Selasa, 05 April 2011

Darwin

Buaya Darwin

Pemandangan kota dari Holiday Inn Darwin
Gara-gara Air Asia buka rute baru direct flightDenpasar-Darwin dan dapet harga promo Rp 1,3 juta + pp (ini ke Australia lho!), saya langsung cabut! Sebenarnya dulu saya sudah pernah ke Australia, tapi hanya ke daerah Timur (Melbourne sampai Cairns). Nggak kebayang saya akan ke Utara, tepatnya ke Darwin, secara tempat itu sepertinya nggak ngetop dan nggak ada apa-apanya. Tapi, saya kan demennya ke tempat yang nggak biasa. Malah saya sengaja nggak rajin riset sebelum berangkat supayasurprise akan apa yang akan terjadi.
Nama Darwin sendiri berasal dari ilmuwan teori evolusi Charles Darwin yang pernah ke sana tahun 1836. Darwin adalah ibukota propinsi Northern Territory yang terletak di di Laut Timor, jadi dari Bali cuman terbang 2,5 jam. Karena lokasinya paling dekat dengan Asia, maka penduduknya pun multi-kultural. Cuaca di sana pun mirip banget kayak di Indonesia, cuman ada musim hujan (September-April) dan musim panas (Mei-Oktober) dengan tingkat kelembaban yang tinggi alias gampang bikin kemringet.
Kota Darwin tidak begitu besar. Jangan membayangkan kota metropolitan dengan banyak gedung pencakar langit, rata-rata di sana bangunannya bertingkat dua, kecuali hotel dan apartemen. Bangunannya pun relatif baru karena kota ini pernah kena badai Cyclone Tracy tahun 1974 yang menghancurkan lebih dari 70% bangunan di Darwin. Bagusnya semuanya rapih, bersih, dan serba hijau dengan pepohonan. Suasananya kayak di kota pantai dimana orang-orangnya pake tank tops dan celana pendek. Orang sana memang hidupnya laid back, ditambah lagi banyaknya populasi anak muda. Konon demografi penduduk Darwin memang sebagian besar anak muda, jadi mantab banget kalo mau ngeceng. :)
Kalau mau menginap, pastikan tinggal di sekitar Mitchel Street. Di sepanjang jalan itulah yang paling “hidup”, mulai dari hostel/hotel, travel agent, restoran, bar, supermarket, toko suvenir sampai mal, jadi tinggal jalan kaki ke mana-mana. Harap diingat, di sana toko/mal buka hanya sampai jam 5 sore, bahkan kalo weekend tutup jam 3 sore. Yang buka sampai pagi ya hanya bar. Bar di sana modelnya semi-outdoor, jadi bisa ngintip dulu happening apa nggak sebelum memutuskan masuk. Untungnya bar di sana kayak di Bali, boleh masuk pake kostum apapun, termasuk pake kaos dan sendal jepit.
Parap Village Market
Keramaian yang ditunggu-tunggu orang lokal adalah pergi ke pasar, yaitu di Parap Village Market (setiap Sabtu) dan Mindil Beach Sunset Market (setiap Kamis dan Minggu di musim panas). Pasar non-permanen yang nggak becek itu jualan segala macam, mulai dari buah sampai perhiasan, tapi utamanya orang ke sana untuk makan berbagai masakan Asia – bahkan ada warung sate yang penjualnya orang Indonesia. Hebatnya, meski cuman buka lapak, pembayaran bisa dilakukan pake kartu kredit.
Litchfield National Park
Sebagian besar turis yang doyan adventuremenjadikan Darwin sebagai titik awal untuk menjelajah national parks terdekat yang ada di Northern Territory. Kakadu National Park yang termasuk UNESCO Heritage Site memiliki lansekap yang dramatis seluas setengah negara Swiss dan telah dihuni manusia sejak 40 ribu tahun yang lalu. Selain itu ada Litchfield National Park dan Katherine Gorge. Aktivitasnya nggak cuma trekking dan kemping, tapi juga melihat rock painting-nya suku Aborigin, berenang di banyak air terjun, sampai menyusuri sungai sambil melihat buaya.
Bicara soal buaya, pergi ke Australia bayangan saya adalah pantai dan berenang. Ternyata saya salah besar. Memang Darwin terletak di pinggir pantai, tapi pantainya nggak ada yang bisa diberenangin karena… banyak buaya! Yep, buaya di sana hidupnya di air laut, makanya disebut sebagaisaltwater crocodiles – jenis reptil terbesar di dunia. Warnanya putih/beige gitu, panjangnya rata-rata 6an meter (rekor terpanjangnya 10 meter) dengan berat sampai 1 ton!
Di pantai mesti ada plang bertuliskan “Danger! Crocodiles inhabit in this area. Keep away from the water’s edge”. Karena itulah hampir setiap rumah di Darwin memiliki kolam renang supaya penduduknya bisa santai berenang nggak pake dikejar buaya. Kalau mau gampang dan aman melihat buaya, di Mitchel Street ada Crocosaurus Cove. Di sana bisa lihat bayi buaya yang bisa ditimang-timang sampe mama buaya yang guedhe banget. Mau aktivitas yang memacu adrenalin? Silakan ikutan berenang bersama buaya di dalam Cage of Death. Jadi kita dimasukin ke dalam kerangkeng dan diceburin ke kolam buaya. Dari situ kita bisa melihat buaya supergede dari jarak sangat dekat. Berani?
Uniknya, buaya ini juga sehari-hari biasa jadi makanan orang sana. Jangan kaget kalo di restoran ada menucrocodile meat. Daging buaya memang merupakan makanan orang Aborigin yang tinggal di sekitar pantai. Demi perlindungan binatang, pemerintah Australia melarang orang non-Aborigin untuk membunuh buaya. Tapi kalau buaya untuk konsumsi restoran berasal dari peternakan khusus buaya yang sudah berlisensi. Saya pun nyobain makan daging buaya di restoran paling happening di Darwin’s Sailing Club. Secara takut rasanya aneh, saya pilih menu buaya yang ditumis bersama sayuran dan dimakan sama nasi. Ternyata daging buaya itu rasa dan teksturnya kayak daging ayam, warnanya putih, tidak berserat, tidak berbau, tapi sedikit lebih kenyal. Semua baik-baik saja di mulut dan perut, asal jangan sambil membayangkan bentuk buayanya. Hehe!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar