Kamis, 18 Juli 2013

7 Laws of Happiness

7 Hubungan kebahagiaan kita dengan orang lain.
Tiga   pertama adalah patience atau kesabaran, gratefulness atau rasa syukur, dan simplicity atau sederhana. 
Tiga   kedua adalah love atau kasih, giving atau memberi, dan forgiving atau memaafkan. 
Satu   terakhir adalah surrender atau pasrah. 
I Deliver Happiness,
Dwika





The 7 Laws of Happiness

Penulis : Caroline Damanik  
 

BBC
 — Berbagai prediksi mengiringi seluruh lapisan masyarakat dalam memasuki tahun 2009. Dampak buruk krisis membayangi dan melemahkan Anda untuk tetap bahagia menjalani tahun ini. Namun, pada dasarnya Anda masih dapat tetap berbahagia. Apa rahasianya? Arvan Pradiansyah merumuskan tujuh "makanan bergizi" yang harus terus-menerus diasup oleh pikiran manusia dalam bukunya The 7 Laws of Happiness.
Tiga "makanan" berkaitan dengan diri kita sendiri, tiga "makanan" berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain serta satu "makanan" lagi berkaitan dengan Tuhan. Tiga makanan pertama adalah patience atau kesabaran, gratefulness atau rasa syukur, dan simplicity atau sederhana. Tiga makanan kedua adalah love atau kasih, giving atau memberi, dan forgiving atau memaafkan. Satu makanan terakhir adalah surrender atau pasrah. Semuanya memengaruhi pikiran.
"Konsep kebahagiaan fokusnya di pikiran. Kita memasukkan makanan-makanan yang salah ke pikiran kita. Makanan biasa gampang kita lihat kita bisa lebih hati-hati memasukkan yang pantas ke mulut. Tapi kalau pikiran, kita sulit memilah-milahnya," ujar Arvan dalam talkshow mengenai bukunya di Gramedia Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (3/1).
Menurut Arvan, kekuatan terbesarnya adalah kemampuan kita memilih pikiran. Mengutip Steven R. Covey, Arvan menuliskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih respons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya. Namun, Arvan mengatakan dirinya melihat bahwa yang jauh lebih penting adalah kemampuan untuk memilih pikiran.
Untuk menghadapi suatu bagian perjalanan hidup yang dianggap buruk, sering kali pikiran-pikiran negatif yang lebih dulu muncul.
"Kita harusnya benar-benar memiliki kesadaran terlebih dulu apa yang akan kita pilih untuk bahagia. Kita harus sadar, meski ini memang abstrak," ujar Arvan.
Arvan mencontohkan dalam menghadapi atasan yang temperamental sering kali pilihan yang diambil adalah negatif seperti memilih untuk sakit hati. Padahal, jika berpikir lebih jernih kita dapat melihat bahwa kondisi atasan yang temperamental bisa melatih kesabaran, kasih, dan juga memaafkan si atasan.
Demikian juga dalam menghadapi krisis, rahasia bahagia bukan ditentukan oleh kondisi dan lingkungan sekitar. Rahasia bahagia ada di pikiran. "Bahagia itu menginginkan apa yang sudah kita dapatkan," tandas Arvan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar