Minggu, 10 April 2011

Umrah

Saudi Arabia: Makkah


Bersamaan dengan jemaah umrah yang lain, tujuh kilometer dari Madinah kami tiba di "Abyar Ali" (sumur Ali). Diberi nama demikian karena konon sepupu Nabi Muhammad, Ali bin Abu Thalib, menggali sumur di tempat ini saat Nabi melaksanakan haji. Abyar Ali atau sering disebut "Byr Ali" ini dijadikan tempat "miqat": di mana para jemaah haji atau umrah mulai mengenakan pakaian ihram dan memulai ritual umrah/haji.

Ihram adalah pakaian yang harus dikenakan jemaah haji/umrah selama melaksanakan rukun ibadah tersebut. Untuk lelaki, pakaian ihram adalah dua helai kain putih tidak berjahit yang menutupi bagian bawah hingga di atas mata kaki dan bagian atas dengan bahu kanan terbuka. Tutup kepala dan alas kaki yang menutupi jari serta mata kaki tidak diizinkan. Untuk wanita, pakaian ihram adalah pakaian longgar yang hanya menampakkan wajah dan kedua telapak tangan; menutupnya tidak diizinkan.
Setelah mulai ber-ihram dan berniat melaksanakan ibadah, di sinilah larangan-larangan ibadah mulai berlaku hingga berakhirnya ritual. Memotong kuku, rambut, memakai wewangian, bercumbu (apalagi selebihnya..!), berkata kotor, dan berbantahan adalah dilarang keras. Ide dasarnya adalah kita melaksanakan ibadah ini, menghadap Tuhan, dengan kondisi suci dan sederhana tanpa memandang ras dan kedudukan.

Sepanjang perjalanan ke Makkah, kami terus mengucapkan talbiyah. Ucapannya dalam bahasa Arab, namun bila diterjemahkan kurang lebih "Ya Allah, kami memenuhi panggilanmu, wahai Tuhan yang tidak ada sekutu baginya. Segala pujian adalah milik-Mu, nikmat adalah dari-Mu, dan kekuatan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu!"

Kami mencapai Tanah Haram saat malam sudah larut. Dinamakan Tanah Haram, karena tanah ini disucikan; diharamkan untuk mencabut tumbuhan, membunuh binatang, juga berperang. Pendeknya: "inviolate zone". Semua membisu. Untuk saya yang pertama kali berada di sini, saat itu benar-benar mencekam (orang tua saya sudah pernah berhaji dan tinggal di Makkah lebih dari 2 minggu, jadi buat mereka mungkin lebih terasa seperti nostalgia).

Menjelang tengah malam kami pun tiba di Masjid al-Haram, jantung kota Makkah, tempat di mana Ka'bah berada. Saat memasuki masjid dan melihat Ka'bah yang berdiri tegak di tengahnya, saya sudah tidak mampu menahan air mata. Sedemikian sederhana, namun sedemikian agung. Tidak ada lukisan, atau ukiran, atau makam orang suci di sana. Inilah rumah Tuhan yang telah dilindungi oleh-Nya. Saya yang sedemikian hina dan berlumur dosa ini telah dikaruniai waktu, harta, kesehatan, kekuatan, dan kemudahan untuk mengunjungi rumah yang agung ini. Saya yang begitu kotor ini telah diundang oleh-Nya! Air mata saya terus mengalir dan saya mulai merasa malu pada beberapa orang yang mulai memandang saya dengan heran. Namun linangannya sungguh tak tertahankan lagi.

Kami langsung memulai umrah kami dengan ber-tawaf, mengelilingi Ka'bah berlawanan arah jarum jam sebanyak tujuh kali. Dilanjutkan dengan sholat tawaf, bersyukur atas selesainya tawaf di masjid yang mulia ini. Lalu kami melanjutkan dengan sa'i, berjalan antara bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali (jalan antara kedua bukit ini sudah berupa lorong marmer ber-AC yang berada di dalam Masjid Al-Haram itu sendiri). Setelah melakukan perjalanan sepanjang 3 km lebih sedikit ini, ritual umrah pun berakhir dengan tahalul, memotong rambut. Mau gundul juga boleh, tapi yang disyaratkan adalah minimum tiga helai rambut.

Lega dan bahagia, kami pun melanjutkan berzikir di Masjid Al-Haram menunggu waktu subuh tiba. Ketika subuh berakhir dan kami kembali ke hotel, barulah terasa betapa lelahnya badan ini.
Namun rasa lelah itu tampaknya begitu mudah terhapus. Hanya dua setengah hari di Makkah, kami sempat dua kali melaksanakan ritual umrah. Saya juga selalu menyempatkan untuk tawaf sebelum melaksanakan sholat wajib, yang berarti hampir 5 kilometer setiap harinya. Meskipun tidur kami paling banter cuma 4 jam sehari (sayang rasanya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, saat kita berada begitu dekat dengan masjid suci ini!), kami tidak merasa lelah maupun sakit. Benar-benar luar biasa.

Di Masjid Al-Haram, ada beberapa tempat yang dianggap istimewa karena konon doa di tempat tersebut tidak akan ditolak: salah satunya adalah antara Ka'bah dan Hijr Ismail, dinding berbentuk bulan sabit di barat daya Ka'bah; juga Multazam, dinding Ka'bah antara pojok Ka'bah yang bertempel Hajar Aswad dengan pintu Ka'bah. Salah satu hal yang juga disukai (karena pernah dilakukan Nabi Muhammad) adalah mencium Hajar Aswad, batu yang konon berasal dari surga.
Karena ribuan pengunjung semuanya ingin berdoa di tempat yang mustajab tersebut, termasuk juga ingin mencium Hajar Aswad, suasana dekat tempat-tempat tersebut sudah seperti zona perang. Liar! Sungguh menyedihkan, karena seharusnya justru dalam ibadah ini menyakiti sesama adalah terlarang.
Namun entah bagaimana, saya justru diberikan kemudahan: saya dapat memasuki Hijr Ismail dan berdoa di sana dengan leluasa, bahkan dapat mencium Hajar Aswad. Sepertinya hampir mustahil, karena yang berdesakan di sana hampir semuanya laki-laki dengan badan besar dilengkapi semangat perang untuk berdesakan. Lagi-lagi hadiah yang tak terkira dari Tuhan.

Saat saya harus meninggalkan Mekkah, hati saya benar-benar sangat sedih. Satu permintaan terus saya sebutkan: semoga saya diizinkan kembali lagi untuk melaksanakan haji.
Tanah Makkah ini begitu kering, tandus, tanpa keindahan apapun dalam pengertian umum. Namun di sinilah rumah peribadatan yang tertua telah didirikan, dan ke sinilah jutaan umat, yang ingin mempersembahkan hadiah kepada Tuhan Yang Esa, datang dengan segala daya dan upaya.

Saudi Arabia: Madinah

Sore itu kami tiba di King Abdul Aziz Airport, lapangan udara di Jeddah yang biasa digunakan sebagai tempat mendaratnya ribuan, bahkan jutaan, jemaah haji dan umrah, sebelum bertolak ke Madinah atau Makkah.
Meskipun kami sempat bermalam di Jeddah, tapi tidak banyak yang bisa diceritakan tentang kota ini. Sebagai salah satu kota terbesar di negara kaya raya Saudi Arabia, Jeddah bisa dibilang mengecewakan. Airportnya sempit dan tidak efisien, kotanya didominasi oleh bangunan tua dan jalan yang tidak terurus (meskipun ada juga bagian kota yang sangat modern dan bersih). Kami sempat berbelanja di Balad, pasar terkenal dekat corniche, membeli jalabiyya hitam untuk saya, adik perempuan saya, dan ibu saya. Mengenakan jalabiyya ternyata sangat nyaman, kita bisa mengenakan jeans atau t-shirt atau apa saja, lalu tinggal menyampirkan jalabiyya di atasnya and ready to go! Cuma jelas saja jalabiyya ini tidak praktis dikenakan di Indonesia, karena meskipun sama-sama panas, negeri kita punya kelembaban sangat tinggi yang bisa membuat jalabiyya basah kuyup dan walhasil jadi berbau.

Hari berikutnya kami berangkat ke Madinah lewat jalan darat. Perjalanan sejauh lebih dari 400 km melewati padang batu yang tandus itu memakan waktu sekitar 4 jam. Kami tiba di Madinah lewat pukul sembilan malam. Tanpa menyia-nyiakan waktu kami segera bergegas menuju Masjid Nabawi (yang hanya 100m dari hotel kami) dan sholat di sana.

Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad tidak lama setelah kepindahannya bersama umat muslim ke Madinah, setelah diperlakukan dengan keji oleh para penyembah berhala di kota kelahirannya Makkah. Saat itu Madinah masih bernama Yatsrib.
Masjid Nabawi awalnya hanya bangunan sederhana dengan tiang-tiang batang kurma dan dinding lumpur. Kini masjid ini telah diperluas konon 100 kali ukuran aslinya dan mampu menampung setengah juta jamaah. Makam Nabi dan dua sahabatnya yang tadinya berada di luar masjid, kini berada di dalam masjid akibat perluasan ini. Makam ini sentiasa dijaga ketat supaya tidak ada yang berdoa pada makam.

Dua hari berikutnya di Madinah, tidak ada hal lain yang kami lakukan selain menikmati ibadah di Masjid Nabawi. Kami selalu datang paling lambat 1 jam sebelum waktu sholat tiba, karena beberapa waktu sebelum azan berkumandang pintu masjid telah disesaki manusia dan mencari tempat yang lega untuk bersembahyang sudah mustahil. Saat jeda antara Maghrib dengan Isha, di antara mengkaji Quran dan berzikir, para wanita juga berbagi kurma atau kopi.
Saya bertemu dan ngobrol dengan muslim dari berbagai belahan dunia namun para peziarah lebih didominasi oleh orang Turki dan Indonesia (yang lumayan dihormati di sana). "Indunisii?" adalah pertanyaan umum setelah melihat wajah Asia saya, disusul dengan senyum hangat (bahkan pernah seorang wanita tua Turki memaksa saya mencium tangannya, hehehe...)

Di Masjid Nabawi yang selalu bersih dan wangi ini (skuadron cleaning service-nya tidak pernah luput membersihkan setiap sudut, juga mengepel dan bahkan mencuci lantai masjid dengan sabun), para jemaah diorganisir dengan baik, sehingga meskipun jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu, ibadah terasa begitu tenang dan khusuk.
Namun, ada juga bagian Nabawi yang selalu padat dan disesaki pengunjung siang malam: Ar-Rawdah. Ar-Rawdah adalah area di antara mimbar Nabi Muhammad dengan rumah beliau, yang pernah beliau sebutkan "adalah bagian dari taman surga". Konon, doa yang dipanjatkan di sini tidak akan ditolak oleh Allah. Karena alasan inilah, orang berdesakan untuk memasukinya, lalu sholat dan berdoa di sana. Masalahnya, ukurannya lumayan sempit sedangkan ratusan orang berebut memasukinya. Untung saja di pintu masuk ada beberapa polisi yang mengatur "lalu lintas" bahkan mengusir orang-orang yang terlalu lama berada di Ar-Rawdah supaya yang lain bisa berganti memasukinya. Syukurlah, jalan masuk laki-laki dan wanita juga dibedakan, sehingga saya tidak perlu berdesakan dengan para laki-laki yang biasanya lebih berbau ketimbang wanita, hehehe....

Ketika kami meninggalkan Madinah, rasa sedih menggelayuti hati seakan berpisah dengan kekasih yang begitu dicintai. Namun, kami juga tak sabar untuk segera tiba di Makkah!

Saudi Arabia: Umrah, a religio-romantic journey

Kerinduan hati untuk menapak tilas jejak Nabi Allah memanggil kami untuk melaksanakan umrah. "Kami", karena perjalanan ini saya lakukan bersama keluarga saya.
Merancang perjalanan yang bisa mempertemukan waktu Bapak saya (yang masih bekerja), ibu saya (sudah pensiun dini sejak tahun lalu), adik perempuan saya (bekerja), adik laki-laki saya (kuliah), dan saya sendiri yang juga bekerja, sudah merupakan tantangan. Tanpa panggilan Allah rasanya tidak mungkin kami akhirnya bisa berangkat bersama.
Untuk yang masih clueless tentang apa sebenarnya umrah ini, berikut ceritanya...
Umrah, atau haji kecil, adalah pelaksanaan ritual keagamaan mengikuti perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar. Berbeda dengan haji, umrah bisa dilaksanakan kapan saja.
Tata caranya sendiri dicontohkan oleh Nabi Muhammad:
- tawaf, tujuh kali mengelilingi Ka'bah (Baitullah, "rumah Tuhan", bangunan sederhana berbentuk kubus di tengah Masjid Al-Haram, yang konon dibangun Nabi Adam dan dibina kembali oleh Nabi Ibrahim)
- sa'i, berlari kecil tujuh kali antara bukit Safa dan Marwah; mengingat larinya Hajar untuk mencari air buat bayi kecilnya Ismail, selepas ditinggal sendirian di lembah kering Makkah oleh suaminya Ibrahim atas perintah Allah)
- diakhiri dengan tahallul, mencukur rambut, melambangkan diperbaharuinya hidup

Buat saya, perjalanan ini bukan cuma religius tapi juga romantis.
Saya mencintai Tuhan, dan saya akan mengunjungi rumahnya!
Saya mencintai Nabi Muhammad, dan saya akan mengunjungi kotanya (Madinah)!
Saya mencintai Nabi Ibrahim, dan saya akan mengunjungi tempat ia pernah berdiri saat membina kembali rumah Tuhan hingga konon telapak kakinya tercetak (maqam Ibrahim)!
Saya mencintai sejarah, dan saya akan mengunjungi salah satu bangunan tertua di dunia (Ka'bah)!
Hati saya berdebar dan kerinduan itu semakin menyesakkan hati...

Labbaik Allahumma Labbaik!
Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanmu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar