“Kemerdekaan
diri akan menghasilkan kemerdekaan (dalam suatu) rumah tangga.
Rumah
tangga menghasilkan kemerdekaan negara.
Kemerdekaan diri akan
menghasilkan kemerdekaan dunia.”
I Deliver Happiness,
Dwika
Oleh: Meta Sekar Puji Astuti*
Saat
melakukan penelitian untuk penulisan skripsi S1, saya pertama kali
mengenal tokoh kunci modernisasi Jepang, Fukuzawa Yukichi. Pendapatnya
saya jadikan kutipan dalam tulisan saya. Kemudian belakangan ini,
setelah waktu berlalu 12 tahun, ketika melakukan observasi untuk mencari
jawaban atas keberhasilan bangsa Jepang dalam melakukan reformasi
pendidikannya, kembali saya menjumpai tokoh yang satu ini. Ya, Fukuzawa
Yukichi.
Entah,
nasib apa yang mempertemukan dan kemudian “berjodoh” dengan sang tokoh
Jepang yang fotonya tertampang di uang kertas 10.000 yen, uang kertas
dengan nominal tertinggi di Jepang. Sampai akhirnya saya dipertemukan
kembali oleh nasib untuk diterima menjadi peneliti dan terakhir menjadi
mahasiswa di Keio University, universitas yang didirikan oleh Fukuzawa.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa universitas ini merupakan salah satu
universitas swasta yang prestisius di Jepang.“Kun Faya Kun”, apa yang
dikehendaki Tuhan memang harus terjadi. Sama seperti sebuah judul layar
lebar Indonesia itu. Apa pun hasilnya, kata Pak Yohannes Surya, itulah
hasil Mestakung alias Semesta Mendukung.
Mengenali
pemikiran-pemikiran Fukuzawa memang betul-betul dahsyat. Serasa
menembus batas ruang dan waktu. Pemihakannya pada orang-orang lemah
(wanita dan orang-orang kecil), serta yang lebih penting lagi adalah
semangatnya untuk mendidik bangsanya berdasar kemerdekaan (dalam cara
berpikir), luar biasa! Kesadarannya untuk membentuk bangsa Jepang
menjadi masyarakat yang maju membuatnya begitu bersemangat untuk
menggali ilmu dari Barat.
“Dikatakan
bahwa surga (Tuhan) tidak menciptakan manusia di atas atau di bawah
sesama manusia. Adanya perbedaan antara yang bijaksana dan yang bodoh,
antara yang kaya dan yang miskin datangnya dari masalah pendidikan”
Kutipan di atas adalah salah satu contoh kutipan yang paling popular dari pemikiran yang diambil dari bukunya Gakumon no Susume (Anjuran untuk Pembelajaran), kumpulan essai yang ditulis antara tahun 1872-1876.
Masyarakat
Jepang selama berabad-abad memiliki pikiran tradisional dan kuno serta
mengadaptasi pemikiran filosofi China yang diadaptasi sejak sekitar abad
ke-6. Nara ibu kota Jepang di masa itu, dirancang dengan model dan
filosofi China. Agama Buddha dan nilai-nilai kehidupan didominasi dengan
teguh oleh pemikiran-pemikiran China.
Sebelum
dilakukan modernisasi dan industrialisasi di masa Meiji (pra-tahun
1868), Jepang adalah negara yang miskin sumber daya alamnya dan masih
terbelakang dibandingkan dengan negara Barat. Tidak banyak negara Eropa
yang tertarik untuk menjadikannya negara kolonial mereka.
Konflik
dan skandal berkepanjangan pernah terjadi di Jepang. Peperangan
perebutan wilayah menjadi pemandangan umum dan terjadi perpecahan di
mana-mana. Selama berabad-abad lamanya negara ini terisolasi sehingga
informasi mengenai teknologi maju tersumbat. Oleh bangsa Jepang, bangsa
Barat dianggap bangsa “bar-bar” karena dianggap tidak beradab.
Namun,
memasuki zaman baru, pada saat restorasi Meiji, Jepang secara
mencengangkan mengubah paradigma dan pandangannya terhadap ajaran Barat.
Dalam waktu yang sangat cepat masyarakatnya kemudian berlomba-lomba dan
memacu dirinya untuk menyamai kemajuan Barat. Meski informasi tentang
dunia Barat sangat terbatas, hanya dari sumber-sumber negara Belanda
atau rangaku (ilmu Belanda), namun berbagai keputusan dan
kebijakan pemerintah dibuat sedemikian rupa untuk mengejar
ketertinggalan ini. Berbagai misi resmi dikirim ke seluruh dunia,
khususnya Eropa dan Amerika untuk belajar berbagai kemajuan yang telah
dilakukan oleh bangsa-bangsa itu.
Fukuzawa
Yukichi (1835-1901) percaya bahwa perubahan paradigma pikiran baru
adalah kata kunci untuk berubah dan mengubah suatu bangsa. Untuk menjadi
bangsa maju, besar, dan lebih modern harus berani membuka wawasan
berpikir, dan juga siap menerima ide-ide baru. Itulah yang terjadi dalam
bahasa Jepang. Pikiran-pikiran untuk mengubah peradaban Jepang yang
lebih maju tertuang dalam karya Fukuzawa yang berjudul Bunmeiryoku no Gairyaku (Sebuah Teori Peradaban) yang diciptakannya tahun 1875. Karya fenomenal di samping Gakumon no Susume (Anjuran untuk Pembelajaran) yang merupakan kumpulan esai dari pemikiran-pemikirannya.
Prinsipnya,
Fukuzawa secara simultan mengenalkan bangsa Jepang bahwa pemikiran
Barat yang dahulunya dianggap budaya yang tak beradab bagi masyarakat
Jepang. Ia juga mampu meyakinkan bahwa ilmu dari Barat penting untuk
dipelajari dan tidak perlu ditakuti. Sebagian masyarakat Jepang takut
mempelajari ilmu ini dikarenakan sejarah dalam negeri Jepang yang
paranoid dengan orang Eropa. Pada saat ia mengembangkan dan
menyosialisasikan ilmu ini, jiwanya dalam bahaya karena ancaman-ancaman
kelompok Samurai yang menentang ajaran ini. Bahkan, seorang koleganya
kehilangan nyawa. Ia teguh dengan pendiriannya untuk terus mengajar
meski di tengah desingan peluru sekalipun.
Tapi,
ia juga tidak mengajarkan untuk ditiru secara membabi buta. Ilmu Barat
hanyalah sebuah model yang patut dicontoh oleh bangsa Jepang yang masih
memegang erat tradisi kuno pada masa itu.
Buku-buku Fukuzawa ini secara kuantitas memang banyak dan menjadi best seller
di Jepang pada masa itu. Namun, yang lebih hebatnya lagi adalah bahasa
yang dipakai adalah bahasa sederhana dan bukannya bahasa ilmiah atau
tingkat tinggi. Tujuannya adalah agar ajaran atau pemikirannya dapat
dicerna oleh masyarakat di tingkat mana pun juga. Menurut kabar, sebelum
ia menerbitkan karya-karyanya, tulisannya ia berikan kepada pembantu
atau asisten di rumahnya. Apabila para pembantunya sudah memahami apa
yang ia sampaikan, maka karya tulisnya itu akan ia terbitkan. Fukuzawa
sangat yakin dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh
berbagai golongan memudahkan ide-idenya dipahami oleh siapa pun juga. Salah satunya adalahSeiyou Jiji (Situasi Barat),
salah satu karya tulis awal untuk memahami kondisi dan situasi Barat.
Tulisan ini dilengkapi dengan ilustrasi sederhana sebuah ilmu yang belum
banyak dikenal oleh kebanyakan masyarakat Jepang pada masa itu.
Fukuzawa
juga banyak berkarya dengan menulis buku-buku dan artikel untuk para
cendikiawan. Kebanyakan tulisan ini dipublikasi oleh universitas atau
surat kabar. Salah satu tulisannya yang klasik dan terkenal adalah Jiji-Shimpo (Surat Kabar Perjalanan Masa)
yang diterbitkannnya pada tahun 1882. Ini merupakan surat kabar
partikelir pertama di Jepang. Semenjak itu, Fukuzawa menulis berbagai
artikel dan satir mengenai isu-isu terhangat di masanya, termasuk
politik, hubungan internasional, ekonomi, dan masalah-masalah keuangan,
kebijakan pendidikan, hak-hak perempuan, dan nilai-nilai moral.
Tema besar dari ide-ide atau pemikirannya adalah independence
atau kemerdekaan. Ia sadar betul bahwa jiwa yang merdeka dan bangsa
yang merdeka adalah fondasi yang sesungguhnya dari peradaban modern di
Barat. Untuk mencapai kemerdekaan diri ini, Fukuzawa lebih memilih
menganjurkan pemikiran Barat, pembelajaran yang lebih praktis dan
ilmiah, dibandingkan dengan nilai-nilai tradisional China yang tertanam
dalam masyarakat Jepang di masa itu. Prinsipnya adalah semakin terdidik
masyarakat, maka kemerdekaan nasional dapat dicapai masyarakat yang
beradab dan memiliki nilai sikap yang adiluhung.
Tidak
hanya kemerdekaan bangsa. Kemerdekaan diri dan keluarga juga dasar dari
kemerdekaan secara utuh. Hal ini menunjukkan Fukuzawa yang memiliki
empat anak laki-laki dan lima anak perempuan ini juga sangat peduli
dengan kebahagiaan dan keutuhan satu keluarga. Coba, kita simak
pemikirannya akan arti kemerdekaan:
“Kemerdekaan
diri akan menghasilkan kemerdekaan (dalam suatu) rumah tangga. Rumah
tangga menghasilkan kemerdekaan negara. Kemerdekaan diri akan
menghasilkan kemerdekaan dunia.”
(Pidato yang disampaikan di pesta perpisahan di Nakatsu)
Lahir
dari keturunan Samurai tingkat rendah di kota Nakatsu (sekarang
provinsi Oita). Fukuzawa dianggap salah satu pahlawan dan Bapak
Reformasi Modern Jepang. Karena dialah yang dianggap sebagai peletak
dasar “fondasi dan tiang” modernisasi Jepang. Dialah yang dengan
semangat luar biasa melakukan pencerahan, khususnya membantu masyarakat
Jepang “mencerna” dan memanfaatkan ilmu Barat sebagai dasar fondasi dari
modernisasi Jepang. Minatnya kuat untuk mempelajari dunia Barat
mendorongnya untuk belajar bahasa Inggris. Fukuzawalah penulis pertama
kamus bahasa Inggris-Jepang.
Fukuzawa
menerbitkan banyak sekali selebaran dan buku pelajaran yang digunakan
untuk sekolah-sekolah yang bermunculan di era itu. Buku-buku semacam ini
juga disambut sebagai buku “gaya baru” bagi kalangan pembaca Jepang.
Daya tarik dari tulisan-tulisan ini, selain model dan gaya baru dalam
dunia penulisan di Jepang, juga karena merupakan revolusi dalam sebuah
kesederhanaan.
Kemampuan
akademisnya yang luar biasa membuatnya mampu mempelajari berbagai ilmu
dari berbagai bidang. Tidak sekadar menerjemahkan dan ahli dalam bahasa.
Ketertarikannya pada bidang ilmu eksakta mengantarkannya untuk
mempelajari bidang ilmu lainnya termasuk ilmu kedokteran dan juga ilmu
di bidang-bidang teknik.
Di
Jepang foto wajah Fukuzawa Yukichi terpampang di uang bernilai
tertinggi, 10.000 yen sejak tahun 1993. Meski pada tahun 2004 uang
kertas ini telah berubah gambar di sebaliknya, tapi foto tokoh ini tetap
terpampang. Dalam fotonya, Fukuzawa Yukichi menggunakan baju
tradisional Jepang dan bukan mengenakan pakaian Barat. Padahal, ia
penganjur ajaran Barat di negeri ini. Hal ini menunjukkan meski
pemikirannya sangat moderen, namun di lain sisi ia sangat tradisional
dan juga menjaga serta menghormati tradisi bangsanya.
Di
Amerika Serikat ketokohan Fukuzawa sering dibandingkan dengan Benjamin
Franklin. Menariknya, foto Franklin juga terpampang di atas uang kertas
100 dolar, uang nilai tertinggi di Amerika Serikat. Bahkan, nilai kedua
uang ini juga hampir sama apabila di-convert ke dalam masing-masing mata
uang tersebut. Kedu tokoh ini dianggap memiliki banyak kesamaan antara
lain ide-ide dan kebijaksanaannya di luar institusi pemerintahan, selain
memang minat dan keahlian mereka di berbagai bidang yang sangat luas.
Nama
Fukuzawa Yukichi mungkin asing di telinga kita, bangsa Indonesia (atau
pun bangsa-bangsa lainnya). Padahal, tokoh ini termasuk pahlawan
pembaharu Jepang yang dihormati dan terkenal. Tokoh ini selain dikenal
sebagai tokoh Jepang dalam memahami dunia Barat, dia dikenal sebagai
pendidik sekaligus penulis buku yang sangat produktif di zamannya, pada
awal abad ke-19. Beberapa alumninya dikenal sebagai perdana menteri,
menteri, dan tokoh politik. Fakultas Kedokterannya memiliki rumah sakit
yang juga salah satu rumah sakit terbaik di Jepang. Karya-karyanya,
khususnya Gakumon no Susume dan autobiografinya telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Arifin Bey telah menerjemahkan Gakumon ni Susume dalam buku yang berjudul Antara Feodalisme dan Modernisasi.
Hal
yang menarik dan sangat inspiratif adalah Fukuzawa bergerak secara
independen, dalam artian ia bukan tokoh politik. Ia merasa terlalu
banyak manipulasi di dunia politik sehingga ia sama sekali tidak
tertarik untuk terlibat di dalamnya. Meskipun ia bukan tokoh dalam
pemerintahan dan berulang kali ditawari menjadi pejabat di pemerintahan,
namun buah pemikirannya banyak dipakai dalam kebijakan pemerintahan. Ia
melakukan gerakan yang murni dari kepeduliannya akan kemajuan bangsa
Jepang yang menurutnya hanya dapat diperoleh dari masyarakat yang
memiliki ilmu yang tinggi serta perilaku yang baik.
Coba
saja bandingkan perilaku elit Indonesia saat ini yang begitu “serakah”
dengan posisi elit politik dibandingkan dengan kepedulian pendidikan
bangsa sendiri. Tidak ada salahnya tokoh-tokoh yang mengaku “tokoh
reformis” mencoba belajar dari karya dan gerakan Fukuzawa yang
inspiratif dari negara sakura ini.
Satu
harapan saya, semoga “jodoh” saya dengan Fukuzawa ini mampu memberikan
kontribusi dalam pembangunan dan pendidikan bangsa Indonesia. Klise?
Saya kira begitu. Ya, boleh dong berharap dan berdoa.[mspa]
* Meta Sekar Puji Astuti