Minggu, 03 April 2011

Phuket Thailand

Maya Bay Phuket Thailand
Penyanyi Dangdut - Indonesia

Artikel ini kemaren kira2 3 bln yg lalu uda saya kirim ke email Zev. Tapi mungkin karena Z dalam kondisi kurang baik ( Dan sekarang beliau sudah di surga...Hiks) dengan ini saya resend lagi dehh ke emailnya Temennya Asmod ( Halo TA..Salam kenal yaa...Sambil dada dada). Atau mungkin Alm Zev sudah sempat buka email saya ini, cuma isinya mungkin enggak mutu dan enggak layang tayang. Hehehe.

Salam sejahtera buat Zev, Asmod dan semua Kokiers. Semoga semuanya sehat2 bergembira. Mumpung saya lagi ada niat nulis ( jarang2 nihh si niat datang), saya mau cerita2 sedikit soal perjalanan saya ke Phuket Thailand bulan Februari kemaren. Kalau Anda2 sudah sering ke Phuket, liat poto2nya sambil tutup mata saja yaa...

Mendarat di bandara Phuket siang2 bolong, langsung disambut dengan cuaca yang cukup membakar kulit. Apalagi berangkat dari China dengan cuaca kira2 minus 10, tiba2 berada ditempat dengan suhu kurang lebih 30 degrees, kebayang dong panasnya gimana. Lebih panas dari neraka. Untung saja saya mempersenjatakan diri dengan  kaos oblong, celana pendek dan sendal jepit..hehehe. Mantafff!!  Sekilas bandara internasional Phuket mirip dengan bandara Polonia Medan. Rame dan berisik seperti hairdryer. Bedanya fasilitas di bandara Phuket jauhh lebih manusiawi daripada fasilitas di bandara Polonia Medan. Lord knows why...
Poto-poto berikut adalah poto2 waktu saya melakukan Phi Phi Island Tour, Nah Maya Bay ini adalah salah satu tempat yang disinggahi yang ada dalam paket tersebut. Kalau Anda sekalian masih ingat pelem The Beach yang dibintangi Om Leonardo DiCaprio ( dirilis tahun 2000 yang silam), di Maya Bay inilah tempatnya pelem itu di shot. Menginjakkan kaki di pantai Maya Bay yang berpasir lembut mirip bubuk susu bayi ( bukan susu ibu) pikiran saya langsung teringat dengan Lagu Pure Shores yang dinyanyikan All Saints yang menjadi lagu soundstrack pelem The Beach. Pasirnya sangat putih, dan airnya begitu jernih. Silahkan Anda cermati poto2nya...Kalo kurang jelas, mungkin Anda butuh mikroskop...hehehe. Jangan salahkan kamera saya atau si pemotret.

Berhubung waktu melakukan tour ini saya ama teman2 saya lewat Biro Perjalanan, maka informasi yang saya ingin bagikan ke Kokiers tidak terlalu banyak. Biayanya kalau tidak salah kira2 2600 Thai Baht ( kurang lebih 80 US $). Tapi tournya ini full day. Dijemput dari hotel tempat menginap pukul 07.30 dan kemudian diantar kembali ke hotel sampai tournya tuntas. Budget ini juga sudah termasuk lunch, soft drink dan air mineral sampai puas, fasilitas snorkling berikut instruktur nya , guide, dan speed boat. Kalau tournya dilakukan secara individual mungkin sedikit lebih murah, cuma mungkin repot sekali nyari2 tranportasi. Berhubung di Phuket sepertinya yang bikin kocek bangkrut itu di transportasi. Secara bis enggak terlalu banyak, yang ada malah cuma taksi ama tuk tuk. Itupun taksinya jarang pake meter. Kadang harganya main slonong boy aja.
Kembali ke soal perjalanan ( ngantuk juga nih lama2 penontonnya ceritanya melebar enggak penting ke mana-mana). Pukul 7.30 bener-bener ontime dijemput di lobi hotel, kemudian langsung berangkat ke marina ( nama marinanya lupa, untuk Nyonya Margharita Fernandez selaku wakil kepala desa Phuket mohon kesediaannya untuk memberitahukan nama Marina yang saya maksud---Terimakasih). Kira2 kurang lebih 2 jam di atas speed boat ( didalam speed boat ini juga digabung dengan beberapa tour goer yang kebetulan hari itu juga melakukan tour), maka sampailah akhirnya ke Maya Bay ini. Karena kebetulan pake tour nya enggak ke Maya Bay ini doang, maka guide-nya wanti-wanti menjelaskan kalau di Maya Bay ini hanya singgah kira2 30 menit sebelum melanjutkan tour ke pulau pulau kecil di Phuket.

Sampai sebelum makan siang di May Bay, ternyata sudah dipadati pengunjung. Mau poto2 kayaknya space-nya sedikit, secara tempatnya maju kena mundur kena alias sumpek. Poto2 kami kebanyakan selalu ada aja orang asing yang nampang di background. Perlu Kokiers ketahui, kalau mau poto dengan latar belakang tiang listrik, di Maya Bay ini engga ada tiang listrik.Hehehe. Pemandangan wanita wanita dengan bikini seksi menjadi santapan pembuka sebelum makan siang...hehehe. Kemaren itu saya cukup terpukau dengan salah seorang wanita- sepertinya dia Latino, bikininya seksi bow...Hmmmmm..Tapi pada waktu dia melambaikan tangannya pas dijepret ama temennya...melambailah bulketnya seperti daun kelapa yang ditiup angin..hehehe.




Oh ya, berhubung di Maya Bay adalah tempat berenang yang cukup seru, airnya jernih, nyaris bening tidak berwarna, ada baiknya Anda bawalah perlengkapan berenang secukupnya, sun lotion dan tidak lupa sun glasses. Secara mataharinya cukup menyengat. Please no umbrella. Banyak banget saya perhatikan amoy2 yang pake payung. Takut kaleeeee mukanya yang aduhay jadi item. Please dehhh.
Buat Anda2 yang menyukai wisata air, Phuket adalah tempat yang sangat mantaf. Travel agentnya sepertinya trustworthy, dan dengar2 dari beberapa orang yang sudah pernah ke Phuket, guide2 nya kebanyakan sopan, ramah dan tidak pernah coba2 to rip off tamu2nya...



Sampai disini dulu cerita-cerita perjalanan enggak penting saya. Poto-poto pendukungnya hasilnya kurang maksimal nih. Secara kameranya hanya kamera obralan ( halahh ngaku aja emang enggak bisa motret...wakkakaka).
Thank you sekali buat semua yang sudah membaca.

XOXOXO,
PDD

Canadian Tulip

Tiptoe Through the Tulips - Canadian Tulip Festival 2010
Bejan - Kanada

Merupakan salah satu festival tulip terbesar di dunia. Diselenggarakan setiap bulan Mei di Ottawa, Kanada. Tahun ini The Canadian Tulip Festival  dimulai dari tanggal 7 Mei hingga 24 Mei.
Tema yang diusung adalah "Liberation!" Untuk mengingatkan peranan penting Kanada terhadap kebebasan Belanda di akhir Perang Dunia II, tepatnya 65 tahun yang lalu. Sejak itu diantara kedua negara terjalin kerjasama yang erat, termasuk  terselenggaranya Festival Tulip Kanada ini.

Awal PD II, the Ducth Royal Family – Ratu Wilhelmina, Putri Julianna, dan suaminya Pangeran Bernhard serta kedua putri mereka Beatrix dan Irene terbang ke Inggris. Untuk keselamatan keluarganya, Ratu Wilhelmina memutuskan untuk mengirim putri dan cucunya ke Kanada. Putri Juliana melahirkan putranya yang ketiga Margriet, tahun 1943. Dari tahun 1940 hingga 1945 mereka hidup tentram di Rockcliffe , terkadang ratu Wilhemina dan pangeran Bernard menjenguk mereka. Di akhir perang, Juliana dan Pemerintah Belanda mengirim ribuan umbi Tulip ke Ottawa sebagai ungkapan terimakasih mereka. Julianna naik tahta pada tahun 1948 masih tetap mengirimkan umbi Tulip setiap tahunnya. Donasi ini akhirnya ditangani langsung oleh the Ducth Bulb Growers Association. Belanda tetap memutuskan untuk mengirim umbi Tulip setelah Ratu Julianna wafat di tahun 2004.
Ketika Juliana dan putri-putrinya hidup aman, nyaman, tentram  di Ottawa, tentara Kanada berjuang membebaskan Belanda. Musim Panas 1944, The First Canadian Army sudah menuju Belanda. Pada musim Gugur 1944 berhasil membuka akses ke Pelabuhan Antwerpen, Belgia. Kota Antwerp merupakan kunci untuk mensuplai tentara Aliansi. Dibawah General Harry Crerar terdapat 170.000 tentara Kanada dan prajurit dari beberapa negara dengan jumlah 450.000 pasukan. Lebih dari 7.600 prajurit Kanada gugur sepanjang masa-masa sulit selama sembilan bulan tersebut, untuk membebaskan Belanda.
Ketika pertempuran berakhir, ribuan tentara Kanada di Belanda mulai membangun kembali rumah-rumah, jembatan dan membantu rakyat Belanda untuk memulai kembali kehidupannya.
 

Tahun ini, merupakan perayaan ke 65 berakhirnya PD II, the Canadian Tulip Festival untuk mengenang rasa suka cita yang merasuk kalbu ketika perang di Eropa berakhir.
Festival ini dipusatkan di beberapa tempat, termasuk Major’s Hill Park dan  Commissioners Park. Di Major’s Hill Park pengunjung dapat menikmati bazaar dan makanan international, the Mirror Tent,  serta panggung pertunjukan, Indonesia termasuk yang mengisi bazaar tersebut. Salah satu bintang yang menghibur kali ini  di Mirror Tent adalah Waylon, penyanyi yang pertama kali terkenal di TV show, Holland’s Got Talent. Sedangkan di Commissioners Park sepanjang Dow’s Lake, pengunjung dapat menikmati berbagai warna bunga tulips yang jumlahnya jutaan. Pengunjung juga akan dihibur oleh artis local dan musisi.
Tiptoeing through the tulips Kokiers!
 


 
www.tulipfestival.ca


Foto-foto: Bejan Kanada

Budapest. 1

The Last Sunday in Budapest. Part 1
Arita - CH

Bau kelembapan pagi menyelinap dalam benakku, membentuk sosok kehidupan yang berjalan tanpa henti, didorong angin waktu yang berdetak, tik tak tik tak. Jam tidurku terlihat mengkerut dipojok sudut, tekuk lutut dengan adrenalin yang memompa darah penuh semangat, membangunkan terus menerus setiap sendi dalam kesadaranku, membuka erat-erat mata yang kelaparan akan pemandangan demi pemandangan.
Akhir pekan di Budapest benar-benar menguras habis waktu tidurku yang tersisa hanya sedikit. Setiap jengkal kota diwarnai oleh kehidupan yang bergolak, mengandung makna dan cerita yang mampu mengocek tangis bersamaan dengan pembunuhan kesedihan. Kota Budapest kaya dengan masa-masa peperangan, penjajahan, pembebasan, yang akhirnya malah diduduki untuk kembali terjajah. Namun, kota ini tak pernah menyerah, kota tangguh yang dijajah dan terajam tapi tetap bertahan dan bangkit hidup dari kematian berkali-kali
Penyatuan berbagai rasa dan asal muasal sejarah seolah menjadi tapak-tapak awal dari penyatuan tiga kota Óbuda, Buda, dan Pest menjadi kota Budapest pada tahun 1873.
Buda & Pest
 

Dulu, di abad ke 3 dan ke 4 SM, orang Eravisci dari suku Celtik yang sangat berbudaya “memeriahkan” kehidupan di bukit Gellért, diatas sungai Danube. Kepandaian dalam dunia besi dan keramik hingga pembuatan uang koin membalut kehidupan mereka dengan kemakmuran. Hingga abad 35 SM, datanglah bangsa Romawi menambah hingar bingar bukit dengan membangun pemukiman koloni Pannonia, dan mengeksploitasi mata air panas di daerah tersebut dengan membangun pemandian umum pertama. Pemandian dan spa menjalar subur di kanan kiri kota tersebut, membuatnya menjadi terkenal dengan nama Aquincum (kini dikenal dengan nama Óbuda), kota yang berlimpah dengan “air”. Kota yang membuatku tak mampu tertidur, setelah menikmati “ketenangan” dalam spa yang buka hingga pukul 04:00 pagi!
Sungai Danube
 
 
Sisa-sisa bukit Gellért
 
Di abad ke 9, datanglah bangsa Magyars dari pegunungan Ural yang kemudian menetap di sekitar Danube di Carpathian Basin, bangsa yang kemudian menjadi nenek moyang orang Hungaria di masa kini. Dengan Raja István sebagai raja Hungaria yang pertama, ia memerintah dengan keberanian dan kepandaian hingga berhasil mempersatukan bangsa. Setelah kematiannya,  pada tanggal 20 Agustus 1083 Raja István disantofikasi menjadi santo dan pelindung bagi bangsa Hungaria. Hingga kini, mumi Santo István (Szen István) dapat dilihat di bangunan Szen István-bazilika atau dikenal dengan nama St. Stephen's Basilica dan setiap tanggal 20 Agustus dirayakan sebagai hari raya Santo István (St. Stephen's day).
Szen István-bazilika
 
 Setelah kematian Raja István, Hungaria kembali menghadapi ancaman baru dari Mongol pada sekitar tahun 1241-1242. Bangsa Mongol menghancurkan kota Pest dan Buda serta menduduki area Trandanubian. Dimana-mana ditemukan kelaparan dan kematian. Bangsa Hungaria kembali merana terajam, namun keajaiban seolah enggan meninggalkan mereka. Tanpa hujan dan angin, "The Khan of Mongol" meninggal dunia dan seluruh pasukannya kembali ke Asia.
Raja Béla ke IV kembali membangun Hungaria, pada tahun 1347 pemukiman kerajaan berpindah kebagian bawah di bukit Buda dan kota Pest mulai pulih dan berkembang hingga menyeberangi sungai Danube.
Pemukiman pertama Aquincum yang berada di sebelah utara atas menjadi Óbuda (kota tua Buda).

Óbuda
Aku berjalan perlahan menapaki Buda menanjak menuju Óbuda yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan bergaya Renaissance, Gothic, Baroque -peninggalan koloni Romawi-  dan Arabique -peninggalan koloni Turki yang hadir pada tahun 1541-1686, periode "The Ottoman"-. Kekayaan gaya bangunan di kota Óbuda membuatku bertenaga 10 kali lipat dari sebelumnya. Entah bagaimana caranya kedua kaki ini melangkah tapak demi tapak mengitari jalan yang menanjak, yang pasti kedua mataku menjadi komandan panglima tertinggi bagi seluruh anggota badan.
 
 
Town hall Óbuda , dibangun pada abad ke 17 & 18
 
Rumah-rumah kaum borjuis bergaya Baroque
 
Bentuk genteng keramik yang berwana-warni dari Gereja Matthias Corvinus
Mátyás-templom (Matthias Church) - 1255
 
Jejak arsitektur Turki di Buda (1541-1686)
 
Király Fürd?, pemandian umum yang dibangun pada pemerintahan Ottoman tahun 1565.
Sumber foto: http://www.budapest-tourist-guide.com/
Setelah sang panglima tertinggi  -kedua mataku- puas dan kenyang dengan "sajian mewah" bercita rasa ala oriental & occidental, maka aku memejamkan "sang panglima tertinggi", duduk diam menikmati angin musim semi yang menyelinap dari jendela kereta metro yang tertutup tidak rapat. Mempersiapkan sang Panglima untuk kembali menyantap pemandangan di seberang sungai Danube, di kota Pest.
Tunggu kehadiranku, kota Pest...
 
. . .

Budapest 2

The Last Sunday in Budapest Part 2
Arita - CH

Ini kisah perjalanan ke Budapest Bagian Kedua. Baca kisah sebelumnya di The Last Sunday in Budapest Part 1
Sunday is gloomy, My hours are slumberless...
Menyeberangi sungai Danube menuju kota Pest, kembali kubaca perlahan kisah jembatan permanen pertama yang menyatukan kota Óbuda, kota Buda dengan kota Pest.
Dulu, selama berabad-abad kota-kota yang terpisahkan oleh sungai Danube dihubungkan dengan jembatan gantung (pontoon) belaka. Hingga pada bulan Desember 1820, Count István Széchenyi (1791-1860) politikus Hungaria saat itu, menerima kabar kematian ayahnya yang berada di Wina.
Musim dingin yang ganas membekukan jembatan gantung, berbahaya untuk diseberangi. Terdampar di sisi Pest tanpa bisa menatap wajah ayahnya untuk terakhir kali, Count István Széchenyi bersumpah untuk membiayai pembangunan jembatan permanen dari kocek pribadinya sendiri, berapapun harganya!
Dibutuhkan waktu selama hampir 50 tahun untuk membuat jembatan tersebut. Sayangnya, Count István Széchenyi meninggal di tahun 1848 sebelum ia sempat melihat impiannya berdiri megah pada tahun 1873.
Count István Széchenyi terkenal sebagai seorang politikus yang tidak segan-segan "mengorbankan" kocek pribadi demi kepentingan negara. Saat negara dalam masa Era Reformasi, Count István Széchenyi rela menyumbangkan seluruh penghasilannya selama 1 tahun untuk membangun Magyar Tudományos Akadémia, MTA (The Hungarian Academy of Sciences). Kepandaian Count István Széchenyi dalam berdiplomasi serta "keberaniannya" mengocek kantong pribadi untuk negara (bukan sebaliknya) membuat ia didaulat sebagai "The Greatest Hungarian".
Jembatan yang kini menyandang nama Count István Széchenyi dikenal dengan nama Széchenyi - Lánczhíd (Jembatan Rantai Széchenyi). Dirancang oleh insinyur Inggris William Clark pada tahun 1836 dan selesai pada 1873. Sempat hancur dibom pada tahun 1945 saat Jerman menduduki Hungaria, jembatan tersebut dibangun kembali pada tahun 1947 hingga 1949, dengan bentuk sama seperti sebelum kehancurannya.


Rupanya, jerih payah Count István Széchenyi dalam mencetuskan jembatan permanen pertama menumbuhkan lahirnya jembatan-jembatan lainnya satu persatu. Salah satu jembatan yang cukup penting menghubungkan kota-kota di bagian selatan adalah Szabadság híd (Liberty Bridge). Jembatan ini dibangun pada tahun 1894-1896 dengan struktur material yang sangat berbeda dengan jembatan Széchenyi - Lánczhíd, namun secara garis besar model jembatan meniru model jembatan perintis.


Setelah kota-kota Óbuda, Buda, dan Pest dipersatukan dengan jembatan-jembatan permanen, kota Pest tumbuh dan berkembang dengan pesat. Hungaria memasuki masa keemasan pada tahun 1873-1914. Untuk merayakan ulang tahun milenium bermukimnya bangsa Magyars di Hungaria, maka dibangunlah bangunan-bangunan megah pada tahun 1896, yang diantaranya adalah:
  • Országház Gedung Parlemen Hungaria, "House of a Motherland".
  • Monumen Millennium di H?sök tere (Heroes' Square).

Országház Gedung Parlemen Hungaria, "House of a Motherland"
Gedung Parlemen bergaya neo-gothic dibangun pada masa Kekaisaran Habsburg tahun 1884 dan dibuka pada tahun 1902. Dengan panjang 268 meter dan lebar 123 meter, menempati lahan sebesar 18.000 m2 menjadikan gedung ini sebagai gedung parlemen nomer tiga terbesar di dunia!


Monumen Millennium di H?sök tere (Heroes' Square)
Memasuki "alun-alun" pahlawan, kedua mataku menengadah, menghormat ke arah patung malaikat Gabriel yang berdiri tegak, menjulang ditengah-tengah lapangan H?sök tere, menatap lurus bentangan tanah Hungaria. Tangan kanannya memegang mahkota raja pertama Hungaria Raja István dan di tangan kiri ia menggenggam salib dua garis (two barred apostolic cross) yang diberikan oleh Paus Paulus kepada Raja István.


Dibangun sekitar tahun 1896 dan selesai pada tahun 1900, di tengah alun-alun pahlawan ini diisi oleh tujuh patung pemimpin suku Magyars yang membangun Hungaria di abad ke 9.

           The seven chieftains of the Magyars
Sedangkan pada bagian belakang, terdapat dua bangunan bertopangkan pilar-pilar. Masing-masing terisi dengan tujuh patung tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam sejarah pembentukkan Hungaria.

            The 7 great figures of Hungarian history
Diatas pilar bangunan sebelah kiri luar, patung seorang laki membawa arit/sabit dan patung seorang perempuan sedang menebar benih melambangkan Labor & Wealth. Patung ini menggambarkan bagaimana para pria dan wanita Hungaria bahu-membahu bekerja keras untuk menghasilkan kesejahteraan bersama.

Sedangkan pada bangunan kedua sebelah kanan, di atas pilar sebelah kanan luar, patung seorang pria yang memegang patung kecil seperti suatu piala dan patung seorang wanita dengan daun palem melambangkan pengetahuan dan kemenangan (Knowledge & Glory).

Kembali pada bangunan sebelah, di sisi sebelah kiri dalam terukir patung seorang lelaki yang dengan gagah berdiri di atas kereta kuda dengan memegang ular sebagai cambuk, simbol dari lambang peperangan (War).

Berhadapan dengan kegagahan patung lelaki yang melambangkan peperangan, di atas pilar sebelah kanan dalam bangunan sebelah kanan sesosok wanita terukir indah berdiri dengan elegan diatas kereta kuda sambil membawa sehelai daun palem besar yang mewakili lambang kedamaian (Peace).

Labor and Wealth”, “Knowledge and Glory”, “War and Peace”, sudah terpampang terukir indah di lapangan alun-alun H?sök tere. Tapi, bagaimana dengan "Food and The Gank"?
Lagu keroncong "keroncongan" mengalun buas non-stop sejak satu jam, menagih janji "sehidup semati" meneriakkan syair "berikan aku makanan, kuberikan kau kehidupan". Dengan tergesa-gesa, kupaksa privat guide di sampingku mencari rumah makan khas Hungaria yang dikonsumsi oleh kebanyakan orang lokal dan sedikit turis.
Mau makan makanan khas Hungaria? Ya kudu baca menu dalam bahasa Hungaria karena memang menu yang tertulis hanya ditujukan untuk orang lokal. Jadi, judulnya, alamaakkk...!

Makan apa ya??? Jangan khawatir... Karena ternyata orang Hungaria mempunyai persamaan dengan orang Indonesia. Kedua bangsa ini sama-sama mengkonsumsi NASI! Et voila... Nasi putih lengkap dengan lauk ikan goreng (Pontyfillé rántva rizzsel) yang rasanya rada-rada mirip dengan rasa ikan gurame goreng menghampiri dengan penuh kasih sayang, menenangkan kebuasan lagu keroncong berjudul "Keroncongan".


Atau mungkin, mau mencoba ikan goreng disambangi dengan karbohidrat ala western? Pasta saus jamur (Pontyfillé magyarosan) juga bisa menenangkan goyangan keroncong perut.

           Pontyfillé magyarosan

Selain lauk ikan, lauk ayam, hati ayam, kacang polong, dan bawang bombay terkait bersama dalam bentuk kroket (Sertésszüz Budapest mòdra) juga dapat memberikan pencerahan bagi perut yang bermuram durja.


           Sertésszüz Budapest mòdra
Masih kelaparan juga? Atau mungkin dalam beberapa jam mendatang, kembali perut menyanyikan lagu "colak-colek" minta cemilan? Ahaa... ini dia musuh berat program diet.
Gorengan tepung terigu berminyak bercampur dengan potongan bawang putih dan berlimpah dengan tawuran parutan keju serta cream kecut, siap menyerahkan diri sepenuhnya bulat-bulat. Bagaimana cara makan gorengan yang bernama Langos ini? Tidak ada sendok, pisau dan garpu di kedai cemilan "LANGOS". Ya siap-siap saja melumurkan tangan, mulut dan baju, dengan minyak dan keju hehehehe...

            Langos

Kini, otak sudah sarat dengan pengetahuan. Perut sudah penuh dengan ikan goreng, ayam, dan gorengan raksasa Langos. Saatnya menenangkan diri menyambut malam dengan jalan-jalan malam di kawasan "Opera" yang lumayan romantis diguyur lampu kuning redup.




Malampun semakin dalam. Rasanya tidak rela menghabiskan hari minggu terakhir di Budapest. Kulangkahkan kaki menuju satu area pejalan kaki dekat Szent Istvàn-bazilika (St. Stephen's Basilica), memesan minuman terakhir di hari minggu terakhir, "Cocktail Virgin Mojito" (cocktail mochito non alcohol), di sebuah Café yang bernama ala Italiano "Non Lo So", yang artinya: "Saya Tidak Tahu"...
Touché...!

...
Under the blossoming trees it will be my last journey
My eyes will be open, so that I could see you for a last time
Don't be afraid of my eyes, I'm blessing you even in my death...

The last Sunday...
"Szomorú Vasárnap", by László Jávor



Arita-CH