Sabtu, 30 April 2011

Belajar di Amerika

Tradisi akademis di Amerika memang beda dengan di negeri kita. Di sini, jika ada seorang mahasiswa yang cemerlang, pihak profesorlah yang aktif ingin menarik yang bersangkutan untuk menjadi mahasiswa dia. 
be well,
Dwika


Quantcast


Ulil Absar AbdallaOleh Ulil Abshar Abdalla
Pernah nyantri di asuh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994-1999), nyantri Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Kini Studi di Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University
Saya akan selesai dari program Master saya di Boston University bulan Mei mendatang. Saya menulis tesis tentang “Islamic Theory of Prophecy Revisited“. Saya mencoba menelaah kembali konsep kenabian dalam Islam, kemudian saya bandingkan dengan konsep serupa dalam agama Yahudi. Saya mengkaji teori kenabian dari sejumlah teolog Muslim Sunni, seperti Al-Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhr al-Din al-Razi, kemudian saya bandingkan dengan seorang filosof dan ahli fikih Yahudi, Musa ibn Maimun, atau lebih dikenal sebagai Maimonides.
Saya dibimbing oleh dua profesor ahli Islam di Boston University, yaitu Prof. Diana Lobel yang ahli tentang perbandingan mistik Yahudi dan Islam, dan Prof. Merlin Swartz, murid seorang ahli Islam yang sangat kesohor, Prof. George Makdisi. Prof. Lobel baru-baru ini menerbitkan sebuah buku tentang pengaruh gagasan mistik Islam dalam perkembangan mistik Yahudi, “A Sufi-Jewish Dialogue: Philosophy and Mysticism in Bahya ibn Paquda’s Duties of the Heart“.
Sementara Prof. Swartz dikenal lewat studinya tentang Ibn al-Jauzi, “A Medieval Critique of Anthropomorphism: Ibn Al-Jawzi’s Kitab Akhbar As-Sifat“. Prof. Swartz baru-baru ini pensiun dari jabatannya sebagai profesor ahli Islam di Boston University, digantikan oleh profesor baru, seorang perempuan yang cantik, lulusan Duke University, yaitu Prof. Kecia Ali yang ahli dalam bidang fikih.
Teori kenabian memang tema yang sangat “antic” dan jarang disentuh oleh sarjana Muslim saat ini. Sarjana Muslim terakhir yang menulis mengenai tema ini adalah Prof. Fazlur Rahman, guru Cak Nur dan Buya Syafii Maarif, dalam bukunya yang berjudul “Prophecy in Islam: Philosphy and Orthodoxy” yang terbit pada 1958. Setelah itu, setahu saya, tak ada seorang sarjana Muslim yang menulis tentang tema ini. Setelah kekosongan dalam waktu yang lama, seorang sarjana Yahudi yang mengajar di Hebrew Univrsity, Jerusalem, Prof. Yohanan Friedman, menulis sebuah buku tentang tema ini, “Prophecy Continuous” yang terbit pada 1989.
Kajian tentang tema ini, menurut saya, menarik sekali, sebab di sanalah kita bisa menjumpai sejumlah teori menarik yang dikemukakan oleh para teolog dan filosof Muslim tentang akal, intelek, jiwa, dsb. Tema tentang hubungan antara akal dan wahyu menempati kedudukan yang penting dalam sejarah intelektual Islam, tetapi jarang yang mengkaji bagaimana konstruksi akal dalam pandangan sarjana Muslim.
Saya sengaja membandingkan antara teori kenabian dalam Islam dan Yahudi, terutama melalui filsafat Maimonides. Maimonides adalah filsuf Yahudi yang hidup pada abad ke-13, kelahiran Spanyol, tetapi kemudian menghabiskan karirnya di Kairo, Mesir. Saya mengkaji teori kenabian Maimonides seperti tertuang dalam bukunya yang terkenal, “Dalalat al-Hairin” (Petunjuk Bagi Orang Bingung). Saya melihat ada suatu pengaruh yang menarik dari teori kenabian Islam dalam lingkungan Yahudi. Hal ini tentu tak mengherankan sebab Maimonides hidup dalam lingkungan kebudayaan yang secara mendalam dibentuk oleh gagasan Islam. Tentu, Maimonides tidak sekedar mengkopi teori-teori kenabian dari lingkungan Islam. Dia menyerap teori itu kemudian dimodifikasi sesuai dengan kerangka ajaran Torah.
Melalui perbandingan itu, saya ingin melihat bagaimana fenomena kenabian dijelaskan oleh dua agama yang sama-sama mempunyai kecenderungan yang kurang lebih serupa, yaitu kecenderungan legalistik, yakni Islam dan Yahudi.
Saya beruntung sekali bisa melanjutkan studi saya untuk tingkat doktoral di Universitas Harvard mulai September mendatang. Lingkungan akademik di kota Boston ini sangat menyenangkan sekali. Di kota ini terdapat sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Harvard, MIT, Universitas Boston, Boston College, Universitas Tuft, dan Universitas Brandeis. Di kawasan ini bertebaran sejumlah ahli Islam. Di Harvard sendiri ada sejumlah ahli Islam, antara lain
Ali M. Asani, William Graham, Roy Muttahedeh, dan Muhammad Shahab Ahmad. Di Universitas Boston ada Merlin Swartz, Kecia Ali dan Robert Hefner yang tentu sangat dikenal oleh publik Indonesia. Di Universitas Tuft ada Mohamed A. Mahmoud yang baru-baru ini menerbitkan sebuah buku tentang pemikiran Mahmud Muhammad Taha, “Quest for Divinity“. Di MIT, ada ahli Iran, Michael MJ Fischer, yang menulis buku cukup terkenal, “Debating Muslims“. Di Boston College ada James Morris yang ahli tentang Ibn Arabi.
Hal lain yang menyenangkan buat saya adalah adanya sejumlah perpustakaan besar yang mempunyai koleksi yang amat kaya tentang Islam. Perpustakaan yang mengagumkan buat saya tentu adalah Widener Library di Universitas Harvard. Perpustakaan ini mempunyai koleksi sekitar 3 juta judul dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk koleksi mengenai tema Islam. Hampir semua buku yang dahulu hanya saya dengar namanya saja di pesantren dapat saya jumpai di sini. Hampir semua kitab berbahasa Arab dalam semua bidang ada di perpustakaan ini. Selain mengkoleksi buku dan kitab, Widener Library juga menyimpan manuskrip kuno yang langka. Setiap saya masuk kedalam gedung perpustakaan ini, saya seperti merasa berada dalam sebuah “sorga”. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan “mengobrak-abrik” koleksi perpustakaan ini. Saya merasa sedikit berjasa pada perpustakaan ini, sebab usulan saya agar pihak perpustakaan membeli sebuah tafsir berbahasa Jawa berjudul “Al-Ibriz” karya KH. Bisyri Mustofa, ayahanda Gus Mus, dikabulkan.
Kota Boston sangat enak dan menyenangkan sebagai tempat belajar. Kota ini sangat indah, tidak terlalu besar dan ramai seperti New York, tetapi juga tak terlalu kecil dan sepi seperti Cornell atau Princeton. Hanya ada satu hal dari kota ini yang memberatkan bagi mahasiswa, yaitu biaya hidup yang mahal. Apartemen di kawasan Boston terkenal sangat mahal, sedikit di bawah Manhattan, New York. Harga sewa bulanan apartemen dengan dua kamar bisa mencapai US $ 1000-1300, setara dengan 9-12 juta rupiah. Dengan harga itu, saya mungkin bisa menyewa sebuah rumah utuh selama setahun di kawasan UIN Ciputat.
Kuliah di Amerika sangat unik, berbeda dengan system yang berlaku di negeri-negeri Barat yang lain. Di sini, kuliah menuntut kerja keras, sebab bahan bacaan kelas sangat banyak. Untuk satu mata kuliah, kita diharuskan untuk membaca bahan bacaan sekitar 150 hingga 300 halaman per minggu. Kadang bisa lebih dari itu. Jika kita mengambil empat mata kuliah, kita bisa “pingsan” karena harus membaca tak kurang dari 1000-1200 halaman per minggu. Tugas yang paling berat adalah menulis paper pada akhir semester. Rata-rata, paper akhir berjumlah 20-25 halaman. Tentu, yang dituntut bukan sekedar paper asal-asalan, tetapi paper yang membawa gagasan yang orisinal. Menulis paper adalah momok bagi semua mahasiswa paskasarjana di sini. Saya kadang tidak tidur selama berhari-hari hanya untuk menyelesaikan satu paper. Dengan sistem yang ketat dan beban bacaan yang berat seperti ini, kadang saya berpikir bahwa saya kekurangan waktu untuk menyerap bahan kuliah dengan baik.
Aspek positif dari kuliah model Amerika ini adalah kita dipaksa membaca banyak hal, dan ini sangat berguna untuk pendasaran teoritis bagi kerja akademis dalam kangka panjang. Mahasiswa doktoral di sini dituntut untuk kuliah kelas (istilahnya “course work”) selama minimal dua tahun. Setelah tahap ini dilalui, baru seorang mahasiswa dapat mulai menulis disertasi. Ini berbeda dengan sistem di sejumlah universitas Eropa di mana mahasiswa PhD bisa datang langsung dengan rencana disertasi tanpa melalui kuliah kelas yang panjang.
Mendaftar sebagai mahasiswa PhD di Amerika bukan perkara mudah. Kompetisinya sangat ketat, terutama untuk masuk ke universitas utama yang disebut dengan Ivy League seperti Harvard. Keunggulan mendaftar ke propgram PhD di universitas besar dan kaya di Amerika adalah bahwa begitu anda masuk, kemungkinan besar seluruh biaya kuliah dan kebutuhan hidup bulanan (disebut dengan “stipend“) ditanggung penuh oleh pihak universitas. Ini tidak terjadi pada universitas kecil yang tak mempunyai dana besar. Hanya saja, jika anda ingin masuk ke universitas besar tentu anda harus menghadapi persaingan yang ketat sekali.
Sistem pendaftaran untuk program PhD di sini agak unik. Di sini, faktor “hubungan” dengan professor memainkan peran yang sangat penting. Anda akan sulit diterima sebagai mahasiswa doktoral jika tak ada seorang profesor yang mengenal dengan baik kemampuan akademis anda. Ini bukan berarti unsur “nepotisme” berlaku di sini. Faktor kenalan ini sangat ditekankan karena pihak universitas tidak hendak menerima mahasiswa yang tidak mereka ketahui benar kemampuannya. Dokumen tertulis dan hasil nilai ujian dalam ijazah tidak sepenuhnya mereka percayai.
Faktor berikutnya yang sangat penting juga rekomendasi. Surat rekomendasi dari seorang professor yang mengenal secara baik kemampuan akademis seorang pendaftar sangat menentukan. Umumnya, universitas membutuhkan empat rekomendasi. Dua dari profesor yang pernah mengajar anda secara langsung. Dua lagi profesor yang mengenal kehidupan non-akademik anda dalam masyarakat. Tidak seperti di Indonesia, di sini seorang profesor tidak bisa dengan mudah memberikan rekomendasi kepada seseorang yang tidak mereka kenal dengan baik. Sebab, saat menulis rekomendasi, mereka mempertanggungjawabkan reputasi mereka sebagai seorang profesor. Oleh karena itu, membangun hubungan yang baik dan berdiskusi dengan profesor tertentu sangat penting bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke tingkat doktoral.
Aspek lain yang juga sangat penting adalah menyangkut statemen pribadi. Setiap anda mendaftar ke program paskasarjana di sini, anda akan diharuskan menuliskan apa yang disebut sebagai “statement of purpose” yang berisi, kira-kira, rencana apa yang anda akan lakukan jika sudah diterima. Dalam statemen itu, anda diminta untuk menuliskan rencana disertasi, temanya, dan kenapa tema itu dipilih. Dalam statemen itu, aspek yang paling menentukan adalah bagaimana anda merumuskan pertanyaan dengan benar untuk suatu masalah yang akan anda tulis. Anda hanya mempunyai ruang yang sempit sekali. Sebab statemen itu kira-kira hanya sepanjang 900 kata. Dalam tulisan sependek itu anda diharuskan untuk merumuskan masalah dengan tepat dan baik, sehingga profesor yang duduk di komite penerimaan mahasiswa baru yakin betul bahwa anda layak diterima. Saya sendiri membutuhkan waktu tak kurang dari dua bulan hanya untuk menyiapkan esei pendek itu. Sebab, esei inilah yang dipakai oleh pihak komite untuk menilai siapa anda sebetulnya.
Tentu syarat-syarat administratif juga sangat penting. Anda harus mempunyai skor TOEFL minimal 600, atau jika memakai tes TOEFL yang sudah memakai sistem on-line sekarang (dikenal dengan iBT, “internet Based Test“), anda harus mencapai skor antara 100-110. Saat ini, tes TOEFL mencakup aspek kecakapan berbicara, jadi agak sedikit susah dibanding dengan tes sebelumnya. Skor TOEFL ini sangat mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar.
Selain itu, anda juga harus melalui tes GRE atau tes kemampuan akademik secara umum. Kebanyakan universitas Amerika menuntut skor GRE (Graduate Record Examination) antara 600-700 untuk semua aspek: kuantitaif, verbal, dan kemampuan analisis. Umumnya skor anak-anak Indonesia yang datang dari latar belakang humaniora sangat jauh di bawah standar itu. Tetapi ini tak usah membuat kita khawatir. Beberapa departemen di universitas Amerika tidak terlalu ambil pusing dengan skor yang anda peroleh. Mereka tahu, skor GRE yang rendah tidak langsung berarti bahwa mahasiswa bersangkutan tidak mempunyai kemampuan akademik yang memadai. Yang penting anda mengikuti tes GRE untuk memenuhi syarat administrasi. Meskipun demikian, ada beberapa universitas yang menerapkan syarat yang ketat untuk skor GRE, seperti Duke University, tempat Prof. Bruce Lawrence mengajar (Prof. Lawrence pasti dikenal oleh publik Jakarta, sebab beberapa waktu lalu pernah berkunjung ke Jakarta dan memberikan cermah di sejumlah tempat).
Taktik mendaftar di perguruan tinggi di Amerika juga penting dikuasai. Karena kompetisi untuk masuk universitas sangat tinggi di sini, anda harus mendaftar sekurang-kurangnya di lima universitas. Kalau tak diterima di universitas yang satu anda masih punya harapan lain. Anda bisa membuat ranking sendiri, dimulai dari universitas yang paling top hingga ke yang menengah. Tetapi di antara kelima universitas itu, anda harus mempunyai satu universitas yang anda berharap besar bisa diterima, entah karena mempunyai hubungan yang baik dengan seorang profesor di universitas itu atau karena faktor lain. Saya, misalnya, kemaren mendaftar di lima departemen di empat universitas. Saya mendaftar di dua departemen di Universitas Harvard, dan masing-masing satu departemen di Universitas Princeton, Universitas Chicago dan Universitas Boston. Saya tetap mendaftar di Universitas Boston, meskipun ranking-nya di bawah tiga universitas yang lain, sebab saya kenal banyak profesor di sana dan dengan itu saya berharap besar saya bisa diterima.
Sebagaimana kata teman saya Rizal Mallarangeng, universitas terbaik di dunia saat ini umumnya ada di Amerika Serikat. Oleh karena itu, jika anda ingin mendapatkan pendidikan terbaik dalam segala bidang, sudah selayaknya anda mendaftar di Amerika. Yang sangat khas pada universitas Amerika adalah kedermawanan universitas Amerika dalam memberikan beasiswa. Dalam aspek ini, saya kira, universitas Amerika tak ada tandingannya di manapun. Ini dimungkinkan karena universitas Amerika umumnya kaya dan memiliki dana besar. Sebagai gambaran, Universitas Harvard memiliki dana wakaf atau “endowment” kira-kira 26 milyar dollar. Jumlah itu nyaris sama dengan cadangan devisa Indonesia sebagai sebuah negara. Oleh karena itu, tak heran jika sebagian besar mahasiswa PhD yang diterima di Harvard akan ditanggung seluruh pembiayaannya oleh universitas.
Selama ini, ada kesalahpahaman tentang seluk-beluk beasiswa untuk sekolah di Amerika. Umumnya orang mengira bahwa biaya untuk sekolah di Amerika hanya bisa diperoleh melalui Fulbright. Untuk sebagian memang benar. Fulbright adalah dana beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Amerika untuk para mahasiswa luar negeri yang ingin sekolah di negeri Paman Sam itu. Tetapi jarang yang tahu bahwa masing-masing kampus juga memberikan beasiswa dalam jumlah yang tak kalah besar dengan yang diberikan oleh pihak Fulbright. Ribuan beasiswa berkeliaran di Amerika. Yang dibutuhkan adalah ketekunan anda untuk “memancing” beasiswa itu dengan cara tekun mencari informasi sebanyak-banyaknya.
Dan…yang sangat penting anda lakukan adalah rajin berhubungan dengan profesor di Amerika. Tidak seperti profesor di Indonesia yang suka “jaim” atau “jaga imej”, profesor di Amerika sangat senang membalas email, walaupun mereka ini sudah profesor besar. Pengalaman yang dialami oleh teman saya Sukidi, kader Muhammadiyah yang sangat cerdas itu dan sudah masuk ke Harvard setahun lebih dulu daripada saya, sangat mengesankan. Saat dia hendak mendaftar ke Harvard Divinity School (HDS) tiga tahun yang lalu, dia mengirim email ke Prof. William Graham, seorang profesor ahli kajian Islam yang cukup terpandang di Harvard dan sekaligus Dekan HDS. Sukidi berkirim email untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginannya untuk mendaftar ke Harvard. Prof. Graham menjawab dengan simpatik, dan bahkan bersedia ikut mengoreksi “statement of purpose” yang telah disiapkan oleh Sukidi. Padahal Sukidi bukanlah seseorang yang dikenal oleh Prof. Graham. Apakah mungkin hal seperti ini terjadi pada profesor di Indonesia?
Tradisi akademis di Amerika memang beda dengan di negeri kita. Di sini, jika ada seorang mahasiswa yang cemerlang, pihak profesorlah yang aktif ingin menarik yang bersangkutan untuk menjadi mahasiswa dia. Di Indonesia yang terjadi kadang-kadang aneh: jika ada mahasiswa yang menonjol dan cemerlang, si dosen malah merasa tersaingi. Karena itu, kalau anda merasa diri anda mempunyai kecapakan akademis yang memadai dan mempunyai keunggulan di bidang tertentu, tulislah email ke profesor-profesor di Amerika, perkenalkan diri, dan bangunlah hubungan yang baik. Itulah modal awal untuk sekolah di Amerika. Saat ini, dengan adanya internet, anda akan dengan mudah mencari informasi seluruh universitas di Amerika. Setiap universitas akan menampilkan seluruh profesor yang mengajar di masing-masing departemen, lengkap dengan latar-belakangnya, keahliannya, dan emailnya, sehingga siapa saja bisa mengubungi.
Sekarang ini, nyaris tidak ada yang tidak bisa sekolah pada tingkat doktoral di luar negeri, asal anda berusaha dengan sungguh-sungguh. Soal dana bukanlah masalah besar, sebab sebagian besar universitas di Amerika meneyediakan dana untuk itu. Memang keuntungan seperti ini hanya untuk mahasiswa PhD. Untuk level magister, memang lain keadannya.
Sekian, semoga informasi ini bermanfaat.Boston, 25 Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar