Minggu, 10 April 2011

Europe Disneyland

Newark: negeri dongeng...

Ketika diberitahu kalau saya harus pergi Newark untuk urusan kantor, saya langsung sebal. Soalnya, kata teman saya, kota ini membosankan sekali.
Pagi itu saya tiba di stasiun Newark dari London. Langsung curiga kalau kata-kata teman saya benar soalnya stasiunnya kecil banget (pokoknya kalau dibandingin stasiun Gombong, menangan Gombong deh...) Dari kesan pertama, kota kecil yang terletak di Nottinghamshire county ini memang bukan kota yang glamour.

Menuju ke hotel, taksi membawa saya melewati padang-padang luas yang ditutupi bunga kuning cerah. Wow..... Si supir taksi menyebutkan kalau "ini musim semi yang panas, harusnya bunga-bunga itu belum muncul". Saya cuma nyengir sambil menutupkan jaket rapat-rapat ke atas kulit tropis saya yang mengkerut kedinginan...

Ternyata, begitu memasuki daerah pemukiman, Newark adalah kota kecil yang cantik sekali. Rumah-rumahnya berdinding bata merah berjendela kotak kecil-kecil, dengan cerobong asap mengepulkan asap tipis. Beberapa rumah dindingnya dirambati tanaman, beberapa rumah menggantungkan kotak-kotak berisi bunga di depan jendela. Persis bayangan saya tentang negeri dongeng. Hampir yakin kalau si Topi Merah pasti tinggal di dekat-dekat sini....


Kalau setiap negeri dongeng punya istana, Newark punya kastil. Newark Castle, meskipun sudah berupa reruntuhan, tapi adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang kota Newark. Dibangun sekitar abad ke-12, kastil ini pernah menjadi kediaman penguasa, pabrik uang, bahkan penjara dan pertahanan perang.
Dari kastil ini kita bisa langsung turun ke pinggiran Sungai Trent yang sudah di-paving sehingga enak sekali untuk jalan-jalan. Dari situ kita bisa melihat padang-padang luas dengan sapi yang sedang merumput, angsa-angsa berenang, pokoknya romantis sekali...

Tidak jauh dari situ (lha kotanya memang cuma seiprit), ada juga gereja St.Mary Magdalene yang tidak kalah tua karena dibangun hampir saat bersamaan dengan kastil. Dulunya kota Newark adalah market town tempat para petani dari daerah sekitar menjual hasil panen. Dan tepat di sekitar gereja St.Mary Magdalene inilah market place alias pasarnya.

Kesimpulan saya, Newark adalah tipikal small traditional English town yang sangat cantik, lengkap dengan penduduknya yang sopan dan ramah, meskipun terhadap orang asing.
Malam itu, sambil makan malam di rumah makan Thailand di pojok jalan dekat market place, saya mengirim sms ke teman saya, protes, karena ternyata Newark cantik sekali. Dia malah membalas "Yah, kalau lu lihat semua kota kecil di Inggris, semuanya ya kayak Newark itu... Ngebosenin deh!"

Semuanya seperti negeri dongeng begini? Wow!

2008-04-26

Kuala Lumpur: just another big city

Kuala Lumpur, buat saya 'is just another town' jadi saya nggak terlalu motivated buat membahasnya. Masalahnya, hampir separuh waktu tahun lalu saya habiskan di KL karena urusan pekerjaan. Saking bosennya saya sudah nggak pernah ke mana-mana lagi di KL. "Tapi kan nggak semua orang pernah ke KL?" kata teman saya. Iya deh....

Persis seperti Jakarta, KL selalu panas, lembab, dan hujan sepanjang tahun. Bedanya, KL nggak pernah kebanjiran (atau jarang? rasanya kok belum dengar). KL juga lebih teratur, ada mass rapid transport system yang bisa diandalkan (train), dan jujur saja lebih nyaman ketimbang Jakarta.

Beda dengan Jakarta, KL selalu dibanjiri oleh turis Arab di musim liburan tengah tahun. Mereka biasanya tetap tenang memakai baju tradisional mereka plus membawa anak-anaknya berenteng-renteng. Maklum, Malaysia memang tujuan favorit keluarga Arab karena citranya sebagai negara tujuan wisata 'baik-baik' (bandingkan dengan Thailand...)

Makanan di KL, bisa ditebak hampir sama dengan makanan Indonesia. Jadilah buat saya yang kebetulan reside di suatu negara yang makanannya kelewat beda sama makanan Indonesia, tiap kali saya di KL pasti makan 'ngamuk'.
Untuk first-timer, wajib mencoba nasi lemak (yang ternyata idem ditto sama nasi uduk... hehehe...) Atau nongkrong di 'mamak', kurang lebih mirip warung kopi atau warung tegal, tapi buka 24x7. Makanannya Indo banget bahkan nggak jarang yang jualan memang orang Indo. Para expat (baca: westerner) yang datang ke KL, biasanya juga dibujuk mencoba duren. Kalo buat saya sih, ah, di kampung juga ada.....

Sedangkan kalau buat shopping, saya sarankan di Jakarta atau Bandung deh, jangan ke KL. Lha orang KL aja rame-rame ke Bandung buat belanja kok malah orang Indon belanja ke KL?

Popular places to visit in KL & around:
1- Petronas Tower
Tiket untuk naik ke tower dibagikan gratis tiap hari, tapi jumlahnya terbatas. Jadi datang pagi-pagi supaya bisa melihat KL dari Menara Kembar tertinggi di dunia ini (nggak sampai ke puncak sih, cuma ke sky-bridge yang menghubungkan kedua menara ini). Ada apa di dalam? Ya nggak ada apa-apa, cuma cerita basa-basi pembangunan si tower ini dan tembok....

2-Taman Tasik Perdana: Bird park, Butterfly park, Taman Bunga Raya
Lumayan enak nih buat jalan-jalan, setelah bosen sama pemandangan kota, kecuali Taman Bunga Raya (=bunga sepatu, bunga nasional Malaysia). Taman ini agak garing, isinya macam-macam bunga sepatu warna-warni (mirip kebun emak saya di belakang rumah) dan bunga anggrek ...yah...

3- Bukit Bintang
Asyik buat jalan-jalan karena banyak restoran dan dekat dengan banyak pusat perbelanjaan.

4- Chinatown
Buat turis yang mau belanja murah (ya murah lah, wong palsu). Tapi hati-hati deh, di sini penjualnya galak-galak, nggak terlalu ramah. Disarankan belanja di Pasar Uler atau Glodok aja deh.

5- Genting
Kalau Jakarta punya Puncak, KL punya Genting. Di sini ada fun park (agak kurang terawat.. suram muram deh), kereta gantung (lumayan buat lihat pemandangan), dan kasino. Di luar kasino ada poster yang menasihati kalau judi itu tidak terpuji dan sudah banyak orang yang jadi korban judi...So..? persis kayak naruh label peringatan di bungkus rokok, hehehe...mana ada yang baca...

Yah, kayaknya saya kok mencemarkan nama KL banget yah..? Aduh maaf deh, bukan maksud hati pakcik. Cuma jujur (hehehe). Kalau mau lebih 'flavorful' mendingan ke Malaka atau Penang aja deh...

2008-04-24

Oman: Musandam, the rock and the sea

Salah satu tempat paling menawan di Oman adalah Musandam, sering disebut 'the norway of Arabia', karena landscape-nya mirip fjords di negara skandinavia itu. Di sinilah laut terperangkap di antara gunung-gunung batu yang tinggi dan terjal, membentuk teluk sempit dengan pemandangan spektakuler.

Hari itu saya berkendara keluar Dubai menuju ke Musandam. Baru sebentar keluar dari kota Dubai, pemandangan berubah drastis dari metropolis yang dikelilingi padang pasir berdebu dan membosankan, menjadi padang pasir yang cantik kemerahan. Saat itu masih musim sejuk di Dubai, jadi padang pasir kemerahan itu dipenuhi kendaraan 4x4 yang sedang offroad, desert motorcycles, juga unta-unta yang selalu terlihat keheranan.
Tidak lama kemudian, padang pasir kemerahan menghilang dari pandangan dan pemandangan diganti oleh savana-savana datar serta gunung-gunung batu di cakrawala. Puluhan keluarga asyik berpiknik, ada yang sekedar duduk-duduk di atas tikar, ada yang membawa tenda, bahkan generator. Bukan rahasia lagi kalau orang Arab menyukai piknik dan barbeque; begitu cuaca membaik mereka pasti akan langsung berduyun-duyun keluar.

Satu jam berkendara dari Dubai, saya pun tiba di perbatasan Oman. Saya beruntung karena check-point tidak terlalu penuh (konon di hari-hari libur tertentu kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar melintasi perbatasan).
Lepas dari check point, udara laut yang segar dan pemandangan pantai yang luar biasa indah langsung sudah terlihat. Gunung-gunung batu membentuk tebing-tebing tinggi dengan berbagai corak dan warna, langsung bertemu dengan laut yang biru dan bersih tak bercela. Burung-burung camar bertebangan dan berteriak ramai. Wah, jalannya saja sudah bagus, apalagi Musandam-nya?

Saya pun tiba di Khasab, kota yang terletak di jantung Musandam. Kotanya sendiri kecil sekali, lebih mirip kampung. Suasananya sangat damai, tenang, dan tradisional; benar-benar sangat kontras dengan Dubai yang cuma 2 jam jauhnya. Saya pun menghabiskan sore dengan menikmati matahari terbenam di salah satu teluknya Khasab.

Esoknya saya bangun pagi sekali supaya tidak ketinggalan matahari terbit. Saya pun berkendara ke salah satu titik tertinggi di Khasab dan sibuk memotret pemandangan yang luar biasa indahnya. Kemudian saya menuju ke salah satu restoran lokal, membeli roti dan keju ala India (yes, Indian! soalnya banyak sekali pendatang India di sini dan cuma mereka yang rela bangun pagi-pagi sekali untuk buka toko). Sarapan pun saya nikmati di pantai dengan pemandangan yang fantastis, ditemani beberapa ekor kambing yang siap menghabiskan apapun yang saya sisakan ... apa lagi yang bisa lebih mewah dari ini....

Saya pun berputar-putar sebentar di Khasab yang pagi-pagi sudah dipenuhi kambing berjalan tenang di sana-sini. Saya juga sempat mengunjungi museum Khasab, yang tampaknya jarang sekali dikunjungi orang. Museum ini dulunya benteng sekaligus tempat tinggal. Cuma ada dua orang yang bekerja di museum ini, penjaga pintu sekaligus guide dan penjaga toko cendera mata (yang ternyata suami istri, hehehe... enak betul..). Mereka ramah sekali dan jelas sangat excited menerima kedatangan saya. Bahkan saya boleh masuk gratis.

Saat mengisi bensin (yang ternyata lebih murah ketimbang di Dubai), seorang local menyarankan saya untuk pergi ke Khor Al-Najd. Khor artinya air yang terperangkap daratan.
Karena tidak punya rencana, saya pun langsung menuju Khor Al-Najd. Sebenarnya salah satu kegiatan favorit turis di Musandam adalah menaiki kapal untuk melihat lumba-lumba. Namun karena pagi itu begitu dingin menggigit, ide untuk berangin-angin di atas kapal kurang menarik hati saya.
Mengikuti petunjuk si local, saya berkendara sedikit keluar Khasab, lalu menaiki sebuah bukit terjal yang kering dan tidak menarik. Saya mulai bertanya-tanya, bener nggak nih? Begitu mencapai puncak, saya melihat dua mobil parkir dan beberapa orang duduk di puncak. Saya pun ikut parkir dan berjalan ke puncak. Di situlah saya pertama melihat Khor Al-Najd, pemandangan yang sedemikian indah sehingga menjadikan saya speechless. Ternyata al-Najd adalah teluk kecil berair biru kehijauan dan sangat tenang, diapit oleh bukit batu terjal di ketiga sisinya. Saya pun bergabung dengan orang-orang, terpaku, terdiam, menikmati keindahan Khor Al-Najd.


Puas menikmati Khor Al-Najd dari atas, saya pun berkendara turun bukit menuju teluk cantik itu. Saya berfoto-foto dan bermain air sebentar di situ, sambil merencanakan kunjungan selanjutnya. Besok kalau datang lagi, saya berencana berkemah dan menginap di sini serta membuat api unggun...!

2008-04-18

Saudi Arabia: Makkah


Bersamaan dengan jemaah umrah yang lain, tujuh kilometer dari Madinah kami tiba di "Abyar Ali" (sumur Ali). Diberi nama demikian karena konon sepupu Nabi Muhammad, Ali bin Abu Thalib, menggali sumur di tempat ini saat Nabi melaksanakan haji. Abyar Ali atau sering disebut "Byr Ali" ini dijadikan tempat "miqat": di mana para jemaah haji atau umrah mulai mengenakan pakaian ihram dan memulai ritual umrah/haji.

Ihram adalah pakaian yang harus dikenakan jemaah haji/umrah selama melaksanakan rukun ibadah tersebut. Untuk lelaki, pakaian ihram adalah dua helai kain putih tidak berjahit yang menutupi bagian bawah hingga di atas mata kaki dan bagian atas dengan bahu kanan terbuka. Tutup kepala dan alas kaki yang menutupi jari serta mata kaki tidak diizinkan. Untuk wanita, pakaian ihram adalah pakaian longgar yang hanya menampakkan wajah dan kedua telapak tangan; menutupnya tidak diizinkan.
Setelah mulai ber-ihram dan berniat melaksanakan ibadah, di sinilah larangan-larangan ibadah mulai berlaku hingga berakhirnya ritual. Memotong kuku, rambut, memakai wewangian, bercumbu (apalagi selebihnya..!), berkata kotor, dan berbantahan adalah dilarang keras. Ide dasarnya adalah kita melaksanakan ibadah ini, menghadap Tuhan, dengan kondisi suci dan sederhana tanpa memandang ras dan kedudukan.

Sepanjang perjalanan ke Makkah, kami terus mengucapkan talbiyah. Ucapannya dalam bahasa Arab, namun bila diterjemahkan kurang lebih "Ya Allah, kami memenuhi panggilanmu, wahai Tuhan yang tidak ada sekutu baginya. Segala pujian adalah milik-Mu, nikmat adalah dari-Mu, dan kekuatan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu!"

Kami mencapai Tanah Haram saat malam sudah larut. Dinamakan Tanah Haram, karena tanah ini disucikan; diharamkan untuk mencabut tumbuhan, membunuh binatang, juga berperang. Pendeknya: "inviolate zone". Semua membisu. Untuk saya yang pertama kali berada di sini, saat itu benar-benar mencekam (orang tua saya sudah pernah berhaji dan tinggal di Makkah lebih dari 2 minggu, jadi buat mereka mungkin lebih terasa seperti nostalgia).

Menjelang tengah malam kami pun tiba di Masjid al-Haram, jantung kota Makkah, tempat di mana Ka'bah berada. Saat memasuki masjid dan melihat Ka'bah yang berdiri tegak di tengahnya, saya sudah tidak mampu menahan air mata. Sedemikian sederhana, namun sedemikian agung. Tidak ada lukisan, atau ukiran, atau makam orang suci di sana. Inilah rumah Tuhan yang telah dilindungi oleh-Nya. Saya yang sedemikian hina dan berlumur dosa ini telah dikaruniai waktu, harta, kesehatan, kekuatan, dan kemudahan untuk mengunjungi rumah yang agung ini. Saya yang begitu kotor ini telah diundang oleh-Nya! Air mata saya terus mengalir dan saya mulai merasa malu pada beberapa orang yang mulai memandang saya dengan heran. Namun linangannya sungguh tak tertahankan lagi.

Kami langsung memulai umrah kami dengan ber-tawaf, mengelilingi Ka'bah berlawanan arah jarum jam sebanyak tujuh kali. Dilanjutkan dengan sholat tawaf, bersyukur atas selesainya tawaf di masjid yang mulia ini. Lalu kami melanjutkan dengan sa'i, berjalan antara bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali (jalan antara kedua bukit ini sudah berupa lorong marmer ber-AC yang berada di dalam Masjid Al-Haram itu sendiri). Setelah melakukan perjalanan sepanjang 3 km lebih sedikit ini, ritual umrah pun berakhir dengan tahalul, memotong rambut. Mau gundul juga boleh, tapi yang disyaratkan adalah minimum tiga helai rambut.

Lega dan bahagia, kami pun melanjutkan berzikir di Masjid Al-Haram menunggu waktu subuh tiba. Ketika subuh berakhir dan kami kembali ke hotel, barulah terasa betapa lelahnya badan ini.
Namun rasa lelah itu tampaknya begitu mudah terhapus. Hanya dua setengah hari di Makkah, kami sempat dua kali melaksanakan ritual umrah. Saya juga selalu menyempatkan untuk tawaf sebelum melaksanakan sholat wajib, yang berarti hampir 5 kilometer setiap harinya. Meskipun tidur kami paling banter cuma 4 jam sehari (sayang rasanya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, saat kita berada begitu dekat dengan masjid suci ini!), kami tidak merasa lelah maupun sakit. Benar-benar luar biasa.

Di Masjid Al-Haram, ada beberapa tempat yang dianggap istimewa karena konon doa di tempat tersebut tidak akan ditolak: salah satunya adalah antara Ka'bah dan Hijr Ismail, dinding berbentuk bulan sabit di barat daya Ka'bah; juga Multazam, dinding Ka'bah antara pojok Ka'bah yang bertempel Hajar Aswad dengan pintu Ka'bah. Salah satu hal yang juga disukai (karena pernah dilakukan Nabi Muhammad) adalah mencium Hajar Aswad, batu yang konon berasal dari surga.
Karena ribuan pengunjung semuanya ingin berdoa di tempat yang mustajab tersebut, termasuk juga ingin mencium Hajar Aswad, suasana dekat tempat-tempat tersebut sudah seperti zona perang. Liar! Sungguh menyedihkan, karena seharusnya justru dalam ibadah ini menyakiti sesama adalah terlarang.
Namun entah bagaimana, saya justru diberikan kemudahan: saya dapat memasuki Hijr Ismail dan berdoa di sana dengan leluasa, bahkan dapat mencium Hajar Aswad. Sepertinya hampir mustahil, karena yang berdesakan di sana hampir semuanya laki-laki dengan badan besar dilengkapi semangat perang untuk berdesakan. Lagi-lagi hadiah yang tak terkira dari Tuhan.

Saat saya harus meninggalkan Mekkah, hati saya benar-benar sangat sedih. Satu permintaan terus saya sebutkan: semoga saya diizinkan kembali lagi untuk melaksanakan haji.
Tanah Makkah ini begitu kering, tandus, tanpa keindahan apapun dalam pengertian umum. Namun di sinilah rumah peribadatan yang tertua telah didirikan, dan ke sinilah jutaan umat, yang ingin mempersembahkan hadiah kepada Tuhan Yang Esa, datang dengan segala daya dan upaya.

Saudi Arabia: Madinah

Sore itu kami tiba di King Abdul Aziz Airport, lapangan udara di Jeddah yang biasa digunakan sebagai tempat mendaratnya ribuan, bahkan jutaan, jemaah haji dan umrah, sebelum bertolak ke Madinah atau Makkah.
Meskipun kami sempat bermalam di Jeddah, tapi tidak banyak yang bisa diceritakan tentang kota ini. Sebagai salah satu kota terbesar di negara kaya raya Saudi Arabia, Jeddah bisa dibilang mengecewakan. Airportnya sempit dan tidak efisien, kotanya didominasi oleh bangunan tua dan jalan yang tidak terurus (meskipun ada juga bagian kota yang sangat modern dan bersih). Kami sempat berbelanja di Balad, pasar terkenal dekat corniche, membeli jalabiyya hitam untuk saya, adik perempuan saya, dan ibu saya. Mengenakan jalabiyya ternyata sangat nyaman, kita bisa mengenakan jeans atau t-shirt atau apa saja, lalu tinggal menyampirkan jalabiyya di atasnya and ready to go! Cuma jelas saja jalabiyya ini tidak praktis dikenakan di Indonesia, karena meskipun sama-sama panas, negeri kita punya kelembaban sangat tinggi yang bisa membuat jalabiyya basah kuyup dan walhasil jadi berbau.

Hari berikutnya kami berangkat ke Madinah lewat jalan darat. Perjalanan sejauh lebih dari 400 km melewati padang batu yang tandus itu memakan waktu sekitar 4 jam. Kami tiba di Madinah lewat pukul sembilan malam. Tanpa menyia-nyiakan waktu kami segera bergegas menuju Masjid Nabawi (yang hanya 100m dari hotel kami) dan sholat di sana.

Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad tidak lama setelah kepindahannya bersama umat muslim ke Madinah, setelah diperlakukan dengan keji oleh para penyembah berhala di kota kelahirannya Makkah. Saat itu Madinah masih bernama Yatsrib.
Masjid Nabawi awalnya hanya bangunan sederhana dengan tiang-tiang batang kurma dan dinding lumpur. Kini masjid ini telah diperluas konon 100 kali ukuran aslinya dan mampu menampung setengah juta jamaah. Makam Nabi dan dua sahabatnya yang tadinya berada di luar masjid, kini berada di dalam masjid akibat perluasan ini. Makam ini sentiasa dijaga ketat supaya tidak ada yang berdoa pada makam.

Dua hari berikutnya di Madinah, tidak ada hal lain yang kami lakukan selain menikmati ibadah di Masjid Nabawi. Kami selalu datang paling lambat 1 jam sebelum waktu sholat tiba, karena beberapa waktu sebelum azan berkumandang pintu masjid telah disesaki manusia dan mencari tempat yang lega untuk bersembahyang sudah mustahil. Saat jeda antara Maghrib dengan Isha, di antara mengkaji Quran dan berzikir, para wanita juga berbagi kurma atau kopi.
Saya bertemu dan ngobrol dengan muslim dari berbagai belahan dunia namun para peziarah lebih didominasi oleh orang Turki dan Indonesia (yang lumayan dihormati di sana). "Indunisii?" adalah pertanyaan umum setelah melihat wajah Asia saya, disusul dengan senyum hangat (bahkan pernah seorang wanita tua Turki memaksa saya mencium tangannya, hehehe...)

Di Masjid Nabawi yang selalu bersih dan wangi ini (skuadron cleaning service-nya tidak pernah luput membersihkan setiap sudut, juga mengepel dan bahkan mencuci lantai masjid dengan sabun), para jemaah diorganisir dengan baik, sehingga meskipun jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu, ibadah terasa begitu tenang dan khusuk.
Namun, ada juga bagian Nabawi yang selalu padat dan disesaki pengunjung siang malam: Ar-Rawdah. Ar-Rawdah adalah area di antara mimbar Nabi Muhammad dengan rumah beliau, yang pernah beliau sebutkan "adalah bagian dari taman surga". Konon, doa yang dipanjatkan di sini tidak akan ditolak oleh Allah. Karena alasan inilah, orang berdesakan untuk memasukinya, lalu sholat dan berdoa di sana. Masalahnya, ukurannya lumayan sempit sedangkan ratusan orang berebut memasukinya. Untung saja di pintu masuk ada beberapa polisi yang mengatur "lalu lintas" bahkan mengusir orang-orang yang terlalu lama berada di Ar-Rawdah supaya yang lain bisa berganti memasukinya. Syukurlah, jalan masuk laki-laki dan wanita juga dibedakan, sehingga saya tidak perlu berdesakan dengan para laki-laki yang biasanya lebih berbau ketimbang wanita, hehehe....

Ketika kami meninggalkan Madinah, rasa sedih menggelayuti hati seakan berpisah dengan kekasih yang begitu dicintai. Namun, kami juga tak sabar untuk segera tiba di Makkah!

Saudi Arabia: Umrah, a religio-romantic journey

Kerinduan hati untuk menapak tilas jejak Nabi Allah memanggil kami untuk melaksanakan umrah. "Kami", karena perjalanan ini saya lakukan bersama keluarga saya.
Merancang perjalanan yang bisa mempertemukan waktu Bapak saya (yang masih bekerja), ibu saya (sudah pensiun dini sejak tahun lalu), adik perempuan saya (bekerja), adik laki-laki saya (kuliah), dan saya sendiri yang juga bekerja, sudah merupakan tantangan. Tanpa panggilan Allah rasanya tidak mungkin kami akhirnya bisa berangkat bersama.
Untuk yang masih clueless tentang apa sebenarnya umrah ini, berikut ceritanya...
Umrah, atau haji kecil, adalah pelaksanaan ritual keagamaan mengikuti perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar. Berbeda dengan haji, umrah bisa dilaksanakan kapan saja.
Tata caranya sendiri dicontohkan oleh Nabi Muhammad:
- tawaf, tujuh kali mengelilingi Ka'bah (Baitullah, "rumah Tuhan", bangunan sederhana berbentuk kubus di tengah Masjid Al-Haram, yang konon dibangun Nabi Adam dan dibina kembali oleh Nabi Ibrahim)
- sa'i, berlari kecil tujuh kali antara bukit Safa dan Marwah; mengingat larinya Hajar untuk mencari air buat bayi kecilnya Ismail, selepas ditinggal sendirian di lembah kering Makkah oleh suaminya Ibrahim atas perintah Allah)
- diakhiri dengan tahallul, mencukur rambut, melambangkan diperbaharuinya hidup

Buat saya, perjalanan ini bukan cuma religius tapi juga romantis.
Saya mencintai Tuhan, dan saya akan mengunjungi rumahnya!
Saya mencintai Nabi Muhammad, dan saya akan mengunjungi kotanya (Madinah)!
Saya mencintai Nabi Ibrahim, dan saya akan mengunjungi tempat ia pernah berdiri saat membina kembali rumah Tuhan hingga konon telapak kakinya tercetak (maqam Ibrahim)!
Saya mencintai sejarah, dan saya akan mengunjungi salah satu bangunan tertua di dunia (Ka'bah)!
Hati saya berdebar dan kerinduan itu semakin menyesakkan hati...

Labbaik Allahumma Labbaik!
Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanmu!

Turkey: Antalya

Antalya terletak di antara pegunungan Taurus dan laut Mediterania, jadi bisa dibayangkan betapa indahnya tempat ini.
Meskipun Antalya sendiri sangat kaya peninggalan bersejarah, tapi saya sudah kecapekan jalan-jalan. Agak susah bercerita tentang Antalya, soalnya sebagian besar waktu saya habiskan tidur dan makan (resort-resort di Antalya didesain all-in, makanannya juga enak-enak sekali...). Sempat juga sih bersafari dengan jeep 4x4 melintasi pegunungan Taurus, melihat kecantikan alam Antalya dan desa-desanya.

Now, that's real vacation!


Turkey: Istanbul

Turki sebenarnya adalah negara terakhir yang saya kunjungi dalam perjalanan saya ke Eropa. Namun saya agak tidak rela kalau Turki disebut Eropa, karena sebagian wilayah Turki masuk dalam wilayah Asia. Namun, apalah artinya benua? Bukankan benua Eropa, Asia, dan Afrika sebenarnya hanyalah satu daratan raksasa?
"Jika bumi adalah satu negara, maka Istanbul adalah ibukotanya" demikian kata Napoleon Bonaparte.

Istanbul berdiri bangga dengan sejarahnya yang pernah menjadi ibukota negara-negara besar dunia. Ia pernah dinamai Byzantium dan Konstantinopel saat menjadi ibukota kerajaan Romawi. Lalu menjadi Istanbul setelah Turki ditaklukkan Ottoman pada abad ke-15. Istanbul juga menikmati posisi yang unik, sebelah kakinya berdiri di benua Eropa (sisi Thracia) dan sebelah kakinya di benua Asia (sisi Anatolia), dipisahkan dengan selat Bosphorus di tengah-tengahnya.

Mengunjungi Istanbul berarti mengunjungi Hagia Sophia. Monumen simbolik yang sayangnya kurang terawat ini, awalnya ketika didirikan pada Abad ke-5 adalah sebuah gereja. Ketika Istanbul diambil alih oleh Ottoman tahun 1453, gereja ini dialihfungsikan menjadi masjid. Setelah Turki dikuasai oleh pemerintahan sekuler tahun 1923, Hagia Sophia diubah menjadi museum.

Karena sejarahnya ini, Hagia Sophia adalah tempat unik di mana kita bisa menyaksikan ada mimbar imam yang di atasnya terdapat lukisan Maria dengan Jesus (lukisan ini masih utuh karena orang Ottoman tidak merusaknya melainkan menutupnya dengan plaster). Saya sih antara kagum dan sedih, sungguh sayang tempat ini malah cuma jadi tontonan bukan tempat ibadah...

Tidak jauh dari Hagia Sophia terletak Masjid Biru, nama populer dari Masjid Sultan Ahmed. Dipanggil Masjid Biru, tidak lain karena interior masjid yang didominasi keramik dan cat warna biru. Lalu ada juga Suleymaniye Mosque, yang dibangun oleh Suleiman the Magnificent, konon untuk menyaingi Hagia Sophia. (Di kedua masjid ini, lampu gantung yang menerangi masjid digantungi dengan telur-telur burung unta, katanya sih untuk mencegah sarang laba-laba. Nah, silakan dicoba di rumah...)

Tempat yang wajib dikunjungi selanjutnya adalah Istana Topkapi, istana kediaman keluarga kerajaan Ottoman dari pertengahan abad ke 15 hingga abad ke-17. Istananya sendiri tidak terlalu mewah, tapi pemandangannya yang lepas ke Selat Bosphorus dan Laut Marmara, benar-benar spektakuler.

Istanbul juga tempat belanja yang mengasyikkan, karena harga di sini bisa dibandingkan dengan Jakarta. Barang-barangnya unik, orisinal (tidak semuanya made in China, hehehe) dan harganya sangat terjangkau; Turki termasuk negara 'murah'. Meskipun kaya dengan sumber alam dan orang-orang yang cerdas, Turki sempat terhantam krisis ekonomi yang sedemikian parah hingga dalam kurun 1996-2001 nilai tukar Turkish Lira melemah hingga 15 kali lipat! Tahun 2005, Turki mengenalkan mata uang baru, New Turkish Lira (hehehe, nggak kreatif ya...) yang nilainya 1 juta kali nilai mata uang yang lama. Jadi, kalau di tahun 2004 kita bisa membeli sandal jepit seharga 2 juta Lira, di tahun 2005 cukup 2 Lira saja. Ngomong-ngomong, 2 juta Lira di tahun 2004 itu nilainya kurang lebih 14 ribu rupiah. Nah lo, ada juga ya yang lebih parah dari Indonesia...(jangan bangga..!)

Salah satu tempat yang menyenangkan untuk jalan-jalan di Istanbul, terutama karena suasananya yang orisinal, adalah Kapalicarsi (grand bazaar). Sebagai turis yang wajib membawa oleh-oleh, saya juga membeli coffee set khas Turki, Turkish sweets, dan jaket kulit dengan kualitas sangat bagus di sini. Harga sangat reasonable. Para penjualnya juga sangat ramah, bahkan pakai acara menyuguh teh segala, sehingga kadang kita harus melarikan diri sebelum diangkat anak (hehehe...).

Meskipun Istanbul sangat menarik, saya sudah agak kecapekan jalan-jalan. I needed a vacation from my vacation, and that's why I was heading to Antalya!

Europe: Rome

Untuk para pecinta sejarah, Roma (Rome) adalah open air museum terbesar di dunia. Untuk pecinta makanan, siapa yang tidak kenal dengan Italian food. Untuk para pecinta hidup, Roma adalah jantung Itali: tempat segala keindahan dinikmati, to the maximum! Huh, baru membayangkannya saja saya sudah deg-deg-an....

Roma konon dibangun 753 tahun sebelum Masehi, jadi kurang lebih sudah berumur 2760 tahun. Dari Amsterdam, ke kota purba inilah perjalanan saya selanjutnya. Saya memilih naik Easy Jet (low cost carrier-nya Eropa) dari Amsterdam ke Milan, lalu melanjutkan ke Roma dengan kereta.

Day 9

Saya tiba pagi itu di stasiun kereta Termini yang ternyata tidak jauh dari hotel yang saya pesan on-line sebelumnya. Hotel ini juga tidak jauh dari Piazza della Repubblica, salah satu piazza (ruang terbuka di kota) yang terkenal di Roma dengan basilika Santa Maria degli Angeli e dei Martiri (panjang banget..), yang sebagian didesain Michaelangelo, di salah satu sisinya.

Karena waktu sudah lumayan siang dan saya belum punya rencana apa-apa hari itu, saya lalu menyewa scooter untuk mengitari Roma, in style.. (mengikuti gaya Audrey Hepburn di film Roman Holiday, hehehe) Saya pun dengan pe-de langsung memacu scooter dengan berbekal sebuah peta di tangan.

Jalan-jalan di Roma tidak diaspal melainkan dilapisi batu-batu yang membuatnya sangat unik. Sepanjang jalan, mata saya tidak lepas menemukan bangunan-bangunan kuno maupun klasik, semuanya masih ditinggali bahkan dijadikan apartemen. Bunga-bunga aneka warna menggantung dari balkon, restoran-restoran berjejer di trotoar jalanan, dan orang-orang dengan gaya super stylish maupun yang jelas-jelas backpacker tourists berseliweran di mana-mana.

Setelah beberapa waktu, akhirnya saya menyimpulkan kalau saya cuma muter-muter di satu tempat karena bertemu satu bangunan besar yang itu-itu juga. Akhirnya saya memutuskan untuk makan siang di piazza depan bangunan itu.

Dari membaca contekan (Lonely Planet Guide to Europe), barulah saya tahu kalau bangunan besar itu adalah Monument de Vittorio Emanuele II, didirikan di awal abad ke-20 untuk menghormati raja pertama Italia bersatu. Menurut saya sih bangunan ini lumayan cantik. Namun karena desainnya yang terlalu mencolok dibanding bangunan sekitarnya, juga pendiriannya yang sempat menelan sebagian dari situs bukit Palatine yang bersejarah, banyak yang sinis bahkan menyebutnya "kue pengantin" atau malah "mesin ketik".

Selesai makan siang, saya mengambil kesimpulan bahwa pizza paling tidak enak ternyata saya rasakan di sini. Saya juga mengambil kesimpulan kalau es krim di Itali rasanya tidak bisa disamakan dengan es krim di bagian dunia mana pun-- bahkan tidak seharusnya disebut es krim. Rasa dan teksturnya magical, pilihan rasanya juga luar biasa banyaknya. Pantas saja kalau italians tidak mau menyebutnya es krim, mereka menyebutnya gelato. Because they are not the same! (sejak itu, di Roma saya makan es krim, eh, gelato, lebih dari lima kali sehari. Bahkan Wall's pun rasanya berbeda di sini... sugesti mungkin ya...)

Puas mencoba beberapa rasa gelato, saya pun memacu scooter menuju bangunan paling terkenal di Itali. Apalagi kalau bukan Colosseum.

Persis di balik distrik modern yang sangat sibuk di Roma, berdirilah bangunan berusia hampir dua millenia ini. Colosseum, nama aslinya Amphitheatrum Flavium, fungsi aslinya mungkin mirip dengan stadion pertunjukan. Seperti dipopulerkan oleh Hollywood, Colosseum dulunya menjadi tempat pertunjukan gladiator di mana manusia diadu dengan binatang buas. Konon orang kristen awal yang dulunya dianggap musuh negara, juga dihukum mati di sini dengan perantara binatang buas. Karena inilah, setiap hari Paskah, Paus memimpin prosesi Via Crucis (jalan kesedihan) ke arah Colosseum.

Ternyata, setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Colosseum lebih mirip dengan reruntuhan (yang diiklankan dengan baik ke seluruh dunia). Bagian luarnya sudah separuh runtuh dan bagian dalamnya sudah nyaris tak berbentuk. Kalau dihitung-hitung, masih banyak roman amphitheatre yang lebih utuh di bagian dunia lainnya. Ibaratnya, masih banyak penyanyi yang lebih bagus suaranya dari Madonna, tapi semua orang mengakui siapa yang paling terkenal!

Day 10

Setelah ber-scooter di hari pertama di Roma, hari kedua saya bergabung dengan para turis lainnya untuk mengikuti guided tour keliling Roma.

Kami mulai memasuki lorong-lorong sempit di Roma. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Trevi Fountain, air mancur antik paling terkenal di Roma (gambar kanan bawah). Di sini konon kalau kita melempar koin, kita akan kembali ke Roma. Jadi semua orang pun melempar koin ke sini, termasuk saya, karena tidak ada yang menolak kembali ke kota yang begitu menawan ini.

Dari Trevi Fountain, kami lalu dibawa ke salah satu landmark Roma yang tidak kalah terkenal: Pantheon (foto kanan atas). Pantheon yang dibangun oleh kaisar Agrippa, awalnya dimaksudkan sebagai kuil pemujaan dewa-dewa Romawi. Setelah Kristen menjadi agama resmi kerajaan Romawi, pada abad ke-7 Pantheon diubah menjadi gereja. Bangunan ini sangat terkenal karena masih terpelihara baik, dan juga karena menggunakan desain yang luar biasa rumit. Kubah betonnya, yang konon terbesar di dunia, tidak disemen namun mampu menyangga beratnya sendiri yang sekitar 5000 ton selama hampir dua milenia. Bayangkan betapa hebatnya ilmu sipil orang Roma kuno ini, terlebih hingga kini 'resep beton' kubah Pantheon masih misterius.
Kami lalu melanjutkan ke Piazza Navona untuk melihat Fountain of the Four Rivers (Fontana dei Quattro Fiumi....$%#*@!), yang sering disebut sebagai karya terbaik Bernini (gambar kiri atas). Empat sungai yang dilukiskan di sini adalah Nil: mewakili Afrika, Danube: mewakili Eropa, Gangga: mewakili Asia, dan Rio de la Plata: mewakili Amerika. Jangan kecewa, Bengawan Solo atau Kapuas belum sempat dijelajahi oleh si Bernini ini.
Perjalanan diteruskan menelusuri jalan-jalan kecil yang cantik. Kami berjalan melintasi Via dei Condotti yang dipenuhi dengan butik-butik desainer Itali paling terkenal. Tersiar kabar kalau Valentino (buat yang belum pernah dengar.. hehe... dia ini desainer Itali terkenal..) pernah mencoba maju ke pengadilan supaya McDonald's membatalkan pembukaan gerainya di jalan bergengsi ini. Tentu saja dia kalah....
(Sambil melewati butik-butik Hermes, Ferragamo, Bvlgari, dan kroni-kroninya yang memasang label ratusan hingga ribuan dolar untuk tiap item-nya, saya memandang celana jeans yang saya beli di Matahari waktu ada diskon 20%. Kayaknya nggak kalah keren tuh, hehehe...)
Kami pun tiba di Piazza di Spagna, tempat Spanish Steps yang terkenal itu (foto kiri bawah). Berupa barisan tangga lebar yang berpuncak di gereja Trinita Dei Monti, Spanish steps terbentang hingga ke air mancur Barcaccia yang merupakan bagian Piazza di Spagna. Kanan kirinya dihiasi bunga Azalea warna-warni. Pemandangannya memang enak, jadi ratusan orang duduk-duduk di situ dengan berbagai aktivitas. Cuma di sini dilarang makan, jadi saya pun tidak berlama-lama di situ karena perut sudah bergeriyut tidak karuan.
.
Setelah mengistirahatkan kaki beberapa saat dan makan siang dengan risotto seafood, saya melanjutkan sendirian ke Palatine Hill konon merupakan awal sejarah Roma. Konon di Palatine Hill-lah letak gua Lupercal, di mana legenda menyebutkan dua pendiri Roma, Romus dan Romulus, dipelihara oleh serigala betina. Meskipun cerita ini lebih dekat ke mitos, yang jelas Palatine Hill dipenuhi dengan reruntuhan bersejarah.
Mengunjungi Palatine membutuhkan buku panduan dan imajinasi yang tinggi, soalnya semuanya sudah dalam bentuk reruntuhan. Untuk westerners yang menyadari di sinilah kebudayaannya lahir, harusnya sangat menarik. Tapi buat saya agak membosankan...
Day 11

Pagi itu saya merencanakan cara lain untuk menikmati Roma: mengendarai Smart. Mobil kecil dua penumpang favorit Eropa, hemat energi, dan rendah emisi, benar-benar cara paling hijau dan hemat (sewanya murah) untuk menikmati jalan-jalan sempit di Roma.
Tujuan pertama adalah negara dalam negara di Roma yang cuma seluas 44 hektar dan dihuni 800 orang, tapi punya kedaulatan sendiri dan pernah menjadi tempat nasib dunia diputuskan. Apalagi kalau bukan Vatikan. Di sinilah Basilika St.Peter dan Sistine Chapel yang terkenal itu berdiri, demikian juga apartemen Paus. Vatikan juga memiliki 'swiss guard' yang terkenal dengan seragam uniknya, prajurit pribadi Paus yang memang khusus direkrut dari kalangan katolik Swiss.
Basilika St.Peter yang berumur 5 abad ini boleh dimasuki siapa saja, asal berpakaian sopan (no short, mini skirt, or sleeveless). Arsitekturnya benar-benar luar biasa indah, dilengkapi dengan patung-patung orang suci dan lukisan-lukisan indah. Desainnya melibatkan artis-artis barat terkenal seperti Bernini, Michaelangelo, dan Raphael. Bahkan saya sempat melihat sebuah prosesi katolik yang tengah berlangsung, dipimpin oleh beberapa pendeta. Tentu saja karena bukan penganut katolik, saya tidak terlalu tahu, namun bisa merasakan suasana religiusnya.

Dengan Smart yang luar biasa irit bensin dan imut-imut, saya pun menghabiskan sore itu ke setiap sudut Roma, termasuk duduk-duduk di tepian sungai Tiber (Fiume Tevere) yang legendaris. Masih banyak tempat menarik di Roma yang wajib dikunjungi... mungkin nanti di kunjungan kedua...

Europe: Amsterdam

Belanda, Netherlands, negeri sempit yang cuma dihuni 16 juta orang,bandingkan dengan populasi Jabotabek yang 23 juta, tidak bisa dianggap enteng. Meskipun kontroversial dalam hal etika sosial (mengizinkan prostitusi, perkawinan sejenis, bahkan mengisap ganja), Belanda juga termasuk 10 negara terkaya di dunia, dengan ekspor hasil pertanian terbesar ketiga di dunia. Fakta paling mengiris hati, tentu saja penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung ratusan tahun. Kayak apa sih, orang-orang ini?

Day 6

Dengan kereta cepat yang dioperasikan Thalys, perjalanan Paris-Amsterdam hanya memakan waktu 4 jam. From the heart of Paris to the heart of Amsterdam- tanpa pengecekan gila-gilaan seperti naik pesawat-tanpa harus check in 2 jam sebelumnya di airport yang selalu di luar kota.. oh, oh, I love trains!

Amsterdam Centraal station menyambut saya dengan suara hiruk pikuk dan desakan manusia. Keluar dari stasiun, suasana hiruk-pikuk makin terasa. Di jalan raya yang tidak bisa dibilang lebar, mobil, sepeda, trem, dan pejalan kaki tumpah ruah tanpa jalur yang jelas. Belum lagi kanal-kanal yang membelah kota, dilewati oleh kapal-kapal beraneka rupa. Wow, saya langsung punya crush pada kota ini!

Saat makan siang tiba, benar saja kata orang kalau Amsterdam adalah tempat paling oke buat orang Indonesia. Di sini banyak sekali restauran Indonesia, mulai dari kelas warung sampai kelas fine dining. Di belakang hotel yang saya tinggali, ada warung bubur ayam Bandung. Di sebelah hotel juga ada restauran mewah yang menyajikan 'rijsttafel' (aneka makanan Indonesia disajikan dalam piring-piring kecil seperti masakan padang). Mmm...

Sore dan malam itu saya habiskan dengan berjalan kaki mengelilingi Amsterdam, lalu menyusuri kanal-kanalnya dengan kapal. Amsterdam memiliki bangunan bersejarah terbanyak di Eropa di pusat kotanya, yaitu melebihi jumlah 7000 bangunan bersejarah. Meskipun demikian, hanya bangunannya yang kuno, infrastruktur pendukungnya semua serba canggih. Benar-benar kota kuno yang super modern.

Day 7

Esok paginya, saya menaiki bis menuju ke Keukenhof, taman bunga terbesar di dunia, yang terletak di Lisse. Konon sekitar tujuh juta bunga ditanam di taman ini.
Saya beruntung bisa mengunjungi Keukenhof di hari terakhir taman ini dibuka. Karena Belanda adalah negeri empat musim, Keukenhof hanya dibuka hingga akhir musim semi, karena di musim yang lain taman bunga ini pastilah lebih mirip taman daun!

Sesampainya di Keukenhof, saya benar-benar terpana. Taman ini luar biasa indahnya, dengan bunga warna-warni (yang didominasi tulip) membentuk karpet-karpet menutupi seluruh permukaan taman. Bahkan salah satu anggota rombongan, seorang laki-laki dengan gaya agak preman, terlihat sangat terpana, hingga saya ingin tertawa terbahak-bahak melihat reaksinya.

Saya menghabiskan waktu hingga hampir sore di taman ini, berjalan mengitari taman dengan ratusan bunga mekar di setiap sudut dan harum samar yang menggantung di udara, termenung melihat angsa-angsa yang berenang di sungai jernih dengan latar belakang pepohonan dan bunga beraneka warna. Oh, benar-benar secuil surga...

Malam itu saya kembali ke Amsterdam dan berniat belanja oleh-oleh. Di toko souvenir, bolak-balik saya melihat "Amsterdam survival kit" yang ternyata sekantong kecil ganja. Nggak saya beli, sih. Mau diapain? Diseduh kayak teh? Akhirnya saya cuma membeli oleh-oleh default, kaos dan keramik Delft kecil. No survival kit was bought, hehehe.

Day 8

Hari terakhir di Belanda, saya menuju ke Madurodam, kota miniatur yang terletak Scheveningen, Den Haag. Meskipun tergolong baru, didirikan pertengahan abad ke-20, kota miniatur ini termasuk salah satu atraksi favorit di Belanda dan konon sudah menarik 10 juta pengunjung.

Madurodam didesain sebagai miniatur dengan skala 1:25, benar-benar imut-imut dan menggemaskan. Selain bangunan-bangunan yang umum ditemukan di kota-kota Belanda, ada juga miniatur pabrik, pelabuhan, oil-rig dan airport Schiphol. Anak-anak berlarian dengan gembira di sela-sela bangunan kecil ini, berlagak seolah-olah raksasa...



Sore itu saya sudah mengepak barang dan terbang ke Itali. Buat saya, surprisingly, Amsterdam adalah kota yang lebih menarik ketimbang London dan Paris. I'll definitely be back someday.

Europe: Paris

Day 3

Mendarat di Paris pagi menjelang siang, saya langsung disambut dengan kemacetan yang luar biasa di jalanan. Hotel yang saya pesan lewat internet, meskipun namanya sangat romantis, ternyata lebih mirip hotel melati. Okay-lah, no problem, I'm going to go around anyway, kata saya dalam hati.
Saya pun turun ke bawah, sarapan, membaca koran, dan langsung menemukan berita terheboh hari itu: Paris sedang strike! (pemogokan adalah kegiatan rutin di sini, cuma kok ya pas saya di Paris....) Masalahnya, yang mogok adalah pekerja transport umum, jadi otomatis semua pelayanan transport publik terhenti.

Saya pun bertanya pada resepsionis, "What transport I should take?"
"Well, mam, you can not take anything. Undergrounds, buses, everything stops!"
"How about taxies?"
"They are also part of the strike"
"What if I rent a car?"
"That will be a nightmare, because today everybody is taking their cars. Streets are congested and traffic jams are everywhere"
"So what can I do?"
"Nothing, just stay in the hotel" kata si resepsionis setengah tidak peduli.

Pemecahan yang sama sekali tidak membantu! Tak lama kemudian, seseorang memberitahu saya kalau French dinobatkan sebagai orang-orang paling tidak friendly di Eropa....Hmm, no comment...
Tentu saja saya tetap memutuskan untuk keluar hotel. Saya langsung berjalan kaki menuju Eiffel yang memang hanya sekitar 1 km dari hotel. Jalanan lengang, tak ada kemacetan. Di tengah jalan, saya sempat melihat patung Liberty, serupa dengan Liberty di New York yang memang hadiah dari Perancis untuk Amerika. Hanya yang ini lebih kecil karena memang 'her little sister'.

Eiffel. Landmark Paris yang sangat terkenal; simbol romantisme, kecantikan, keindahan Paris. Begitu melihatnya secara langsung, saya tersadar: inilah hasil marketing yang sukses! Eiffel, paling tidak buat saya, terlihat agak gloomy, bahkan kotor dengan banyak pengemis berteduh di bawahnya. Namun demikian saya tentu saja tetap naik ke atas Eiffel lalu berfoto-ria dengan latar belakang kota Paris di pagi hari.

Tidak terkesan, saya pun tidak ingin lama-lama di sini. Saya melanjutkan dengan tur menggunakan bis double-decker terbuka (yang ternyata tidak ikut mogok). Pertama-tama ke Les Invalides, kompleks bangunan yang berisi museum dan monumen militer termasuk makam Napoleon Bonaparte. Lalu Place de la Concorde, square terbesar di Paris dengan sebuah obelisk granit setinggi 23 m yang diambil (atau dicuri?) dari kuil Luxor di Mesir. Selepas Revolusi Perancis, di sinilah para bangsawan yang dianggap bersalah, termasuk Louis XVI dan Marie Antoinette, dihukum penggal dengan guillotine.

Selanjutnya, masih dengan double-decker bus, saya menuju ke Notre-Dame de Paris, katedral gotik berumur lebih dari 800 tahun yang menjadi salah satu landmark Paris. Seperti layaknya gereja katolik, di sini banyak terdapat patung dan lukisan yang indah. Salah satunya adalah lukisan Maria yang menjadi ikon gereja ini (Notre Dame berarti "our lady", merujuk kepada Maria) serta patung Joan of Arc, pahlawan wanita Perancis yang dihukum mati oleh Inggris dengan alasan kemurtadan (heresy) yang kemudian dijadikan santa 490 tahun setelah kematiannya.

Malam hari itu saya berjalan-jalan di Champs-Elysees, avenue yang konon paling bergengsi dan termahal di dunia, bersaing dengan New York's Fifth Avenue. Jalan yang cuma sepanjang 2 km ini, dibatasi oleh Place de la Concorde di timur dan Arc de Triomphe di barat, dipenuhi toko-toko bergengsi plus kafe-kafe dan bioskop. Belanja di sini jelas tidak menarik buat saya, pertama karena harganya terlalu mahal, kedua karena sebagian besar barang-barang itu bisa saya dapatkan di Beijing atau Jakarta seperseratus harga di sini... hehehe...

Day 4

Pagi itu saya mulai, french style, di sebuah Boulangerie & Patissierie dekat hotel. Secangkir kopi dan quiche bayam paling enak yang pernah saya rasakan, huh.... benar-benar sarapan yang luar biasa.

Tujuan pertama hari itu adalah Museum Louvre. Meskipun sudah terkenal, museum ini menjadi lebih terkenal lagi sejak dijadikan lokasi opening scene dalam novel Dan Brown yang menghebohkan dunia, The Da Vinci Code. Memasuki entrance Louvre, kesan pertama yang saya rasakan adalah perpaduan antara arsitektur klasik (bangunan Palais du Louvre yang dibangun abad ke-12, aslinya didesain sebagai benteng) dengan arsitektur modern (piramid gelas yang dijadikan jalan masuk Louvre).

Louvre memiliki lebih dari 380,000 objek, dengan koleksi lukisan yang sangat kaya dan menarik. Di antaranya karya-karya Rembrandt, Titian, Rubens, dan tentu saja yang paling terkenal adalah lukisan karya Leonardo da Vinci: the Monalisa.
Saya menghabiskan waktu hingga sore di museum ini. Koleksi kebudayaan barat museum ini benar-benar sangat menarik. Namun ternyata, si Monalisa yang terkenal itu cuma lukisan yang kecil dan biasa banget deh....

Setelah makan siang , saya melanjutkan menuju ke Versailles, tempat istana monarki Perancis. Meskipun hari itu para pekerja transport masih mogok, namun untungnya pemerintah Paris menjalankan beberapa transport darurat secara gratis.

Chateau de Versailles mulai dibangun tahun 1142 di bawah Louis XIII, dimaksudkan sebagai kediaman pribadi Raja dan didanai secara pribadi pula. Namun dalam perkembangannya, istana ini semakin diperluas besar-besaran dengan dekorasi yang sangat mewah dan taman-taman luas dengan berbagai tanaman eksotik; tapi pendanaannya semakin mencurigakan. Kini istana yang sudah menjadi museum ini, beserta taman-taman yang mengitarinya, mencapai ukuran yang spektakuler: 1060 hektar.

Mengelilingi istana yang sedemikian indah dan mewah ini, saya bisa memahami bagaimana revolusi Perancis bisa meletus. Di saat rakyat hidup dalam kemiskinan, para aristokrat Perancis justru hidup dalam kemewahan yang berlebihan: dekorasi emas, perak, dan kristal, lantai dan dinding marmer, karpet dan hangings sutra, lukisan dan patung karya seniman nomor satu dunia, serta taman-taman yang dihiasi air mancur dan patung-patung mewah...

Saking indahnya tempat ini, saya benar-benar kehabisan kata-kata untuk melukiskannya. Untuk mengikuti virtual tour ke Versailles: http://www.chateauversailles.fr/.

Day 5

Pagi itu saya menuju the destination of all destinations in Europe: Europe Disneyland! (hehehe) Karena jalur kereta yang melayani Disneyland terpengaruh pemogokan, saya terpaksa naik taksi dan membayar lumayan mahal. Tapi demi Disneyland, I'd do anything!

Disneyland sebenarnya tidak jauh beda dengan Dufan, tentu saja dalam skala dan varietas lebih besar, serta lebih terpelihara. Yang paling berkesan di sini adalah pengalaman ketika saya naik roller-coaster Star War yang merupakan indoor roller coaster, gelap melintasi 'bintang', 'galaksi' dan 'planet' asing. Begitu keluar dari labirin itu, terus terang saja perut saya terasa tidak enak. Tapi salah satu penumpang, yang notabene memakai suite dan dasi (bolos kerja nih ye), langsung muntah-muntah begitu turun dari kereta. Yaks....

Setelah memuaskan my inner child, sore itu saya pun harus meninggalkan Paris untuk menuju ke negara berikutnya. Au revoir, Paris!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar