Kamis, 09 Mei 2013

Nilai ekonomis


From: Onny_Indrianto
To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Monday, May 6, 2013 7:38 AM
Subject: RE: Nilai ekonomis

Pasion dan Energy/Spirit juga sepertinya ya..…Tks Dwika..for share nya..

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 05 Mei 2013 15:29
To: elektro85@yahoogroups.com
Subject: Nilai ekonomis

Lakukan bisnis sesuai passion tapi tetap memiliki nilai ekonomis. 
I Deliver Happiness,
Dwika


Bisnis Happynomics
http://wanitawirausaha.femina.co.id
Dua tahun lalu, dunia kuliner tanah air dimarakkan oleh kemunculan rainbow cake yang kemudian menjadi fenomena. Seolah tak ingin ketinggalan tren, hampir semua bakery di kota-kota besar berlomba-lomba menciptakan kudapan berwarna pelangi itu dalam berbagai macam bentuk. Menurut creative consultant Yoris Sebastian dan pakar marketing Yuswohady, fenomena latah di dunia bisnis bukan hal aneh. Bahkan, sulit memisahkan antara bisnis dan latah. 

Dalam memulai bisnis, seorang pengusaha sebaiknya memilih bidang yang sesuai dengan ketertarikan. Hal itu penting, karena bisnis yang dilakukan berdasarkan passion  hasilnya akan lebih optimal. “Bila Anda suka bidang kuliner, pilih bisnis makanan atau minuman. Jangan malah terjun ke bidang fashion karena Anda tak akan merasa nyaman melakukannya,” tutur Yoris.
            Dengan moto tersebut, Yoris menciptakan istilah happynomics, yang berarti melakukan bisnis sesuai passion tapi tetap memiliki nilai ekonomis. Sebab, menurut Yoris, bila perasaan senang sudah didapat, keuntungan dan kesuksesan pun akan mengikuti dengan sendirinya. “Bisa dibilang, happy menjadi moto dasar dalam berbisnis. Bisnis yang didasari oleh rasa happy akan lebih total, plus menghasilkan nilai ekonomis yang sepadan,” tutur pria yang dikenal memiliki pemikiran out of the box ini. 
            Rasa happy biasanya memengaruhi kesuksesan berbisnis. Sayangnya, menurut Yoris, pelaku bisnis yang merasa sudah berada di puncak keberhasilan cenderung berpuas diri dan berhenti melakukan inovasi. Kalaupun ada keinginan berinovasi, hal tersebut tak segera dilakukan. “Teori bisnis memang mengajarkan bahwa inovasi baru bisa dilakukan di saat grafik penjualan bergerak menurun,” jelasnya.
             Yoris tak menyarankan untuk mengikuti teori tersebut, Ia justru menyarankan trik lain, yaitu melakukan inovasi di saat grafik penjualan berada di atas. “Inovasi itu justru harus dilakukan saat penjualan sedang bagus-bagusnya. Jangan menunggu kurva bisnis menurun. Bila memang ada produk baru di saat kurva penjualan naik, segera luncurkan. Sebab, itulah saat tepat untuk berinovasi,” jelasnya. 
            Strategi yang cenderung ‘melawan arus’ itu pernah dilakukannya ketika menjadi General Manager Hard Rock Café, tahun 2003 silam. Kala itu, di saat Hard Rock Café banyak digemari kalangan anak muda tanah air, ia tak ragu meluncurkan konsep I Like Monday, yakni mengadakan pertunjukan musik pada hari Senin. Ternyata, konser musik di hari Senin itu direspons positif. Tak hanya berhasil meningkatkan angka penjualan kafe, konsep I Like Monday yang diusungnya itu kemudian ditiru oleh beberapa perusahaan besar. “Beberapa mal kemudian ramai-ramai memberikan diskon kepada pelanggan yang berbelanja pada hari Senin. Jaringan bioskop Indonesia pun ikut-ikutan meniru konsep I Like Monday lewat program nomat,” tutur Yoris.  

            Sebaliknya, apabila ide inovasi tak segera diwujudkan, maka bisa menyebabkan kegagalan berbisnis. Hal itu terjadi pada perusahaan kamera film Kodak, yang akhirnya jatuh karena kalah dengan eksistensi kamera digital. Padahal, Kodak-lah yang sesungguhnya menciptakan kamera digital pertama di dunia. Karena khawatir mengganggu penjualan kamera film yang saat itu sedang berada di puncak, Kodak malah menghentikan produksi kamera digital. Ironisnya, tak lama setelah itu, kamera digital produksi kompetitor justru meledak. Masyarakat juga mulai beralih dari kamera film ke kamera digital. 
         Kondisi itu membuat Kodak tak bisa berkutik, hingga akhirnya mengalami kemerosotan bisnis. “Maka dari itulah, jangan tunda berinovasi sebelum akhirnya produk Anda dimakan pesaing,” tambah Yoris.
            Lalu, bila ide berinovasi sudah ada di kepala, hal apa lagi yang harus dilakukan agar pelaksanaannya lebih total? Menurut Yuswohady, dalam berinovasi yang penting adalah menentukan functional value. Hal inilah menjadi fondasi, baru kemudian dibarengi dengan emotional value. Agar bisnis bertahan lama, kedua nilai tersebut harus saling menunjang. 
        Starbucks misalnya. Menurut Yuswohady, kedai kopi asal Seattle, Amerika Serikat, ini sebagai salah satu produk yang sukses menyeimbangkan nilai fungsional dan emosional. “Sebagai perusahaan kopi, Starbucks sukses menghasilkan nilai fungsional, yakni rasa kopinya yang lezat. Hal itu dibarengi dengan emotional value lewat konsep kafetaria yang nyaman. Sehingga, pelanggan yang mengunjungi Starbucks tak hanya untuk menikmati kopinya, tapi juga untuk nongkrong sekaligus bergaya,” katanya. 
            Bagi Yuswohady, produk yang dijual dengan nilai fungsional dan emosional yang tepat terbilang lebih long lasting daripada produk yang hanya memenuhi nilai fungsionalnya saja. “Nilai fungsional memang menjadi dasar. Tetapi, akan lebih baik lagi apabila ditunjang dengan nilai emosional, supaya produk tersebut tak gampang dilupakan konsumen,” jelas Yuswohady.
            Nah, tunggu apa lagi? Segera wujudkan ide inovasi bisnis sekarang juga, sebelum para pesaing di luar sana ‘merampas’ ide Anda. 

Rizka Azizah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar