Senin, 25 April 2011

Tidur di stasiun Jepang barang dimasukkan di loker

Kalau Perlu Menculik dan Tidur di Dapur

Trip StartAug 06, 2006
1
2
25
Trip EndJul 20, 2010
Timeout loading map
Map your own trip!
Map Options
shadow
Flag of Japan  Kinki
Thursday, August 7, 1997
Ini tulisan perjalananku yang pernah dimuat di majalah Intisari tahun 1999.
Bila tak paham bahasa tuan rumah,

    seorang pendatang bisa mendadak bisu, tuli, sekaligus buta huruf. Apalagi di Jepang. Belum

    lagi negeri itu terkenal dengan biaya hidupnya yang mahal bagi turis mancanegara. Namun,

    itu bukan tak bisa diatasi asal mau bertualang sebagai backpacker (turis berkantung

    tipis tapi nekat melancong di negeri orang) seperti pengalaman Dhorothea Triarsari berikut

    ini. Dengan duit pas-pasan ia bisa mengunjungi beberapa tempat menarik di sana.




 
Pertama kali tiba di Hiroshima pada awal musim semi 1997, saya selalu diliputi

    perasaan waswas tinggal di negara berbiaya hidup termahal di dunia. Namun, berbekal

    pengalaman hidup irit sebagai mahasiswa indekosan di tanah air, saya berharap bisa

    menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa pertukaran dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah

    Mada di Hiroshima University of Economics.
Walau tiap bulan mendapat beasiswa dari

    Kementerian Kependidikan Jepang, biaya hidup dan tagihan bulanan bisa membuat mata

    terbelalak. Tiap bulan saya harus membayar sedikitnya 5.000 yen untuk tagihan air,

    listrik, dan gas. Padahal pemakaian sudah dicoba seirit mungkin; pendingin ruangan tidak

    dinyalakan dan semua lampu dimatikan saat tidur.

Belum lagi soal jajan. Es serut yang disiram sirup dan dijual di pinggir jalan harganya

    300 yen, setara dengan Rp 6.000,- sebelum krisis moneter. "Kalau di Indonesia, dengan

    uang sebanyak itu kita bisa mentraktir es orang sekampung!" komentar sempai

    alias senior saya yang mahasiswa program S3 di Hiroshima University.
 
Berhubung untuk hidup sehari-hari saja ngepas, saya pesimistis pada liburan

    musim panas saya tidak bisa bepergian. Apalagi Sandra Perry, teman seapartemen yang

    berkebangsaan Inggris dan sudah tinggal enam bulan sebelumnya, mengingatkan, "Di sini

    banyak yang dapat dilakukan. Kamu tidak akan sempat berpikir untuk bepergian ke kota

    lain." Gadis Inggris lain, Mary, lebih meyakinkan saya untuk tidak keluar kota.

    "Tata kota dan bentuk bangunan di Jepang di mana-mana sama," ujarnya.
 
Namun, ada orang yang optimis bisa bepergian ke kota lain di musim panas, yaitu Gitte

    Hansen. Gadis Denmark itu berencana mengundang Steen, pacarnya, dari Denmark untuk

    bergabung ber-backpacking ria bersama kami. Setiap ada kesempatan ia selalu

    membicarakan rencana liburan itu. Berulang kali saya katakan, tidak bisa ikut, berulang

    kali pula ia meyakinkan saya untuk bergabung.
 
Ajakan itu akhirnya kami terima. Kami lalu mencoba hidup lebih hemat. Untuk makan siang

    kami membuat unigiri, nasi berbentuk segitiga yang dilapisi rumput laut. Unigiri

    itu diisi abon yang saya bawa dari Indonesia. Setiap bulan kami - saya, Gitte, dan Sandra

    - patungan membeli bahan pokok dan sayuran untuk makan malam. Tugas memasak dilakukan

    bergantian. Ternyata cara ini memang lebih hemat ketimbang membeli bentoo alias

    kotak makan. Ternyata, kami bisa mengumpulkan cukup uang.
"Culik" orang Jepang

    Kami mulai merencanakan detail perjalanan. "Lonely Planet" - buku berisi

    informasi objek wisata, wisma pemuda (youth hostel), restoran dari Hokkaido sampai

    Okinawa - kami jadikan acuan. Seorang profesor memberi tahu tentang tiket diskon kereta

    api yang cuma berlaku di musim liburan. Selembar tiket yang harganya cuma 2.400 yen itu

    dapat dipakai selama 24 jam untuk jarak sejauh kita mampu menempuh. Bayangkan, berapa ribu

    yen bisa dihemat dengan cara itu.
 
Tiket diskon itu hanya berlaku untuk kereta biasa atau futsuu yang berhenti di

    tiap stasiun, dan kaizoku yang berhenti di stasiun tertentu. Karena sebagian besar

    perjalanan kami menggunakan kereta futsuu, untuk menuju ke kota tertentu, kami

    harus turun di suatu stasiun, lalu pindah menuju platform tertentu. Untuk sekali

    perjalanan kami bisa pindah platform 3 - 4 kali. Terkadang kami harus berlari

    karena kereta api di platform akan berangkat tiga menit kemudian.
 
Untuk menggunakan kereta api reguler dengan tiket diskon tersedia buku petunjuk, tentu

    dalam bahasa Jepang. Buku itu sangat compact dan memuat lengkap jadwal penerbangan

    dan kereta api di seluruh Jepang. Ukurannya ada yang sebesar buku telepon, ada pula yang

    cuma sekamus saku. Untuk membacanya kami "menculik" orang-orang Jepang yang

    dapat berbahasa Inggris, mulai petugas International Office, petugas perpustakaan, hingga

    teman-teman kampus. Dari mereka kami mencatat jam dan nama stasiun yang harus disinggahi.

    Sedangkan untuk tahu nomor platform stasiun, kami harus aktif bertanya saat berada

    di stasiun itu.
 
Demi kenyamanan perjalanan, karena Agustus adalah bulan liburan musim panas, kami

    sepakat memesan tempat penginapan jauh hari sebelumnya. Lagi-lagi kami harus

    "menculik" orang Jepang untuk pesan tempat per telepon. Pernah saya coba

    melakukannya sendiri. Hasilnya? Tulalit!
 
Tanggal 9 Agustus 1997 kami - saya, Gitte, Steen, dan Prana - memulai perjalanan ke

    arah timur Pulau Honsyu. Kota tujuan pertama adalah Kurashiki dan Okayama. Suasana Okayama

    tidak jauh berbeda dengan Hiroshima. Di sanalah untuk pertama kalinya saya menginap di

    wisma pemuda yang rapi dan bersih. Tak cuma tempat tidur laki-laki dan wanita terpisah,

    tapi laki-laki juga dilarang keras masuk ke ruang tidur wanita.
Semua fasilitasnya bergaya Jepang, mulai matras futon sampai

    kamar mandinya. Di dinding kamar mandi tertera petunjuk mandi ala Jepang dalam berbagai

    bahasa. Caranya, mula-mula siram badan dengan air shower dan gosok badan

    bersih-bersih dengan sabun. Setelah dibilas, baru berendam dalam bak besar berisi air

    panas. Tapi berendam di air yang panasnya bukan main-main di cuaca sepanas 33o

    C? No way!
 
Saat berjalan-jalan mengunjungi objek wisata, kami memanfaatkan loker koin di stasiun

    kereta api. Sewa loker berukuran besar seharga 600 yen, sedangkan yang kecil 300 yen.

    Suatu hari, seperti biasa kami menyimpan tas besar di dalamnya. Saya dan Prana selesai

    duluan, lalu saya cuci mata melihat suvenir yang dijual di kios-kios. Gitte dan Steen

    masih sibuk memasukkan tas mereka yang memang lebih banyak.
 
Ketika menyusul kami, mereka berdua tampak kesal sekaligus geli. Pasalnya, beberapa

    menit yang lalu, saat loker sudah terkunci, Gitte baru sadar kalau botol minumnya

    tertinggal di dalamnya. Ia minta Steen membuka lagi loker. Ternyata, loker tidak bisa

    dikunci kecuali mereka memasukkan uang 600 yen lagi. Rupanya, mereka tidak memperhatikan

    tulisan di loker bahwa sewa berlaku sampai dua hari. Sejak itu kami menjuluki botol

    minumnya the six hundred mineral water. Bayangkan, harga sekaleng minuman ringan

    cuma 110 yen.
 
Siap tidur di dapur

    Dari Okayama kami ke Kyoto, pusat kebudayaan Jepang. Seorang pria tua Jepang yang pernah

    bekerja di Mitsubishi Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia membandingkannya dengan

    Yogyakarta, pusat budaya Jawa yang bukan ibu kota meski pernah menjadi ibu kota. Ia

    memberi tahu, untuk mengunjungi Kyoto Imperial Palace perlu mengajukan izin berbulan-bulan

    sebelumnya. Untungnya, kami tidak menemui masalah itu. Dua minggu sebelum berangkat, kami

    menelepon ke sana. Petugasnya cuma mensyaratkan kami mengisi formulir dan menunjukkan

    kartu registrasi saat berkunjung ke sana.
 
Karena tinggal tiga hari di Kyoto, kami memutuskan untuk menyewa sebuah wisma pemuda

    yang harga sewanya tertulis paling murah di "Lonely Planet", yaitu Tani House.

    Di wisma ini kami bertemu orang dari berbagai negara, Amerika Utara, Australia, Rusia,

    Eropa Utara dan Timur. Tampaknya, reservasi tidak berlaku di sana, semua backpacker

    pasti ditampung, asalkan mau tidur di lorong, bahkan di dapur. Maka, menjelang pukul 22.00

    saat sang nenek pemilik wisma mulai menggelar matras futon, bersiap-siap pulalah

    menandai tempat kita dengan menaruh tas atau barang lainnya di atas kavling futon.

    Bila tidak, siap-siaplah tidur di lorong atau di dapur.
 
Di Tani House saya dan Gitte kembali ke selera asal masing-masing. Saya asyik ngobrol

    dengan Rosanabe, kandidat doktor dari Filipina, sedangkan Gitte sibuk bercakap-cakap

    dengan pasangan Denmark yang sedang ikut turnamen karate.
 
Soal kebersihan Tani House - menurut standar Jepang - termasuk jorok sekali. Di WC

    tercium bau kotoran tikus. Demikian pula kebersihan kamar. Suatu malam saya menaruh

    minuman ringan di samping futon. Esok paginya saya mendapati bangkai kecoa di

    dalamnya. Saat itu, saya cuma bisa berdoa agar jangan sakit berat, karena di Jepang biaya

    rumah sakit luar biasa mahal.
 
Bicara soal jorok, saya ingat kejadian di Stasiun Okayama. Saat itu Gitte sedang

    menyiapkan makan siang di platform stasiun. Waktu yang singkat itu saya manfaatkan

    ke toilet. Meski sama-sama jongkok, bentuk kakus Jepang sangat berbeda dengan kakus

    Indonesia. Kakus umum di sini menebarkan bau amonia, belum lagi ceceran buang air besar.

    Kebetulan benda itu saya dapati di salah satu WC, sedangkan WC sebelahnya … malah lebih

    parah. Namun, karena sudah tidak tahan, saya "kuat-kuatkan" pula buang hajat di

    sana. Itu belum cukup. Gitte ternyata membuat sandwich isi ikan tuna kaleng yang

    berwarna coklat kekuningan. Celaka! Tapi apa daya, daripada lapar atau membuang uang 500

    yen untuk makan siang, sandwich itu tetap saya sikat.
 
Berdasarkan info dari kiri dan kanan futon, kami jadi tahu, ada tiket terusan

    bus kota di Kyoto. Jangan pernah mengira bisa mengunjungi berbagai objek wisata dengan

    berjalan kaki, karena Kyoto termasuk kota besar. Jadi, kami membeli tiket itu di stasiun subway

    terdekat. Selain tiket kami juga mendapat peta Kyoto, letak objek wisata, plus jalur bus

    untuk ke sana.
 
Kami mengunjungi setengah lusin kuil di Kyoto. Itu pun hanya yang terkemuka, karena di

    Kyoto ada puluhan kuil yang masing-masing mengutip tiket masuk sekitar 500 yen. Kebanyakan

    orang Jepang menyarankan untuk melihat Kinkakuji (Kuil Emas), Ginkakuji (Kuil Perak),

    Kiyomizudera, dan kuil Buddha Zen yang terkenal, Ryoanji. Kuil Emas benar-benar

    spektakuler, luar biasa indah di tengah terik matahari musim panas.
 
Lain lagi dengan Kyoto Imperial Palace yang tampak kalah megah dan berwibawa

    dibandingkan dengan istana milik shogun. Saat itu kekuasaan politik shogun

    memang lebih besar daripada kaisar. Istana shogun banyak dihiasi lukisan artis

    terkenal zaman itu serta dihampari ribuan tikar tatami. Namun, yang istimewa adalah

    perlengkapan berupa alarm tradisional. Setiap ada yang melangkah di lantai seputar istana

    akan terdengar bunyi decit halus. Lantai itu dirancang sedemikian rupa hingga akan

    ketahuan bila ada yang menyelinap.
 
Makan Makudonarudo

    Setelah tiga hari di Kyoto kami ke Nara, ibu kota Jepang kuno sebelum pindah ke Kyoto.

    Suasana Nara terasa sangat sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk, berbeda benar dengan Kyoto

    yang penuh turis. Di sana kami menyewa ryokan atau penginapan ala Jepang, hingga

    bisa lebih mendapat privasi setelah empat malam berbaur dengan berbagai bangsa.
 
Setelah bosan dengan aneka kuil dan makanan Jepang, di Nara kami hanya mengunjungi satu

    kuil terkenal yaitu Todaiji. Di dalam bangunan kayu itu ada patung Buddha raksasa dari

    perunggu setinggi lebih dari 10 m. Dapat dibayangkan berapa tinggi bangunan yang didirikan

    sepuluh abad silam itu. Untuk makan siang, kami memilih Mc Donald’s. Di Jepang Mac

    Donald’s ditulis dengan huruf katakana sehingga menjadi Makudonarudo.
 
Setelah seharian di Nara, esoknya kami berpisah. Gitte dan Steen menyusur pantai utara

    Pulau Honsyu dengan kereta api, sedangkan saya bersama Prana meneruskan ke Timur menuju

    Tokyo. Inilah saat yang saya nantikan. Teman-teman mahasiswa Indonesia

    "mengompori", kedatangan saya ke Jepang belum sah kalau belum ke Disneyland.
 
Di tengah perjalanan kami berhenti di Stasiun Fuji untuk makan siang. Sayangnya, langit

    mendung. Lenyaplah kesempatan melihat Gunung Fuji. Apalagi saat itu musim panas, maka

    puncaknya tak bersalju.
 
Sesampai di stasiun Tokyo kami berpisah. Prana menginap di Ryokan yang di pusat kota,

    sedangkan saya memilih kawasan Universitas Chiba, tempat tinggal Ika, teman saya dari

    jurusan Hubungan Internasional UGM, yang juga menjadi mahasiswa pertukaran di sana.

    Sesampai di Chiba, setelah makan malam, saya langsung pulas, sedangkan Ika bermain kembang

    api bersama teman-teman Jepangnya.
 
Esoknya saya, Ika, dan Honggo - mahasiswi Chiba yang belajar bahasa Indonesia - bertemu

    dengan Prana di Disneyland. Saat itu liburan musim panas, bisa dibayangkan betapa sesaknya

    Disneyland. Untungnya, sifat orang Jepang yang teratur dan sabar membuat segalanya tetap

    menyenangkan. Apalagi saat itu saya melihat parade tokoh-tokoh Disney yang hanya bisa saya

    lihat di televisi.
 
Saat itu tanggal 15 Agustus. Dua hari lagi perayaan kemerdekaan Indonesia. Teman-teman

    di Hiroshima sudah me-wanti-wanti untuk datang ke upacara bendera 17 Agustus dan

    latihan vocal group untuk mengisi acara resepsi dengan Dubes RI di Righa Royal

    Hotel, Hiroshima, pada 24 Agustus. Tidak ada pilihan lain, saya harus pulang besok setelah

    seharian bersenang-senang di Disneyland. Prana berencana pulang dua hari belakangan dengan

    tiket diskon.
Untuk

    pulang, dari Tokyo harus berhenti di Kyoto kemudian melanjutkan ke Hiroshima. Total waktu

    yang dibutuhkan dari Tokyo ke Hiroshima dengan tiket diskon adalah 16 jam. Menurut

    perhitungan, saya bisa sampai Hiroshima tengah malam bila naik kereta paling pagi dengan

    tiket diskon. Saya sudah berantisipasi kalau kehabisan kereta saya akan tidur di stasiun,

    sementara barang-barang dimasukkan di loker.

   
Celakanya, saya terlambat bangun karena weker Ika macet. Saya langsung cuci muka, dan

    lari ke stasiun. Akhirnya, saya benar-benar menempuh Tokyo - Hiroshima sendirian dengan

    tiket diskon. Yang paling mendebarkan bila harus pindah kereta api. Kalau sampai salah

    naik jalur, saya bisa tersesat. Selama perjalanan itu saya lima kali ganti kereta api.

    Buku bacaan pun jadi tidak menarik. Kadang saya tidur dengan perasaan waspada. Masalah

    lain, waktu tempuh 16 jam membuat saya kedinginan di musim panas, karena mesin pendingin

    di kereta api dipasang maksimum. Sungguh membosankan, sampai-sampai saya sempat bersumpah

    tidak mau naik kereta api lagi.
 
Pukul 24.00 kereta api saya masuk stasiun Hiroshima. Sebetulnya ada kereta api menuju

    stasiun dekat rumah kami di kawasan Gion Asaminamiku, tapi karena sudah benar-benar bosan

    di kereta api, saya memilih naik taksi.
 
Di rumah saya mendapati Gitte dan Steen dengan kulit kemerahan terbakar sinar matahari.

    Padahal menurut jadwal, mereka seharusnya masih di pantai Hamada. Ternyata mereka

    membatalkan rencana itu.
 
"Dhorothea, ada pesan di atas mejamu, temanmu dari Saijo menelepon," Gitte

    menyambut saya. Isi pesan itu: Dhorothea, ditunggu kedatanganmu di Saijo besok pagi

    pukul 08.00.
 Saijo yang ada di Timur Hiroshima biasa dicapai dengan kereta api selama

    30 menit. Saya cuma tersenyum kecut. Kencan saya dengan kereta api belum berakhir. (Dhorothea

    Triarsari)


Read more: http://www.travelpod.com/travel-blog-entries/ririe.rm/1/1280249010/tpod.html#ixzz1KVk2M1qV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar