Senin, 23 Juni 2014

Menggoda Diskon Harga

From: Onny_Indrianto

To: Me

on: Jun 16
 
Tks Dwika…inginnya murah dan kwalitas bagus, mewah… 

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 14 Juni 2014 18:29
To: Yudi E85; Onny_Indrianto
Subject: Fw: Menggoda Diskon Harga
On Friday, June 13, 2014 7:35 PM, Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com> wrote:
Diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.
I Deliver Happiness,
Dwika

Rayuan Menggoda Diskon Harga

Berapa pun besarnya, potongan harga umumnya mampu membuat calon pembeli tertarik. Membeli adalah keputusan emosional. Karena itulah penjual harus pandai-pandai bermain siasat.

Ada sebuah lelucon berbentuk teka-teki: apa bedanya Bulan dengan Matahari? Jawaban resminya tentu Anda sudah tahu. Tapi jawaban ngawur dari teka-teki ini adalah: kalau Bulan bisa ngomong, kalau di Matahari (nama toko) ada diskon! He-he-he, memang lelucon basi. Kalau dalam istilah anak muda, garing!
Description: Image removed by sender.
Lelucon itu paling tidak menunjukkan bahwa toko eceran (ritel) nyaris identik dengan program potongan harga atau diskon. Pada "musim diskon", toko-toko itu memajang tulisan besar-besar berupa persentasi potongan harga sebesar 20%, 30%, 50%, atau 70%. Pengelola toko berharap, orang yang lewat akan menengok. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka tertarik dan akhirnya membeli barang.

Apakah strategi ini selalu berhasil? Sayangnya, kebanyakan iya. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan saat mereka menggelar acara diskon besar-besaran. Pembeli ramai berdatangan dan berebut membeli barang yang diberi harga khusus. Penjualan diberitakan meningkat. Begitu paling tidak keterangan resmi dari bagian humas toko itu kepada para wartawan.

Cerita paling heboh di Jakarta adalah ketika produsen alas kaki plastik "Crocs" menggelar diskon besar-besaran sampai 70%, Mei 2009, di pusat perbelanjaan Senayan City. Calon pembeli mengular sampai berpuluh meter. Berjam-jam mereka rela antre hanya untuk sekadar bisa masuk ke dalam ruang penjualan. Ketika selesai bertransaksi, umumnya pembeli menenteng belanjaan sampai beberapa tas sekaligus.

Rupanya fenomena itu ternyata bukan semata masalah harga. Ceritanya tak jauh berbeda ketika sebuah toko permata, di mal yang sama, menggelar diskon untuk produk yang harganya tidak bisa dibilang murah. Jutaan rupiah! Pembeli tetap mengular. Mereka juga masih rela menunggu berjam-jam, sampai kaki terasa kesemutan.

Membeli karena emosi
Ada pendapat bahwa diskon, sale, potongan harga, apa pun namanya, konon paling diminati kaum wanita. Dugaan itu masuk akal. Penelitian menyebutkan, kaum perempuan memang lebih banyak dan lebih tahan menghabiskan waktunya di pusat perbelanjaan dibanding lelaki, meski mereka tidak selalu membeli sesuatu. Penelitian mutakhir malah menyatakan, belanja bisa membuat perempuan lebih sehat, karena selama menjalaninya emosi mereka cenderung positif.

Padahal diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.

Keputusan seseorang dalam membeli suatu barang sesungguhnya emosional, seperti ditulis Brian Tracy, pakar pemasaran Amerika Serikat (AS) dalam bukunya "The Psychology of Selling" (diterbitkan Bhuana Ilmu Populer 2007). Karena itu kepada para penjual, Tracy berpesan: jangan pernah berpikir tentang cara-cara menjual secara rasional, melainkan emosional.

Penjelasan Tracy, pada dasarnya emosi manusia (dalam hal ini calon pembeli) amat beragam. Dalam memutuskan atau bertindak, emosi terkuatlah yang akan menentukan. Jadi ada semacam pertarungan emosi dalam diri manusia. Para penjual harus sadar hal itu, sehingga mereka harus bisa meningkatkan emosi "positif" pembeli.

Sebenarnya pembeli mulai berpikir tentang manfaat ketika ia pertama kali tertarik kepada suatu barang. Tapi di sisi lain, ia punya ketakutan untuk berbuat kesalahan jika membelinya. Entah perasaan takut kemahalan, tidak berguna, tidak awet, dsb. Nah, di saat itulah penjual harus pandai-pandai menghilangkan rasa takut dari pembeli. Misalnya, penjual bisa bertindak dengan cara memberi potongan harga.

Dari sisi psikologis pembeli, tulisan besar "diskon 50%" saja sudah dapat merangsangnya untuk menghampiri sebuah barang. Apabila sudah tertarik, maka ia mulai memperhatikan corak dan bentuknya. Menghitung besarnya diskon dari harga aslinya. Dan tanpa perlu berpikir panjang lagi, langsung bergegas menuju kasir. Kalau tidak bawa uang kontan, ya gesek kartu kredit saja. Beres.

Jadi umpan
Jika jurus awal penjual masih belum cukup merayu pembeli, maka bisa disiapkan jurus kedua untuk mencolek emosi yaitu dengan memberi batas waktu. Penjual harus meyakinkan bahwa jangka waktu pembelian sangat terbatas. Harga naik besok pagi! Itu misalnya.
Tracy berteori, pembeli yang tadinya ragu-ragu pasti akan membeli jika dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia tidak akan dapat membeli dengan harga serendah itu. Atau malah akan kehilangan kesempatan itu sama sekali.

Dari ilustrasi tadi, bisa tergambarkan, dalam sekejap saja kondisi lapar mata pembeli yang semula niatnya cuma mau cari angin saja, begitu mudah terpuaskan. "Belinya pas lagi diskon kok, jadi murah," katanya kepada para kolega, ketika ditanya masalah harga. Menurut Tracy, di sini pembeli mulai mencoba merasionalkan tindakan yang sebenarnya dilandasi emosinya.
Kesan "harga murah" jelas tidak tercipta begitu saja. Kesan itu adalah tujuan dari strategi promosi berupa diskon. Strategi lain, menurut teori pemasaran, bisa berupa iklan, brosur atau pemasaran langsung.

Strategi semacam ini bisa kita lihat dijalankan saban akhir pekan oleh sejumlah hipermarket. Jumat pagi, para pengelola hipermarket sudah memasang iklan besar-besaran di surat kabar dan memajang produk-produk yang mendapat pemotongan harga. Mulai dari sembako, barang keperluan rumah tangga sehari-hari, sampai barang-barang elektronik.

Pada praktiknya, tidak usah menunggu Sabtu, apalagi Minggu. Jumat siang itu saja, barang-barang yang diberi diskon sudah menghilang dari rak karena diserbu pembeli.

Kafi Kurnia, praktisi pemasaran, menyatakan sejauh ini strategi ini terbukti cukup ampuh memancing konsumen untuk datang ke hipermarket di akhir pekan. Padahal harapan pengelola toko lebih dari itu, yakni bukan hanya barang diskon yang diserbu pembeli, tetapi barang-barang lain yang harganya normal. Kesimpulannya, barang yang didiskon juga bisa menjadi umpan.

Untuk menggelar acara diskon, pengelola toko tentu tidak bermain solo. Pihak produsen atau pemegang merek ikut dilibatkan, karena pada dasarnya hampir semua produk di hipermarket atau pusat perbelanjaan dijual dengan sistem titip jual atau istilahnya konsinyasi. Strategi promosi antara toko dan produsen harus sejalan. Walau kabarnya ada juga hipermarket tertentu yang berani memotong margin keuntungannya, bahkan merugi untuk barang tertentu, hanya untuk menggelar acara diskon.

Cuma untuk barang lama
Ada kalanya program diskon terkait dengan musim penjualan dan stok barang. Misalnya produk ritail pakaian yang umumnya didiskon dua kali setahun, yaitu pertengahan tahun dan akhir tahun. Di luar itu kadang digelar dengan tema tertentu seperti Idul Fitri, tahun ajaran baru, Imlek, atau Valentine. "Bentuknya tidak selalu dengan potongan harga. Bisa lucky dip (hadiah kejutan) atau hadiah voucher pada jumlah pembelian tertentu," kata Joseph Landri, Group Head of Investor Relations PT Mitra Adiperkasa Tbk, perusahaan pemegang 85 merek internasional di Indonesia. Beberapa merek di antaranya: Marks & Spencer, Zara, Next, Massimo Dutti, dsb.

Pemotongan harga, jelas Joseph, didasari banyak pertimbangan. Seperti margin keuntungan dari barang, ketersediaan stok di pasaran, usia barang, adanya produk baru, atau tema promosi pada saat tertentu. Produsen juga harus berhitung cermat tentang besaran angka potongan harga yang diberikan, apakah 20%, 30%, atau mungkin 50%. Tergantung kepada situasi bisnis pada saat itu serta mempertimbangkan kondisi produk yang akan diberi potongan harga.

Sebuah produk yang promosinya sudah berjalan tapi ingin dipacu lagi penjualannya, bisa diberi potongan harga atau bonus tertentu. Sementara produk yang sudah memasuki akhir masa penjualan, sudah ketinggalan mode, serta ukuran dan modelnya sudah tidak lengkap, bisa dijual dengan diskon yang besar. Apalagi kalau sudah akan masuk produk penggantinya, stok harus segera dihabiskan.

Karena itu pembeli harap maklum. Diskon umumnya hanya diberikan untuk barang-barang lama, yang mungkin sudah ketinggalan mode. Untuk produk-produk baru, sering diistilahkan "new arrival", jangan bermimpi untuk mendapatkan harga miring. "Hal ini penting untuk menjaga positioning brand, sebagaimana yang telah ditentukan pemilik merek," jelas Joseph.

Sebuah produk bisa saja tidak akan dikenai diskon, jika ternyata respons konsumen (dibaca: penjualan) dianggap bagus. Karena produsen tidak harus mengejar target penjualan tertentu. Dari jangka waktu penjualan, mereka yakin akan mampu menghabiskan stok dan mendapatkan margin penjualan tertentu. Dalam pengertian Kafi Kurnia, strategi pemotongan harga sangat fleksibel dan terkait dengan strategi penjualan yang lebih luas.

Pada industri yang lebih besar, seperti misalnya automotif, menurut Kafi diskon hanyalah menjadi satu alat disamping berbagai strategi dan aspek bisnis lainnya. Jika ada produk mobil tertentu yang tidak laku, pihak marketing akan segera mengarahkan penjualannya untuk pasar dan wilayah tertentu. Soal harganya turun atau tetap, bisa sangat fleksibel. Yang terpenting, target penjualan tercapai.

Loyal pada harga
Tidak selamanya pemotongan harga terdengar merdu di telinga konsumen. September 2007, perusahaan komputer Apple pernah menurunkan harga jual produk ponsel iPhone sebanyak AS $ 200, menjadi AS $ 400. Dengan pemotongan mereka berharap mencapai target penjualan 2,5 juta unit iPhone pada tahun itu.

Namun akibatnya Steve Jobs, Chief Executive Officer Apple kebanjiran e-mail protes dari para pembeli iPhone yang terlanjur membeli sebelum harga turun. Jobs kemudian memberi kompensasi kepada mereka yang membeli dua minggu sebelum harga turun, untuk berbelanja produk Apple sebesar AS $ 200. Kabarnya setelah pemotongan harga, penjualan ponsel saingan Blackberry itu naik luar biasa dari 9.000 unit per hari menjadi 27.000 unit per hari.

Beruntung, strategi Apple tidak berdampak negatif terhadap citra perusahaan. Karena Michael Goodman, ahli pemasaran AS, dalam bukunya "Reduction Price can Backfire" mewanti-wanti agar berhati-hati karena potongan harga bisa berdampak kepada loyalitas konsumen. Jika ada dua produk yang saling bersaing, adalah wajar jika konsumen memilih produk yang memberi potongan harga. Akhirnya konsumen bisa lebih loyal kepada harga daripada terhadap merek.

Manakala situasi itu terjadi, produk itu nantinya sangat rentan terhadap perubahan harga karena persaingan. Produsen lalu terdorong untuk mengurangi harga (dan keuntungan!) untuk menjaga posisi mereka di pasar. "Faktor loyalitas sangat penting dan tidak untuk dikompromikan dengan harga atau promosi harga yang berlebihan," jelas Goodman.

Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapat loyalitas konsumen sekaligus meningkatkan penjualan. Misalnya pemberian bonus yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh konsumen, pemberian voucher, atau servis gratis selama jangka waktu tertentu. Dalam jangka panjang, pemotongan harga malah bisa mengundang risiko.
Jadi kesimpulannya, bukan cuma pembeli yang harus teliti. Penjual juga harus berhati-hati.

Lebih Tertarik Manfaat Langsung
Survei Nielsen ShopperTrends 2009 oleh lembaga survei AGB Nielsen, menyimpulkan bahwa konsumen di Indonesia lebih tertarik dengan promosi yang memberikan keuntungan secara langsung, seperti diskon. Namun bukan berarti konsumen abai terhadap kualitas produk. Kenaikan penjualan produk berkualitas tetap lebih baik dari produk biasa saja

Diskon (77), Beli sejumlah barang dengan bonus 1 gratis (49), Diskon dengan menunjukkan bukti pembelian (22), Voucher (21), Hadiah langsung (21), Mendapat poin (15), Pembelian dengan pembelian (8), Hadiah undian (5), Uang kembali/cashback (4), Cicilan bunga 0% (3)
Sumber: AGB Nielsen


Pilih Angka Nominal atau Persen?
Diskon atau potongan harga bisa ditawarkan dalam bentuk nominal harga (Rp...) atau dalam persentase (...%). Masalahnya, manakah yang lebih menarik di mata konsumen?

Berdasarkan penelitian Devon DelVecchio, profesor pemasaran dari Miami University, pada 2007, konsumen lebih mudah mengingat angka dalam persentase dibanding dalam nominal. Selain itu, jika potongan harga tergolong tinggi, akan lebih efektif jika disampaikan menggunakan persentasi. Pengaruhnya ada pada ekspektasi harga di benak konsumen. Mereka membayangkan sejumlah angka yang pasti jauh lebih murah.

Sedangkan jika potongan harga rendah, sebaiknya digunakan dalam bentuk angka nominal. Cara ini membuat konsumen bisa lebih cepat mengkalkulasi harga dan bisa cepat dalam mengambil keputusan.

Dimuat di: Majalah INTISARI, September 2009

Change


Onny_Indrianto
To Me
Jun 9
Thanks Dwika…change now.

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 07 Juni 2014 21:10
To: IME
Subject: Change

Perubahan itu harus dimulai dari dalam diri kita.
Pertama yang harus dilakukan perubahan adalah ‘diri kita sendiri’ lebih dulu.
Berusahalah melakukan perjalanan ke dalam diri Anda, untuk mengetahui lebih detail tentang potensi, kekuatan dan kelemahan diri Anda lebih dahulu, kemudian melakukan perubahan menjadi lebih baik.
Tanpa perubahan dari dalam hati dan pikiran dalam diri kita, Anda meskipun melakukan banyak perubahan diluar seperti pekerjaan, atau perusahaan, tidak akan memberikan banyak arti.
I Deliver Happiness,
Dwika





It’s Time To Change

Posted by : Ryan - Doddy

Seorang member milis Motivasi Nurani Indonesia mengirimkan email kesaya. Sebut saja namanya Anton, bukan nama sebenarnya, karena dia tidak ingin disebutkan namanya di milis. Berikut ini emailnya:

” Selamat pagi Pak Eko Jalu, saya anggota milis Motivasi Nurani Indonesia, sejak ada artikel mengenai Menjadi Orang Paling Baik, sampai sekarang saya selalu menyimpan dan membaca artikel-artikel Pak Eko Jalu. Saya senang sekali dengan artikel-artikel tsb, saya juga sudah membaca bukunya Pak Eko Jalu, The Art of Life Revolution, yang benar-benar menginspirasi saya.

Saya sangat terinspirasi dari buku dan artikel-artikel bapak dan saya juga senang memikirkan orang lain, bersama-sama teman-teman di lingkungan perumahan saya. Saya juga selalu berusaha bersyukur bahwa saya sudah punya rumah sendiri, punya istri dan anak yang lucu sekali, punya lingkungan kerja dan dan lingkungan rumah yang bisa menerima saya dan keluarga saya.

Namun ada hal yang sangat mengganjal, saya merasa tidak ‘sukses’ dan telah ‘gagal’ selama ini. Pekerjaan saya statis selama 10 tahun, tidak ada perkembangan yang berarti dan masih berada di posisi yang sama. Saya lulusan D3 Akuntansi, namun saya bekerja sebagai administrasi di suatu department engineering. Saya sudah berusaha optimal membantu dan berkarya di tempat kerja saya. Saya bekerja keras, meluangkan banyak waktu, bahkan kadang mengorbankan waktu keluarga dengan harapan dapat meningkatkan kehidupan saya, tetapi kenyataannya tidak ada perubahan yang berarti. Nampaknya system karir & system kompensasi di perusahaan saya tidak mendukung. Sehingga kondisi ekonomi saya selalu ‘pas-pasan’ dan cenderung kurang. Hingga kini saya belum bisa membantu orang tua, selain hanya menghubungi lewat telpon.

Saya benar-benar ingin sekali mengubah keadaan saya, tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana dan melakukan apa. Saya tidak mempunyai keahlian khusus, pengendalian emosi saya kurang baik, umur saya sudah 31 tahun, bilamana mencari pekerjaan baru harus bersaing dengan anak-anak muda yang lebih creative & pintar. Saya mohon bantuan di sela-sela kesibukan Pak Eko Jalu untuk sekiranya dapat memberikan saran dan pencerahan. ”

Mungkin masalah diatas tidak asing dan mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita. Bahkan mungkin ada diantara Anda yang saat ini terjebak dalam situasi kehidupan yang hamper sama seperti diatas. Kita seolah-olah sudah berusaha bekerja keras, mengorbankan waktu dengan harapan akan mampu mengangkat karier, penghasilan dan kehidupan kita ke taraf yang lebih baik. Tetapi nampaknya tidak ada perubahan berarti. Semakin kita bekerja lebih keras, semakin kita tidak mempunyai waktu untuk diri kita sendiri maupun keluarga, tetapi perubahan hidup tidak tercapai juga. Kalau sudah demikian, maka pada satu titik tertentu, mungkin kita akan merasa frustasi, putus asa, stress karena semua kerja keras yang kita lakukan, seolah-olah tidak bisa memberikan harapan seperti yang kita inginkan.

Sedangkan ketika kita menengok kehidupan orang lain, teman-teman kuliah dulu, teman bermain, si Hendra teman kuliah dulu yang nggak pintar-pintar amat, kini sudah menduduki posisi Asisten Marketing Direktur, si Yanti yang dulunya lugu, kini sudah punya usaha boutik pakain yang berkembang pesat, si Anto malahan sudah memiliki 2 buah rumah real estate dengan mobil mewah keluaran terbaru, dll. Bahkan terkadang anak buah kita dulu, kini sudah melampaui posisi kita saat ini, entah dalam kehidupan karier maupun dalam kehidupan ekonomi. Kalau sudah demikian, kemudian kita menjadi frustasi, stress, depresi dan merasa menjadi orang yang tidak sukses atau gagal.

Kalau kita berada dalam situasi yang demikian, maka inilah waktunya untuk melakukan sebuah perubahan “It’s Time To Change”. Ini saatnya untuk melakukan “Life Revolution”. Pertanyaannya adalah apanya yang harus diubah ? Bagaimana melakukan perubahan ?

Banyak orang berpendapat, bahwa melakukan perubahan itu berarti berganti pekerjaan, berpindah perusahaan. It’s ok. Mungkin itu benar bagi beberapa orang, karena hal ini bisa memberikan harapan menjadi lebih baik. Tapi mungkin bagi sebagian orang yang lain, ternyata berpindah pekerjaan atau pindah perusahaan hanya memberikan harapan semu sementara saja. Karena ternyata di perusahaan yang baru tersebut, setelah beberapa saat mereka menemukan hal-hal baru yang `menjebak’ mereka seperti kisah teman diatas lagi. Lalu mereka mulai stress, tertekan dan kembali terjebak dalam kehidupan rutin yang semula.

Kalau demikian apanya yang harus diubah?. Sahabat, perlu diperhatikan adalah bahwa perubahan itu harus dimulai dari dalam diri kita. Artinya pertama yang harus dilakukan perubahan adalah ‘diri kita sendiri’ lebih dulu. Maksudnya, berusahalah melakukan perjalanan ke dalam diri Anda, untuk mengetahui lebih detail tentang potensi, kekuatan dan kelemahan diri Anda lebih dahulu, kemudian melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena tanpa perubahan dari dalam hati dan pikiran dalam diri kita, Anda meskipun melakukan banyak perubahan diluar seperti pekerjaan, atau perusahaan, tidak akan memberikan banyak arti.

Cobalah renungkan beberapa pertanyaan dibawah ini, mungkin Anda akan menemukan sesuatu yang harus diubah dari dalam diri Anda :

- Bagaimana dengan cara kerja anda saat ini, sudahkah anda bekerja secara kreatif, efektif, produktif dan efisien ?

- Bagaimana dengan cara pandang anda terhadap pekerjaan ? Apakah anda berpikir bahwa pekerjaan yang anda lakukan adalah beban, ataukah sebuah kesenangan, atau memiliki makna sebagai bagian dari ibadah ?

- Apakah anda merasa sudah mentok dan tidak ada kesempatan untuk meningkatkan karier, Ataukah anda bsudah erusaha menciptakan kesempatan itu melalui peluang baru, kreativitas, prestasi kerja tertentu, misalnya ?

- Apakah anda lebih suka menggosipkan bagaimana `pelit’nya perusahaan terhadap anda ataukah anda lebih suka memikirkan, bagaimana perusahaan anda bisa tumbuh dan berkembang seperti sekarang ?

- Apakah anda lebih suka menggosipkan bagaimana rekan anda yang `pandai menjilat’ sehingga prestasinya melesat, Ataukah anda belajar, prestasi apakah yang telah dia ciptakan sehingga cepat maju ?

- Apakah Anda sudah berusaha meningkatkan diri dalam kecerdasan emosionald dan spiritual, melalui berbagai kesempatan belajar dan training, misalnya ?

- Dll.

Hanya diri kita masing-masing yang bisa menjawab hal ini dengan jujur. Kalau kemudian Anda sudah menemukan berbagai jawaban itu dengan jujur, mulailah melakukan perubahan dari dalam diri Anda, sebelum mengharapkan adanya perubahan dari luar. Karena sesungguhnya kesuksesan dan kebahagiaan itu dimulai dari dalam hati dan pikiran kita sendiri.

Saran Dan Aplikasi Untuk Mengubah Diri menjadi sukses dalam melakukan perubahan kehidupan adalah:


1. Tanamkan keyakinan bahwa sukses itu dimulai dari dalam hati dan pikiran Anda sendiri.

2. Imajinasikan dengan gambar yang jelas, sejernih kristal keinginan keberhasilan yang akan Anda raih dalam waktu 2-5 tahun yang akan datang. Jadikanlah impian ini menjadi sebuah tujuan utama kesuksesan Anda.

3. Tetapkan alasan yang kuat, mengapa anda menginginkan tujuan kesuksesan itu ?. Mengapa impian itu sangat penting bagi Anda. Memiliki alasan yang kuat, dapat menciptakan “Strong Desire”, motivasi yang tinggi untuk mencapainya.

4. Sincere Belief. Meyakini bahwa Anda pasti bisa mencapai tujuan atau impian kesuksesan Anda tersebut, dalam 2-5 tahun mendatang.

5. Enthusiastic Action. Lakukanlah kegiatan dengan bersemangat dan kerja keras. Salurkan seluruh energi dari dalam diri Anda untuk selalu fokus pada kegiatan yang ada hubungannya dengan pencapaian impian Anda tersebut.

6. Tawakal Kepada Allah. Imbangi setiap usaha lahiriah, semangat tinggi, kerja keras dengan usaha batiniah, senantiasa bertawakal dan memohon kepada Allah. Karena Allah adalah pemilik kesuksesan.


Oleh Eko Jalu Santoso

Menggoda Diskon Harga

Onny_Indrianto
To Me
Jun 16
Tks Dwika…inginnya murah dan kwalitas bagus, mewah… 


From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 14 Juni 2014 18:29
To: Yudi E85; Onny_Indrianto
Subject: Fw: Menggoda Diskon Harga


On Friday, June 13, 2014 7:35 PM, Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com> wrote:

Diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.
I Deliver Happiness,
Dwika

Rayuan Menggoda Diskon Harga

Berapa pun besarnya, potongan harga umumnya mampu membuat calon pembeli tertarik. Membeli adalah keputusan emosional. Karena itulah penjual harus pandai-pandai bermain siasat.

Ada sebuah lelucon berbentuk teka-teki: apa bedanya Bulan dengan Matahari? Jawaban resminya tentu Anda sudah tahu. Tapi jawaban ngawur dari teka-teki ini adalah: kalau Bulan bisa ngomong, kalau di Matahari (nama toko) ada diskon! He-he-he, memang lelucon basi. Kalau dalam istilah anak muda, garing!
Description: Image removed by sender.
Lelucon itu paling tidak menunjukkan bahwa toko eceran (ritel) nyaris identik dengan program potongan harga atau diskon. Pada "musim diskon", toko-toko itu memajang tulisan besar-besar berupa persentasi potongan harga sebesar 20%, 30%, 50%, atau 70%. Pengelola toko berharap, orang yang lewat akan menengok. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka tertarik dan akhirnya membeli barang.

Apakah strategi ini selalu berhasil? Sayangnya, kebanyakan iya. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan saat mereka menggelar acara diskon besar-besaran. Pembeli ramai berdatangan dan berebut membeli barang yang diberi harga khusus. Penjualan diberitakan meningkat. Begitu paling tidak keterangan resmi dari bagian humas toko itu kepada para wartawan.

Cerita paling heboh di Jakarta adalah ketika produsen alas kaki plastik "Crocs" menggelar diskon besar-besaran sampai 70%, Mei 2009, di pusat perbelanjaan Senayan City. Calon pembeli mengular sampai berpuluh meter. Berjam-jam mereka rela antre hanya untuk sekadar bisa masuk ke dalam ruang penjualan. Ketika selesai bertransaksi, umumnya pembeli menenteng belanjaan sampai beberapa tas sekaligus.

Rupanya fenomena itu ternyata bukan semata masalah harga. Ceritanya tak jauh berbeda ketika sebuah toko permata, di mal yang sama, menggelar diskon untuk produk yang harganya tidak bisa dibilang murah. Jutaan rupiah! Pembeli tetap mengular. Mereka juga masih rela menunggu berjam-jam, sampai kaki terasa kesemutan.

Membeli karena emosi
Ada pendapat bahwa diskon, sale, potongan harga, apa pun namanya, konon paling diminati kaum wanita. Dugaan itu masuk akal. Penelitian menyebutkan, kaum perempuan memang lebih banyak dan lebih tahan menghabiskan waktunya di pusat perbelanjaan dibanding lelaki, meski mereka tidak selalu membeli sesuatu. Penelitian mutakhir malah menyatakan, belanja bisa membuat perempuan lebih sehat, karena selama menjalaninya emosi mereka cenderung positif.

Padahal diskon sebenarnya bisa menarik bagi siapa saja, lelaki dan perempuan. Diskon merangsang siapa pun dia, untuk menimbang-nimbang apakah barang ini bisa dibeli atau tidak (bukan dibutuhkan atau tidak). Di saat-saat seperti itu, pesan para ahli perencanaan keuangan agar kita tidak membeli sesuatu berdasarkan keinginan tapi kebutuhan, seolah bagai angin lalu.

Keputusan seseorang dalam membeli suatu barang sesungguhnya emosional, seperti ditulis Brian Tracy, pakar pemasaran Amerika Serikat (AS) dalam bukunya "The Psychology of Selling" (diterbitkan Bhuana Ilmu Populer 2007). Karena itu kepada para penjual, Tracy berpesan: jangan pernah berpikir tentang cara-cara menjual secara rasional, melainkan emosional.

Penjelasan Tracy, pada dasarnya emosi manusia (dalam hal ini calon pembeli) amat beragam. Dalam memutuskan atau bertindak, emosi terkuatlah yang akan menentukan. Jadi ada semacam pertarungan emosi dalam diri manusia. Para penjual harus sadar hal itu, sehingga mereka harus bisa meningkatkan emosi "positif" pembeli.

Sebenarnya pembeli mulai berpikir tentang manfaat ketika ia pertama kali tertarik kepada suatu barang. Tapi di sisi lain, ia punya ketakutan untuk berbuat kesalahan jika membelinya. Entah perasaan takut kemahalan, tidak berguna, tidak awet, dsb. Nah, di saat itulah penjual harus pandai-pandai menghilangkan rasa takut dari pembeli. Misalnya, penjual bisa bertindak dengan cara memberi potongan harga.

Dari sisi psikologis pembeli, tulisan besar "diskon 50%" saja sudah dapat merangsangnya untuk menghampiri sebuah barang. Apabila sudah tertarik, maka ia mulai memperhatikan corak dan bentuknya. Menghitung besarnya diskon dari harga aslinya. Dan tanpa perlu berpikir panjang lagi, langsung bergegas menuju kasir. Kalau tidak bawa uang kontan, ya gesek kartu kredit saja. Beres.

Jadi umpan
Jika jurus awal penjual masih belum cukup merayu pembeli, maka bisa disiapkan jurus kedua untuk mencolek emosi yaitu dengan memberi batas waktu. Penjual harus meyakinkan bahwa jangka waktu pembelian sangat terbatas. Harga naik besok pagi! Itu misalnya.
Tracy berteori, pembeli yang tadinya ragu-ragu pasti akan membeli jika dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia tidak akan dapat membeli dengan harga serendah itu. Atau malah akan kehilangan kesempatan itu sama sekali.

Dari ilustrasi tadi, bisa tergambarkan, dalam sekejap saja kondisi lapar mata pembeli yang semula niatnya cuma mau cari angin saja, begitu mudah terpuaskan. "Belinya pas lagi diskon kok, jadi murah," katanya kepada para kolega, ketika ditanya masalah harga. Menurut Tracy, di sini pembeli mulai mencoba merasionalkan tindakan yang sebenarnya dilandasi emosinya.
Kesan "harga murah" jelas tidak tercipta begitu saja. Kesan itu adalah tujuan dari strategi promosi berupa diskon. Strategi lain, menurut teori pemasaran, bisa berupa iklan, brosur atau pemasaran langsung.

Strategi semacam ini bisa kita lihat dijalankan saban akhir pekan oleh sejumlah hipermarket. Jumat pagi, para pengelola hipermarket sudah memasang iklan besar-besaran di surat kabar dan memajang produk-produk yang mendapat pemotongan harga. Mulai dari sembako, barang keperluan rumah tangga sehari-hari, sampai barang-barang elektronik.

Pada praktiknya, tidak usah menunggu Sabtu, apalagi Minggu. Jumat siang itu saja, barang-barang yang diberi diskon sudah menghilang dari rak karena diserbu pembeli.

Kafi Kurnia, praktisi pemasaran, menyatakan sejauh ini strategi ini terbukti cukup ampuh memancing konsumen untuk datang ke hipermarket di akhir pekan. Padahal harapan pengelola toko lebih dari itu, yakni bukan hanya barang diskon yang diserbu pembeli, tetapi barang-barang lain yang harganya normal. Kesimpulannya, barang yang didiskon juga bisa menjadi umpan.

Untuk menggelar acara diskon, pengelola toko tentu tidak bermain solo. Pihak produsen atau pemegang merek ikut dilibatkan, karena pada dasarnya hampir semua produk di hipermarket atau pusat perbelanjaan dijual dengan sistem titip jual atau istilahnya konsinyasi. Strategi promosi antara toko dan produsen harus sejalan. Walau kabarnya ada juga hipermarket tertentu yang berani memotong margin keuntungannya, bahkan merugi untuk barang tertentu, hanya untuk menggelar acara diskon.

Cuma untuk barang lama
Ada kalanya program diskon terkait dengan musim penjualan dan stok barang. Misalnya produk ritail pakaian yang umumnya didiskon dua kali setahun, yaitu pertengahan tahun dan akhir tahun. Di luar itu kadang digelar dengan tema tertentu seperti Idul Fitri, tahun ajaran baru, Imlek, atau Valentine. "Bentuknya tidak selalu dengan potongan harga. Bisa lucky dip (hadiah kejutan) atau hadiah voucher pada jumlah pembelian tertentu," kata Joseph Landri, Group Head of Investor Relations PT Mitra Adiperkasa Tbk, perusahaan pemegang 85 merek internasional di Indonesia. Beberapa merek di antaranya: Marks & Spencer, Zara, Next, Massimo Dutti, dsb.

Pemotongan harga, jelas Joseph, didasari banyak pertimbangan. Seperti margin keuntungan dari barang, ketersediaan stok di pasaran, usia barang, adanya produk baru, atau tema promosi pada saat tertentu. Produsen juga harus berhitung cermat tentang besaran angka potongan harga yang diberikan, apakah 20%, 30%, atau mungkin 50%. Tergantung kepada situasi bisnis pada saat itu serta mempertimbangkan kondisi produk yang akan diberi potongan harga.

Sebuah produk yang promosinya sudah berjalan tapi ingin dipacu lagi penjualannya, bisa diberi potongan harga atau bonus tertentu. Sementara produk yang sudah memasuki akhir masa penjualan, sudah ketinggalan mode, serta ukuran dan modelnya sudah tidak lengkap, bisa dijual dengan diskon yang besar. Apalagi kalau sudah akan masuk produk penggantinya, stok harus segera dihabiskan.

Karena itu pembeli harap maklum. Diskon umumnya hanya diberikan untuk barang-barang lama, yang mungkin sudah ketinggalan mode. Untuk produk-produk baru, sering diistilahkan "new arrival", jangan bermimpi untuk mendapatkan harga miring. "Hal ini penting untuk menjaga positioning brand, sebagaimana yang telah ditentukan pemilik merek," jelas Joseph.

Sebuah produk bisa saja tidak akan dikenai diskon, jika ternyata respons konsumen (dibaca: penjualan) dianggap bagus. Karena produsen tidak harus mengejar target penjualan tertentu. Dari jangka waktu penjualan, mereka yakin akan mampu menghabiskan stok dan mendapatkan margin penjualan tertentu. Dalam pengertian Kafi Kurnia, strategi pemotongan harga sangat fleksibel dan terkait dengan strategi penjualan yang lebih luas.

Pada industri yang lebih besar, seperti misalnya automotif, menurut Kafi diskon hanyalah menjadi satu alat disamping berbagai strategi dan aspek bisnis lainnya. Jika ada produk mobil tertentu yang tidak laku, pihak marketing akan segera mengarahkan penjualannya untuk pasar dan wilayah tertentu. Soal harganya turun atau tetap, bisa sangat fleksibel. Yang terpenting, target penjualan tercapai.

Loyal pada harga
Tidak selamanya pemotongan harga terdengar merdu di telinga konsumen. September 2007, perusahaan komputer Apple pernah menurunkan harga jual produk ponsel iPhone sebanyak AS $ 200, menjadi AS $ 400. Dengan pemotongan mereka berharap mencapai target penjualan 2,5 juta unit iPhone pada tahun itu.

Namun akibatnya Steve Jobs, Chief Executive Officer Apple kebanjiran e-mail protes dari para pembeli iPhone yang terlanjur membeli sebelum harga turun. Jobs kemudian memberi kompensasi kepada mereka yang membeli dua minggu sebelum harga turun, untuk berbelanja produk Apple sebesar AS $ 200. Kabarnya setelah pemotongan harga, penjualan ponsel saingan Blackberry itu naik luar biasa dari 9.000 unit per hari menjadi 27.000 unit per hari.

Beruntung, strategi Apple tidak berdampak negatif terhadap citra perusahaan. Karena Michael Goodman, ahli pemasaran AS, dalam bukunya "Reduction Price can Backfire" mewanti-wanti agar berhati-hati karena potongan harga bisa berdampak kepada loyalitas konsumen. Jika ada dua produk yang saling bersaing, adalah wajar jika konsumen memilih produk yang memberi potongan harga. Akhirnya konsumen bisa lebih loyal kepada harga daripada terhadap merek.

Manakala situasi itu terjadi, produk itu nantinya sangat rentan terhadap perubahan harga karena persaingan. Produsen lalu terdorong untuk mengurangi harga (dan keuntungan!) untuk menjaga posisi mereka di pasar. "Faktor loyalitas sangat penting dan tidak untuk dikompromikan dengan harga atau promosi harga yang berlebihan," jelas Goodman.

Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapat loyalitas konsumen sekaligus meningkatkan penjualan. Misalnya pemberian bonus yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh konsumen, pemberian voucher, atau servis gratis selama jangka waktu tertentu. Dalam jangka panjang, pemotongan harga malah bisa mengundang risiko.
Jadi kesimpulannya, bukan cuma pembeli yang harus teliti. Penjual juga harus berhati-hati.

Lebih Tertarik Manfaat Langsung
Survei Nielsen ShopperTrends 2009 oleh lembaga survei AGB Nielsen, menyimpulkan bahwa konsumen di Indonesia lebih tertarik dengan promosi yang memberikan keuntungan secara langsung, seperti diskon. Namun bukan berarti konsumen abai terhadap kualitas produk. Kenaikan penjualan produk berkualitas tetap lebih baik dari produk biasa saja

Diskon (77), Beli sejumlah barang dengan bonus 1 gratis (49), Diskon dengan menunjukkan bukti pembelian (22), Voucher (21), Hadiah langsung (21), Mendapat poin (15), Pembelian dengan pembelian (8), Hadiah undian (5), Uang kembali/cashback (4), Cicilan bunga 0% (3)
Sumber: AGB Nielsen


Pilih Angka Nominal atau Persen?
Diskon atau potongan harga bisa ditawarkan dalam bentuk nominal harga (Rp...) atau dalam persentase (...%). Masalahnya, manakah yang lebih menarik di mata konsumen?

Berdasarkan penelitian Devon DelVecchio, profesor pemasaran dari Miami University, pada 2007, konsumen lebih mudah mengingat angka dalam persentase dibanding dalam nominal. Selain itu, jika potongan harga tergolong tinggi, akan lebih efektif jika disampaikan menggunakan persentasi. Pengaruhnya ada pada ekspektasi harga di benak konsumen. Mereka membayangkan sejumlah angka yang pasti jauh lebih murah.

Sedangkan jika potongan harga rendah, sebaiknya digunakan dalam bentuk angka nominal. Cara ini membuat konsumen bisa lebih cepat mengkalkulasi harga dan bisa cepat dalam mengambil keputusan.

Dimuat di: Majalah INTISARI, September 2009

Gangguan

Onny_Indrianto
To Me
Today at 9:05 AM
Tks Dwika…good article

Btw…Tks untuk makan siangnya kemarin lalu… 

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 21 Juni 2014 8:52
To: Hilda Fachriza
Cc: Nining Satmoko Soesilo; Sisdjiatmo K. Widhaningrat; Eugenia Mardanugraha
Subject: Gangguan

“Masyarakat sekarang ini sulit memisahkan mana kebutuhan dan keinginan. Contohnya, ketika uangnya pas-pasan banyak pria yang lebih pilih beli rokok daripada beli makanan. Mending nggak makan daripada nggak ngerokok,” ungkap Hilda Fachriza, Kepala UKM Center dan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
I deliver happiness,
Dwika



4 Penyebab Gangguan Keuangan

Description: Image removed by sender. dompet-kosong
Semakin hari tingkat kebutuhan gaya hidup semakin tinggi, dan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Akibatnya, dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut jadi makin tinggi. Jika tak bisa memisahkan kebutuhan dengan keinginan, tak heran jika pengeluaran Anda jadi lebih besar daripada pendapatan.
“Masyarakat sekarang ini sulit memisahkan mana kebutuhan dan keinginan. Contohnya, ketika uangnya pas-pasan banyak pria yang lebih pilih beli rokok daripada beli makanan. Mending nggak makan daripada nggak ngerokok,” ungkap Hilda Fachriza, Kepala UKM Center dan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saat Diskusi Media “Ciptakan Kesempatan, Berdayakan Masyarakat, dan Perkecil Kesenjangan” di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sedangkan perempuan, biasanya kesulitan menahan keinginan untuk berbelanja saat melihat berbagai produk fashion atau make-up terkini, apalagi jika sedang diskon besar-besaran. Padahal jika dicermati, semua ini hanya bertujuan untuk mengikuti gaya hidupnya.
Selain masalah konsumerisme yang cukup tinggi, Hilda juga mengungkapkan ada beberapa masalah keuangan yang dialami masyarakat terutama di kota besar, yaitu:
1. Tidak punya perencanaan
Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap orang seharusnya membutuhkan perencanaan keuangan yang baik. Sayangnya kebanyakan orang justru tidak melakukannya. Mereka cenderung berpikir pendek untuk mendapatkan kesenangan sesaat, dan menyesal di kemudian hari karena gaji mereka sudah habis untuk membeli barang-barang yang ternyata tidak diperlukan.
2. Sulit menabung
“Sebenarnya semua orang sudah sadar bahwa mereka harus menyisihkan uang untuk ditabung. Sayangnya, ini masih sangat sulit dilakukan,” tambahnya.
Hal ini terjadi karena saat mereka punya uang lebih, pasti langsung tergoda untuk membelanjakannya. Hilda menambahkan, masalah kesulitan menabung ini tidak cuma dialami oleh masyarakat kota besar saja, tapi juga kota kecil, terutama penduduk yang bermata pencaharian sebagai pemilik usaha kecil.
“Para pemilik UKM ini biasanya mengeluhkan pendapatannya yang juga kecil sehingga tidak punya uang untuk ditabung. Mereka masih punya pikiran bahwa menabung itu harus dalam jumlah yang besar sedangkan sisa uang mereka sedikit,” katanya.
3. Pendidikan keuangan
Konsumerisme dan perencanaan keuangan yang buruk merupakan salah satu dari kurangnya pendidikan keuangan di masyarakat. Padahal seharusnya pendidikan keuangan ini sudah diajarkan sejak dini. Tujuannya bukan untuk membuat Anda menjadi kaya raya, namun lebih kepada bagaimana cara mengelola keuangan untuk hidup sejahtera dan berkecukupan.
4. Tidak punya visi untuk masa depan
Setiap orang pasti memiliki banyak rencana untuk masa depannya, entah menikah, jalan-jalan keluar negeri, membangun usaha, membeli rumah, atau mungkin berinvestasi. Untuk melakukan semuanya ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka, ada baiknya untuk mulai menabung dan membuat impian Anda jadi nyata.
“Ketika mereka tidak punya mimpi dan visi di masa depan mau berbuat apa, sudah pasti mereka tidak juga memikirkan keuangan untuk kebutuhan masa depannya,” tutupnya.


Tanpa Batas


bangun
To Me
Jun 21 at 11:53 AM
Well received and noted bos. Thanks


Sent from Samsung Mobile
 
-------- Original message --------
From: Dwika Sudrajat
Date:06/20/2014 18:42 (GMT-09:00)
To: Elektro85
Subject: Tanpa Batas  

Orang yang Well being akan selalu menghasilkan sesuatu dari waktu ke waktu. Selalu ada achievement. Well being tidak mengenal batas usia. Seseorang bisa tumbuh pada usia berapapun.
I deliver happiness,
Dwika

Flourish: Berkembang Tanpa Batas


Flourish adalah sebuah pemahaman baru tentang happiness dan well being. Segala sesuatu berkembang menjadi sejadi-jadinya, manusia berkembang menjadi insan yang paripurna, insane kamil, manusia yang seutuhnya.
Di dalam Flourish terdapat 4 unsur, yaitu unsur fisik, emosi, mental dan spiritual. Dengan demikian, manusia berkembang/tumbuh di 4 unsur tersebut.
 
Flourish berbeda dengan happiness.
-Happiness berbicara tentang sesuatu yang sifatnya statis. Misalnya, dalam skala 1 (sangat tidak bahagia) sampai 10 (sangat bahagia) dimana level happiness seseorang. Level ini bisa naik turun.
-Well being berkembang/tumbuh dan tidak ada batasnya. Dari “sangat tidak berkembang” seseorang bisa berkembang hingga melewati skala 10 bahkan tak berbatas. Batasnya hanya Tuhan.
-Happiness cara mengukurnya dengan life satisfaction. Itu sangat subyektif, yang bisa menilai cuma diri kita.
-Well being ada unsur subyektif dan obyektif. Ukurannya bisa dilihat dari emosi kita positif atau tidak. Ada juga unsure obyektif yang bisa dilihat orang lain.
 
Ada 5 pilar Well being:
1.Positive emotion. Orang yang well being adalah orang yang selalu punya emosi positif, dia mampu mengelola pikirannya dengan baik.
2.Engagement. Merasa flowing dengan kegiatan yang dilakukan. Menikmati.
3.Relationship. Bagaimana kita bisa berhubungan baik dengan orang lain. Kebahagiaan seseorang tergantung pada bagaimana hubungannya dengan orang lain.
4.Meaning. Merasa apa yang dilakukan berarti. Itu terjadi kalau kita melayani oranglain lebih besar dari diri kita.
5.Accomplishment. Ada pencapaian. Tanpa pencapaian, hidup akan kurang bermakna dan tidak berkembang.
 
Orang yang Well being akan selalu menghasilkan sesuatu dari waktu ke waktu. Selalu ada achievement. Well being tidak mengenal batas usia. Seseorang bisa tumbuh pada usia berapapun. (am)