Jumat, 18 Februari 2011

Bergaya Hidup

Krisis


Saat menyaksikan jumpa pers ‘full team’ para pejabat eksekutif moneter Indonesia terkait dampak dan antisipasi krisis ekonomi global hari, Minggu (5 Oktober 2008) lalu, saya seketika teringat pengalaman dan perasaan luluh-lantaknya saya saat menghadapi krisis ekonomi tahun 1997-1998. Saya ingat betul, betapa saat itu hutang menjadi berlipat, suku bunga melonjak, order kerja merosot sampai ke titik nol, yang mau tidak mau berakibat pada pengurangan karyawan, kehilangan pekerjaan dan jatuhnya mental untuk waktu yang cukup lama. Pesan dalam jumpa pers kemarin bahwa pemerintah akan mempercepat reformasi ekonomi dengan perbaikan iklim investasi, perbaikan sarana dan prasarana, percepatan pengadaan listrik yang menjadi keluhan investor, dikomentari oleh media sebagai sesuatu yang klasik, abstrak dan membosankan. Tentunya kita jadinya bertanya-tanya, apakah reformasi ekonomi bisa menjadi jalan keluar ‘instan’ bagi gejala yang ‘akut’ seperti ini? Bukankah keadaan ini hanyalah bagai detonator sebuah depresi, baik kultural, gaya hidup, lingkungan, ekonomi dan politik?

Bicara krisis, tentunya kita pun sangat menyadari, namun terkadang membutakan diri, bahwa praktik-praktik seperti rendahnya disiplin kerja, disiplin waktu, pelanggaran ketertiban, kurangnya ambisi, kesulitan beradaptasi terhadap perubahan dan kesukaan pada hal-hal irasional menjadi fenomena yang menyebabkan kita lumpuh untuk bereaksi terhadap keadaan ekonomi dan moneter, sulit menghindari dampak krisis dan menjadikan kita sulit bangkit kembali saat didera keterpurukan.


Pada level yang lebih tinggi, bisa jadi kita juga sudah lelah menyaksikan pemberitaan seputar pemberantasan KKN (korupsi, kronisme dan nepotisme), penegakan hukum, transparansi dan wacana kepemimpinan yang menjanjikan sebuah tata kelola pemerintahan yang lebih baik, yang mungkin memang sedang diupayakan. Korupsi dan inefisiensi yang merajalela inilah yang menyebabkan manajemen negara kita lemah, tidak mempunyai ‘power’ untuk memaksa rakyat berubah, sehingga tidak bisa diandalkan akan memberi hasil segera. Kitalah sebagai individu yang perlu melakukan antisipasi, mengurangi keserakahan dan menghentikan gaya hidup ‘besar pasak daripada tiang’.


Tunggu Apa Lagi?


Pada saat tanggal 23 September 2008, seusai Olimpiade, Beijing melakukan aksi "Turning out Lights" (Pemadaman Lampu), dengan misi meningkatkan kesadaran akan langkanya enerji. Banyak sekali orang berkomentar bahwa tindakan tersebut hanya formalitas belaka. Namun paling tidak, upaya pemerintah Cina untuk  membuka mata, telinga dan hati  rakyatnya dalam menghadapi krisis enerji, dilakukan bukan sekedar berupa wacana saja. Minimalnya, masyarakat jadi lebih mengerti dan lebih bisa mengantisipasi apa yang akan dialami, bila kemungkinan terburuk terjadi.


Bagaimana dengan kita? Bila pemerintah menyerukan untuk melakukan tindakan-tindakan positif demi bertahannya kekuatan ekonomi kita, haruskah kita menunggu saja? Sudahkah kita bergerak, mengeluarkan ide dan saling mengingatkan, sehingga “doing” dan “being” kita optimal? Sudahkah bangsa kita yang mempunyai kultur musyawarah yang kuat, duduk bersama dan melakukan “brainstorming” dengan intensif untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomis serta  pemotongan ongkos yang tidak perlu?


Bergaya Hidup Ekonomis



Ketika membaca kiriman dalam milis, mengenai prinsip hidup sederhana yang dijalani Warren Buffet, orang kedua terkaya di dunia, saya menjadi malu sendiri. Saya menyadari betapa kita ini hidup dalam kemanjaan yang membawa kita ke dalam kehidupan yang buta ekonomi. Prinsip ekonomi yang dijalankan oleh Warren, seperti menabung uang kecil, hanya mengkonsumsi apa yang dibutuhkan, mencapai sasaran secara ekonomis, sangat bertentangan dengan gaya hidup kita yang eksesif, seperti punya 2-3 handphone dan kendaraan, menggunakan tissue yang kesemuanya berlebihan.


Saat krisis pangan sudah didengungkan, cepat atau lambat akan dihadapi oleh negara kita yang perlu memberi makanan sehat kepada 225 juta rakyatnya, mestinya kita bisa saling menyadarkan bahwa kita tak lagi pernah ingin kembali ke tahun 50an, saat pangan saja menjadi sasaran yang sulit dicapai. Situasi ini mengingatkan kita pada Mahatma Gandhi saat membangkitkan kesadaran rakyat India untuk mengangkat kehidupan ekonomi mereka. Dengan prinsip Swadeshi yang digaungkannya, rakyat India didorong untuk membeli hasil tenunannya sendiri, padahal saat itu mutu tenunan India sama sekali jauh di bawah standar. Perlahan tapi pasti, gerakan Swadeshi mengangkat rakyat India untuk bangga dengan produksi dalam negerinya, meningkatkan spirit servis, menguatkan disiplin beragama dan kemanusiaan, dan mendorong India menjadi bangsa yang berbudaya kuat sekaligus mandiri, percaya pada kekuatannya sendiri.


Rasanya terobosan ala Gandhi-lah yang perlu kita lakukan. Tidak usah secara masal, karena bisa kita mulai dari diri sendiri, dari rumah dan dengan keberanian tersendiri. Kita bisa mulai berbagi kendaraan yang ditumpangi, mengurangi pemakaian listrik, bahkan menyehatkan diri dengan banyak melakukan aktivitas manual dan  fisik, misalnya bersepeda, ketimbang mondar-mandir mengendarai motor besar berharga ratusan  juta.


Tentunya ada resiko bila kita melawan arus gaya hidup yang sudah tertanam di kehidupan kita.  Kita mungkin akan dianggap kurang “keren” kalau kita berhemat, bergaya hidup secukupnya, berdandan atau berkendaraan seperlunya. Tetapi, kalau dengan gaya hidup ini kita akan  ‘survive’ dalam menghadapi krisis ekonomi manapun dan di manapun, mengapa tidak? Meskipun kita tidak perlu sampai bersikap ‘anti mesin’ seperti jaman Mahatma Gandhi lagi, tetapi bersikap ekonomis rasanya tetap merupakan  sikap yang modern dan pintar.
(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)


  (Ditayangkan di Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar