Rabu, 23 Maret 2011

objek pajak dan pemeriksaan pajak

makalah objek pajak dan pemeriksaan pajak 2

BAB II
OBJEK PAJAK

1.Pengertian objek pajak
Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa-apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak dalam perpajakan, baik hukum maupun akuntansi, sehingga dalam UU perpajakan Indonesia dengan tegas menyatakan apa yang menjadi objek pajak setiap jenis pajak. Untuk itu, sebagai contoh, pasal 4 Ayat (1) dan ayat (2) undang-undang pajak pengahasilan telah memberikan penegasan mengenai objek pajak penghasilan.1
Dalam website pemerintah pengurus dan pengelola pajak negara dinyatakan bahwa “Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. ”2
Secara umum, sedikit sekali pengarang buku-buku perpajakan menyebutkan dalam bukunya tentang definisi objek pajak. Erly Suandy menyebutkan secara ringkas definisi objek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak.3 Dan sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, dalam pasal 4 Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang PPh, disebutkan tentang definisi obyek pajak penghasilan sebagaimana definisi objek pajak yang telah disebutkan oleh pemerintah pengurus pajak dalam websitenya, http://pajak.go.id.
Meskipun segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan objek yang dapat dikenakan pajak (tatsbestand), namun dalam menentukan objek tersebut (fiscus) harus jeli dan teliti, jangan sampai menimbulkan kerugian bagi wajib pajak karena suatu objek seharusnya tidak dapat dikekanakan pajak, justru berubah menjadi objek yang dapat dikenakan pajak.
Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib pajak dapat dikatagoriakan atas 4 (empat) sumber:4
1.Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
2.Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3.Penghasilan dari modal
4.Penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya.5
2.Perluasan Objek Pajak
Pada dasarnya obyek pajak yang ditentukan oleh pemerintah tidaklah banyak macam ataupun jenisnya, tetapi perkembangan teknologi dan sistem keuangan menjadikan obyek pajak tersebut harus mengalami perluasan. Perluasan yang terjadi ini, dalam arti perluasan cakupan, diatur dalam peraturan perundangan yang berkaitan dengan perpajakan.
Sebagai contoh, Undang-undang No 11 Tahun 1994 maupun Undang-undang No 18 Tahun 2000, perluasan objek pajak diatur dalam pasal 4 UU PPN tahun 1984 dan mengalami perluasan yang dilakuan dengan UU No 11 tahun 1994. Pada dasarnya perluasan obyek pajak tersebut memiliki dua sifat:6
a.Bersifat Kondifikasi
Berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanan dalam banyak surat edaran Direktur Jndral Pajak yang acapkali mengatur permasalahan yang tidak pernah ditemukan dalam UU, sevara konsolidatif di masikan dalam UU No 8 1983;
1)Objek pajak berasal dari Peraturan Pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) UU No 8 Thn 83’ pra revisi, yaitu:
a)PP No 22 Thn 1985 (jenis jasa yang atas penyerahannya terutang pajak )sejak Tgl 1 Aprl 1985 ( jasa pemborong banguna atuat barang tak bergerak)
b)PP No 28 Thn 1988 ( diperluas) sejak Tgl 1 April 1989 atas;
c)PP No 75 Thn 7991 yang memperluas objekl pajak pertambahan nilai atas penyerahaan barang kena pajak yang dilakukan didaerah Pabean dalam lingkuyangan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran besar terhitung 1 Aprl 1992.7
2)Perluasan pennyerahan barang kena pajak yang tidak pernah disebut dalam UU, semuala diatur hanya dalam petunjuk pelaksanaan yang dituangkan dalam beberapa surat edaran :
a)Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No: SE-28/Pj.3/1985 tgl 2 aprl 1985 (SERI PPN-41) menegaskan bahwa penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan kena pajak.8
b)Penyerahaan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang dan antar cabang yang tidak memperoleh persetujuan Direktur Jendral Pajak untuk melakuakn pemusatan tempat pajak terutang, merupakan penyerahan kena pajak.
b.Bersifat Perluasan Objek
Dalam perjalanan sejarah UU PP 1984 sejak ditetapkan mulai berlaku 1 Apr 1985 oleh peraturan pemerintah No 1 Thn 1985 hingga perubahan terakhir yang berlaku mulai 1 Jan 2001 yang dilakukan dengan UU No 18 Thn 2000, Objek pajak pertambahan nilai telah mengalami beberapa kali perluasaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) yang lama PPN dapat diberlakukan hingga penyerahan barang kena pajak yang dilakukan dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran dan semua penyerahaan jasa kena pajak.
3.Macam-macam obyek pajak.
Banyak sekali yang dapat dimasukkan dalam kategori ini obyek pajak yang dalam bahasa jerman disebut dengan tatbestand. Dalam masyarakat terdapat banyak hal yang dapat dikenakan pajak. Pengenaan ini dapat dikarenakan keadaan, perbuatan maupun peristiwa.9 Misalnya :
Keadaan : kekayaan seseorang pada waktu tertentu atau kepemilikan atas suatu benda;
Perbuatan ; melakukan suatu transaksi, mendirikan bangunan, menerima penghasilan, dan bepergian keluar negeri;
Peristiwa : kematian, keuntungan yang diterima secara mendadak, dan segala sesuatu yang diluar kehendak seseorang atau manusia.
Selain itu, obyek pajak dapat dibedakan juga dalam kategori obyek pajak langsung dan obyek pajak tidak langsung.10 Pada pajak tak langsung, besarnya pajak yang dikenakan tidak terpengaruhi oleh keadaan wajib pajak, tetapi obyeknya saja yang menentukan. Contohnya seperti pengenaan PPN dan bea cukai. Sebaliknya, pajak langsung pengenaannya masih tergantung pada keadaan wajib pajak. Contohnya pada pajak penghasilan, dalam perhitungannya terdapat penghasilan yang tidak kena pajak, yang mana dalam penghasilan pajak ini, keadaan wajib pajak mempengaruhi besarnya penghasilan tidak kena pajak. Menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan lain sebagainya inilah yang mempengaruhi besar penghasilan tidak kena pajak tersebut.
Membahas sedikit tentang pajak penghasilan, dalam hal ketentuan pemerintah tentang penghasilan tidak kena pajak, kami merasa ada ketidakadilan di dalamnya. Mengapa? Apabila kita kaji lagi, dasar pengenaan penghasilan tidak kena pajak atau yang biasa disebut dengan PTKP tidaklah sesuai dengan iklim sosiologis negara kita, terutama apabila dikaitkan dengan ketentuan Islam sebagai dasarnya.
PTKP yaitu batasan penghasilan dari orang pribadi dalam satu tahun yang tidak dikenakan pajak.11 Dalam ketentuan Undang-undang no. 36 tahun 2008, yang diberlakukan sejak januari 2009, pada pasal 7 ayat (1) ditentukan bahwa : PTKP untuk wajib pajak peibadi dalam satu tahun adalah Rp 15.840.000,00, dan terdapat tambahan sebesar Rp 1.320.000,00 untuk wajib pajak kawin, dan tambahan sebesar Rp 1.320.000,00. Dan untuk mudahnya, kami berikan gambaran contoh penghitungan PTKP sebagai berikut.
Uraian
PTKP
Tidak kawin (TK)
15.840.000
Kawin (K)
17.160.000
Kawin 1 anak (K/1)
18.480.000
Kawin 2 anak (K/2)
18.800.000
Kawin 3 anak(K/3)
21.120.000

Dari tabel diatas, bila dihitung secara matematik, maka setiap bulannya seorang suami ataupun seorang individu yang tidak menikah akan mendapat PTKP sebesar Rp 1.320.000,00 dan jumlah tersebut merupakan besar tunjangan istri selama setahun, yang apabila dihitung lagi, maka seorang istri hanya mendapat tunjangan sebesar Rp 110.000,00. Tentunya dapat kita pahami dalam logika kita bahwa dalam mekanisme perpajakan terdapat diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak.
Berkenaan dengan adanya sistem poligami dalam islam, dalam mekanisme PTKP istri kedua dan ketiga tidaklah masuk dalam hitungan. Bahkan apabila jumlah anak atau tanggungan sedarah kebawah ini berjumlah lebih dari 3 orang. Hal ini didasarkan pada ketentuan pemerintah yang berkenaan dengan PNS atau pegawai negeri.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana apabila orang tua yang menjadi tanggungan? Hal ini diijinkan dengan ketentuan bahwa orang tua tersebut telah dinyatakan tidak berpenghasilan dan tidak bekerja, dan jumlah tanggungan tersebut hanyalah sebesar 1% saja. Dan ketentuan 1% ini dapat diberlakukan pada tanggungan yang tidak mendapat tunjangan, baik pada garis keatas, maupun kebawah.
Bagaimana apabila ada saudara kita yang ada dalam tanggungan seorang wajib pajak, sebagaimana dalam masyarakat kita apabila orang tua telah tiada maka perwalian dan pertanggungannya akan jatuh pada saudara yang lebih tua atau saudara yang telah berpenghasilan. Garis keturunan kesamping ini sejauh ini tidak diakui dalam pembahasan tentang pajak penghasilan, khususnya berkaitan dengan PTKP. Dan hal ini belum dibahas dalam ketentuan perpajakan manapun di negara kita.
1.Objek pajak yang pernah berlaku di Indonesia
Berikut ini terdapat macam-macam obyek pajak yang lain, selain atas dasar alasan pengenaan dan keadaan subyek pajak, yang pernah berlaku di Indonesia.
1.1Obyek pajak penghasilan12
Pendapatan dapat dijadikan obyek pajak pendapatan (ordonansi PPd 1944, Stb. 1944 no. 17). Dalam peraturan atau ordonansi tersebut terdapat definisi pendapatan yang dinyatakan bahwa pendapatan adalah gunggungan jumlah uang atau nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari ;
a.Usaha dan tenaga,
b.Barang tak gerak,
c.Harta gerak,
d.Hak atas bayaran berkala.
1.2Obyek pajak perseroan13
Dalam pasal 1 dan 3 Ordonansi 1925 no. 319, ditentukan : “Dengan nama pajak perseroan dipungut pajak :
1.Dari laba yang diperoleh perseroan terbatas, perseroan komanditer,... dst. ... yang modal seluruhnya atau sebagian terbagi atas saham-saham perusahaan negara dalam bentuk apapun, perkumpulan koperasi, perkumpulan gotong royong asuransi, maatschap, firma, kongsi dan sebagainya yang berkedudukan di Indonesia.
2.Dan laba yang diperoleh perkumpulan yang modalnya tidak terbagi dalam saham-saham yang berkedudukan di Indonesia, lain dari pada perusahaan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum,
3.Dari laba yang diperoleh badan, yang berkedudukan di Indonesia oleh suatu pendirian yang tetap. Yang berkedudukan di Indonesia... dst.”
Selanjutnya pasal 3 PPPs 1925 menentukan : “dengan laba dimaksudkan jumlah keuntungan yang diperoleh bersih, dengan nama dan bentuk apapun, dari perusahaan dan dari modal yang dipergunakan di luar perusahaan.”
1.3Obyek pajak penghasilan14
Yang dijadikan obyek pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan, baik yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di Indonesia, maupun yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri. Selanjutnya, penghasilan diuraikan lagi dalam pasal 4 UU PPh atau UU no 17 tahun 2000, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Objek pajak penghasilan yang diperoleh bentuk usaha tetap (BUT), diatur dalam pasal 2 dan 3c dalam UU PPh 1984, digolongkan sebagai subjek pajak dalam negeri, berlainan dengan kebiasaan internasional. Dan pada UU PPh no 17 tahun 2000, BUT tergolong sebagai subjek pajak luar negeri.15
Pada pasal 5 ayat (1) PPh 1984, khusus yang mengatur BUT sebagai wajib pajak dalam negeri, menyatakan bahwa yang dikenakan pajak penghasilan adalah :
a.Penghasilan dari kegiatan usaha BUT tersebut (dimana saja diperoleh), dan juga penghasilan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya (tidak pandang dimana letaknya)16;
b.Penghasilan induk atau badan lain yang bukan wajib pajak dalam negeri, yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh BUT di Indonesia, kecuali penghasilan yang disebut dalam pasal 2.17
Selanjutnya, pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu penghasilan yang didapat pleh induk BUT atau oleh badan lain (yang bukan wajib pajak PPh dalam negeri) yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk BUT tersebut, yang berupa deviden, bunga royalty dan sebagainya, yang sudah dikenakan pajak penghasilan di Indonesia berdasarkan pasal 26 UU PPh, yang tidak ada hubungannya dengan BUT di Indonesia, tidak dianggap sebagai penghasilan dari BUT tersebut. Akan tetapi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk tidak pula boleh dikurangkan sebagai beban BUT, dan juga pajak yang telah dibayar oleh induk (berdasarkan pasal 26 UU PPh) tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang menjadi beban BUT.
1.4Objek pajak kekayaan18
Pajak ini dikenakan berdasarkan Stb. 1932 no. 405, dan peraturan ini tidak diberlakukan lagi mulai 1 januari 1986.
1.5Objek pajak penjualan19
Pajak ini termasuk dalam jenis pajak tidak langsung. Dasar pengenaan pajak ini adalah undang-undang no. 19 tahun 1951, yang sudah ditiadakan dan tidak diberlakukan lagi.
1.6Objek pajak pertambahan nilai20
Objek pajak ini diatur dalam Undang-undang PPn no 8 tahun 1983, yang telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu dengan UU no 11 tahun 1994 dan kemudian dengan UU no. 18 tahun 2000.
1.7Objek pajak rumah tangga21
Pemberlakuan pajak terhadap objek pajak ini didasarkan pada ketentuan dalam Stb. No 13 tahun 1908 yang diperbarui dengan LN no 112 tahun 1959. Dan kemudian tidak diberlakukan lagi sejak 1 Januari 1986.
1.8Objek pajak kendaraan bermotor 22
Objek pajak ini berlaku dengan berdasar kepada Stb no 718 tahun 1934. Dan pada PP no. 3 tahun 1957, pajak ini digolongkan ke dalam pajak-pajak yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat 1.
1.9Objek bea balik nama kendaraan bermotor23
Objek yang menjadi sasaran bea balik nama kendaraan bermotor sesuai yang ditentukan dalam pasal 1 Perpu no. 27 tahun 1959, adalah: penyerah kendaraan bermotor dalam hak milik yang dilakukan di Indonesia. Dalam hal penyerahan hak milik ini, tidak dijelaskan tentang bagaimana proses penyerahan tersebut, baik melalui jual beli, hibah, dan sebagainya. Selanjutnya diberikan kepastian melalui fiksi, bahwa penguasaan kendaraan bermotor oleh yang bukan miliknya selama 12 bulan, dianggap sebagai penyerahan hak milik, kecuali jika penyerahan hak milik itu akibat dari sewa-menyewa maupun jabatan (pemegang kendaraan bermotor milik pemerintah).
1.10Objek pajak anjing dan objek pajak sepeda24
Mengenai objek pajak ini diatur dalam Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 24 tahun 1959 dan Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 6 tahun 1958.
Dalam ketentuan ini tidak dijelaskan secara detail tentang apa yang dimaksud “anjing” sebagai objek pajak. Demikian juga tentang sepeda. Setiap orang tentu mengetahui apa itu sepeda, yang merupakan alat angkut baik beroda dua maupun beroda tiga. Sehingga aturan ini tidak diberlakukan lagi di Indonesia maupun di Jakarta sendiri.
1.11Objek pajak jalan25
Objek pajak jalan ini diberlakukan berkenaan dengan jalan dan letaknya terhadap jalan umum maupun taman yang ada di jakarta. Hal ini terkait dengan pemeliharaan kota. Pengaturannya terdapat dalam Lembaran Kotapraja jakarta Raya no. 25 tahun 1959 yang tidak diberlakukan lagi sejak 1 januari 1986.

2.Macam-macam objek pajak berdasarkan kedudukan wajib pajak
Selanjutnya, Rochmat Sumitro dan Dewi Kania menggolongkan objek pajak dalam 3 golongan, yaitu : objek pajak wajib pajak dalam negeri, objek pajak wajib pajak luar negeri, dan objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak.26
2.1Objek pajak wajib pajak dalam negeri
Ada beberapa jenis pajak yang memiliki wajib pajak dalam negeri, diantaranya adalah PPn, Pajak Penjualan, Pajak kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Hal ini wajar karena objeknya harus berada di dalam negeri atau di Indonesia. Tetapi objek pajak wajib pajak dalam negeri, dikenakan pada objek pajak yang entah ada di dalam ataupun luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak di dalam negeri.
Pajak ini dikenakan oleh negara tempat wajib pajak itu berdomisili. Ini yang disebut dengan asas domisili. Asas ini merupakan asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan labih berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri yang berasal dari sumber mana saja sumber itu berada, baik sumber itu berada di dalam negeri ataupun di luar negeri. Inilah yang menyebabkan adanya azas world wide income.
2.2Objek pajak wajib pajak luar negeri
Orang atau badan yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila orang atau badan itu memperoleh penghasilan dari objek pajak yang ada di dalam negeri. Memang kurang beralasan apabila orang atau badan yang berada di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia apabila ia tidak memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Hubungan ekonomis dengan Indonesia itu ada jika ia mempunyai objek pajak yang ada di bumi Indonesia, yaitu memiliki sumber penghasilan yang ada di Indonesia, atau memiliki kekayaan berupa benda tak gerak di Indonesia. Penghasilan (objek) orang atau badan luar negeri yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang ada di Indonesia, pasti dikenakan pajak penghasilan baik secara langsung atau tidak langsung.
Penghasilan berupa laba dari perusahaan yang dilakukan di Indonesia oleh orang yang bertempat tinggal di luar negeri dikenakan kepada badan yang disebut BUT, yang dalam UU PPh dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri walaupun wajib pajak yang menerima berada di luar negeri. Kalau sumbernya harta tak gerak terletak di Indonesia, maka pajak penghasilannya dikenakan pada wakilnya atau orang yang mengurus harta tak gerak itu dengan jalan Surat Keterangan Pajak (SKP), sebab wajib pajak itu tidak berkewajiban memasukkan SPT sehingga ia tidak dapat memasukkan sendiri pajak terutangnya.
Jika sumbernya sumbernya berupa saham, obligasi atau piutang, maka deviden atau bunga yang diterima oleh orang luar negeri itu dikenakan pajak pada sumbernya dengan jalan withholding (pemotongan pajak) yang dilakukan oleh orang atau badan yang membayar hasil tersebut. Orang atau badan yang membayar hasil itu diwajibkan memotong pajak penghasilan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 26 UU PPh 1984. Bagi wajib pajak luar negeri berlaku azas sumber atau source principal, yaitu bahwa hanya hasil yang keluar dari sumber yang ada di Indonesia dikenakan pajak di Indonesia, di negara tempat sumber itu berada.
2.3Objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak
Traktat pajak atau yang lazimnya disebut perjanjian pajak ganda antara dua negara atau lebih, dengan maksud mencegah pajak ganda. Maksudnya adalah untuk mencegah, menghindarkan, atau menghapuskan pajak ganda yang terjadi karena seseorang atau badan melakukan usaha di negara lain, di luar negara tempat tinggalnya atau tempat kedudukannya. Tujuan dicegahnya pajak berganda tiada lain adalah untuk meghapuskan hambatan (straint) atas lalu lintas modal, teknologi, jasa managerial skill, dan sophisticated instrument.
Objek pajak yang sering dijadikan masalah dalam traktat pajak antara lain adalah :
a.Fiscal domicile (tempat tinggal) wajib pajak,
b.Bussiness income (penghasilan perusahaan),
c.Penghasilan dari harta tak gerak,
d.Penghasilan berupa bunga, deviden, dan royalty,
e.Penghasilan dari permanent Establishment,
f.Penghasilan dari personal services, direktur, dan sebagainya,
g.Penghasilan para mahasiswa,
h.Penghasilan para olahragawan,
i.Dan lain sebagainya.
Untuk pembahasan lebih lengkap mengenai pajak yang berkaitan dengan hukum internasional ini akan dibahas pada pembahasan yang berkaitan dengan hukum pajak internasional atau yang berkaitan dengan pajak berganda internasional. Atau dapat dibaca di buku Hukum Pajak Internasional Indonesia karya Rochmat Soemitro, yang diterbitkan oleh PT. Refika Aditama, Bandung.
Dalam Pasal 1 huruf c dab huruf b lama UU PPN 1984 sebelum 1 januari 1995, pengertian barang kena pajak di rumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengelolahan barang (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”27
Sedangkan dalam pasal 1 angka 3 dan angka 2 UU PPN tahun 1984 pengertian barang kena pajak dirumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau berang tidak bergerak maupun barang berwujud atau tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”.28
Pengertian yang luas tentang barang kena pajak tersebut masih dibatasi oleh pasal 4A UU PPN 1984 yang menentukan bahwa dengan peraturan pemerintah akan ditetapkan jenis-jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Berdasarkan UU PPN 1984. Dengan demikian maka sejak 1 januari 1995, pada prinsipnya semua barang dikenakan PPN kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya sebagaimana ditegaskan dalam memori penjelasan pasal 1 Huruf c.29
Secara umum pemerintah Indonesia menetapkan objek pajak mencakup hal-hal berikut ini :
1. imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, seperti : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2.hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.laba usaha.
4.keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, seperti:
5.keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
6.keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
7.keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
8.keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
9.penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
10.bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
11.dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
12.royalti.
13.sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
14.penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
15.keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
16.keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
17.selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
18.premi asuransi.
19.iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
20.tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Hal ini dilihat dari sumber mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak.30
Selain menentukan apa-apa yang menjadi objek pajak, pemerintah juga menentukan pengecualian-pengecualian atau apa-apa yang tidak termasuk dalam objek pajak31, yaitu sebagai berikut :
1.Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2.Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.Warisan.
4.Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
5.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah.
6.Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
7.Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b.bagi perseroan terbatas, BUMN/ BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
8.Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
9.Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
10.Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
11.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal. pendirian atau tanggal kontrak
12.Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a.merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
b.sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Dalam hal perpajakan, pengertian dividen termasuk pula:32
1.pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2.pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3.pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4.pembagian laba dalam bentuk saham;
5.pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6.jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang  bersangkutan;
7.pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8.pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda -tanda laba tersebut;
9.bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10.bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11.pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12.pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Selanjutnya, royalty juga sering disebut dalam suatu usaha dan merupakan salah satu objek pajak. Pengertian royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1.hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2.hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya
3.informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.




3.Macam-macam objek pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia saat ini.
Setelah membahas tentang beberapa macam objek pajak yang ada di Indonesia dan apa saja yang termasuk objek pajak dan tidak termasuk objek pajak secara umum, berikut ini kami akan memberikan paparan tentang macam-macam pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.
3.1Objek pajak penghasilan
Objek PPh adalah penghasilan. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah Pengertian pengahasilan Menurut UU PPh adalah”Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menanmbahkan kekayaan Wajib pajak yang bersangkuta, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”,maka undang-undang PPh m,engatur lebih rinci pembagian objek pajak yang diatur dalam pasal-pasal yang menyebutkan lebih popular dengan menyebutkan menurut pasal yang menegaturnya, yaitu sebagai berikut:33
PPh Pasal 21
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.34
a)Pemotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
b. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
c. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT ASABRI.
d. Perusahaan dan bentuk usaha tetap.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f. Penyelenggara kegiatan.

b)Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.35
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris).
g. Peserta Kegiatan.

c)Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
- bukan warga negara Indonesia dan
- di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.36
d)Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji,uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;37
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari :38
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai;
14. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.39
e)Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
e. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/200840

PPh pasal 22
Pasal 22 undang-undang PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahaan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan atau usaha lainnya.
Objek PPh pasal 22adalah:41
Penyerahan barang atau jasa kepada instutusi pemerintahaan.
Kegiatan impor kedalam daerah pabean.
Sedangkan Yang bukan Objek pajak PPH pasal 22 adalah:
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain:
i.Barang perwakilan Negara asing beserta para penjabat yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbale balik;
ii.Barang untuk keperluan badan internasional beserta penjabat yang bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai dubjek pajak penghasilan berdasarkan keputusan mentri keuangan.
iii.Buku ilmu pengetahuan;
iv.Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social, atau kebudayaan.
v.Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lainnya semacam itu yang terbuka untuk umum.
vi.Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
vii.Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya.42
PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.43
Objek pajak PPh pasal 23 adalah :
1. Dividen
2. Bunga
3. royalti
4. sewa selain sewa tanah/bangunan44
5. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21, antara lain:45
a. jasa konsultan
b. Jasa penilai (appraisal);
c. Jasa aktuaris;
d. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
e. Jasa perancang (design)
f. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
g. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
h. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas
i. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;46
j. Jasa penebangan hutan
k. Jasa pengolahan limbah
l. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
m. Jasa perantara dan/atau keagenan;
n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
o. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;
p. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara dan Jasa mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
s. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;47
t. Jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;48
u. Jasa penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa pembasmian hama;
z. Jasa kebersihan atau cleaning service dan Jasa catering atau tata boga.
Sedangkan yang bukan termasuk Objek PPh pasal 23 adalah:49
i.Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
ii.Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
iii.Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai pajak dalam negri, koprasi, yayasan atau orhasisasi yang sejeni, badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
iv.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.
v.Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
vi.Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koripsi kepada anggotanya.
vii.Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah sebesar Rp.240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.50
PPh Pasal 26
Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23 hanya saja dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan tersebut adalah wajib pajak luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima pengahasilan adalah wajib pajak dalam negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh pasal 26 adal bersifat final(tidak dapat dikreditkan) sedangkan pemotongan Dalam PPh pasal 23 sifatnya tidak Final. (dapat dikreditkan).51
3.2Pajak pertambahan nilai
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau import barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak dan dapat dikenakan berkali-kali setiap pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Mengenai pajak ini diatur dalam undang-undang no. 8 tahun 1983 dan telah mengalami bebepara perubahan, dan perubahan terakhirnya adalah undang-undang no 42 tahun 2009, tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Objek PPn diatur dalam pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D UU PPn, sebagai berikut :52
1.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
2.Import barang kena pajak.
3.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
4.Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5.Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6.Eksport barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
7.Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh orang lain.
8.Penyerahan aset oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPn yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan yang dikreditkan.
Barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPn, adalah sebagai berikut :53
Barang yang tidak dikenakan PPn :
1.Barang hasil pertambangan atau pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti ;
a.Minyak mentah (crude oil),
b.Gas bumi,
c.Panas bumi,
d.Pasir dan kerikil,
e.Batu bara sebelum dproses menjadi briket batu bara,
f.Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak derta bijih bauksit.
2.Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, seperti :
a.Beras,
b.Gabah,
c.Jagung,
d.Sagu,
e.Kedelai, dan
f.Garam, baik yang beryodium ataupun yang tidak beryodium.
3.Makanan yang disajikan di hotel, restauran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
4.Uang, emas batangan dan surat-surat berharga.
Jasa yang tidak dikenakan PPn :
1.Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
2.Jasa di bidang pelayanan sosial,
3.Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko,
4.Jasa di bidang perbankan, asuransi, sewa guna usaha dengan hak opsi,
5.Jasa di bidang keagamaan,
6.Jasa di bidang pendidikan,
7.Jasa di bidang Kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan,
8.Jasa di bidang penyiaran yang bukan iklan,
9.Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air,
10.Jasa di bidang tenaga kerja,
11.Jasa di bidang perhotelan,
12.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
3.3Pajak penjualan atas barang mewah
Pajak ini dikenal dengan nama PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan atau import barang-barang berwujud yang tergolong mewah. Pajak ini hanya dikenakan sekali pada sumbernya yaitu pada pabrik atau saat import dan tidak dapat dikreditkan. Dan pajak ini dikenakan bersamaan dengan pajak pertambahan nilai, dan keduanya diatur dalam undang-undang no. 42 tahun 2009.
3.4Pajak bumi dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Dan keadaan subjeknya tidak mempengaruhi. Sumber hukum pengenaan PBB adalah undang-undang no. 12 tahun 1985 yang diubah dengan undang-undang no 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).54
Objek pajak ini adalah:55
Bumi : permukaan bumi (tanah/perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan : konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Berikut ini adalah objek PBB yang dikecualikan56, yaitu ;
1.Objek yang semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang sosial, ibadah, pendidikan dan kebudayaan nasional dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
2.Digunakan untuk kuburan atau tempat purbakala.
3.Merupakan hutan lindung, suaka marga satwa, taman nasional dan lain-lain.
4.Dimiliki oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan organisasi Internasional yang ditentukn oleh menteri keuangan.
3.5Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan orang pribadi atau badan. Hak atas tanah ini diatur dalam undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Dan kemudian mengalami perubahan pada undang-undang no 21 tahun 1997 yang kemudian diubah lagi dengan undang-undang no 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ).57
Objek pajak dari pajak ini adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi58 :
1.Pemindahan hak karena :
a.Jual beli,
b.Tukar-menukar,
c.Hibah,
d.Hibah wasiat,
e.Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
f.Penyerahan hak yang berakibat pada peralihan,
g.Penunjukan pembeli dalam lelang,
h.Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap,
i.Hadiah
2.Pemberian hak baru karena :
a.Kelanjutan pelepasan hak,
b.Di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah meliputi : hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah59 :
1.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik,
2.Negara untuk penyelanggaraan pemerintahan dan/atau untuk melaksanakan pembangunan guna kepentingan umum,
3.Orang atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri,
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum yang lain dengan tidak adanya perubahan nama,
5.Karena wakaf,
6.Karena warisan,
7.Untuk digunakan guna kepentingan ibadah.
3.6Bea materai
Objek pajak dari pajak ini adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengendung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan Bea Materai bukanlah pada perbuatan hukumnya melainkan pada ada atau tidaknya dokumen yang dibuat untuk membuktikan adanya berbuatan itu.60
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah :
a.Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
b.Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c.Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk –rangkapnya
d.Surat yang memuat jumlah uang yaitu :
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening bank
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/ diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
f. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula
Objek pajak bea materai yang tidak dikenakan bea meterai: 61
1. Dokumen yang berupa :
a. Surat Penyimpanan Barang
b. Konsemen
c. Surat angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c
e. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
f. Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam hurup a sampai hurup f.
2. Segala bentuk ijasah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar