link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Rabu, 02 Februari 2011

5 Years Celebration on January 2011







IT Network dan Infrastruktur

Dwika Sudrajat, tim IT yang menangani network dan infrastruktur, bersama rekannya menyiapkan network dari belum ada sama sekali, hingga sekarang bisa bekerja. Tim IT harus membentuk sistem yang sesuai dengan kebutuhan pasar modal Indonesia.
"Rincian kerjanya dimulai dari membuat konsep, desain, pemilihan, pembangunan, pemilihan vendor, instalasi, revisi, persiapan pemasangan, pemasangan, dan check-up sistem sampai stabil," ujar Dwika.
Hal yang cukup merepotkan tim IT, kata Dwika, banyak perusahaan efek yang sudah diinstal dan disiapkan jaringannya dari KSEI ke kantornya, tahu-tahu pindah kantor. Sehingga tim IT harus melakukan set up ulang untuk kebutuhan broker yang bersangkutan.
Sejumlah kendala juga kerap ditemui tim IT, seperti sering diterimanya complain dari pihak-pihak di sekeliling partisipan. Misalnya, ada pihak yang tidak suka tempatnya dibongkar untuk memasang jaringan sistem. Ada partisipan yang mendesak ingin dipasang lebih dulu jaringan sistemnya. "Sebaliknya, ada juga partisipan yang sudah kita jadwalkan untuk diset up sistemnya, menolak karena ingin belakangan dipasangkan sistemnya," tutur Dwika.


INI DIA, TIM DI BALIK SISTEM C-BEST
Sistem C-BEST (The Central Depository and Book Entry Settlement System) siap digunakan untuk mendukung program scripless. Ngomong-ngomong, siapa di balik sukses C-BEST ini?

Pada 17 November 1999, tim IT KSEI melakukan instalasi tahap pertama sistem C-BEST. Instalasi tahap pertama itu, mencakup aplikasi-aplikasi static information management, asset management, securities Deposit, Securities withdrawal, securities transfer, dan user maintenance. Instalasi tahap kedua, dilakukan Februari hingga Maret 2000.
Saat sistem C-BEST mulai digunakan, Juli 2000, divisi bisnis melakukan set up data base. Ke depan, kata Andy Koerniawan, tugas DIS adalah pengembangan sistem. Karena yang sekarang ada, katanya, belum tentu sempurna. "Dari spesifikasi bisnis yang dibuat KSEI belum semuanya dipenuhi vendor," ujarnya.
"Pokoknya, never ending testing, never ending sosialisasi dan never ending customer service," tutur Dian.
Tim bisnis rupanya juga bertindak sebagai customer service, karena bekerja melayani partisipan, dan emiten dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui telepon seputar operasi C-BEST.
Selama proses transisi, KSEI menemukan sejumlah ketidaksiapan broker. Walaupun sudah diadakan training, broker masih sering salah melakukan prosedur entry ke sistem C-BEST, sehingga dering telepon sering sekali masuk untuk menanyakan masalah-masalah yang berkaitan dengan entry sistem.
Awak KSEI kini boleh bernafas lega. Paling tidak, tahap pertama konversi saham fisik ke C-BEST 11 Juli 2000 lalu telah berjalan mulus. Para pelaku pasar modal pun bisa tersenyum bangga. Perdagangan tanpa warkat yang telah lama dinanti-nanti, akhirnya bisa terealisasi.
Dari empat emiten yang menjadi pioner pengguna C-BEST, yakni, PT Dankos Tbk, PT Suparma Tbk, PT Multipolar Tbk, dan PT Sari Husada Tbk, rata-rata kesuksesan konversinya di atas 60 persen. Bahkan, PTSari Husada Tbk, 100 persen sahamnya telah dikonversi. Berarti seluruh saham PT Sari Husada Tbk telah masuk dalam sistem C-BEST.
Menurut Benny Haryanto, direktur KSEI, dengan beroperasinya C-BEST, partisipan dapat melakukan transaksi bursa maupun di luar bursa melalui C-BEST. Saat ini, menurutnya, scripless trading belum berjalan sempurna. Karena masih ada saham berbentuk fisik, dan saham yang sudah diimobilisasi di dalam sistem Mahameru (sistem antara sebelum C-BEST beroperasi).
Dengan dioperasikannya C-BEST, partisipan akan menggunakan tiga bentuk penyelesaian transaksi yang berbeda. Penyelesaian transaksi dengan warkat, penyelesaian pemindahbukuan melalui imobilisasi (Mahameru) dan pemindahbukuan melalui C-BEST. "KSEI akan melakukan konsolidasi sistem penyelesaian secara bertahap," ujar Benny.
Akhir Juli, sistem kliring KPEI yang diberi nama e-Clear siap beroperasi. Dengan demikian, proses migrasi efek dari Mahameru ke C-BEST bisa dilakukan mulai Agustus. Sesuai rencana, seluruh obligasi yang tercatat di Mahameru paling awal dipindahkan pencatatannya ke C-BEST.
Apabila semua berjalan lancar, maka efek lainnya akan menyusul masuk ke dalam sistem C-BEST. Sebanyak 40 saham yang ada di Mahameru, 15 diantaranya emiten yang listing di bursa tahun 2000, dan sisanya, melakukan imobilisasi berbarengan dengan kegiatan corporate action. Sedangkan obligasi dan warrant yang ada di Mahameru masing-masing berjumlah Rp 3,8 triliun obligasi dan 105,6 juta lembar warrant.
Proses migrasi, menurut Benny, diharapkan tuntas akhir Agustus. Mulai September, katanya, seluruh partisipan KSEI hanya menggunakan system C-BEST untuk penyimpanan dan penyelesaian transaksi tanpa warkat.
"Direncanakan, seluruh penyelesaian dan penyimpanan saham untuk pasar modal Indonesia dapat dilaksanakan melalui sistem C-BEST pada akhir 2001," ujar Benny.
Persiapan
Ada banyak divisi yang terlibat dalam pengembangan sistem C-BEST, diantaranya, divisi Sistem Informasi Manajemen (SIM), divisi hukum, divisi pengendalian internal, dan divisi Depositori dan Informasi Saham (DIS).
Divisi bisnis, menurut Dian Kurniasarie, bertugas merancang business requirement. Tim bisnis membuat spesifikasi bisnis untuk memilih vendor. Setelah Capco —pengembang system asal Belgia—, terpilih awal 1999, tim KSEI dan Capco duduk bersama. Dari hasil diskusi awal, dibuatlah gap analysis. Yakni, membandingkan antara apa yang dimiiki vendor dengan apa yang diinginkan KSEI.
Pada saat yang bersamaan, divisi hukum KSEI melakukan negosiasi kontrak dengan pihak Capco, dalam hal pengadaan system, modifikasi system sesuai kebutuhan, manajemen proyek, pendanaan dan dukungan teknis. Kontrak ditandatangani 4 Juni 1999.
Langkah selanjutnya, tutur Dian, vendor mengirimkan sistemnya dari Belgia ke Indonesia. Masuklah pada tahap testing, apakah sistem milik Capco sesuai dengan spesifikasi bisnis yang dibuat KSEI. Selama testing, KSEI didampingi auditor independen Price Waterhouse Cooper (PWC).
Setelah testing tuntas, dan vendor memodifikasi system (customization) sesuai kebutuhan pasar modal Indonesia, tim bisnis KSEI mulai melakukan sosialisasi baik untuk kalangan internal maupun partisipan. Dibuat pula SOP (standar operasional prosedur) sistem penyelesaian dan penyimpanan KSEI.

Padahal, kata Evy Sofyati, Setiap hari KSEI sudah memberikan training untuk 15 broker. Selain kelas teori, broker bisa langsung mencoba menggunakan sistem C-BEST. "Tetapi tetap saja banyak broker yang berulang kali mempertanyakan prosedur dasar yang sebenarnya sudah ditrainingkan," ungkap Evy.
Tim IT
Divisi Sistem Informasi Manajemen, paling langsung bersentuhan dengan sistem. Merekalah yang menginstal sistem dan membuat jaringan dari KSEI ke partisipan. Ada beberapa bagian dalam IT, diantaranya bagian network dan bagian data informasi.
Dwika Sudrajat, tim IT yang menangani network dan infrastruktur, bersama rekannya menyiapkan network dari belum ada sama sekali, hingga sekarang bisa bekerja. Tim IT harus membentuk sistem yang sesuai dengan kebutuhan pasar modal Indonesia.
"Rincian kerjanya dimulai dari membuat konsep, desain, pemilihan, pembangunan, pemilihan vendor, instalasi, revisi, persiapan pemasangan, pemasangan, dan check-up sistem sampai stabil," ujar Dwika.
Hal yang cukup merepotkan tim IT, kata Dwika, banyak perusahaan efek yang sudah diinstal dan disiapkan jaringannya dari KSEI ke kantornya, tahu-tahu pindah kantor. Sehingga tim IT harus melakukan set up ulang untuk kebutuhan broker yang bersangkutan.
Sejumlah kendala juga kerap ditemui tim IT, seperti sering diterimanya complain dari pihak-pihak di sekeliling partisipan. Misalnya, ada pihak yang tidak suka tempatnya dibongkar untuk memasang jaringan sistem. Ada partisipan yang mendesak ingin dipasang lebih dulu jaringan sistemnya. "Sebaliknya, ada juga partisipan yang sudah kita jadwalkan untuk diset up sistemnya, menolak karena ingin belakangan dipasangkan sistemnya," tutur Dwika.
Jaringan sistem C-BEST saat ini sudah mencakup area seluruh Jakarta. Kita tengah mempersiapkan pembukaan jaringan ke Surabaya, atas permintaan salah satu broker. KSEI menggunakan beberapa macam saluran, yakni, satelit, microwave radio, ISDN (integrated services digital network), list line, dan dial up (saluran telepon biasa) untuk daerah-daerah terpencil yang jauh dari segi tiga emas SCBD.
Walaupun instalasi sistem sudah tuntas, jelas Hartarto, ke depan masih akan banyak problem yang harus diatasi. Karena dalam periode tertentu setiap sistem harus direparasi ulang. "Rata-rata umur network dua tahun. Karena network terus berkembang, service divisi TIM terus diperlukan," ujarnya.
Untuk divisi system back up support, kata Syafruddin yang lebih akrab disapa Alec, menjadi first line support membuatnya sering mengalami pressure yang sangat tinggi. Soalnya, divisinya harus menguasai sistem yang relatif baru itu. "Ada kekhawatiran kalau sistemnya nanti bermasalah, kita tidak bisa menemukan solusinya, apalagi waktunya sangat mepet," ujarnya.
Untungnya, tambah Alec, Capco sangat terbuka dan banyak mentransfer ilmunya kepada KSEI. "Satu keuntungan lagi, sistem KSEI lebih dulu live dibanding sistem KPEI, sehingga banyak kesempatan untuk belajar dari problem-problem yang timbul," ujar Alec.
Arda Billy dari divisi hukum banyak melihat sisi positif dari proyek scripless ini. "Banyak pelajaran yang dapat diambil, karena kita learning by doing," ujarnya.
Menurutnya dengan target yang begitu ketat, tim scripless bisa belajar bagaimana mengatasi keadaan stres akibat underpressure. Selain belajar secara teknis juga belajar secara manajerial, yaitu bagaimana memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi target yang ada.
Saat ini divisi hukum sedang melakukan penyempurnaan dan pembenahan dari segi peraturan untuk disesuaikan dengan sistem scripless yang sudah berjalan.

Rancangan Sistem Komunikasi Digital - Dwika Sudrajat

Home
Online
Adalah Dwika Sudrajat, 21, yang gemar mengotak-atik komputer. Suatu ketika komputer miliknya ngambek. Ternyata, ada komponen yang rusak. Celakanya, setelah dibetulkan, data-data yang merupakan memori tak bisa lagi digunakan. Akhirnya, dia sadar bahwa salah satu komponennya, Eprom, telah terkena sinar ultraviolet yang berasal dari lampu neon. Dari situ dia lalu punya pikiran untuk menggunakan Eprom 2716 sebagai decoder. Pengalamannya itu mendorong Dwika memperdalam soal Eprom. Ia pun lalu ikut lomba, dan "Penggunaan Eprom 2761 sebagai Decoder Alphanumerik dan Rancangan Sistem Komunikasi Digital", yang diselesaikannya dalam waktu enam bulan meraih gelar juara III. 

Porkas, Katak, Dan Komputer

KANTOR Departemen Sosial setempat melarang. Guru pembimbingnya tidak setuju. Tapi Fietber Soleman Rico, siswa SMA Kristen Tomohon, Minahasa, jalan terus: meneliti soal Porkas yang dinilainya berdampak negatif. Dan jadilah ia satu di antara 25 finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 1986 yang diadakan oleh Departemen P dan K, bekerja sama dengan PT Philips, tahun ini. Soleman, yang jangkung, tidak keluar sebagai pemenang, memang Namun, dewan juri yang diketuai Andi Hakim Nasoetion, Rektor IPB, sempat memuji penelitiannya, terutama karena ia berani melawan arus. Soleman hanya contoh, betapa remaja bisa bersikap kritis terhadap kejadian di lingkungannya. Dan inilah yang menggembirakan dewan juri umumnya. Selain itu, "Bobot rata-rata finalis meningkat," ujar Andi Hakim. Di tahun-tahun sebelum ini, sejak awal biasanya sudah bisa ditebak siapa kira-kira yang bakal menang. Tahun ini tidak, karena kemampuan finalis merata. Toh, hingga lomba ke-10 kini, jagonya penelitian masih ada di bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Bidang Sosial-Budaya umpamanya soal Porkas itu -- boleh jadi pilihan topiknya unik. Tapi, seperti pernah dikatakan oleh seorang juri, peserta yang masih duduk di bangku SMTA itu sering tergelincir dalam menyimpulkan data dan fakta.
Dan keluarlah Erma Wahayuni, 18, dari SMA St. Bonaventura Madiun, Jawa Timur, sebagai pemenang pertama. Karyanya, "Katak sebagai Pengukur Pencemaran Ekosistem Air", memang dibuat dengan susah payah. Sembilan bulan ia berkutat di tepi kolam yang sengaja dibuat, sebelum bisa menyimpulkan bahwa limbah industri, pupuk buatan, pestisida, dan deterjen, dapat melahirkan katak abnormal. Seperti, terbentuknya dua jari menjadi satu atau hilangnya telapak kaki yang menyerupai sekop. Dengan kata lain, adanya katak abnormal bisa dijadikan petunjuk tercemar tidaknya suatu tempat. Kian banyak dijumpai katak yang cacat, berarti tingkat pencernarannya kian tinggi, tulisnya. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah seorang sinder di perkebunan tebu, PTP XX, ini memang pencinta alam. Dan di antara kebun tebu dan pabrik gula ia tinggal, hingga cewek ini tahu persis, limbah pabrik bisa berbahaya. Ia memperoleh katak-katak hijau (Clasis Amphibia) dari pekerja kebun tebu. Hewan amfibi itu lantas diternakkannya sendiri, dan diamati dari hari ke hari: mulai dari telurnya, proses metamorfosisnya, sampai menjadi katak dewasa. "Katak abnormal jarang berumur panjang karena dalam tubuhnya ada endapan senyawa," ujar gadis pemalu yang bercita-cita menjadi ahli biologi ini. Lalu kenapa engkau merisaukan benar bila katak mati, Erma? Karena katak mati muda, populasi nyamuk meningkat. Juga, bila katak itu dikonsumsi, si konsumen bisa keracunan, jawabnya tangkas. Dari Ujungpandang, Sulawesi Selatan, datang Helda Haris dari Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan (SMTK). Cewek 18 tahun ini, meski tak menjadi pemenang, karyanya cukup menarik. Dia bicara soal "KB di Mata Remaja. Sebuah Studi Kasus di SMTK" -- lagi, bukti perhatian remaja terhadap lingkungannya. Helda bertanya-tanya, mengapa selama ini penerangan KB hanya ditujukan kepada pasangan suami-istrri. Padahal, remajalah sebenarnya yang perlu mendapat perhatian. Sebab, dalam waktu dekat mereka 'kan akan juga berumah tangga. Helda, agaknya, tertarik mengupas soal KB, karena dia sendiri berasal dari keluarga besar. Ia tahu persis bagaimana repotnya. Helda anak kesebelas dari 12 bersaudara, ayahnya pensiunan DLLAJR.
Dan inilah F.X. Harianto Koesoemo, 21, satu-satunya finalis yang berasal dari luar negeri. Ia kini mahasiswa tingkat satu di University of Canterbury Christchurch 1, Selandia Baru. Karyanya berjudul "Segitiga X, Studi Perbandingan Emas yang Dibentuk oleh Sisi dan Garis Tinggi Segitiga Sama Kaki" mengantarkannya sebagai juara kedua. Sejak di SMA Stella Maris, Surabaya, remaja bertubuh kekar ini memang sudah menggandrungi matematika. Malah, dia pernah mengikuti lomba matematika di Australia dan mendapat penghargaan. Tapi, anak sulung seorang wiraswasta yang punya tiga adik ini ingin mendalami fisika.
Adalah Dwika Sudrajat, 21, yang gemar mengotak-atik komputer. Suatu ketika komputer miliknya ngambek. Ternyata, ada komponen yang rusak. Celakanya, setelah dibetulkan, data-data yang merupakan memori tak bisa lagi digunakan. Akhirnya, dia sadar bahwa salah satu komponennya, Eprom, telah terkena sinar ultraviolet yang berasal dari lampu neon. Dari situ dia lalu punya pikiran untuk menggunakan Eprom 2716 sebagai decoder. Pengalamannya itu mendorong Dwika memperdalam soal Eprom. Ia pun lalu ikut lomba, dan "Penggunaan Eprom 2761 sebagai Decoder Alphanumerik dan Rancangan Sistem Komunikasi Digital", yang diselesaikannya dalam waktu enam bulan meraih gelar juara III. Para juri belum mengubah kriteria penilaian.
Betapapun meningkatnya kualitas karya, menurut Andi Hakim, tetap penelitian-penelitian dari remaja ini "belum tuntas dan masih sederhana". Namun, dilihat dari metode penelitian dan pemilihan topik yang orisinil plus dekat tidaknya topik itu dengan lingkungan peserta -- dan inilah yang utama dinilai -- sungguh menggembirakan. Yang mungkin perlu dicatat, lomba oleh Departemen P dan K ini tak memberikan hadiah per bidang ilmu. Mungkin ini sebabnya hasil penelitian sosial-budaya tak sempat muncul, selalu kalah oleh hasil penelitian bidang ilmu pengetahuan alam. Bisa dimaklumi, karena bidang sosial-budaya banyak seginya, kesimpulan perlu mempertimbangkan segala segi, sementara bidang satunya lagi memang eksak. Tak berarti tertutup kemungkinan bagi remaja buat muncul sebagai juara dalam bidang sosial-budaya. Umpamanya lomba sejenis oleh LIPI (lihat Siapa Mendapat Madu, Siapa Racun).