Selasa, 05 April 2011

Tibet

Tibet oh Tibet!

Dari dulu saya bercita-cita pengen ke Tibet. Rooftop of the world. Atap dunia. Alasan saya sederhana: sebagai seorang yang hidup di ketinggian 0 mdpl (meter di atas permukaan laut), saya sangat tertarik mengunjungi tempat yang ketinggiannya di atas 4.000 mdpl. Bayangkan saja, ada kehidupan di tempat yang letaknya lebih tinggi daripada puncak-puncak gunung tertinggi di Indonesia! Sayangnya Tibet masih berkutat dengan isu politik sehingga dari dulu serba tidak jelas. Untuk ke sana pun super mahal karena harus gabung dengan tur. Ya, orang asing memang dilarang keleleran ke mana-mana sendiri. Maka saya pun mempersiapkan perjalanan ini dengan matang sejak jauh-jauh hari. Untunglah sahabat saya, Yasmin, ikutan sehingga bisa menekan budget.
Meski resminya Tibet adalah bagian dari negara Cina, namun untuk masuk ke Tibet harus ada izin khusus berupa Tibet Travel Permit dan Alien’s Permit (sial, saya berasa jadi “Prawn” di film District-9). Izin itu dikeluarkan oleh Foreign Affairs Section of the Local Public Security Bureau, di bawah hukum Control of Entry and Exit of Foreigners atas perintah President of the People’s Republic of China. Buset dah, ribet bener! Namun turis dapat memperolehnya melalui travel agent yang ditunjuk bersama paket tur dengan lama pengurusan minimal 4 hari kerja. Daripada nanti bengong di Cina sambil menunggu izin, maka atas saran fellow travelers saya mengurusnya dari Indonesia. Perburuan pun dimulai dengan mencari travel agent di Cina. Setelah browsing sana-sini, saya mengimel beberapa travel agent. Dari sekian banyak, kami memilih salah satunya yang paling rajin merespon email dengan bahasa Inggris yang baik. Tawar-menawar harga paket berlangsung alot via email. Dan tanggal pun ditetapkan: 29 September – 8 Oktober 2009. Pas banget, Oktober adalah musim terbaik untuk pergi ke Tibet. Rute telah disepakati: mulai dari Beijing dengan menggunakan kereta api selama 3 hari melalui rel tertinggi di dunia sampai di Lhasa, lalu keliling-keliling jalan darat naik mobil 4WD sampai ke Everest Base Camp, dan akan berakhir di Kathmandu, Nepal. Yiihaaaaa!!!
Down payment sebesar USD 400/orang harus dikirim ke Cina sebulan sebelum Hari-H untuk pengurusan izin dan pembelian tiket kereta api Beijing-Lhasa. Duh, rasanya deg-degan karena duit segitu gede banget untuk diberikan begitu saja kepada seseorang yang belum pernah bertatap muka. Tapi hanya itulah cara satu-satunya. Saya pun mengecek nomor telepon kantor dan handphone si travel agent. Tidak ada yang angkat. Saya pun minta teman yang tinggal di Cina untuk mengecek keberadaan kantor tersebut. Ternyata mereka memang eksis. Dengan penuh doa akhirnya kami mengirim uang deposit beserta scanned paspor dan visa Cina. Beberapa kali travel agent memastikan semua baik-baik saja, maka saya pun membeli tiket Kathmandu-Delhi dan Yasmin membeli tiket Kathmandu-Jakarta.
Sementara menunggu pengurusan, saya pun mempersiapkan diri dengan serius (belum pernah saya seserius ini dalam mempersiapkan perjalanan!). Saya sampe bela-belain gabung di gym demi meningkatkan VO2 Max (konsumsi oksigen maksimal) supaya nggak megeh-megeh trekking di udara tipis. Maklum, ‘faktor U’. Program olah raga pun saya dapatkan dari situs internet, contohnya lari di treadmill dengan kecepatan dan tingkat kemiringan yang variatif. Pokoknya hampir tiap hari saya nge-gym minimal dua jam. Saya juga berkonsultasi dengan teman-teman dedengkot anak gunung. Mereka sampe sirik, karena katanya “Everest itu bagaikan naik haji bagi anak gunung”. Ups, padahal niat saya kan cuman sampe base camp-nya doang. Atas rekomendasi mereka, saya beli jaket duckdown, sepatu gunung, kaos kaki trekking, sampai baju dalam thermal. Belum lagi pinjam peralatan lainnya, seperti topi kupluk dan syal berbahan wool. Gilanya lagi, saya bahkan sempat trip di salah satu pulau tak berpenghuni agar membiasakan diri buang air besar di alam terbuka karena katanya di Tibet parah banget toiletnya. Ah, semua saya lakukan dengan semangat demi Tibet!
Dua hari sebelum hari keberangkatan… bencana itu datang! Saya membaca email dari travel agent bahwa Tibet resmi ditutup bagi turis karena ada isu politik pada perayaan Chinese National Day! APAAA?!? Waduh, lemas langsung rasanya! DP tur sudah bayar, tiket pesawat pp dan cuti tidak bisa dibatalkan. Mana mau tak mau tetap harus ke Kathmandu. Saya browsing untuk memastikan. Sial, beberapa situs berita dunia mengkonfirmasi berita itu. Tak hilang akal, saya beralih ke travel agent lain. Namun semua mengatakan hal yang sama, mereka tidak bisa membantu karena Tibet ditutup. Besoknya koran Kompas menurunkan berita yang sama dan saya pun hanya bisa menangis sedih. Mau komplen sama siapa coba? Para travel agent saja mengirimkan imel curhat mengenai bisnis mereka yang kembali hancur.
Si travel agent menelepon, katanya mereka masih akan berusaha dan disarankan agar kami jangan membatalkan apapun dulu. Tentu saja, semua tiket kami non-refundable! Maka kami pun terbang ke Cina dengan tetap membawa baju winter yang gendut-gendut dan setitik harapan. Empat hari di Beijing masih belum jelas sehingga kami bekerja keras membuat plan A, B, C sampai Z, sembari tetap traveling dan terus menerus follow-up. Perasaan ‘digantung’ memang paling nggak enak. Sampai akhirnya beberapa hari kemudian… travel agent menyerah. DAR! Selesai sudah impian ke Tibet! Urusan selanjutnya adalah bagaimana mengembalikan uang DP. Setelah ngotot-ngototan, uang DP akhirnya dikembalikan dalam bentuk tiket pesawat Chengdu-Kathmandu. Dua minggu kemudian di kedua kota itu lah saya bertemu para traveler yang senasib, luntang-lantung demi menunggu Tibet dibuka kembali yang entah kapan.
But the show must go on, saya melanjutkan perjalanan ke India. Masih belum kapok, di kota Delhi saya tinggal di Tibetan Refugee Camp. Hati saya tersentuh melihat mereka… para pelarian yang sudah tiga generasi beranak pinak namun tidak bisa kembali ke Tibet. Mereka aja nggak bisa pergi ke kampung halamannya, who am I to complain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar