Selasa, 24 September 2013

13 kali Trial Beasiswa




Mon Sep 23, 2013 3:41 pm (PDT) . Posted by:
Terima kasih bung Dwika atas infonya , mohon ijin sharing untuk anak saya
Muhammad Hudi alumni Teknik Mesin Perkapalan FTUI 2012 yang akan mencari
beasiswa S2 di perguruan tinggi Eropa.

Salam,
Satrio Wibowo.

2013/9/23 Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@ yahoo.com

  ****************************************************************************************************
 
 
  Setelah 13 kali melakukan percobaan, akhirnya Anda mendapat keberhasilan.
  Pepatah hingga kini “*dimana ada kemauan di situ ada jalan*“.
  Apakah Anda tidak mau menempuh jalan itu?
  “Trial and error” bukan hanya milik anak burung yang sedang belajar
  terbang, Anda juga boleh mencobanya.”
  I Deliver Happiness,
  Dwika
 
 
link:
  http://motivasibeasiswa.org/2013/09/18/arif-habibal-umam-ke-jerman-setelah-13-kali-trial-and-error/


Arif Habibal Umam: “Ke Jerman setelah 13 kali Trial and Error”


Aku mengenal blog motivasi beasiswa untuk pertama kalinya di penghujung tahun 2010. Saat itu aku masih menjadi seorang pemburu beasiswa yang galau. Beruntung, google menuntunku menemukan blog ini. Pada waktu itu, hanya ada kurang dari 15 motivator beasiswa yang menuliskan pengalaman-pengalama serunya. Blog ini pun masih sangat baru. Aku membaca salah satu tulisan sang motivator yang memberi banyak motivasi, dan menjadi kata kunci yang tidak sengaja aku temukan di google.
Takdir akhirnya membuatku menjadi juniornya pada program beasiswa yang sama. Saat membaca tulisan-tulisan lainnya, semangatku untuk beranjak dari Indonesia semakin menggebu-gebu. Aku dibuat iri oleh seorang senior di Fakultas Biologi UGM yang sedang melanjutkan studinya di Arab Saudi dan berfoto-foto di depan Masjidil Haram, lalu mereka – mereka yang pernah merasakan putih dan dinginnya salju, melihat keindahan arsitektur Eropa, atau berfoto-foto di depan gedung opera Sydney, di bawah menara Eiffel dan beragam landmark lainnya. Atau sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku sendiri, berbicara bahasa asing dengan penutur asal di negerinya.
Sejak mengenal blog berkualitas ini, aku berjanji pada diriku sendiri, entah kapan waktu itu tiba, aku akan menuliskan pengalaman-pengalamanku sendiri di sini. Ketika aku sudah menikmati bagaimana kehidupan di luar negeri, tentunya dengan beasiswa pula. Aku semakin tekun mencari informasi mengenai tawaran beasiswa dari berbagai lembaga internasional, nasional ataupun lokal. Setidaknya aku pernah menderita 12 kali kegagalan sebelum akhirnya aku dapat memenuhi janjiku pada diri sendiri untuk berbagi pengalaman di sini.
Baiklah teman, beasiswa pertama yang aku apply di tahun 2010 adalah beasiswa dari King Abdul Aziz University (KAUST). KAUST sebenarnya merupakan sebuah universitas baru di Arab Saudi. Aku mungkin angkatan ke tiga (ini kalau tidak keliru) seandainya diterima di kampus KAUST tahun itu. Jurusan yang aku apply yaitu marine engineering. Tapi sayang sekali, ketika pengumuman, aku hanya diberi jatah dalam daftar tunggu atau waiting list, ~begitulah kira-kira judul email dari pihak panitia yang masuk ke emailku~. Jadi aku hanya memiliki kesempatan masuk ke daftar utama program tersebut seandainya ada kandidat yang telah lulus tapi mengundurkan diri. Aku mengganggap peluangku hanya 50 persen. Jadi, aku sudah menganggap ini kegagalan pertamaku. Aku sadar, kesalahanku karena tidak melengkapi persyaratan Bahasa Inggris sesuai yang diminta, aku bahkan tidak menyerahkan sertifikat TOEFL hingga batas waktu yang ditetapkan. Di sini, aku telah bernegosiasi dengan penyedia beasiswa untuk pertama kali.
Sebenarnya pada saat yang bersamaan, aku juga mendaftar beasiswa bergengsi Uni Eropa, Erasmus Mundus. Para pelamar boleh mendaftar maksimal 3 program untuk action 2 dan 1 program untuk action 1. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendaftar sampai batas maksimal, 4 program sekaligus. Beruntungnya lagi, kebanyakan beasiswa Erasmus Mundus diperuntukkan untuk bidang life sciences seperti biologi dan ekologi, sesuai latar belakang keilmuanku. Untuk action 1, aku mendaftar program yang bernama MAHEVA (ilmu lingkungan), sementara untuk action 2 aku mendaftar program EMAE (ekologi terapan), MIND (ekologi industri), dan MESPOM (ilmu lingkungan).
Satu hal yang perlu diperhatikan saat mendaftar Erasmus Mundus, jangan pernah mendaftar programnya melebihi jatah yang diizinkan, jika tidak ingin aplikasi beasiswa ditolak mentah-mentah oleh konsorsium. Selain itu persaingan memperebutkan beasiswa Erasmus Mundus untuk program-program yang ditawarkan di action 1 dan action 2 berbeda. Action 1 hanya diperuntukkan bagi mahasiswa atau alumni dari universitas negara berkembang yang memiliki kerja sama dengan universitas di Eropa. Sedangkan action 2 memiliki jangkauan yang lebih luas, karena diperuntukkan bagi seluruh lulusan negara ke tiga yang tidak terbatas pada ada tidaknya ikatan kerjasama.
Ketika itu, program MAHEVA – action 1 lebih cepat mengeluarkan pengumumannya. Sayang sekali, aku mendapat surat penolakan dari konsorsium. Tidak ada penjelasan mengapa aplikasiku di tolak. Selanjutnya konsorsium MESPOM juga menolak aplikasiku mentah-mentah. Sedangkan untuk program MIND, aku lulus seleksi berkas tahap 1, namun aku gagal ketika di tahap selanjutnya yaitu penilaian dokumen seperti motivation letter dan reference letter. Sedangkan untuk program EMAE, pengumuman dikeluarkan sekitar bulan maret 2011. Aku hanya diberitahu konsorsium bahwa aku mendapatkan kursi di tempat ini, namun tidak mendapatkan beasiswa. dengan kata lain aku hanya mendapatkan letter of acceptance (LoA). Tetapi pembiayaannya harus dilakukan sendiri. Apabila dikonversi ke rupiah, jumlah beasiswa yang ditawarkan mencapai 700 juta rupiah, sehingga mustahil aku menyediakan dana sebesar itu. Aku menganggap ini adalah kegagalan ke dua, ketiga, keempat, sekaligus ke limaku dalam urusan beasiswa.
Bagi seseorang yang memiliki kehidupan mulus seperti yang akupunya, kegagalan seperti itu sangat setia membuatku semakin penasaran untuk kembali berjuang merebut beasiswa. Lalu, di awal 2011 aku juga mendaftar beasiswa Panasonic Indonesia ke Jepang, beasiswa ini digadang- gadang sebagai beasiswa prestisius karena berjumlah besar dan hanya diperuntukkan untuk 3 orang Indonesia setiap tahun. Layaknya kuis berhadiah atau lomba-lomba, ada tiga tahapan utama yang harus dilewati untuk memenangi beasiswa ini, yaitu seleksi berkas tahap 1 atau penyisihan yang berupa formulir pendaftaran, lalu seleksi berkas tahap dua atau semifinal, dokumen yang dinilai contohnya surat rekomendasi, motivasi dan IPK. Dan yang terakhir adalah tahap tiga atau final, proses seleksi yang dilakukan pada tahap ini seperti FGD, dan wawancara.
Pengumuman tahap awal dikirimkan via email. Aku berhasil masuk ke semifinal bersama seorang teman dari biologi UGM. Namun sayangnya aku tidak melanjutkan proses aplikasi Beasiswa Panasonic. Pengumuman beasiswa ini bertepatan dengan kejadian tsunami dan kegagalan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pada maret 2011 lalu. Aku sudah cukup merasakan tsunami tahun 2004 serta segala kesulitan-kesulitannya di kampung halamanku, Meulaboh. Karenanya, aku sudah tidak berniat melanjutkan aplikasi Beasiswa Panasonic. Ini adalah kegagalan ke enamku dalam waktu yang sangat berdekatan. Tapi teman, aku seseorang paling idealis untuk urusan mimpi yang telah aku cipta. Karena itu, aku belum patah arang untuk terus mencoba berbagai beasiswa lain. Cita-citaku sederhana saja, aku mau bermain-main salju, aku ingin segera kuliah di luar negeri.
Tahun pertama setelah lulus S1 aku dedikasikan untuk melakukan “trial and error” pendaftaran beasiswa. Sangat beruntung jika bisa langsung diterima, namun jika gagal, aku tidak merasa telah buang-buang waktu, karena aku bisa memperbaiki aplikasi untuk periode selanjutnya. Setelah itu, aku mendapat informasi dari seorang teman kampus bahwa pemerintah Perancis membuka penerimaan beasiswa untuk studi ke negara Bonaparte itu, nama beasiswanya BGF, lengkapnya Bourse de Gouvernement de France. Aku tak ketinggalan mencoba peruntungan di beasiswa ini.
Sejauh ini, BGF adalah beasiswa yang tidak bertele-tele. Hanya ada dua tahapan seleksi, seleksi pertama adalah penilaian berkas layaknya beasiswa lainnya. Yang membedakan hanyalah dokumen yang harus diupload, seperti fomulir pendaftaran yang hanya berjumlah 2 lembar ~sangat efisien dibandingkan formulir beasiswa lain yang terkadang mencapai belasan, bahkan puluhan halaman~, lalu tidak pula diminta sertifikat bahasa asing seperi TOEFL dan IELTS. Walaupun pelamar harus mencantumkan perolehan nilai Bahasa Inggris di kolom formulir pendaftaran, dan sedikit essay rencana studi atau penelitian di Perancis. Tahap terakhir beasiswa BGF adalah wawancara di Jakarta. Aku berhasil dipanggil interview BGF bersama 30 peserta lainnya pada April 2011, mereka berasal dari berbagai latar keilmuan. Kebanyakan peserta memilih master degree sedangkan sisanya mendaftar untuk program doktor. Ini merupakan kali pertama wawancara berbahasa Inggris yang telah aku ikuti. Sejauh ini aku belum pernah punya pengalaman diwawancara dengan bahasa asing, aku merasa gugup tapi aku paksakan rileks dan berusaha mempersiapkan sebaik mungkin. Setelah aku selidiki, ternyata keunggulan aplikasiku terletak pada LoA dari salah satu kampus prancis yang telah aku punya sehingga bisa dipanggil wawancara. LoA yang telah aku peroleh dari Poitiers, sebagai salah satu konsorsium EMAE di beasiswa Erasmus Mundus aku pakai untuk mendaftar BGF.
Pada saat wawancara, aku bernegosiasi dengan para pewawancara, bagaimana jika aku tetap mendaftar Erasmus Mundus dengan program yang harus diselesaikan tidak hanya di Perancis, tetapi juga di Portugal, Inggris atau Jerman, tetapi pendanaannya disediakan oleh BGF. Aku masih mengingat jelas bagaimana seorang interviewer melakukan hitung-hitungan terhadap jumlah dana yang dibutuhkan untuk program EMAE tersebut, angka yang menurut mereka cukup fantastis. Kesimpulan akhirnya biaya untuk program itu terlalu tinggi. Aku bahkan memberikan solusi lain, bagaimana jika biaya tersebut hanya ditanggung setengahnya oleh BGF sedangkan sisanya dari pihak ketiga. Interviewer kembali sibuk dengan angka-angka. Tetap saja dianggap mahal. Pertanyaan wawancara untuk beasiswa BGF bisa kupastikan adalah pertanyaan-pertanyaan standar menyangkut aplikasi beasiswa, sama seperti proses interview kebanyakan beasiswa lainnya.
Saat bernegosiasi ini, aku melakukan kesalahan fatal dengan tidak memberikan sebuah pilihan akhir kepada interviewer. Aku sangat terpaku dan terlena pada satu program yaitu EMAE, padahal kami sepakat jika program itu membutuhkan biaya mahal. Aku benar-benar lupa mengatakan jika aku juga bersedia jika hanya kuliah di Perancis saja, dengan program yang murni dari BGF. Di sinilah kekeliruan itu berbuah petaka, kegagalan yang tak perlu seandainya aku cermat.
Selesai interview, aku di persilahkan menunggu hasil seleksi yang akan dikirimkan ke email masing-masing. Pengumuman BGF pun tiba. Sebuah email dari panitia seleksi telah kubaca. Dengan sangat menyesal aplikasi BGF ku ditolak. Tetapi, mereka sangat sopan dalam memberi keterangan-keterangan mengapa aplikasiku tidak bisa diterima sehingga aku sangat berlapang dada untuk BGF. Salah satu alasan yang disampaikan adalah program master yang ingin aku ikuti berbiaya sangat mahal dan tidak sesuai anggaran BGF. Tidak lupa, mereka menyarankan aku untuk memperdalam Bahasa Perancis lalu mendaftar program master berbahasa Perancis yang lebih murah, kemudian bisa mengikuti BGF tahun depan. Aku kembali gagal untuk ke tujuh kalinya, tapi aku merasa puas dan mendapat satu pengalaman baru. “Trial and error” belum berakhir.
Hanya berselang dua hari setelah interview BGF di jakarta, aku dipanggil mengikuti wawancara dengan DAAD di Banda Aceh. Padahal sebelum BGF, aku baru saja pulang dari Jogjakarta ke Banda Aceh setelah menyelesaikan kursus Bahasa Perancis di sana.
Duit yang aku punya semakin menipis karena dalam waktu seminggu aku harus bolak balik Jogjakarta-Jakarta -Banda Aceh sebanyak dua kali. Tetapi orang tua tetap mendukungku karena beasiswa DAAD adalah peluang aku kembali ke Eropa, kali ini ke Jerman. Aceh menjadi sangat beruntung setelah tsunami. Setahuku hingga kini ada 11 negara yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Aceh untuk menyelenggarakan beasiswa bagi putra putri terbaiknya. Salah satunya Jerman melalui lembaga pertukaran akademiknya, yaitu DAAD.
Aku memasukkan lamaran beasiswa yang disebut ASOE ini, atau Aceh Scholarship of Excellence hasil kerjasama pemprov Aceh dengan DAAD. Karena Aku dipanggil wawancara hanya 2 hari setelah proses seleksi BGF berakhir. Pengalaman yang aku dapat saat mengikuti wawancara BGF menjadi sumber kekuatanku mengikuti wawancara DAAD-ASOE. Aku menjadi lebih yakin, percaya diri dan tahu bagaimana tipikal pertanyaan “bule” ketika menguji kandidat penerima beasiswanya. Aku diwawancara oleh seorang representatif DAAD, seorang Jerman yang menjadi dosen tamu salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Isi interviewnya sebenarnya mirip dengan BGF. namun, latar belakang keilmuaanku di bidang biologi-ekologi benar benar diuji. Misalnya, ada pertanyaan-pertanyan yang menyangkut pengetahuan polusi dan metode sampling. Selebihnya tidak jauh berbeda dengan BGF. Aku berbicara layaknya rekan kerja, tidak lupa aku bernegosiasi dengan LoA-EMAE yang masih aku bawa kemana mana. Termasuk saat wawancara tersebut.
Aku berharap bisa kuliah di CAU-Kiel, Jerman. Salah satu konsorsium EMAE, dengan bantuan beasiswa ASOE ini. Namun jawaban sang interviewer sama saja saat aku mengemis- ngemis di BGF. Jumlah biaya yang dibutuhkan terlalu tinggi. Tapi kali ini aku tidak lupa mengatakan, aku tetap bersedia mengikuti skema normal program DAAD-ASOE yaitu mencari jurusan baru yang lebih murah, serta bersedia mengikuti pelatihan Bahasa Jerman. pengumuman kelulusan masih dua bulan lagi.
Aku mempersiapkan aplikasi beasiswa lainnya. Setelah sebelumnya berkali-kali gagal ke Eropa, aku mencoba mengadu nasib ke selatan. Kali ini pilihanku Australia dengan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) nya. Beasiswa ADS termasuk beasiswa rumit dan membutuhkan waktu lama hingga pengumuman kelulusan, namun aku berpikir tidak ada salahnya mencoba. Ini masih tahun pertama kelulusanku, aku masih punya jatah untuk melakukan “trial and error”. Setelah mengisi formulir dan mencoba melengkapi semua peryaratannya. Aku mengirim lamaran ADS melalui pos ke kantor ADS di Jakarta. Setelah itu hanya menunggu pengumuman selanjutnya, jika berhasil akan dipanggil ke tahap berikutnya, interview.
Sambil menunggu pengumuman ADS, pada bulan juni 2011 aku mendapat berita gembira karena aku diterima program beasiswa DAAD-ASOE, namun proses masih panjang, aku bersama awardee lainnya masih harus mengikuti pelatihan Bahasa Jerman dari level dasar A1 hingga level mittelstufe (pertengahan) B2 di Goethe Institut, Jakarta. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level B2 kira-kira 8 bulan jika dilakukan secara intensif, kursus Bahasa Jerman ini dilakukan setiap hari senin hingga jumat sejak pukul 8:00 hingga pukul 12:30. Setiap level, kami harus mengikuti tes untuk mengetahui apakah kami lulus atau tidak dalam tingkat tersebut. Layaknya tes IELTS atau TOEFL IBT, materi yang diuji meliputi kemampuan mendengar, berbicara, dan menulis. Aku belum boleh mengatakan sudah lulus 100 persen beasiswa DAAD – ASOE, karena jika tidak lulus kursus Bahasa Jerman minimal level B1 atau yang disebut zertifikat deutsch, maka beasiswa akan dicabut dan tidak jadi diberangkatkan ke Jerman.
Perilaku orang – orang Jerman yang sistematis dan antisipatif tercermin pada beasiswa ini. Walaupun aku tidak berencana mengambil program master berbahasa Jerman, aku bersama Awardee tetap harus mengikuti pelatihan bahasa sesuai level yang telah ditentukan, sejak November 2011 hingga Juli 2012. Selain itu, walaupun sudah memiliki nilai TOEFL, kami pun masih harus mengikuti tes IELTS. Tujuan pelatihan bahasa yang diadakan selama itu agar kami mudah berkomunikasi dengan warga Jerman saat berada di sana, serta lebih mudah mendaftar kuliah karena kebanyakan kampus Eropa termasuk Jerman meminta IELTS sebagi prasyarat.
Ketika mengikuti pelatihan Bahasa Jerman di Jakarta, aku mendapat informasi mengenai pengumuman ADS. Aplikasiku ditolak. Pengumuman tersebut dikirimkan secara langsung melalui pos ke alamat rumahku di Aceh. Namun sebenarnya panitia seleksi telah menghubungiku via telepon, mereka sebelumnya masih memberiku waktu untuk melengkapi dokumen IELTS yang masih kurang. Ini kegagalan ke delapanku, Teman.
Aku sama sekali tidak menyesal terhadap “trial and eror” yang aku lakukan. Aku mempersiapkan tes IELTS dengan mengikuti kursus terlebih dahulu di Jogjakarta, perjuangan menghadapi beasiswa DAAD ini merupakan proses sulit yang pernah aku ikuti. Terlalu banyak persyaratan yang harus kupenuhi. Termasuk mencari Letter of Acceptance dari Universitas di Jerman. Ketika berada di Jogjakarta awal 2012, kesehatanku malah memburuk karena kelelahan. Aku terserang demam berdarah dan harus di rawat di rumah sakit selama satu minggu. Di sinilah pikiranku kembali kacau, aku benar-benar khawatir beasiswa akan dicabut dan tidak jadi diberangkatkan. Aku mengantisipasi dengan mendaftar kembali beasiswa Erasmus Mundus untuk kedua kalinya. Program yang aku apply saat itu adalah LOTUS (ekologi manusia) untuk action 1 dan 3 program lainnya untuk action 2 yaitu EMAE, MIND dan EMBC (marine biology).
LOTUS dan EMBC merupakan program baru yang aku apply, karena tahun sebelumnya aku belum pernah mendaftar program ini. Berbekal pengetahuan Erasmus Mundus saat pertama kali daftar di tahun 2010, aku lebih mudah menyiapkan aplikasi. Walaupun di tengah DBD yang kuderita. Aku dengan mudah memperbaiki lamaran yang masih tersimpan rapi di laptopku. Aku benar- benar lupa memikirkan kondisi tubuhku yang begitu kelelahan dan sakit akibat DBD. Yang ada dipikiranku, aku harus segera bermain main salju di Eropa.
Saat itu, trombosit tubuhku mencapai titik terendahnya! hanya 9000 sel/ mm3, jauh dari batas normal 150.000 sel/mm3. Tetapi kekuatan impian ternyata sangat dahsyat, Teman. Disaat begitu terpuruk dengan penyakitku, aku masih menyempatkan online dan menekan tombol submit untuk mengirimkan 4 aplikasi Erasmus Mundus yang telah aku perbaiki itu. Kemudian aku tinggal menunggu pengumuman dari masing- masing program tersebut.
Hampir tiga bulan setalah itu, pengumuman Erasmus Mundus tiba. Aku pun telah sembuh total dari DBD yang kuderita. aku menerima email dari konsorsium ke empat program Erasmus Mundus tersebut. kali ini aku sedikit mengalami peningkatan hasil, ke empat aplikasiku tersebut dihargai sebagai reserve list dari Indonesia. Dengan kata lain, aku dapat menerima beasiswa jika ada yang mengundurkan diri dari main list. Ini adalah kegagalan ke sembilan, sepuluh, sebelas, dan kedua belas yang telah aku alami, kali ini aku tidak gagal total. Berbekal “trial and error” yang aku lakukan, aku memproleh peningkatan hasil dalam proses lamaran beasiswa. Aku menjadi semakin tahu mengenai aplikasi berbagai beasiswa. Aku mendapatkan LoA dari salah satu program Erasmus yang dapat aku pakai untuk beasiswa DAAD-ASOE. Akhirnya aku fokus kembali kepada beasiswa yang telah aku peroleh sebelumnya, DAAD-ASOE. Aku lulus tes Zertiikat Deutsch sesuai yang telah ditentukan sehingga aku dapat berangkat ke Jerman bersama Awardee lainnya pada awal agustus 2012.
Setiba di Jerman, kami kembali mengikuti persiapan Bahasa Jerman selama tiga bulan di Dortmund, sebuah kota yang terkenal dengan klub sepakbola Borussia Dortmund-nya, sebelum akhirnya kami berpencar ke berbagai kota di Jerman untuk melanjutkan studi di universitas yang berbeda.
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan master perencanaan lingkungan di Technische Universität Berlin. Kini aku sedikit lega karena telah memenuhi janji pada diriku sendiri untuk ikut menulis di sini, janji yang terucap ketika pertama kali membaca kisah- kisah yang menggetarkan jiwa dari para motivator beasiswa lainnya dan selalu berhasil membakar semangatku. Begitulah kisah tentang “trial and error” yang aku lakukan dalam aplikasi beasiswa.
Setelah 13 kali melakukan percobaan, aku akhirnya mendapat salah satu keberhasilan. Pepatah hingga kini belum berubah bunyinya “dimana ada kemauan di situ ada jalan“. Lantas, apakah kamu tidak mau menempuh jalan itu? “Trial and error” bukan hanya milik anak burung yang sedang belajar terbang, manusia juga boleh mencobanya.” Selamat berburu beasiswa!
Kisah ini ditulis di Berlin, sebuah kafe di Meulaboh. Aku tulis kembali untuk mengingat segala jerih payah sehingga tiba di Berlin yang sesungguhnya dan memberi sedikit motivasi kepada para pemburu beasiswa lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar