadi esensi dari KM karena tanpa adanya pondasi kultur tersebut, aplikasi KM tidak akan berjalan dengan baik.

Inti dari KM ialah kesadaran berbagi pengetahuan dari satu unit / individu kepada unit / individu lain, bukan sekedar mengelola pengetahuan untuk disimpan sebagai arsip dan disimpan untuk keperluan sendiri. Tidak ada kata pasif-reaktif dalam budaya lembaga yang telah dibangun oleh konsep KM. Justru kultur dalam KM dapat direpresentasikan sebagai sifat proaktif dalam membangun pengetahuan sehingga setiap unit mampu berperan dalam suatu sinergi untuk bersama-sama meningkatkan kinerja dan produktivitas.

Konsep Pengetahuan
Sebelum mengulas KM, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu konsep pengetahuan. Sir Francis Bacon pada tahun 1297 mengatakan bahwa "Pengetahuan adalah Kekuatan". Lalu Peter F. Drucker – seorang guru ilmu manajemen dalam buku The Effective Executive tahun 1966 mengatakan bahwa setiap pekerja pengetahuan dalam organisasi modern adalah seorang eksekutif, berkaitan dengan pengetahuannya, ia bertanggung jawab atas kontribusinya demi meningkatkan kapasitas organisasi agar dapat memiliki kinerja dan meraih hasil.

Pengetahuan merupakan sumber daya yang tidak dapat dilepaskan dari sumber daya informasi. Namun ada perbedaan diantara keduanya. Informasi merupakan data yang terstruktur, sedangkan pengetahuan merupakan sesuatu yang diyakini setelah informasi terproses melalui tahapan tertentu. Lehrer dalam Godbout (1999) menyatakan bahwa informasi menjadi pengetahuan individual ketika ia diterima dan disimpan oleh seseorang sebagai pemahaman yang sesuai tentang suatu kebenaran. Misalnya seorang arsitek sedang membangun sebuah hunian dengan gaya arsitektur Minangkabau, maka ia harus memiliki pengetahuan mengenai konsep dan filosofi dalam arsitektur Minangkabau untuk menghasilkan bangunan hunian bergaya Minangkabau yang fungsional dan nyaman untuk ditinggali tanpa meninggalkan konsep dan filosofi bangunan Minangkabau yang telah berusia ratusan tahun.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (2004:49), pengetahuan memiliki keterkaitan dengan tiga hal. Pertama, pengetahuan menyangkut keyakinan (beliefs) dan komitmen (commitment). Kedua, pengetahuan menyangkut tindakan (action); dan ketiga, pengetahuan menyangkut pemahaman (meaning). Pengetahuan merupakan proses dinamis manusia dalam menetapkan keyakinan pribadi yang menuju pada "kebenaran".

Pengertian mengenai pengetahuan datang dari Nickols dalam Barclay (1997). Pengertian pertama, pengetahuan menyangkut pada suatu bentuk informasi yang terdefinisi dimana informasi yang terdefinisi itu terdiri dari fakta, opini, ide, teori, prinsip dan model (atau kerangka lainnya). Sedangkan pengertian kedua, pengetahuan mengarah pada suatu pernyataan seseorang yang berkaitan dengan sebentuk informasi dimana pernyataan ini meliputi ketidaktahuan, kesadaran, kebiasaan, pemahaman, fasilitas dan lain-lain.

Pengertian lainnya dipaparkan oleh Davenport et.al. dalam Seufert, Back dan von Krogh (2003:101) dimana pengetahuan dipandang sebagai informasi yang dikombinasikan dengan pengalaman, konteks, interpretasi dan refleksi. Pengetahuan merupakan suatu bentuk informasi yang bernilai tinggi yang siap untuk diaplikasikan bagi pengambilan keputusan dan tindakan.

Boone (2001:133) menjelaskan bahwa terdapat dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan tasit (tacit knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Pengetahuan tasit merupakan pengetahuan yang terdapat di dalam “kepala” atau otak. Sedangkan pengetahuan eksplisit ialah pengetahuan yang diperoleh dan terkodifikasi. Pengetahuan eksplisit terkodifikasi melalui media tertentu misalnya buku, artikel, surat atau dalam bentuk dokumen elektronik seperti email, artikel maya, weblog, termasuk pula percakapan virtual (chatting) yang disimpan dalam format tertentu.

Jauh sebelum Boone, Kemp (1976:25) mengutarakan bahwa ada dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan personal dan pengetahuan sosial. Pengetahuan personal merupakan pengetahuan yang tersimpan di dalam pikiran seseorang dan hanya dapat diperoleh darinya atau melalui darinya, misalnya dengan menanyakan pengetahuan itu kepadanya. Pengetahuan personal inilah yang oleh Boone disebut sebagai pengetahuan tasit atau pengetahuan informasi. Sedangkan pengetahuan sosial menurut Kemp ialah pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh suatu kelompok atau sistem sosial; yang tersedia secara cuma-cuma dan semua anggota kelompok atau sistem tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk memperolehnya. Pengetahuan sosial bisa disebut sebagai pengetahuan eksplisit atau pengetahuan formal dan biasanya pengetahuan ini berwujud data terekam. Itu berarti ada kesamaan persepsi antara Boone dan Kemp dalam memandang pengetahuan.

Untuk memperjelas pandangannya, Kemp menggambarkan hubungan antara pengetahuan personal dan pengetahuan sosial sebagai berikut:



Dari skema tersebut dapat diuraikan bahwa pengetahuan personal menghasilkan pengetahuan sosial begitu pula sebaliknya pengetahuan sosial menjadi suatu pengetahuan (knowledge) - dan merupakan sumber esensial (essential source) bagi pengetahuan personal. Ini dapat dijelaskan secara sederhana bahwa ilmu pengetahuan semuanya berawal dari pengetahuan personal. Melalui berbagai proses dan tahapan tertentu, maka pengetahuan personal menjadi pengetahuan sosial dalam bentuk terekam. Sebaliknya pengetahuan sosial – yang merupakan kumpulan dari pengetahuan personal merupakan sumber esensial untuk pengetahuan sosial baru berikutnya.

Dalam perkembangannya, pengetahuan tasit atau informal atau pengetahuan personal juga kerap disebut sebagai pengetahuan implisit. Seufert, Back dan von Krogh (2003:101) menjelaskan bahwa ada dua dimensi pengetahuan implisit yaitu teknis dan kognitif. Secara dimensi teknis, pengetahuan implisit meliputi keahlian dan kapabilitas, atau disebut “know-how”. Sedangkan dalam dimensi kognitif, pengetahuan implisit memiliki beberapa mental models dalam memandang lingkungan dimana seorang individu berinteraksi yaitu: beliefs (keyakinan), values (nilai), dan convictions (pendirian).

Lalu bagaimana sebuah lembaga atau organisasi memperoleh pengetahuan? Pengetahuan bisa diperoleh dari mana saja dan tentu melibatkan semua elemen dari suatu organisasi. Gupta dan McDaniel (2002) berpendapat bahwa pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari pengetahuan yang sudah ada di dalam institusi, yang berbentuk pengetahuan tasit yang terletak di dalam pikiran orang-orang didalamnya atau disimpan dalam pangkalan data perusahaan sebagai informasi yang terkodifikasi (pengetahuan eksplisit).

Beberapa Pandangan Tentang Knowledge Management
Falk (2003:70) menjelaskan bahwa KM merupakan perangkat yang sangat kuat untuk mengumpulkan, menyimpan, serta mengakses pengetahuan perusahaan, yang mana hal itu dapat memicu pemikiran yang tepat di waktu yang tepat. Lebih jauh, aktivitas KM baik perolehan, penempatan hingga pendayagunaan pengetahuan, akan bermanfaat dalam pemecahan masalah, kegiatan pembelajaran, perencanaan strategis hingga pengambilan keputusan.

Tujuan dari KM sendiri menurut Hariharan ialah (2002) untuk memastikan bahwa pengetahuan yang tepat tersedia bagi orang yang tepat di waktu yang tepat dalam cara yang "konsisten dan sistematik" guna pengambilan keputusan yang tepat.

Terdapat beberapa definisi tentang KM. Seemann et.al dalam Haggie dan Kingston (2003) memberikan pengertian bahwa KM ialah perancangan yang dilakukan secara seksama atas proses, perangkat, struktur, dan lain-lain bersama dengan kesungguhan dalam meningkatkan, memperbarui, membagi atau menambah penggunaan pengetahuan yang direpresentasikan dalam salah satu dari tiga elemen (struktural, manusia dan sosial) dari aset intelektual. Kekayaan intelektual menurut pendapat Edvinsson dalam Corral (1999) merupakan kepemilikian pengetahuan, pengalaman terapan, teknologi organisasional, hubungan dengan klien dan keahlian profesional.

Sementara Hawkins (2000) memaparkan pengertian bahwa KM adalah proses mentransformasikan informasi dan aset intelektual menjadi bernilai dan bertahan lama. KM menghubungkan orang-orang dengan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk melakukan tindakan ketika mereka membutuhkannya. Di sektor korporat, mengelola pengetahuan dianggap sebagai kunci untuk meraih keuntungan yang kompetitif. Aset intelektual menurut Mintzberg (1996) dalam Bukowitz dan Williams (1999:2) ialah sesuatu yang tidak berbentuk yang memiliki nilai yang tertanam pada (pemikiran) orang atau diperoleh dari proses, sistem dan kultur yang berhubungan dengan suatu brand, pengetahuan individual, kepemilikan intelektual, lisensi dan bentuk-bentuk pengetahuan organisasi (misalnya: pangkalan data, proses know-how, hubungan).

KM menurut Schwarzwalder (1999) merupakan gagasan dasar dimana setiap organisasi memiliki sejumlah besar data untuk diedarkan. Data tersebut bisa merupakan tangible information (informasi yang berwujud) seperti laporan, presentasi, data keuangan dan lain-lain. Data yang lainnya merupakan intangible information (informasi tak berwujud) yang bisa berupa pengalaman, keahlian tertentu dan sebagainya. Disinilah tantangan KM untuk mengelola pengetahuan yang bersifat intangible atau tidak berwujud secara fisik. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Richter and Vettel dalam Seufert, Back dan von Krogh (2003:100) bahwa tantangan KM ialah untuk mempercepat proses kerja seperti "melokalisir dan menangkap / memperoleh", "mengirimkan / mendistribusikan", serta "menciptakan" (pengetahuan) melalui aktivitas yang tangible atau berwujud.

Berkaitan dengan aktivitas bisnis, Barclay (1997) memberikan pengertian KM dengan dua aspek utama yaitu:
a. memperlakukan komponen pengetahuan aktivitas bisnis sebagai suatu hal eksplisit dari bisnis yang terfleksikan dalam strategi, kebijakan dan praktek / penerapan di semua tingkatan dalam organisasi.
b. Membuat kaitan langsung antara aset intelektual organisasi - baik eksplisit (aset intelektual terekam) dan tasit (know-how perorangan) - dengan hasil bisnis yang positif.

Menurut Barclay, dalam prakteknya KM mengidentifikasi dan memetakan aset intelektual dalam suatu organisasi untuk menghasilkan pengetahuan yang akan menguntungkan secara kompetitif bagi organisasi tersebut.

Frappaolo, seorang praktisi KM (2003:12), masih dalam sudut pandang bisnis, memberikan pengertian bahwa KM merupakan pengungkitan (leveraging) kebijakan kolektif guna meningkatkan responsivitas dan inovasi.

Dasar definisi praktis KM menurut Frappaolo (2003:23) ialah konsep rantai pengetahuan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Koulopoulos, Torms dan Spinello pada tahun 1997 ketika melakukan riset untuk menyusun buku "Corporate Instinct". Ada empat mata rantai dalam rantai pengetahuan yang terdiri dari:
- kesadaran internal (internal awareness)
- responsivitas internal (internal responsiveness)
- responsivitas eksternal (external responsivenss)
- kesadaran eksternal (external awareness)

Kesadaran internal merupakan kemampuan suatu organisasi untuk menilai dengan cepat persediaan kecakapan dan kemampuan intinya. Kesadaran ini bisa berupa kesadaran akan sejarah masa lalu dalam hubungannya dengan bakat, kecakapan teknis, interaksi, kinerja proses dan komunitas praktis. Responsivitas internal adalah kemampuan untuk mengeksploitasi kesadaran internal. Suatu organisasi mungkin sadar akan kekuatannya dan permintaan pasar, namun jika ia tidak cukup mampu mengadakan perubahan dalam dirinya sendiri secara cukup cepat dalam rangka memenuhi tuntutan pasar, maka kemampuan organisasi tersebut patut diragukan. Responsivitas eksternal ialah kemampuan untuk memenuhi tuntutan pasar dengan cara terbaik. Jika dilakukan secara lebih baik maka akan menentukan kesuksesan atau bahkan kegagalannya. Responsivitas eksternal diukur dengan kemampuan untuk merespon secara efektif peluang dan ancaman di luar organisasi dengan cara yang tepat waktu.

Sedangkan kesadaran eksternal merupakan kondisi terbalik dari kesadaran internal. Dapat diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk memahami bagaimana pasar merasakan nilai yang dihubungkan dengan produk dan jasanya, untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan kompetisi.

Empat mata rantai pengetahuan tersebut merupakan siklus inovasi suatu organisasi. KM menciptakan daya tembus (permeability) diantara keempat sel rantai pengetahuan dan mempercepat laju inovasi. Kemampuan untuk cepat melintas melalui keempat mata rantai tersebut adalah manfaat pokok manajemen pengetahuan.



KM merupakan proses strategis yang mengimplikasikan adanya tujuan untuk mencapai keunggulan dalam persaingan atau kompetisi. Ini merujuk pada ungkapan yang disebutkan sebelumnya bahwa pengetahuan ialah kekuatan. Dengan pengelolaan KM yang tepat akan menghasilkan pengetahuan yang tepat bagi orang yang tepat, di waktu yang tepat pula. Pengelolaan KM yang tepat akan menghasilkan KM yang efektif. Gupta dan McDaniel (2002) menyebutkan lima komponen pengelolaan KM yang efektif yaitu: memungut, menyaring, membentuk, menyebarkan dan mengaplikasikan.

Begitu pula dengan Prusak, Quintas, Lefrere dan Jones dalam Swan, Robertson dan Newell (2002) yang menyatakan bahwa KM meliputi proses atau praktek creating (menciptakan), acquiring (memperoleh/mendapatkan), capturing (memperoleh / menangkap), sharing (membagi) dan using (menggunakan) pengetahuan untuk memperkaya pembelajaran dan kinerja dalam sebuah organisasi.

Dalam aplikasinya, KM memiliki peran penting terutama dalam proses inovasi dan kreativitas. Ini seperti apa yang dijelaskan oleh Falk (2003:71) bahwa penemuan terwujud melalui percakapan, perdebatan, ketidakpastian, dan keraguan; dan penemuan secara sederhana merupakan hasil besar dari ide yang salah di waktu yang tepat, atau sebaliknya. Lebih jauh, kreativitas bukanlah pengalaman "eureka" yang muncul begitu saja, namun merupakan proses baik aktual maupun yang diangankan dalam menunjukkan ide-ide.

Kultur Berbagi Pengetahuan
Peter Drucker sekali lagi menegaskan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dimana di masa lalu orang yang memiliki pengetahuan berupaya untuk merahasiakannya. Pasca kapitalisme, kekuatan datang dari pentransmisian informasi agar informasi menjadi produktif, bukan malah menyembunyikannya. Bob Buckman, CEO Buckman Laboratories International, turut mengamininya seraya beropini bahwa individu paling kuat adalah mereka yang bertugas mentransfer pengetahuan kepada orang lain.

Mentransformasikan pengetahuan terutama pengetahuan tasit, membutuhkan interaksi antara individu. Dalam interaksi antar individu, diperlukan intensitas dan komitmen dalam aktivitas berbagi pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi serta Davenport dan Prusak dalam Chua (2001) berpendapat bahwa berbagi pengetahuan memerlukan (keterlibatan) para anggota organisasi dengan menggunakan interaksi sosial antara satu dengan yang lain. Begitu pula Seufert, Back dan von Krogh (2003:102) memiliki pendapat senada bahwa berbagi pengetahuan dan mentransfer data mengarah pada pengungkitan pengetahuan yang telah eksis dalam kelompok, tim, divisi dan unit bisnis, yang bertujuan untuk menghasilkan nilai bagi perusahaan. Namun karena membutuhkan interaksi langsung antar individu dalam organisasi itulah maka Brown dan Duguid serta Leonard dan Sensiper dalam Seufert, Back dan von Krogh (2003:102) menyatakan bahwa dalam KM, berbagi pengetahuan implisit merupakan hal yang sulit.

Nonaka dalam Nonaka dan Takeuchi (2004:41) menjelaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang telah memiliki kultur pengetahuan yang baik, tidak ada unit yang secara eksklusif memiliki tanggung jawab atas penciptaan pengetahuan. Semua orang didalamnya memainkan peran penting apakah seorang manajer senior, manajer menengah atau karyawan. Dalam organisasi yang berkultur pengetahuan, nilai atau value dari seseorang bukan ditentukan oleh posisinya dalam hirarki secara struktural organisasi, namun pada seberapa banyak ia memberikan kontribusi pengetahuan yang bernilai kepada organisasi. Nonaka dalam Nonaka dan Takeuchi (2004:45) juga menekankan bahwa tim-tim (dalam organisasi) memainkan peran utama dalam perusahaan yang menciptakan pengetahuan karena mereka menyediakan suatu suasana kebersamaan dimana individu dapat berinteraksi satu dengan lainnya dan memanfaatkannya dalam dialog yang berlangsung secara konstan sebagai tumpuan munculnya pemikiran yang efektif.

Elemen Kunci KM
Bagi sebuah institusi, sukses mengimplementasikan KM tidak terlepas dari beberapa hal yang menjadi faktor kunci sukses. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini.

Kumar (2002) menyatakan bahwa faktor kunci implementasi KM ialah:
1. adanya komitmen yang tinggi untuk berubah
2. personil dalam organisasi
3. komunikasi dua arah dalam struktur manajemen hirarkis
4. adanya pemahaman diantara para staf
5. menjaga proses alur kerja dalam organisasi

Ruggles dalam Buttler (1999), seorang praktisi dan pemikir KM dari Ernst and Young merinci faktor kunci KM yaitu:
1. Menghasilkan pengetahuan baru
2. Mengakses pengetahuan yang bernilai dari sumber-sumber di luar organisasi
3. Menggunakan pengetahuan yang dapat diakses dalam pengambilan keputusan
4. Menanamkan pengetahuan ke dalam proses, produk dan/atau layanan
5. Merepresentasikan pengetahuan dalam dokumen, pangkalan data dan perangkat lunak
6. Memfasilitasi pertumbuhan pengetahuan melalui kultur dan insentif
7. Mentransfer pengetahuan yang sudah ada ke bagian lain organisasi
8. Mengukur nilai aset pengetahuan dan/atau pengaruh KM itu sendiri (dalam organisasi)

Sementara itu, tiga dimensi agar pelaksanaan KM berjalan dengan baik menurut Holsapple dan Joshi dalam Barnes (2002:229-230) yaitu: adanya sumber daya pengetahuan, adanya aktivitas KM yang berjalan di atas sumber daya tersebut, serta pengaruh KM yang memudahkan dan mendorong terwujudnya aktivitas ini. Serta Hariharan (2002) yang berpendapat bahwa empat faktor sukses penerapan KM dapat dilihat dari orang-orangnyam prosesnya, teknologi (yang digunakan) serta komitmen strategis yang berkelanjutan.

Dari sini dapat ditarik suatu sintesis bahwa ada tiga elemen kunci berkaitan dengan keberhasilan implementasi KM dalam suatu organisasi, yaitu:
1. adanya sumber daya pengetahuan yang memadai
2. adanya partisipasi aktif sumber daya manusia didalamnya untuk berbagi pengetahuan
3. adanya sistem yang mendukung aktivitas berbagi pengetahuan.

====================================
Daftar Bacaan:

Buku:


Barnes, Stuart (ed.). 2002. Knowledge Management Systems: Theory and Practice. London: Thomson Learning.

Boone, Mary E. 2001. Managing Interactively: Executing Business Strategy, Improving Communication and Creating a Knowledge-Sharing Culture. New York: McGrawHill.

Bukowitz, Wendi R.; Ruth L. Williams. 1999. The Knowledge Management Fieldbook. Harlow: Pearson Education

Frappaolo, Carl. 2003. Manajemen Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Kemp, D.A. 1976. The Nature of Knowledge: An Introduction for Libraries. London: Clive Bingley.


Artikel:

Barclay, Rebecca O. What is Knowledge Management ?
URL: http://www.media-access.com/whatis.html#whatis. diakses tanggal 4 Agu 2004.

Buttler, Yvonne. 1999. Knowledge Management – If Only You Knew What You Knew.
Website: http://www.conferences.alia.org.au/shllc1999/papers/butler.html

Chua, Alton. 2001. Relationship Between The Types Of Knowledge Shared And
Types Of Communication Channels Used. Journal of Knowledge Management Practice, October 2001.
URL: http://www.tlainc.com/articl26.htm

Corrall, Sheila. Knowledge Management: Are We in the Knowledge Management Business?
url: http://www.ariadne.ac.uk/issue18/knowledge-mgt/ , diakses tanggal 7 Feb 2004.

Falk, Svenja. 2003. Knowledge Management: The Source of Innovation ?. Knowledge Management and Networked Environments: Leveraging Intellectual Capital in Virtual Business Communities. Editors: Alfred J. Beerli, Svenja Falk, Daniel Diemers. New York: Amacom, hlm 61-71.

Godbout, Alain J. 1999. Filtering Knowledge: Changing Information into Knowledge Assets. Journal of Systemic Knowledge Management, January 1999.
URL: http://www.tlainc.com/articl11.htm. diakses tanggal 7 Feb 2004.

Gupta, Atul. Jason McDaniel. 2002. Creating Competitive Advantage By Effectively managing Knowledge: A Framework for Knowledge Management. Journal of Knowledge Management Practice, October 2002.
URL: http://www.tlainc.com/articl39.htm. diakses tanggal 8 Feb 2004.

Haggie, Knox. John Kingston. 2003. Choosing Your Knowledge Management Strategy. Journal of Knowledge Management Practice, June 2003.
URL: http://www.tlainc/com/articl51.htm. diakses tanggal 9 Feb 2004.

Kumar, S. Shravan. 2002. Librarians as Knowledge Managers. Workshop on Information Resource Management, 13th-15th March 2002 DRTC, Bangalore.
URL: http://drtc.isibang.ac.in/retrieve/206/Paper-DA.PDF, diakses tanggal 9 Feb 2004

Nonaka, Ikujiro. 2004. Knowledge Creation and Dialectics. Hitosubashi on Knowledge Management. Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka. Singapore: John Wiley & Sons (Asia), hlm. 29-46.

Pradiansyah, Arvan. 2001. Memulai Knowledge Management. Rubrik Konsep Manajemen Majalah SWA 19/XVII/20 September – 3 Oktober 2001, hlm. 47.

Schwarzwalder, Robert. 1999. Librarians as Knowledge Management Agents. Econtent, August-September 1999.
Website: http://www.findarticles.com/cf.dis/mOBLB/4_22/55280192/p1/article.jhtml, diakses tanggal 7 Feb 2004

Seufert, Andreas. 2003. Andrea Back. Georg von Krogh. Unleashing the Power of Networks for Knowledge Management. Knowledge Management and Networked Environments: Leveraging Intellectual Capital in Virtual Business Communities. Editors: Alfred J. Beerli, Svenja Falk, Daniel Diemers. New York: Amacom, 2003, hlm. 99-136.

Swan, Jacky. Maxine Robertson, Sue Newell. 2002. Knowledge Management: The Human Factor. Knowledge Management Systems: Theory and Practice. Editor: Stuart Barnes. London: Thomson Learning, hlm. 179-194.

Takeuchi, Hirotaka. Ikujiro Nonaka. 2004. Knowledge Creation and Dialectics. Hitosubashi on Knowledge Management.Oleh Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka. Singapore: John Wiley & Sons (Asia), hlm.1-27.

Tidak ada komentar: