u-LAW and A-LAW definitions
A-law and u-law are companding schemes used in telephone network to get more dynamics to the 8 bit samples that is available with linear coding.
Typically 12..14 bit samples (linear scale) sampled at 8 kHz sample.
8 bit (logarithmic scale) for transmission over 64 kbit/s data channel.
In the receiving end the data is then converter back to linear scale (12..14 bit) and played back. converted back
Kamis, 16 April 2009
u-LAW and A-LAW
u-LAW and A-LAW definitions
A-law and u-law are companding schemes used in telephone network to get more dynamics to the 8 bit samples that is available with linear coding. Typically 12..14 bit samples (linear scale) sampled at 8 kHz sample are companded to 8 bit (logarithmic scale) for transmission over 64 kbit/s data channel. In the receiving end the data is then converter back to linear scale (12..14 bit) and played back. converted back
u-law definition
u-LAW (pronounced mu-LAW) is
sgn(m) ( |m |) |m |
y= ------- ln( 1+ u|--|) |--| =< 1
ln(1+u) ( |mp|) |mp|
Another definition for mu-law I have seen
ln(1+255 |x|)
output = sgn(x) ---------------------
ln(1+255)
x = normalized input ( between -1 and 1)
255 = compression parameter
sgn(x) = sign (+/-) of x
a-law definition
A-LAW is
| A (m ) |m | 1
| ------- (--) |--| =< -
| 1+ln A (mp) |mp| A
y=|
| sgn(m) ( |m |) 1 |m |
| ------ ( 1+ ln A|--|) - =< |--| =< 1
| 1+ln A ( |mp|) A |mp|
Values of u=100 and 255, A=87.6, mp is the Peak message value, m is the current quantised message value. (The formulae get simpler if you substitute x for m/mp and sgn(x) for sgn(m); then -1 <= x <= 1.)
Converting from u-LAW to A-LAW is in a sense "lossy" since there are quantizing errors introduced in the conversion.
"..the u-LAW used in North America and Japan, and the A-LAW used in Europe and the rest of the world and international routes.."
References:
Modern Digital and Analog Communication Systems, B.P.Lathi., 2nd ed. ISBN 0-03-027933-X
A-law and u-law are companding schemes used in telephone network to get more dynamics to the 8 bit samples that is available with linear coding. Typically 12..14 bit samples (linear scale) sampled at 8 kHz sample are companded to 8 bit (logarithmic scale) for transmission over 64 kbit/s data channel. In the receiving end the data is then converter back to linear scale (12..14 bit) and played back. converted back
u-law definition
u-LAW (pronounced mu-LAW) is
sgn(m) ( |m |) |m |
y= ------- ln( 1+ u|--|) |--| =< 1
ln(1+u) ( |mp|) |mp|
Another definition for mu-law I have seen
ln(1+255 |x|)
output = sgn(x) ---------------------
ln(1+255)
x = normalized input ( between -1 and 1)
255 = compression parameter
sgn(x) = sign (+/-) of x
a-law definition
A-LAW is
| A (m ) |m | 1
| ------- (--) |--| =< -
| 1+ln A (mp) |mp| A
y=|
| sgn(m) ( |m |) 1 |m |
| ------ ( 1+ ln A|--|) - =< |--| =< 1
| 1+ln A ( |mp|) A |mp|
Values of u=100 and 255, A=87.6, mp is the Peak message value, m is the current quantised message value. (The formulae get simpler if you substitute x for m/mp and sgn(x) for sgn(m); then -1 <= x <= 1.)
Converting from u-LAW to A-LAW is in a sense "lossy" since there are quantizing errors introduced in the conversion.
"..the u-LAW used in North America and Japan, and the A-LAW used in Europe and the rest of the world and international routes.."
References:
Modern Digital and Analog Communication Systems, B.P.Lathi., 2nd ed. ISBN 0-03-027933-X
Softswitch
Jaringan Softswitch dibangun oleh 5 komponen penting diantaranya:
1. MGC Media Gateway Controller merupakan salah satu unit fungsi utama pada softswitch. Gateway controller menangani call processing menggunakan Media gateway dan Signaling gateway. Dalam menangani Call Peocessing, Signaling Gateway berperan untuk membangun dan membubarkan koneksi. Gateway Controller sering disebut Call Agent (karena memiliki fungsi pesan pengontrol panggilan), dan juga disebut Media gateway Controller (karena memiliki fungsi pengontrol media gateway).Terkadang Call Agent disebut juga sebagai Softwitch (karena dikombinasikan dengan media gateway dan signaling gateway sehingga mempresentasikan konfigurasi minimun softswitch). Komponen ini menghubungkan antar komponen dalam jaringan softsiwtch dan juga menghubungkan ke ke jaringan luar yang berbeda protokol, seperti ke jaringan PSTN, SS7 dan jaringan IP.
2. MG Media Gateway disebut juga AG (Access Gateway) dan TG (Trunk Gateway). Access Gateway (AG) sebagai penghubung ke arah jaringan akses yang berhubungan dengan pengguna. Pada umumnya access gateway yang dikenal adalah perangkat yang berbasis paket (IP) ataupun nonpaket yang selanjutnya diubah menjadi paket untuk dapat dikontrol oleh softswitch. Trunk Gateway (TG) dipergunakan untuk menghubungkan jaringan berbasis softswitch kepada jaringan non-paket dan berfungsi sebagai trunking. Di dalam perangkat ini terdapat perubahan dari trafik yang non-paket ke paket ataupun sebaliknya.
3. SG Signalling Gateway melayani sebagai gateway atau gerbang antara jaringan signal SS7 dengan node-node lain pada jaringan IP yang di manage atau dikontrol oleh softswitch. Sebuah signaling gateway secara fisik terhubung ke jaringan SS7 dan harus mampu melayani berbagai protocol yang telah distandartkan. Signaling Gateway menyebabkan Softswitch seperti node-node yang ada pada jaringan SS7. Signaling Gateway menangani pengiriman signal SS7, sementara Media Gateway menangani pengiriman voice.
4. MS Media Server biasanya terpisah dari Feature Server karena aplikasi Media Server melibatkan media processing. Artinya Media Server harus mampu mendukung DSP (digital signal Processing).
5. FS Feature Server menyediakan semua feature dan layanan seperti tagihan, multy party conference, dll. Feature Server menggunakan semua sumber layanan atau jasa yang berkaitan dengan komponen-komponen lain pada softswitch. Dengan adanya Feature Server yang bekerja berbasis jaringan IP maka tidak ada lagi hambatan bagi softswitch untuk membagi dan mengelompokkan komponen aplikasi.
http://hariagustomo.blogspot.com/search/label/Telekomunikasi
1. MGC Media Gateway Controller merupakan salah satu unit fungsi utama pada softswitch. Gateway controller menangani call processing menggunakan Media gateway dan Signaling gateway. Dalam menangani Call Peocessing, Signaling Gateway berperan untuk membangun dan membubarkan koneksi. Gateway Controller sering disebut Call Agent (karena memiliki fungsi pesan pengontrol panggilan), dan juga disebut Media gateway Controller (karena memiliki fungsi pengontrol media gateway).Terkadang Call Agent disebut juga sebagai Softwitch (karena dikombinasikan dengan media gateway dan signaling gateway sehingga mempresentasikan konfigurasi minimun softswitch). Komponen ini menghubungkan antar komponen dalam jaringan softsiwtch dan juga menghubungkan ke ke jaringan luar yang berbeda protokol, seperti ke jaringan PSTN, SS7 dan jaringan IP.
2. MG Media Gateway disebut juga AG (Access Gateway) dan TG (Trunk Gateway). Access Gateway (AG) sebagai penghubung ke arah jaringan akses yang berhubungan dengan pengguna. Pada umumnya access gateway yang dikenal adalah perangkat yang berbasis paket (IP) ataupun nonpaket yang selanjutnya diubah menjadi paket untuk dapat dikontrol oleh softswitch. Trunk Gateway (TG) dipergunakan untuk menghubungkan jaringan berbasis softswitch kepada jaringan non-paket dan berfungsi sebagai trunking. Di dalam perangkat ini terdapat perubahan dari trafik yang non-paket ke paket ataupun sebaliknya.
3. SG Signalling Gateway melayani sebagai gateway atau gerbang antara jaringan signal SS7 dengan node-node lain pada jaringan IP yang di manage atau dikontrol oleh softswitch. Sebuah signaling gateway secara fisik terhubung ke jaringan SS7 dan harus mampu melayani berbagai protocol yang telah distandartkan. Signaling Gateway menyebabkan Softswitch seperti node-node yang ada pada jaringan SS7. Signaling Gateway menangani pengiriman signal SS7, sementara Media Gateway menangani pengiriman voice.
4. MS Media Server biasanya terpisah dari Feature Server karena aplikasi Media Server melibatkan media processing. Artinya Media Server harus mampu mendukung DSP (digital signal Processing).
5. FS Feature Server menyediakan semua feature dan layanan seperti tagihan, multy party conference, dll. Feature Server menggunakan semua sumber layanan atau jasa yang berkaitan dengan komponen-komponen lain pada softswitch. Dengan adanya Feature Server yang bekerja berbasis jaringan IP maka tidak ada lagi hambatan bagi softswitch untuk membagi dan mengelompokkan komponen aplikasi.
http://hariagustomo.blogspot.com/search/label/Telekomunikasi
H.261 dan H.263
Istilah Telekomunikasi Protokol H.323
H.323 merupakan protokol yang memayungi beberapa protokol lain yang terlibat dalam proses transmisi multimedia. Protokol – protokol tersebut tidak semuanya merupakan rekomendasi ITU-T tapi ada juga yang merupakan rekomendasi IETF. Beberapa protokol tersebut diantaranya:
* H.26x codecs Rekomendasi mengenai proses digitalisasi sinyalvideo analog. Contohnya : H.261 dan H.263
* H.225.0 Jika gatekeeper terdapat dalam suatu network makaH.225.0 mengatur proses registrasi terminal kegatekeeper tersebut dan mengatur pula proses admisi di jaringan tersebut. Jika gatekeeper tidak ada maka H.225 digunakan untuk proses setup dan cleardown panggilan, bekerja sama dengan protokol Q.931.
* H.245 Protokol ini berfungsi untuk membangun kanal logikal (logical channel) yang akan menjadi kanal transmisi media. Setelah proses setup hubungan antara dua endpoint berhasil dilakukan menggunakan H.225.0 dan Q.931
* Q.931Q.931 digunakan bersama H.225.0 untuk membangun hubungan H.323. H.225.0 di sisipkan dalam pesan UUIE (User to User Information Element) dari Q.931 untuk menyediakan informasi tambahan yang tidak tersedia dalam format Q.931misalnya informasi mengenai IP address.
* RTP (Real time Transport Protocol)adalah protokol yang digunakan untuk mengkompensasi jitter dan desequencing yang terjadi pada jaringan IP. RTP berisi informasi tipe data yang dikirim yaitu timestamps yang digunakan untuk pengaturan waktu suara percakapan sehingga terdengar seperti sebagaimana diucapkan, dan sequence numbers yang digunakan untuk pengurutan paket dataRTP didesain untuk digunakan pada layer transport, namun demikian RTP digunakan diatas UDP, bukan pada TCP karena TCP tidak dapat beradaptasi pada pengiriman data secara real-time dengan keterlambatan yang relatif kecil seperti pada pengiriman data komunikasi suara.
* RTCP (Real time Transport ControlProtocol) digunakan untuk mengirimkan paket kontrol setiap terminal yang berpartisipasi pada percakapan yang digunakan sebagai informasi untuk kualitas transmisi jaringan
Standar ini bukan standar yang berdiri sendiri tetapi merupakan kumpulan dari beberapa komponen, protokol dan prosedur dalam membangun layanan komunikasi multimedia yang menerangkan set voice, video dan standar konferensi data. Semoga informasi tentang protokol H.323 dapat bermanfaat bagi anda dan Saya informasikan kepada pembaca, jika anda membeli perangkat telekomunikasi, sebaiknya yang sudah di sertifikasi atau yang sudah bersertifikat resmi dari postel, untuk menjaga agar anda tidak berurusan dengan pihak yang berwajib
http://hari.narmadi.net/telekomunikasi/istilah-telekomunikasi-protokol-h323
H.323 merupakan protokol yang memayungi beberapa protokol lain yang terlibat dalam proses transmisi multimedia. Protokol – protokol tersebut tidak semuanya merupakan rekomendasi ITU-T tapi ada juga yang merupakan rekomendasi IETF. Beberapa protokol tersebut diantaranya:
* H.26x codecs Rekomendasi mengenai proses digitalisasi sinyalvideo analog. Contohnya : H.261 dan H.263
* H.225.0 Jika gatekeeper terdapat dalam suatu network makaH.225.0 mengatur proses registrasi terminal kegatekeeper tersebut dan mengatur pula proses admisi di jaringan tersebut. Jika gatekeeper tidak ada maka H.225 digunakan untuk proses setup dan cleardown panggilan, bekerja sama dengan protokol Q.931.
* H.245 Protokol ini berfungsi untuk membangun kanal logikal (logical channel) yang akan menjadi kanal transmisi media. Setelah proses setup hubungan antara dua endpoint berhasil dilakukan menggunakan H.225.0 dan Q.931
* Q.931Q.931 digunakan bersama H.225.0 untuk membangun hubungan H.323. H.225.0 di sisipkan dalam pesan UUIE (User to User Information Element) dari Q.931 untuk menyediakan informasi tambahan yang tidak tersedia dalam format Q.931misalnya informasi mengenai IP address.
* RTP (Real time Transport Protocol)adalah protokol yang digunakan untuk mengkompensasi jitter dan desequencing yang terjadi pada jaringan IP. RTP berisi informasi tipe data yang dikirim yaitu timestamps yang digunakan untuk pengaturan waktu suara percakapan sehingga terdengar seperti sebagaimana diucapkan, dan sequence numbers yang digunakan untuk pengurutan paket dataRTP didesain untuk digunakan pada layer transport, namun demikian RTP digunakan diatas UDP, bukan pada TCP karena TCP tidak dapat beradaptasi pada pengiriman data secara real-time dengan keterlambatan yang relatif kecil seperti pada pengiriman data komunikasi suara.
* RTCP (Real time Transport ControlProtocol) digunakan untuk mengirimkan paket kontrol setiap terminal yang berpartisipasi pada percakapan yang digunakan sebagai informasi untuk kualitas transmisi jaringan
Standar ini bukan standar yang berdiri sendiri tetapi merupakan kumpulan dari beberapa komponen, protokol dan prosedur dalam membangun layanan komunikasi multimedia yang menerangkan set voice, video dan standar konferensi data. Semoga informasi tentang protokol H.323 dapat bermanfaat bagi anda dan Saya informasikan kepada pembaca, jika anda membeli perangkat telekomunikasi, sebaiknya yang sudah di sertifikasi atau yang sudah bersertifikat resmi dari postel, untuk menjaga agar anda tidak berurusan dengan pihak yang berwajib
http://hari.narmadi.net/telekomunikasi/istilah-telekomunikasi-protokol-h323
NGN
NGN-Jaringan Telekomunikasi Masa Depan
Source: Kompas-Rabu, 11 Februari 2004
Oleh: Anton Timur
TEKNOLOGI informasi dan komunikasi (infokom) berkembang semakin pesat didorong oleh Internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan beragam layanan multimedia. Infrastruktur infokom terdiri dari public switched data network (PSDN) dan public switched telephone network (PSTN), namun hingga kini tulang punggung infokom masih banyak berpijak pada jaringan PSTN.
Kondisi ini kurang menguntungkan karena PSTN eksisting umumnya lebih menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow band). Untuk mempercepat penyediaan layanan pita lebar (broadband) pada jaringan eksisting tersebut maka PSTN dan PSDN harus segera "melebur" menjadi satu jaringan tunggal multilayanan yang disebut dengan jaringan telekomunikasi masa depan atau next generation network (NGN).
Ada tiga faktor utama pendorong evolusi jaringan PSTN tradisional menuju NGN. Pertama, keterbatasan arsitektur sentral PSTN eksisting. Operator telekomunikasi akan kesulitan untuk meningkatkan kemampuan PSTN untuk melayani layanan multimedia jika hanya mengandalkan upgrade versi perangkat lunak dan hardware pada sentral eksisting.
Infrastruktur sentral eksisting kebanyakan merupakan propietary atau teknologinya bersifat tertutup dan dikuasai vendor tertentu saja. Hal ini jelas menimbulkan ketergantungan operator telekomunikasi kepada pemasok perangkat tersebut.
Operator juga sulit untuk berinovasi dan membuat fitur baru. Selain itu, biaya upgrade dan pengembangannya pun menjadi mahal dan membutuhkan waktu yang lama. Karena sifatnya yang tertutup pula, maka biaya operasi dan pemeliharaan juga semakin besar.
Kedua, tren konvergensi jaringan dan layanan. Saat ini perbedaan teknik antara PSTN dan PSDN menyebabkan terjadinya pemisahan antara keduanya. PSTN yang berbasis sirkuit switch merupakan jaringan kompleks dengan ukuran yang besar, tersentralisir, dan tertutup. Sedangkan PSDN berbasis paket switch, lebih sederhana dan terdistribusi. PSDN tumbuh dengan pesat dengan adanya Internet, ekstranet, virtual private network (VPN), serta teknologi berbasis paket lainnya.
Bahwa suatu saat nanti paket switch akan menggantikan sirkuit switch, bisa dilihat dari semakin meningkatnya penggunaan voice over Internet protocol (VoIP). Namun hingga kini PSTN masih menduduki posisi terdepan untuk menyalurkan data, terutama layanan dial up analog modem.
Investasi sentral PSTN eksisting yang sangat besar juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Pilihannya adalah konvergensi antara PSDN dan PSTN menjadi satu jaringan tunggal multilayanan, dengan melakukan evolusi secara bertahap pada jaringan PSTN agar mampu mengakomodasi paket switch.
Ketiga, regulasi telekomunikasi telah memunculkan operator-operator baru. Persaingan yang semakin ketat antaroperator menyebabkan pelanggan akan berpindah ke kompetitor jika operator tersebut tak mampu memberikan layanan yang beragam, broadband, dan murah.
Arsitektur NGN
Menurut tren perkembangan jaringan telekomunikasi saat ini, jaringan masa depan akan menjadi jaringan terintegrasi pita lebar, terdiri dari bermacam-macam akses edge dengan hierarki fungsional jaringan makin jelas dan mudah dipahami. Secara umum, hierarki NGN terbagi menjadi beberapa lapisan (layer), yaitu: network service & application, network control, core switching, dan edge access layer.
Lapisan network service & application bertugas untuk memproses logika layanan, meliputi logika layanan intelligent network (IN), AAA (addressing, authentication, authorization) dan address resolution, serta mengembangkan aplikasi layanan dengan mengadopsi protokol standar dan application program interface (API). Komponennya meliputi server AAA, network management system (NMS), billing, network database, serta server aplikasi (application server).
Dengan adanya server aplikasi ini maka aplikasi-aplikasi layanan atau fitur-fitur baru lebih mudah dan murah dikembangkan karena platformnya terbuka (open platform) tanpa harus terikat oleh platform dari vendor/developer tertentu (propietary). Contoh aplikasi yang bisa dikembangkan adalah number portability, yaitu layanan yang memungkinkan nomor telepon pelanggan asal tidak berubah apabila pelanggan tersebut berpindah lokasi atau operator.
Lapisan kedua, network control, bertugas mengatur logika panggilan, memproses permintaan panggilan, dan memberi tahu lapisan core switching untuk membentuk hubungan yang sesuai. Di sinilah letak softswitch yang terdiri dari server panggilan (call server), pengendali rute (route controller), dan gerbang pensinyalan (signalling gateway). Secara hierarkis softswitch dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu class 4 dan class 5.
Softswitch class 4 merupakan pengendali hubungan antarsentral tandem regional (trunk) dalam backbone nasional. Sedangkan softswitch class 5 merupakan tipe softswitch yang mengendalikan hubungan pada sentral lokal yang terhubung langsung dengan pelanggan.
Lapisan ketiga NGN adalah lapisan core switching untuk mengatur pembangunan dan pengelolaan hubungan serta melakukan penyambungan dan pengaturan jalur komunikasi untuk merespons perintah control layer. Komponennya meliputi sentral broadband multi- service, sentral utama ATM dan router IP berkapasitas besar, dan lain-lain.
Lapisan paling bawah adalah lapisan akses ujung (edge access layer) yang mendukung akses dari berbagai macam tipe media gateway, yaitu trunk gateway dan access gateway. Berbagai tipe perangkat konsentrasi akses multi-service, remote access server (RAS), analog gateway, maupun wireless gateway bisa diimplementasikan pada lapisan ini (Lihat gambar).
Kendala
Ada sejumlah kendala yang menghadang migrasi NGN pada infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Meskipun sejumlah vendor global dan nasional telah berhasil mengembangkan teknologi ini, namun kematangan softswitch masih dipertanyakan mengingat teknologi ini belum secara luas digunakan untuk kepentingan komersial oleh operator-operator telekomunikasi dunia.
Kondisi infrastruktur eksisting juga bisa menjadi penghambat laju menuju NGN. Hampir seluruh sentral dan perangkat telekomunikasi di Indonesia masih memakai spesifikasi teknis atau protokol lama yang bersifat propietary. Di lain pihak softswitch memberikan persyaratan standar dan protokol yang paling mutakhir dan terbuka sehingga hal ini dapat menyulitkan persyaratan kesesuaian protokol, interoperability dan interworking antara perangkat eksisting dengan perangkat NGN.
Faktor lainnya adalah masalah biaya investasi perangkat NGN dan penyediaan jaringan akses yang masih terasa mahal dan kurang kompetitif jika dibandingkan dengan meng-upgrade sentral eksisting. Diperkirakan investasi untuk menyediakan jaringan akses yang kompatibel dengan NGN bisa mencapai 65 persen dari total investasi untuk menggelar NGN.
Dan yang terakhir namun sering membuat runyam adalah masalah regulasi. Penerapan NGN bisa menimbulkan konsekuensi perubahan peta bisnis telekomunikasi sehingga regulator dituntut untuk segera memahami dan membuat aturan main tentang teknologi ini. Sasarannya, agar tidak menimbulkan dispute antar- operator dan kebingungan masyarakat saat nantinya teknologi ini telah dikomersialkan.
Meskipun masih banyak kendala yang dihadapi operator telekomunikasi untuk menerapkan teknologi softswitch, tetapi langkah perencanaan untuk melakukan migrasi (roadmap) menuju NGN harus segera dilaksanakan. Tanpa melakukan migrasi menuju NGN, jaringan PSTN yang masih menjadi tulang punggung infrastruktur telekomunikasi lambat laun tak akan optimal lagi mengakomodasi layanan multimedia.
Anton Timur Spesialis Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi
Source: Kompas-Rabu, 11 Februari 2004
Oleh: Anton Timur
TEKNOLOGI informasi dan komunikasi (infokom) berkembang semakin pesat didorong oleh Internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan beragam layanan multimedia. Infrastruktur infokom terdiri dari public switched data network (PSDN) dan public switched telephone network (PSTN), namun hingga kini tulang punggung infokom masih banyak berpijak pada jaringan PSTN.
Kondisi ini kurang menguntungkan karena PSTN eksisting umumnya lebih menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow band). Untuk mempercepat penyediaan layanan pita lebar (broadband) pada jaringan eksisting tersebut maka PSTN dan PSDN harus segera "melebur" menjadi satu jaringan tunggal multilayanan yang disebut dengan jaringan telekomunikasi masa depan atau next generation network (NGN).
Ada tiga faktor utama pendorong evolusi jaringan PSTN tradisional menuju NGN. Pertama, keterbatasan arsitektur sentral PSTN eksisting. Operator telekomunikasi akan kesulitan untuk meningkatkan kemampuan PSTN untuk melayani layanan multimedia jika hanya mengandalkan upgrade versi perangkat lunak dan hardware pada sentral eksisting.
Infrastruktur sentral eksisting kebanyakan merupakan propietary atau teknologinya bersifat tertutup dan dikuasai vendor tertentu saja. Hal ini jelas menimbulkan ketergantungan operator telekomunikasi kepada pemasok perangkat tersebut.
Operator juga sulit untuk berinovasi dan membuat fitur baru. Selain itu, biaya upgrade dan pengembangannya pun menjadi mahal dan membutuhkan waktu yang lama. Karena sifatnya yang tertutup pula, maka biaya operasi dan pemeliharaan juga semakin besar.
Kedua, tren konvergensi jaringan dan layanan. Saat ini perbedaan teknik antara PSTN dan PSDN menyebabkan terjadinya pemisahan antara keduanya. PSTN yang berbasis sirkuit switch merupakan jaringan kompleks dengan ukuran yang besar, tersentralisir, dan tertutup. Sedangkan PSDN berbasis paket switch, lebih sederhana dan terdistribusi. PSDN tumbuh dengan pesat dengan adanya Internet, ekstranet, virtual private network (VPN), serta teknologi berbasis paket lainnya.
Bahwa suatu saat nanti paket switch akan menggantikan sirkuit switch, bisa dilihat dari semakin meningkatnya penggunaan voice over Internet protocol (VoIP). Namun hingga kini PSTN masih menduduki posisi terdepan untuk menyalurkan data, terutama layanan dial up analog modem.
Investasi sentral PSTN eksisting yang sangat besar juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Pilihannya adalah konvergensi antara PSDN dan PSTN menjadi satu jaringan tunggal multilayanan, dengan melakukan evolusi secara bertahap pada jaringan PSTN agar mampu mengakomodasi paket switch.
Ketiga, regulasi telekomunikasi telah memunculkan operator-operator baru. Persaingan yang semakin ketat antaroperator menyebabkan pelanggan akan berpindah ke kompetitor jika operator tersebut tak mampu memberikan layanan yang beragam, broadband, dan murah.
Arsitektur NGN
Menurut tren perkembangan jaringan telekomunikasi saat ini, jaringan masa depan akan menjadi jaringan terintegrasi pita lebar, terdiri dari bermacam-macam akses edge dengan hierarki fungsional jaringan makin jelas dan mudah dipahami. Secara umum, hierarki NGN terbagi menjadi beberapa lapisan (layer), yaitu: network service & application, network control, core switching, dan edge access layer.
Lapisan network service & application bertugas untuk memproses logika layanan, meliputi logika layanan intelligent network (IN), AAA (addressing, authentication, authorization) dan address resolution, serta mengembangkan aplikasi layanan dengan mengadopsi protokol standar dan application program interface (API). Komponennya meliputi server AAA, network management system (NMS), billing, network database, serta server aplikasi (application server).
Dengan adanya server aplikasi ini maka aplikasi-aplikasi layanan atau fitur-fitur baru lebih mudah dan murah dikembangkan karena platformnya terbuka (open platform) tanpa harus terikat oleh platform dari vendor/developer tertentu (propietary). Contoh aplikasi yang bisa dikembangkan adalah number portability, yaitu layanan yang memungkinkan nomor telepon pelanggan asal tidak berubah apabila pelanggan tersebut berpindah lokasi atau operator.
Lapisan kedua, network control, bertugas mengatur logika panggilan, memproses permintaan panggilan, dan memberi tahu lapisan core switching untuk membentuk hubungan yang sesuai. Di sinilah letak softswitch yang terdiri dari server panggilan (call server), pengendali rute (route controller), dan gerbang pensinyalan (signalling gateway). Secara hierarkis softswitch dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu class 4 dan class 5.
Softswitch class 4 merupakan pengendali hubungan antarsentral tandem regional (trunk) dalam backbone nasional. Sedangkan softswitch class 5 merupakan tipe softswitch yang mengendalikan hubungan pada sentral lokal yang terhubung langsung dengan pelanggan.
Lapisan ketiga NGN adalah lapisan core switching untuk mengatur pembangunan dan pengelolaan hubungan serta melakukan penyambungan dan pengaturan jalur komunikasi untuk merespons perintah control layer. Komponennya meliputi sentral broadband multi- service, sentral utama ATM dan router IP berkapasitas besar, dan lain-lain.
Lapisan paling bawah adalah lapisan akses ujung (edge access layer) yang mendukung akses dari berbagai macam tipe media gateway, yaitu trunk gateway dan access gateway. Berbagai tipe perangkat konsentrasi akses multi-service, remote access server (RAS), analog gateway, maupun wireless gateway bisa diimplementasikan pada lapisan ini (Lihat gambar).
Kendala
Ada sejumlah kendala yang menghadang migrasi NGN pada infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Meskipun sejumlah vendor global dan nasional telah berhasil mengembangkan teknologi ini, namun kematangan softswitch masih dipertanyakan mengingat teknologi ini belum secara luas digunakan untuk kepentingan komersial oleh operator-operator telekomunikasi dunia.
Kondisi infrastruktur eksisting juga bisa menjadi penghambat laju menuju NGN. Hampir seluruh sentral dan perangkat telekomunikasi di Indonesia masih memakai spesifikasi teknis atau protokol lama yang bersifat propietary. Di lain pihak softswitch memberikan persyaratan standar dan protokol yang paling mutakhir dan terbuka sehingga hal ini dapat menyulitkan persyaratan kesesuaian protokol, interoperability dan interworking antara perangkat eksisting dengan perangkat NGN.
Faktor lainnya adalah masalah biaya investasi perangkat NGN dan penyediaan jaringan akses yang masih terasa mahal dan kurang kompetitif jika dibandingkan dengan meng-upgrade sentral eksisting. Diperkirakan investasi untuk menyediakan jaringan akses yang kompatibel dengan NGN bisa mencapai 65 persen dari total investasi untuk menggelar NGN.
Dan yang terakhir namun sering membuat runyam adalah masalah regulasi. Penerapan NGN bisa menimbulkan konsekuensi perubahan peta bisnis telekomunikasi sehingga regulator dituntut untuk segera memahami dan membuat aturan main tentang teknologi ini. Sasarannya, agar tidak menimbulkan dispute antar- operator dan kebingungan masyarakat saat nantinya teknologi ini telah dikomersialkan.
Meskipun masih banyak kendala yang dihadapi operator telekomunikasi untuk menerapkan teknologi softswitch, tetapi langkah perencanaan untuk melakukan migrasi (roadmap) menuju NGN harus segera dilaksanakan. Tanpa melakukan migrasi menuju NGN, jaringan PSTN yang masih menjadi tulang punggung infrastruktur telekomunikasi lambat laun tak akan optimal lagi mengakomodasi layanan multimedia.
Anton Timur Spesialis Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi
WLL = RITL atau FRA.
Apa beda WLL dengan Flexi?
Sumber: Kompas- Kamis, 16 September 2004
Oleh: Anton Timur
SETAHUN sudah TelkomFlexi hadir memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat, karena jaringan telepon tetap yang menggunakan kabel tembaga kini tak lagi banyak tersisa. Masyarakat yang mengharapkan sambungan telepon rumah mau tak mau harus menggunakan Flexi.
MESKI terasa kurang sreg, masyarakat mulai antusias memanfaatkan Flexi. Anggapan bahwa teknologi dan kualitas Flexi identik dengan WLL menjadi salah satu penyebab mengapa orang kurang sreg.
Pertanyaan yang sering mengemuka apakah Flexi menggunakan teknologi yang sama dengan WLL atau berbedakah Flexi dengan WLL? Sebagian pelanggan telekomunikasi di Indonesia memang masih trauma pada kualitas layanan WLL yang dulu ditawarkan semasa KSO (kerja sama operasi) di beberapa Divisi Regional (divre) PT Telkom.
Wireless local loop (WLL) adalah sistem telekomunikasi yang menggunakan sinyal radio sebagai pengganti kabel tembaga (copper). Teknologi WLL juga sering disebut dengan radio in the loop (RITL) atau fixed-radio access (FRA). Secara umum WLL bisa diimplementasikan menggunakan beberapa teknologi tanpa kabel, yaitu seluler analog, seluler digital, dan personal communication network (PCN)/personal communication service (PCS).
Ada tiga sistem seluler analog yang dulu dikenal luas, yaitu advanced mobile phone system (AMPS), nordic mobile telephone (NMT), dan total access communication system (TACS). Namun, seluler analog mempunyai kapasitas yang terbatas sehingga kurang cocok dipakai sebagai platform WLL.
Kemudian muncul seluler digital, seperti global system for mobile communication (GSM) dan code divison multiple access (CDMA). Meski GSM mendominasi implementasi seluler bergerak, namun GSM jarang digunakan sebagai solusi WLL. Penyebabnya arsitektur GSM sejak awal dirancang untuk melayani daerah perkotaan dan kurang efisien diterapkan di daerah dengan kepadatan telepon rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan teknologi CDMA generasi awal (IS 95A, IS 95B, dan CDMAOne) kemudian hadir. Dengan kapasitas yang lebih besar dari GSM, CDMA ini mulai diimplementasikan di berbagai negara-termasuk Indonesia-dan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat.
Alternatif terakhir teknologi WLL berupa PCS/PCN, yang merupakan protokol yang menggabungkan elemen seluler digital dan standar cordless. Tujuannya untuk memberikan layanan wireless dengan mobilitas rendah yang menggunakan antena berdaya kecil dan handset yang ringan. Salah satu model PCS/PCN adalah personal handyphone system (PHS).
WLL yang dibangun oleh Mitra KSO sebagian besar menggunakan teknologi PHS yang mulai berkembang di Eropa dan Jepang sekitar tahun 1995. Di negeri Matahari Terbit perkembangan PHS sangat pesat, hanya dalam waktu dua tahun pelanggannya telah mencapai tujuh juta.
Prestasi yang mengesankan ini membuat para Mitra KSO Telkom di Indonesia saat itu tertarik menggunakannya. Hampir semua wilayah operasi KSO kemudian membangun jaringan telepon tetap dengan teknologi WLL karena nilai investasinya memang lebih rendah daripada jaringan kabel tembaga dan pembangunannya relatif cepat.
Mitra KSO semula berharap solusi WLL akan mendatangkan keuntungan yang signifikan sekaligus segera menyelesaikan target pembangunan ratusan ribu satuan sambungan telepon (SST) seperti disyaratkan dalam perjanjian KSO. Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan semula, perencanaan yang kurang matang dan proses alih teknologi yang setengah hati menyebabkan kualitas dan layanan WLL tak sebagus di negeri asalnya.
Sebenarnya WLL yang berbasis PHS merupakan teknologi tepat guna untuk daerah pinggiran perkotaan dan pedesaan (sub-urban), serta daerah terpencil (rural) yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk rendah. Kemampuan PHS cukup bagus karena tiap cell station (CS) mampu melayani sampai dengan 11 pembicaraan dalam waktu yang bersamaan.
WLL/PHS berada pada rentang frekuensi 1900,25 MHz sampai dengan 1915,55 MHz. Dengan alokasi frekuensi selebar 15 MHz ini sebenarnya sangat cukup memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat. Stigma buruk yang melekat pada WLL/PHS membuat Telkom berupaya mengembangkan teknologi nirkabel lain yang lebih canggih, CDMA 2000-1x dengan brand TelkomFlexi.
TelkomFlexi
CDMA 2000-1x yang menjadi platform Flexi merupakan sistem teknologi telekomunikasi tanpa kabel terbaru dengan berbagai kemampuan menjawab kebutuhan komunikasi masa depan. Jika dilihat dari kurva teknologi, CDMA2000-1x merupakan generasi ketiga (3G) setelah telepon seluler analog dan CDMA generasi awal. Teknologi ini menggunakan teknik penyebaran spektrum (spread spectrum) dengan kode-kode unik secara acak.
Awalnya digunakan oleh kalangan militer karena kebal terhadap gangguan (antijamming) dan bebas penyadapan (anti-intercept). Kemudian Qualcomm, sebuah vendor telekomunikasi dari Amerika Serikat, mengembangkan lebih lanjut untuk kepentingan sipil hingga tercapai standar CDMA 2000-1X pada bulan Maret 2000.
Selain kebal gangguan dan anti penyadapan, kualitas suara CDMA2000-1x juga lebih jernih serta aman bagi kesehatan karena radiasi gelombang radio yang dipancarkan relatif lebih rendah dibanding teknologi nirkabel lainnya. CDMA2000-1x juga pas untuk melakukan komunikasi data karena mampu melewatkan data berkecepatan tinggi. Selain itu mempunyai fitur-fitur layaknya dimiliki teknologi seluler GSM, misalnya SMS, CLIP, voice mail, call forwarding, call waiting, dan lain-lain.
Kekhawatiran masyarakat bahwa kualitas layanan dan teknologi yang digunakan Flexi sama dengan WLL semasa KSO (PHS) tidak perlu lagi terjadi karena Flexi lebih bagus. Dibutuhkan waktu untuk pembelajaran teknologi CDMA2000-1x agar dapat diterima masyarakat, tetapi yakin Flexi akan semakin dirasakan sebagai solusi telekomunikasi yang paling tepat.
Anton Timur (antontimur@yahoo.com), Praktisi Telekomunikasi
Sumber: Kompas- Kamis, 16 September 2004
Oleh: Anton Timur
SETAHUN sudah TelkomFlexi hadir memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat, karena jaringan telepon tetap yang menggunakan kabel tembaga kini tak lagi banyak tersisa. Masyarakat yang mengharapkan sambungan telepon rumah mau tak mau harus menggunakan Flexi.
MESKI terasa kurang sreg, masyarakat mulai antusias memanfaatkan Flexi. Anggapan bahwa teknologi dan kualitas Flexi identik dengan WLL menjadi salah satu penyebab mengapa orang kurang sreg.
Pertanyaan yang sering mengemuka apakah Flexi menggunakan teknologi yang sama dengan WLL atau berbedakah Flexi dengan WLL? Sebagian pelanggan telekomunikasi di Indonesia memang masih trauma pada kualitas layanan WLL yang dulu ditawarkan semasa KSO (kerja sama operasi) di beberapa Divisi Regional (divre) PT Telkom.
Wireless local loop (WLL) adalah sistem telekomunikasi yang menggunakan sinyal radio sebagai pengganti kabel tembaga (copper). Teknologi WLL juga sering disebut dengan radio in the loop (RITL) atau fixed-radio access (FRA). Secara umum WLL bisa diimplementasikan menggunakan beberapa teknologi tanpa kabel, yaitu seluler analog, seluler digital, dan personal communication network (PCN)/personal communication service (PCS).
Ada tiga sistem seluler analog yang dulu dikenal luas, yaitu advanced mobile phone system (AMPS), nordic mobile telephone (NMT), dan total access communication system (TACS). Namun, seluler analog mempunyai kapasitas yang terbatas sehingga kurang cocok dipakai sebagai platform WLL.
Kemudian muncul seluler digital, seperti global system for mobile communication (GSM) dan code divison multiple access (CDMA). Meski GSM mendominasi implementasi seluler bergerak, namun GSM jarang digunakan sebagai solusi WLL. Penyebabnya arsitektur GSM sejak awal dirancang untuk melayani daerah perkotaan dan kurang efisien diterapkan di daerah dengan kepadatan telepon rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan teknologi CDMA generasi awal (IS 95A, IS 95B, dan CDMAOne) kemudian hadir. Dengan kapasitas yang lebih besar dari GSM, CDMA ini mulai diimplementasikan di berbagai negara-termasuk Indonesia-dan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat.
Alternatif terakhir teknologi WLL berupa PCS/PCN, yang merupakan protokol yang menggabungkan elemen seluler digital dan standar cordless. Tujuannya untuk memberikan layanan wireless dengan mobilitas rendah yang menggunakan antena berdaya kecil dan handset yang ringan. Salah satu model PCS/PCN adalah personal handyphone system (PHS).
WLL yang dibangun oleh Mitra KSO sebagian besar menggunakan teknologi PHS yang mulai berkembang di Eropa dan Jepang sekitar tahun 1995. Di negeri Matahari Terbit perkembangan PHS sangat pesat, hanya dalam waktu dua tahun pelanggannya telah mencapai tujuh juta.
Prestasi yang mengesankan ini membuat para Mitra KSO Telkom di Indonesia saat itu tertarik menggunakannya. Hampir semua wilayah operasi KSO kemudian membangun jaringan telepon tetap dengan teknologi WLL karena nilai investasinya memang lebih rendah daripada jaringan kabel tembaga dan pembangunannya relatif cepat.
Mitra KSO semula berharap solusi WLL akan mendatangkan keuntungan yang signifikan sekaligus segera menyelesaikan target pembangunan ratusan ribu satuan sambungan telepon (SST) seperti disyaratkan dalam perjanjian KSO. Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan semula, perencanaan yang kurang matang dan proses alih teknologi yang setengah hati menyebabkan kualitas dan layanan WLL tak sebagus di negeri asalnya.
Sebenarnya WLL yang berbasis PHS merupakan teknologi tepat guna untuk daerah pinggiran perkotaan dan pedesaan (sub-urban), serta daerah terpencil (rural) yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk rendah. Kemampuan PHS cukup bagus karena tiap cell station (CS) mampu melayani sampai dengan 11 pembicaraan dalam waktu yang bersamaan.
WLL/PHS berada pada rentang frekuensi 1900,25 MHz sampai dengan 1915,55 MHz. Dengan alokasi frekuensi selebar 15 MHz ini sebenarnya sangat cukup memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat. Stigma buruk yang melekat pada WLL/PHS membuat Telkom berupaya mengembangkan teknologi nirkabel lain yang lebih canggih, CDMA 2000-1x dengan brand TelkomFlexi.
TelkomFlexi
CDMA 2000-1x yang menjadi platform Flexi merupakan sistem teknologi telekomunikasi tanpa kabel terbaru dengan berbagai kemampuan menjawab kebutuhan komunikasi masa depan. Jika dilihat dari kurva teknologi, CDMA2000-1x merupakan generasi ketiga (3G) setelah telepon seluler analog dan CDMA generasi awal. Teknologi ini menggunakan teknik penyebaran spektrum (spread spectrum) dengan kode-kode unik secara acak.
Awalnya digunakan oleh kalangan militer karena kebal terhadap gangguan (antijamming) dan bebas penyadapan (anti-intercept). Kemudian Qualcomm, sebuah vendor telekomunikasi dari Amerika Serikat, mengembangkan lebih lanjut untuk kepentingan sipil hingga tercapai standar CDMA 2000-1X pada bulan Maret 2000.
Selain kebal gangguan dan anti penyadapan, kualitas suara CDMA2000-1x juga lebih jernih serta aman bagi kesehatan karena radiasi gelombang radio yang dipancarkan relatif lebih rendah dibanding teknologi nirkabel lainnya. CDMA2000-1x juga pas untuk melakukan komunikasi data karena mampu melewatkan data berkecepatan tinggi. Selain itu mempunyai fitur-fitur layaknya dimiliki teknologi seluler GSM, misalnya SMS, CLIP, voice mail, call forwarding, call waiting, dan lain-lain.
Kekhawatiran masyarakat bahwa kualitas layanan dan teknologi yang digunakan Flexi sama dengan WLL semasa KSO (PHS) tidak perlu lagi terjadi karena Flexi lebih bagus. Dibutuhkan waktu untuk pembelajaran teknologi CDMA2000-1x agar dapat diterima masyarakat, tetapi yakin Flexi akan semakin dirasakan sebagai solusi telekomunikasi yang paling tepat.
Anton Timur (antontimur@yahoo.com), Praktisi Telekomunikasi
ENUM
Mobile Number Portability
Kompas-Rabu, 29 September 2004
Oleh: Anton Timur
BOOMING telepon seluler sedang melanda Indonesia. Salah satu pemicunya adalah tren kartu prabayar murah. Hanya dalam hitungan bulan pertumbuhan pelanggan seluler tiap operator melonjak pesat.
FENOMENA ini memberikan harapan yang cerah bagi industri telekomunikasi seluler, walau di sisi lain sebenarnya menimbulkan persoalan baru bagi konsumennya. Kebebasan konsumen seluler untuk memilih atau berpindah operator harus dilakukan dengan cara pembelian nomor ponsel baru. Akibatnya, konsumen seluler seolah menjadi kolektor nomor telepon dari beberapa operator.
Padahal seharusnya, semua operator telepon yang bergerak di Indonesia telah menerapkan konsep mobile number portability (MNP) atau dikenal juga dengan wireless number portability (WNP). Konsep ini memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memilih operator seluler mana pun dengan tetap menggunakan nomor ponsel yang sudah dimilikinya. Konsumen tak perlu harus berganti-apalagi menambah-nomor ponsel baru. (baca: "Number Portability di Indonesia", Kompas (16/9).
Dalam Telecommunication Regulation Handbook yang dikeluarkan oleh infoDev (www.infodev.org) bekerja sama dengan Bank Dunia dan International Telecommunication Union (ITU) disebutkan bahwa salah satu permasalahan interkoneksi global adalah belum diimplementasikannya number portability, termasuk MNP, di sebagian besar negara-negara anggota ITU. Kondisi ini mengakibatkan belum sepenuhnya terjadi kompetisi telekomunikasi yang fair dan lemahnya posisi konsumen telekomunikasi di negara-negara tersebut. (tabel).
Singapura merupakan pioner penerapan MNP di dunia. Sejak 1 April 1997 Infocomm Development Authority of Singapore (IDA)-badan regulasi informasi dan komunikasi Singapura- telah memutuskan untuk menerapkan MNP bagi semua operator seluler di negeri bersimbol kepala singa tersebut. Pelaksanaan MNP didahului dengan uji coba (field trial) pada pertengahan Februari 1997. Tujuannya untuk mencoba beberapa alternatif teknologi MNP yang bisa diadopsi oleh semua operator.
Solusi awal yang dipilih adalah penggunaan fasilitas call-forwarding. Bagi pelanggan yang ingin berpindah operator tetapi memilih untuk tetap mempertahankan nomor seluler eksisting, panggilan dari nomor telepon selulernya akan otomatis dialihkan dari sistem milik operator sebelumnya ke sistem operator baru. Tapi solusi ini dirasa kurang praktis, maka kemudian dipakai solusi lain yang lebih baik untuk jangka panjang melalui platform intelligent network (IN).
Awalnya untuk mengefektifkan MNP operator seluler Singapura mengenakan biaya administrasi bulanan kepada pelanggan sebesar 8-10 dollar Singapura (Rp 42.400-Rp 53.000) yang sejak 1 Agustus 2003 dihapuskan oleh IDA. Operator masih diberi hak untuk mengenakan biaya administrasi MNP tapi hanya satu kali (one time charge).
IDA juga mensyaratkan operator seluler untuk menyediakan layanan short message service (SMS) bagi konsumen seluler yang berlangganan MNP yang sebelumnya dicabut operator. Untuk itu operator harus meng-upgrade sistem MNP mereka agar mampu melayani SMS portability dan harus siap sebelum tanggal 1 Oktober 2003.
AMERIKA Serikat juga bisa kita jadikan tempat benchmarking konsep MNP. Federal Communications Commission (FCC) atau regulator telekomunikasi di Amerika Serikat menetapkan mulai 24 November 2003 semua operator seluler di AS harus menerapkan MNP. Sebelumnya semua operator telepon tetap di Negeri Paman Sam itu sudah lebih dulu mengimplementasikan number portability sehingga memberi kebebasan bagi seluruh pelanggan operator tetap di 100 kota besar di AS untuk berpindah ke operator lain yang diinginkannya.
Implementasi MNP di AS tidaklah semulus yang direncanakan. Pada awalnya hampir semua operator seluler di AS-termasuk Verizon, operator seluler terbesar dengan sekitar 33 juta pelanggan-mengajukan keberatan atas konsep MNP.
Cellular Telecommunications and Industry Association (CTIA) atau asosiasi industri dan telekomunikasi seluler AS memperhitungkan bahwa akan terjadi perpindahan pelanggan (churn) besar-besaran. Namun FCC berpendapat jika operator memiliki jaringan telekomunikasi yang andal dan pelayanan yang bagus, maka tidak perlu takut kehilangan pelanggan.
Sebelum pelaksanaan MNP, rata-rata churn yang terjadi relatif konstan antara 1,5 dan 3 persen tiap bulan per operator. Akhirnya setelah mengalami tiga kali penundaan-untuk memperbaiki beberapa perangkat pendukung MNP-semua operator seluler AS sepakat menerapkan MNP sebagai realisasi pelaksanaan Telecommunication Acts tahun 1996. Belakangan number portability diperluas lagi tidak hanya bagi sesama operator telepon tetap atau seluler, tetapi juga antara operator telepon tetap dengan operator seluler.
Indonesia termasuk salah satu negara anggota ITU yang belum mengadopsi konsep MNP. Padahal, Indonesia kini memiliki beberapa operator seluler besar seperti Telkomsel, Indosat Group (IM3 dan Satelindo), dan Excelcom yang berbasis GSM (global system for mobile communication).
Operator telepon bergerak yang menggunakan teknologi CDMA 2000-1X (code division multiple access) juga ada, misalnya Mobile-8 dan Mandara Seluler Indonesia (MSI). Masih ditambah lagi beberapa operator seluler lain dan operator 3G yang akan segera beroperasi (Cyber Access Communication dan Natrindo Telepon Seluler/ Lippo Telecom).
Jumlah pelanggan seluler di Indonesia hingga Juni 2004 mencapai sekitar 24 juta nomor, dan hingga akhir tahun diperkirakan melonjak menjadi 28 juta sambungan. Dari jumlah tersebut, Telkomsel mempunyai basis pelanggan sekitar 12,5 juta nomor, Indosat Grup 7,4 juta nomor, XL sekitar 3,7 juta pelanggan, sisanya operator lain sebanyak 0,4 juta. Pada tahun 2007 pelanggan seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta pelanggan didorong kecepatan pertumbuhan seluler dan terus berlangsungnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Banyaknya operator seluler tersebut memacu terjadinya iklim kompetisi. Operator seluler kemudian mencoba menyikapi kebutuhan jasa telekomunikasi dengan mengeluarkan berbagai produk dan layanan yang terbaik kepada konsumen seluler.
Tetapi karena operator-operator seluler Indonesia belum menerapkan konsep MNP, pelanggan seluler sebuah operator tidak bisa melakukan porting (berpindah ke operator lain) agar bisa mendapatkan layanan yang ditawarkan. Misalnya seorang pelanggan Telkomsel porting menjadi pelanggan Excelcom agar dapat menikmati telepon malam gratis yang ditawarkan Excelcom. Atau seorang pelanggan IM3 (Indosat) porting sementara menjadi pelanggan Telkomsel karena selama sebulan ia berada di daerah dengan sinyal Telkomsel yang lebih kuat.
Bisa dibayangkan konsumen seluler pasti akan tambah dimanjakan. Kedaulatan konsumen semakin ditegakkan, sementara industri seluler Indonesia juga tampil kompetitif karena MNP mampu mengeliminasi salah satu faktor penghambat interkoneksi antaroperator.
Tentu saja aturan dan perangkat pendukung MNP ini harus terpenuhi terlebih dulu, misalnya kesepakatan cara penanganan kewajiban pembayaran pelanggan dari operator lama ke operator baru agar tidak terjadi fraud. Alangkah bijak apabila regulator telekomunikasi segera berpihak kepada konsumen dengan membuat roadmap penerapan MNP di Indonesia.
Anton Timur Praktisi Telekomunikasi, Tinggal di Bandung
Kompas-Rabu, 29 September 2004
Oleh: Anton Timur
BOOMING telepon seluler sedang melanda Indonesia. Salah satu pemicunya adalah tren kartu prabayar murah. Hanya dalam hitungan bulan pertumbuhan pelanggan seluler tiap operator melonjak pesat.
FENOMENA ini memberikan harapan yang cerah bagi industri telekomunikasi seluler, walau di sisi lain sebenarnya menimbulkan persoalan baru bagi konsumennya. Kebebasan konsumen seluler untuk memilih atau berpindah operator harus dilakukan dengan cara pembelian nomor ponsel baru. Akibatnya, konsumen seluler seolah menjadi kolektor nomor telepon dari beberapa operator.
Padahal seharusnya, semua operator telepon yang bergerak di Indonesia telah menerapkan konsep mobile number portability (MNP) atau dikenal juga dengan wireless number portability (WNP). Konsep ini memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memilih operator seluler mana pun dengan tetap menggunakan nomor ponsel yang sudah dimilikinya. Konsumen tak perlu harus berganti-apalagi menambah-nomor ponsel baru. (baca: "Number Portability di Indonesia", Kompas (16/9).
Dalam Telecommunication Regulation Handbook yang dikeluarkan oleh infoDev (www.infodev.org) bekerja sama dengan Bank Dunia dan International Telecommunication Union (ITU) disebutkan bahwa salah satu permasalahan interkoneksi global adalah belum diimplementasikannya number portability, termasuk MNP, di sebagian besar negara-negara anggota ITU. Kondisi ini mengakibatkan belum sepenuhnya terjadi kompetisi telekomunikasi yang fair dan lemahnya posisi konsumen telekomunikasi di negara-negara tersebut. (tabel).
Singapura merupakan pioner penerapan MNP di dunia. Sejak 1 April 1997 Infocomm Development Authority of Singapore (IDA)-badan regulasi informasi dan komunikasi Singapura- telah memutuskan untuk menerapkan MNP bagi semua operator seluler di negeri bersimbol kepala singa tersebut. Pelaksanaan MNP didahului dengan uji coba (field trial) pada pertengahan Februari 1997. Tujuannya untuk mencoba beberapa alternatif teknologi MNP yang bisa diadopsi oleh semua operator.
Solusi awal yang dipilih adalah penggunaan fasilitas call-forwarding. Bagi pelanggan yang ingin berpindah operator tetapi memilih untuk tetap mempertahankan nomor seluler eksisting, panggilan dari nomor telepon selulernya akan otomatis dialihkan dari sistem milik operator sebelumnya ke sistem operator baru. Tapi solusi ini dirasa kurang praktis, maka kemudian dipakai solusi lain yang lebih baik untuk jangka panjang melalui platform intelligent network (IN).
Awalnya untuk mengefektifkan MNP operator seluler Singapura mengenakan biaya administrasi bulanan kepada pelanggan sebesar 8-10 dollar Singapura (Rp 42.400-Rp 53.000) yang sejak 1 Agustus 2003 dihapuskan oleh IDA. Operator masih diberi hak untuk mengenakan biaya administrasi MNP tapi hanya satu kali (one time charge).
IDA juga mensyaratkan operator seluler untuk menyediakan layanan short message service (SMS) bagi konsumen seluler yang berlangganan MNP yang sebelumnya dicabut operator. Untuk itu operator harus meng-upgrade sistem MNP mereka agar mampu melayani SMS portability dan harus siap sebelum tanggal 1 Oktober 2003.
AMERIKA Serikat juga bisa kita jadikan tempat benchmarking konsep MNP. Federal Communications Commission (FCC) atau regulator telekomunikasi di Amerika Serikat menetapkan mulai 24 November 2003 semua operator seluler di AS harus menerapkan MNP. Sebelumnya semua operator telepon tetap di Negeri Paman Sam itu sudah lebih dulu mengimplementasikan number portability sehingga memberi kebebasan bagi seluruh pelanggan operator tetap di 100 kota besar di AS untuk berpindah ke operator lain yang diinginkannya.
Implementasi MNP di AS tidaklah semulus yang direncanakan. Pada awalnya hampir semua operator seluler di AS-termasuk Verizon, operator seluler terbesar dengan sekitar 33 juta pelanggan-mengajukan keberatan atas konsep MNP.
Cellular Telecommunications and Industry Association (CTIA) atau asosiasi industri dan telekomunikasi seluler AS memperhitungkan bahwa akan terjadi perpindahan pelanggan (churn) besar-besaran. Namun FCC berpendapat jika operator memiliki jaringan telekomunikasi yang andal dan pelayanan yang bagus, maka tidak perlu takut kehilangan pelanggan.
Sebelum pelaksanaan MNP, rata-rata churn yang terjadi relatif konstan antara 1,5 dan 3 persen tiap bulan per operator. Akhirnya setelah mengalami tiga kali penundaan-untuk memperbaiki beberapa perangkat pendukung MNP-semua operator seluler AS sepakat menerapkan MNP sebagai realisasi pelaksanaan Telecommunication Acts tahun 1996. Belakangan number portability diperluas lagi tidak hanya bagi sesama operator telepon tetap atau seluler, tetapi juga antara operator telepon tetap dengan operator seluler.
Indonesia termasuk salah satu negara anggota ITU yang belum mengadopsi konsep MNP. Padahal, Indonesia kini memiliki beberapa operator seluler besar seperti Telkomsel, Indosat Group (IM3 dan Satelindo), dan Excelcom yang berbasis GSM (global system for mobile communication).
Operator telepon bergerak yang menggunakan teknologi CDMA 2000-1X (code division multiple access) juga ada, misalnya Mobile-8 dan Mandara Seluler Indonesia (MSI). Masih ditambah lagi beberapa operator seluler lain dan operator 3G yang akan segera beroperasi (Cyber Access Communication dan Natrindo Telepon Seluler/ Lippo Telecom).
Jumlah pelanggan seluler di Indonesia hingga Juni 2004 mencapai sekitar 24 juta nomor, dan hingga akhir tahun diperkirakan melonjak menjadi 28 juta sambungan. Dari jumlah tersebut, Telkomsel mempunyai basis pelanggan sekitar 12,5 juta nomor, Indosat Grup 7,4 juta nomor, XL sekitar 3,7 juta pelanggan, sisanya operator lain sebanyak 0,4 juta. Pada tahun 2007 pelanggan seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta pelanggan didorong kecepatan pertumbuhan seluler dan terus berlangsungnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Banyaknya operator seluler tersebut memacu terjadinya iklim kompetisi. Operator seluler kemudian mencoba menyikapi kebutuhan jasa telekomunikasi dengan mengeluarkan berbagai produk dan layanan yang terbaik kepada konsumen seluler.
Tetapi karena operator-operator seluler Indonesia belum menerapkan konsep MNP, pelanggan seluler sebuah operator tidak bisa melakukan porting (berpindah ke operator lain) agar bisa mendapatkan layanan yang ditawarkan. Misalnya seorang pelanggan Telkomsel porting menjadi pelanggan Excelcom agar dapat menikmati telepon malam gratis yang ditawarkan Excelcom. Atau seorang pelanggan IM3 (Indosat) porting sementara menjadi pelanggan Telkomsel karena selama sebulan ia berada di daerah dengan sinyal Telkomsel yang lebih kuat.
Bisa dibayangkan konsumen seluler pasti akan tambah dimanjakan. Kedaulatan konsumen semakin ditegakkan, sementara industri seluler Indonesia juga tampil kompetitif karena MNP mampu mengeliminasi salah satu faktor penghambat interkoneksi antaroperator.
Tentu saja aturan dan perangkat pendukung MNP ini harus terpenuhi terlebih dulu, misalnya kesepakatan cara penanganan kewajiban pembayaran pelanggan dari operator lama ke operator baru agar tidak terjadi fraud. Alangkah bijak apabila regulator telekomunikasi segera berpihak kepada konsumen dengan membuat roadmap penerapan MNP di Indonesia.
Anton Timur Praktisi Telekomunikasi, Tinggal di Bandung
Konfigurasi PCM 30
source : http://madesuardiputera.blogspot.com/
1.1 PCM
PCM atau Pulse Code Modulation adalah sebuah A/D converter yang dapat merubah snyal analog menjadi sinyal digital, proses perubahan sinyal analog menjadi sinyal digital dapat digambarkan sebagai berikut :
1.2 PCM 30
PULSE CODE MODULATION-30
( PLESIOCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY ORDER-1)
1.2.1 Fungsi PCM 30 :
1. Coder (Konverter A/D) :
Mengubah sinyal analog (dengan frekwensi suara 300 - 3400 Hz) menjadi sinyal digital 64
Kbit/s..
2. Multiplexing :
Menggabungkan 30 kanal sinyal digital 64 kbps paralel menjadi satu deretan sinyal unipolar
2048 Kbit/s NRZ.
3. Line Coding :
Mengubah sinyal unipolar 2048 Kbps NRZ menjadi sinyal bipolar 2048 Kbps HDB-3..
1.2.2 APPLIKASI PCM - 30
1. Menghubungkan Sentral Analog dengan Multiplex Digital Order Tinggi
2. Menghubungkan Sentral Analog dengan Sentral Analog
3. Menghubungkan Sentral dengan RK
4. Menghubungkan Sentral Digital dengan Perangkat Transmisi Analog
5. Menghubungkan Terminal Data dengan Perangkat Multiplex digital Order Tinggi
1.2.3 Konfigurasi PCM 30
1.2.4 PCM 30 Arah Kirim
1.2.4.1 Block Diagram PCM-30 (Arah Kirim)
1.2.4.2 Cara Kerja PCM – 30 (Arah Kirim)
1.2.4.1. Band Pass Filter :
1.2.4.2. Sampling
1.2.4.3. Kuantisasi.
a. Proses Pemberian harga terhadap sinyal PAM; yang besarnya sesuai dengan harga
tegangan pembanding terdekat.
b. Setiap pulsa akan diletakan kedalam polaritas positif atau polaritas negatif.
c. Setiap polaritas dibagi menjadi beberapa segment/sub segment(interval).
d. Kuantisasi ada 2 macam :
- Uniform (Linear)
- Non-uniform (Non-linear)
1.2.4.4 Coding
Mengubah sinyal PAM menjadi sinyal digital
(A – D Converter).
Pada PCM-30 berlaku Hukum Companding-A :
a. Setiap pulsa PAM ditempatkan pada polaritas positif atau negatif; dan ditandai dengan huruf
“S”:
- Untuk Polaritas Positif S = 1
- Untuk Polaritas Negatif S = 0
b.. Setiap polaritas dibagi menjadi 8 segment; segment ke -0 s/d 7, dan ditandai dengan huruf
“ABC”.
c. Setiap segment dibagi menjadi 16 sub- segment (interval); interval ke-0 s/d 15, dan ditandai
dengan huruf “WXYZ”.
Sehingga setiap pulsa PAM akan diubah menjadi sinyal digital dengan susunan bit-bitnya sbb. :
Dalam kaitan dengan proses kuantisasi dan coding ini, dikenal adanya
hukum companding; dan didalam PCM-30 berlaku Hukum Companding
“A”, yang mempunyai aturan sbb. :
1. Meletakan sinyal kedalam 2 polaritas; yaitu polaritas positive, yang ditandai dengan satu digit “1”; atau polaritas negative yang ditandai dengan satu digit “0”.
2. Setiap Polaritas dibagi menjadi 8 segment; yang ditandai dengan tiga digit “0” dan/atau “1”,
dengan no. mulai dari “0” s/d “7”.
3. Setiap segment dibagi lagi menjadi 16 subsegment, atau interval; dan ditandai dengan empat
digit “0” dan/atau “1”, dengan no. mulai dari “0” s/d “15”.
Lihat Gambar berikut.
1.2.4.4 Multiplexing
a. Prinsip : Time Division Multiplexing
b. Metode : “Word-by-Word Interleaving” atau “Byte-by-byte Interleaving”; atau “Cyclic Word
Interleaving” atau “Cyclic Byte Interleaving
c. Menggabungkan :
- 30 kanal telepon 64 kbps,
- 1 kanal signalling 64 kbps
- 1 kanal FAS 64 kbps.
Menjadi satu deretan sinyal serial 2048 Kbps.
d. Setiap kanal menempati satu “Time Slot” (TS) :
- TS-0 untuk FAS/Alarm
- TS-1 s/d TS-15 untuk kanal telepon 1 s/d 15
- TS-16 untuk Signalling
- TS-17 s/d TS-31 untuk kanal telepon 16 s/d 30 .
1.2.4.5 Frame PCM – 30
1.2.4.6 Struktur Frame PCM-30.
- Satu Multi Frame, dengan panjang waktu 1 Multi Frame 2 m
- Enam belas Frame, dengan panjang waktu 1 Frame 125 μS
- 32 TS/Frame, dengan panjang waktu 1 TS 3,9 μ S
- 8 Bit/TS, dengan panjang waktu 1 bit 488 nS
- Jumlah bit/Frame 256 bit
- Jumlah bit/Multi Frame 4096 bit
- Bit FAS sebanyak 7 bit ( 0011011); bit-2 s/d 8 TS-0, Frame-frame genap (frame- 0, 2, 4,
dstnya.)
- Bit MFAS sebanyak 4 bit, dengan susunan 0000; terletak pada bit-1 s/d 4 TS- 16, Frame-0.
- Bit Signalling (4 bit/kanal); pada bit-1 s/d 4, dan bit-5 s/d 8 TS-16, Frame-1 s/d Frame-15.
- Bit Alarm (A1) sinyal 2 Mbit/s terletak pada bit-3 TS-0, Frame-frame ganjil (1, 3,5 dstnya).
- Bit Alarm (A2) sinyal 64 Kbit/s (Signalling) terletak pada bit-6 TS - 16, Frame-0.
1.2.4.7 Gambar Struktur Frame PCM 30
1.2.4.9 Line Coding
Konversi sinyal unipolar NRZ 2048 Kbps menjadi sinyal HDB-3 :
a. Digit “1” dikodekan menjadi tegangan positif atau negatif bergantian, yang polaritasnya selalu
berlawan dengan digit “1” sebelumnya.
b. Digit-0 dikodekan menjadi tegangan 0 volt.
c. Deretan digit “0” berturutan maksimum 3 buah.
d. Jika digit “0” berturutan > 3; maka digit “0” ke-4 atau kelipatannya harus diubah menjadi bit
“VIOLASI”, yang polaritasnya sama dengan polaritas bit “1” sebelumnya.
e. Jika sebelum bit-V ada bit-1 genap, atau tidak ada bit-1 nya; maka bit-0 pertama dari setiap
4 bit-0 harus diubah menjadi bit-1 tambahan, yang polaritasnya berlawanan dengan bit “1”
sebelumnya.
1.2.4.10 Generator Timing Clock.
Generator Timing Clock berfungsi untuk membangkitkan timing clock yang dibutuhkan untuk seluruh proses pada PCM-30 arah kirim.
Untuk arah kirim sumber dari generator clock tersebut bisa x-tall oscillator internal, atau bisa juga frekwensi yang berasal dari luar.
1.2.5 PCM - 30 Arah Terima
1) Fungsi Line Coding :
Konversi sinyal 2048 Kbit/s HDB-3 menjadi sinyal 2048 Kbit/s NRZ.
2) Fungsi Demultiplexing :
Memisah sinyal serial 2048 Kbit/s NRZ menjadi 30 kanal sinyal digital 64 kbps paralel.
3) Fungsi Decoder (Konverter D/A) :
Konversi sinyal digital 64 Kbit/s menjadi sinyal analog (frekwensi suara 300 - 3400 Hz).
1.2.5.2 Cara Kerja PCM – 30 Arah Terima
1.2.5.2.1 Line Coding.
Mengubah sinyal 2048 Kbit/s HDB-3 menjadi sinyal 2048 Kbit/s unipolar NRZ :
a. Setiap deretan bit 1+0 0 1+ atau 1-0 0 1- akan dikonversi menjadi deretan bit 0 0 0 0.
b. Setiap deretan bit 1+0 0 0 1+ atau 1-0 0 0 1- akan dikonversi menjadi deretan bit 1 0 0 0 0.
1.2.5.2.2 Demultiplexing.
Memisah satu sinyal serial 2048 Kbit/s NRZ menjadi 32 kanal sinyal digital 64 kbps paralel :
a. 30 kanal telepon 64 kbps,
b. 1 kanal signalling 64 kbps
c. 1 kanal FAS 64 kbps.
1.2.5.2.3. Decoder (Konverter D/A) :
Konversi sinyal digital 64 Kbit/s menjadi sinyal analog dalam bentuk PAM.
4. Filtering.
Low Pass Filter (LPF) akan membangun kembali dari bentuk sinyal PAM menjadi bentuk
sinyal sinusoidal murni.
LPF ini hanya melewatkan komponen frekwensi 3400 Hz kebawah.
1.2.5.2.3.5. Generator Timing Clock.
Generator Timing Clock berfungsi untuk membangkitkan timing clock yang dibutuhkan untuk seluruh proses pada PCM-30 pada arah terima.
Sumber dari generator timing clock adalah dari stasiun lawan, yang diterima bersamaan dengan sinyal informasi 2048 Kbps, sehingga clock timing antara penerima dan pengirimnya selalu sinkron
1.1 PCM
PCM atau Pulse Code Modulation adalah sebuah A/D converter yang dapat merubah snyal analog menjadi sinyal digital, proses perubahan sinyal analog menjadi sinyal digital dapat digambarkan sebagai berikut :
1.2 PCM 30
PULSE CODE MODULATION-30
( PLESIOCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY ORDER-1)
1.2.1 Fungsi PCM 30 :
1. Coder (Konverter A/D) :
Mengubah sinyal analog (dengan frekwensi suara 300 - 3400 Hz) menjadi sinyal digital 64
Kbit/s..
2. Multiplexing :
Menggabungkan 30 kanal sinyal digital 64 kbps paralel menjadi satu deretan sinyal unipolar
2048 Kbit/s NRZ.
3. Line Coding :
Mengubah sinyal unipolar 2048 Kbps NRZ menjadi sinyal bipolar 2048 Kbps HDB-3..
1.2.2 APPLIKASI PCM - 30
1. Menghubungkan Sentral Analog dengan Multiplex Digital Order Tinggi
2. Menghubungkan Sentral Analog dengan Sentral Analog
3. Menghubungkan Sentral dengan RK
4. Menghubungkan Sentral Digital dengan Perangkat Transmisi Analog
5. Menghubungkan Terminal Data dengan Perangkat Multiplex digital Order Tinggi
1.2.3 Konfigurasi PCM 30
1.2.4 PCM 30 Arah Kirim
1.2.4.1 Block Diagram PCM-30 (Arah Kirim)
1.2.4.2 Cara Kerja PCM – 30 (Arah Kirim)
1.2.4.1. Band Pass Filter :
1.2.4.2. Sampling
1.2.4.3. Kuantisasi.
a. Proses Pemberian harga terhadap sinyal PAM; yang besarnya sesuai dengan harga
tegangan pembanding terdekat.
b. Setiap pulsa akan diletakan kedalam polaritas positif atau polaritas negatif.
c. Setiap polaritas dibagi menjadi beberapa segment/sub segment(interval).
d. Kuantisasi ada 2 macam :
- Uniform (Linear)
- Non-uniform (Non-linear)
1.2.4.4 Coding
Mengubah sinyal PAM menjadi sinyal digital
(A – D Converter).
Pada PCM-30 berlaku Hukum Companding-A :
a. Setiap pulsa PAM ditempatkan pada polaritas positif atau negatif; dan ditandai dengan huruf
“S”:
- Untuk Polaritas Positif S = 1
- Untuk Polaritas Negatif S = 0
b.. Setiap polaritas dibagi menjadi 8 segment; segment ke -0 s/d 7, dan ditandai dengan huruf
“ABC”.
c. Setiap segment dibagi menjadi 16 sub- segment (interval); interval ke-0 s/d 15, dan ditandai
dengan huruf “WXYZ”.
Sehingga setiap pulsa PAM akan diubah menjadi sinyal digital dengan susunan bit-bitnya sbb. :
Dalam kaitan dengan proses kuantisasi dan coding ini, dikenal adanya
hukum companding; dan didalam PCM-30 berlaku Hukum Companding
“A”, yang mempunyai aturan sbb. :
1. Meletakan sinyal kedalam 2 polaritas; yaitu polaritas positive, yang ditandai dengan satu digit “1”; atau polaritas negative yang ditandai dengan satu digit “0”.
2. Setiap Polaritas dibagi menjadi 8 segment; yang ditandai dengan tiga digit “0” dan/atau “1”,
dengan no. mulai dari “0” s/d “7”.
3. Setiap segment dibagi lagi menjadi 16 subsegment, atau interval; dan ditandai dengan empat
digit “0” dan/atau “1”, dengan no. mulai dari “0” s/d “15”.
Lihat Gambar berikut.
1.2.4.4 Multiplexing
a. Prinsip : Time Division Multiplexing
b. Metode : “Word-by-Word Interleaving” atau “Byte-by-byte Interleaving”; atau “Cyclic Word
Interleaving” atau “Cyclic Byte Interleaving
c. Menggabungkan :
- 30 kanal telepon 64 kbps,
- 1 kanal signalling 64 kbps
- 1 kanal FAS 64 kbps.
Menjadi satu deretan sinyal serial 2048 Kbps.
d. Setiap kanal menempati satu “Time Slot” (TS) :
- TS-0 untuk FAS/Alarm
- TS-1 s/d TS-15 untuk kanal telepon 1 s/d 15
- TS-16 untuk Signalling
- TS-17 s/d TS-31 untuk kanal telepon 16 s/d 30 .
1.2.4.5 Frame PCM – 30
1.2.4.6 Struktur Frame PCM-30.
- Satu Multi Frame, dengan panjang waktu 1 Multi Frame 2 m
- Enam belas Frame, dengan panjang waktu 1 Frame 125 μS
- 32 TS/Frame, dengan panjang waktu 1 TS 3,9 μ S
- 8 Bit/TS, dengan panjang waktu 1 bit 488 nS
- Jumlah bit/Frame 256 bit
- Jumlah bit/Multi Frame 4096 bit
- Bit FAS sebanyak 7 bit ( 0011011); bit-2 s/d 8 TS-0, Frame-frame genap (frame- 0, 2, 4,
dstnya.)
- Bit MFAS sebanyak 4 bit, dengan susunan 0000; terletak pada bit-1 s/d 4 TS- 16, Frame-0.
- Bit Signalling (4 bit/kanal); pada bit-1 s/d 4, dan bit-5 s/d 8 TS-16, Frame-1 s/d Frame-15.
- Bit Alarm (A1) sinyal 2 Mbit/s terletak pada bit-3 TS-0, Frame-frame ganjil (1, 3,5 dstnya).
- Bit Alarm (A2) sinyal 64 Kbit/s (Signalling) terletak pada bit-6 TS - 16, Frame-0.
1.2.4.7 Gambar Struktur Frame PCM 30
1.2.4.9 Line Coding
Konversi sinyal unipolar NRZ 2048 Kbps menjadi sinyal HDB-3 :
a. Digit “1” dikodekan menjadi tegangan positif atau negatif bergantian, yang polaritasnya selalu
berlawan dengan digit “1” sebelumnya.
b. Digit-0 dikodekan menjadi tegangan 0 volt.
c. Deretan digit “0” berturutan maksimum 3 buah.
d. Jika digit “0” berturutan > 3; maka digit “0” ke-4 atau kelipatannya harus diubah menjadi bit
“VIOLASI”, yang polaritasnya sama dengan polaritas bit “1” sebelumnya.
e. Jika sebelum bit-V ada bit-1 genap, atau tidak ada bit-1 nya; maka bit-0 pertama dari setiap
4 bit-0 harus diubah menjadi bit-1 tambahan, yang polaritasnya berlawanan dengan bit “1”
sebelumnya.
1.2.4.10 Generator Timing Clock.
Generator Timing Clock berfungsi untuk membangkitkan timing clock yang dibutuhkan untuk seluruh proses pada PCM-30 arah kirim.
Untuk arah kirim sumber dari generator clock tersebut bisa x-tall oscillator internal, atau bisa juga frekwensi yang berasal dari luar.
1.2.5 PCM - 30 Arah Terima
1) Fungsi Line Coding :
Konversi sinyal 2048 Kbit/s HDB-3 menjadi sinyal 2048 Kbit/s NRZ.
2) Fungsi Demultiplexing :
Memisah sinyal serial 2048 Kbit/s NRZ menjadi 30 kanal sinyal digital 64 kbps paralel.
3) Fungsi Decoder (Konverter D/A) :
Konversi sinyal digital 64 Kbit/s menjadi sinyal analog (frekwensi suara 300 - 3400 Hz).
1.2.5.2 Cara Kerja PCM – 30 Arah Terima
1.2.5.2.1 Line Coding.
Mengubah sinyal 2048 Kbit/s HDB-3 menjadi sinyal 2048 Kbit/s unipolar NRZ :
a. Setiap deretan bit 1+0 0 1+ atau 1-0 0 1- akan dikonversi menjadi deretan bit 0 0 0 0.
b. Setiap deretan bit 1+0 0 0 1+ atau 1-0 0 0 1- akan dikonversi menjadi deretan bit 1 0 0 0 0.
1.2.5.2.2 Demultiplexing.
Memisah satu sinyal serial 2048 Kbit/s NRZ menjadi 32 kanal sinyal digital 64 kbps paralel :
a. 30 kanal telepon 64 kbps,
b. 1 kanal signalling 64 kbps
c. 1 kanal FAS 64 kbps.
1.2.5.2.3. Decoder (Konverter D/A) :
Konversi sinyal digital 64 Kbit/s menjadi sinyal analog dalam bentuk PAM.
4. Filtering.
Low Pass Filter (LPF) akan membangun kembali dari bentuk sinyal PAM menjadi bentuk
sinyal sinusoidal murni.
LPF ini hanya melewatkan komponen frekwensi 3400 Hz kebawah.
1.2.5.2.3.5. Generator Timing Clock.
Generator Timing Clock berfungsi untuk membangkitkan timing clock yang dibutuhkan untuk seluruh proses pada PCM-30 pada arah terima.
Sumber dari generator timing clock adalah dari stasiun lawan, yang diterima bersamaan dengan sinyal informasi 2048 Kbps, sehingga clock timing antara penerima dan pengirimnya selalu sinkron
Selasa, 14 April 2009
E1. Speech code PCM
Thursday, 28 August 2008 03:58
PCM (Pulse Code Multiplexing) adalah metode standar yang digunakan dalam jaringan telepon untuk mengubah sinyal analog menjadi sinyal digital untuk dilewatkan pada jaringan telekomunikasi digital.
PCM 30 mempunyai primary rate sebesar 2.048 kbps yang terdiri dari 8000 frame tiap detik. Tiap frame mengandung 32 time slot, 30 time slot digunakan untuk pembicaraan, 1 time slot untuk sinkronisasi, dan 1 time slot untuk signaling. Setiap time slot mengandung 8 bit sampel. Kanal voice ini kemudian dimultiplex secara sinkron ke dalam sebuah 2-Mbps data stream, yang biasa disebut E1. Speech code PCM ditransmisikan 8 bit per time slot sebanyak 8000 kali dalam satu detik.sehingga data ratenya menjadi 64 kbps.
PCM 24 mempunyai primary rate sebesar 1.544 kbps yang terdiri dari 8000 frame tiap detik. Tiap frame mengandung 24 time slot. Dalam setiap frame ditambahkan satu bit frame, satu frame alignment atau sinkronisasi bit (S-bit). Kanal yang digunakan disebut T1. Pada T1 tidak ada time slot yang berfungsi sebagai signaling. Satu bit pada tiap time slot setiap frame ke-6 diganti menjadi signaling information. Sebagai konsekuensi, hanya 7 dari 8 bit yang digunakan, sehingga besar data ratenya menjadi 56 kbps.
BTS
Menyikap Seluk Beluk BTS
Kamis,15 Jan 2004
Selular
Menyikap Seluk Beluk BTS
Sempurna tidaknya sinyak yang diperoleh sebuah ponsel sangat tergantung dengan BTS. Namun, seperti apa sebenarnya cara kerja sebuah BTS?
Bila anda sedang berada di kota-kota besar, semacam Jakarta atau Surabaya Jamak terlihat pemandangan sebuah tower menjulang dan dilengkapi dengan perangkat-perangkat berbentuk piringan, atau benda berbentuk kotak. Terkadang, tower-tower semacam ity tegak berdampingan. Benda serupa, kadang bisa dijumpai juga saat anda berkendara ke luar kota.
Tower seperti itu adalah bagian dari sebuah BTS (base transceiver station). Istilah BTS sendiri sebenarnya sudah menjadi istilah umum bagi pelanggan selular. Baik pelanggan GSM maupun CDMA. Sebab memang BTS-lah komponen jaringan GSM yang pertama kali koneksi dengan ponsel anda.
BTS sendiri sebenarnya terdiri dari tiga bagian utama. Yakni, tower, shelter dan feeder. Dari ketiga komponen utama itu, towerlah yang paling jelas terlihat. Di bawah tower, biasanya ada sebuah bangunan yang biasanya berukuran 3 x 3 meter. Inilah yang disebut shelter. Di dalam terdapat berbagai combiner, module per carrier, core module (module ini(, power supply, fan (kipas) pendingin, dan AC / DC converter.
Seluruh perangkat dalam shelter BTS tidak ubahnya seperti rak-rak besi, atau malah lebih mirip lemari pendingin. Rak besi ini disebut juga sebagai BTS equipment (BTSE). Untuk mentenagai perangkat tadi rata-rata diperlukan range antara 500 sampai 1500 watt, tergantung module dan hadrware yang digunakan.
BTS hanyalah salah satu bagian dari seluruh rangkaian proses pengiriman sinyal, yang sebenarnya juga terdiri dari tiga komponen utama. Takni BBS, SSS dan intelligent network. BTS sendiri termasuk dalam komponen BSS (Base Station Subsystem). Selain BTS, dalam BSS juga dikenal BSC (Base Station Controler), dimana dalam alur sistem, beberapa BTS ditangai oleh satu BSC –umumnya satu BSC menangani sekitar 200 BTS.
Adapun komponen SSS (Switching Subsystem), mencakup kombinasi berbagai perangkat seperti MSC (mobile service Switching Center), HLR (Home Location Register), dan VLR (Visitor Location Register). Alur sistem informasi yang terdapat pada komponen BSS, dapat dilihat dalam gambar sistem jaringan GSM.
Alur Sistem BSS
Alur jaringan bisa diilustrasikan sebagai berikut: Pertama terpancar data atau sinyal dari ponsel yang diterima oleh antena (cell), dimana data atau sinyal tersebut dipancarkan lewat udara dalam area converage cell BTS. Kedua data atau sinyal yang diterima antena disampaikan melalui feeder (kabel antena), yang selanjutnya diolah dalam modul-modul hardware dan software BTS. Setelah itu tercipta output data yang diteruskan ke rangkaian luar BTS, yakni BSC. Untuk menghubungkan transmisi antara BTS dan BSC dipergunakan microwave.
“Microwave dipergunakan untuk menggantikan perang fungsi kabel, seperti PCM (Pulse Code Modulation) cable, seperti PCM (Pulse Code Modulation) cable atau fiber opric. Namun baik microwave dan fiber optic memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,†papar Hendarmin, technical instrction ICM Training Center Siemens. Kelebihan microwave ialah infrastruktur yang dibangun lebih murah. Sedang kekurangan microwave kapasitas lebih rendah, kualitas bisa lebih buruk jika terjadi gangguan di udara. Lalu alternatif lain fiber optic, dengan kelebihan kapasitas lebih besar (fisik lebih kecil) ditunjang kualitas data lebih baik.
Kelemahan fiber optic adalah investasinya lebih mahal, sebab memerlukan penggalian tanah atau laut. Excelcom merupakan operator yang mempopulerkan penggunaan fiber optic guna mendukung transmisi, istilah yang dulu dikenal dengan teknologi Connetrix. Selain ity microwave juga dapat dipergunakan untuk mendukung koneksi dari BSC ke TRAU (Transcoder and Rate Adaption Unit), atau dari TRAU ke MSC. Proses alur tadi juga bisa berjalan dari arah sebaliknya. TRAU merupakan jalur penghubung dari BSC ke komponen SSS. Selain sebagai penghubung, TRAU berfungsi untuk mengkompresi traffic channel GSM. Sedang untuk kebutuhan channel GPRS tidak dipergunakan komponen TRAU.
Jenis dan Kelas BTS
Dalam istilah BTS juga dikenal berbagai pembagian kelas. Semisal untuk penempatan BTS, dibagi kedalam kelas indoor dan outdoor. BTS indoor mempunyai spesifikasi desain yang lebih ramping atau simpel, dan relatif lebih awet karena ditempatkan di dalam ruangan. Namun BTS indoor juga memiliki kelemahan pada penempatan ruangan tersendiri yang harus dilengkapi AC (Air Conditioner) sebagai pendingin. Rentang suhu yang dapat diterima komponen BTS antaa -5 hingg 55 derajat celcius. Umumnya perangkat BTS ini yang terdapat di dalam shelter dan mall-mall.
Selain itu terdapat BTS outdoor yang mempunyai spesifikasi tidak memerlukan ruangan khusus. Dapat ditempatkan pada dinding (wall mounted), terowongan, dan pinggir jalan. Sifatnya yang lebih fleksibel, tapi punya kelemahan desain yang lebih besar dan berat. Perbedaan biasanya hanya pada rack, tapi isi module-nya hampir sama dengan BTS indoor.
Menurut Hendarmin, kemampuan BTS juga dipengaruhi kapasitas yang tersedia. Kapasitas dalam hal ini menyangkut daya tampung Trx (Tranceiver) atau frekuensi. Biasanya dalam satu tower BTS terdiri dari 3 cell. Jika 1 cell memiliki 3 Trx, dimana 1 Trx tersebut memiliki 8 time slot. Artinya time slot inilah yang digunakan oleh subscriber atau pelanggan untuk melakukan komunikasi selular. Dari 8 time slot, 1 time slot khusus digunakan untuk signaling yang berfungsi untuk membawa informasi tentang parameter cell. Sisanya tujuh time slot biasa digunakan untuk komunikasi voice dan GPRS. Jadi satu cell yang memiliki tiga Trx (3 x 8 slot) – 1 time slot, artinya terdapat 23 time slot yang bisa digunakan komunikasi oleh 23 pelanggan secara bersamaan. Singkatnya 69 percakapan suara dapat di cover bersamaan oleh 1 tower BTS dengan 3 cell yang ada.
Hubungan Antara Cell dan Converage
Cell dalam BTS mempunyai kaitan erat dengan converage (area layanan). Besar kecilnya cell tentu berpengaruh pada performa jaringan yang diterima oleh pelanggan. Penyediaan cell pun tidak terlepas dari faktor kontur permukaan bumi. Seperti tanah lapang, pegunungan dan daerah gedung bertingkat mempunyai pengaruh tersendiri dalam pemasangan cell BTS. Berikut ini dijelaskan beberapa tipe cell, dan luas converage yang mampu dicakup.
Macro cell – jenis ini yang paling gampang dilihat, sebab ditempatkan di atas gedung tinggi atau tower dengan ketinggian sekitar 50 meter. Ciri macro cell yakni memiliki transmit power yang lebih tinggi, dan converage lebih luas. Umumnya macro cell banyak ditempatkan di daerah pinggiran kota yang mempunyai kepadatan rendah (low traffic) dan sesuai bagi pelanggan yang membutuhkan mobilitas tinggi. Jarak jangkauan bisa berbeda antar operator, tergantung desain yang dibutuhkan. Maksimum macro cell mempunyai jangkauan hingga 35 km, pada realitanya macro cell hanya beroperasi hingga 20 km saja. Ini disebabkan adanya halangan-halangan yang mengganggu penetrasi signal.
Micro cell – jenis ini biasanya ditempatkan di pinggiran jalan atau di sela-sela pojok gedung. Macro cell dirancang bagi komunikasi pelanggan dengan kepadatan tinggi, namun bermobilitas rendah. Ciri micro cell yakni converage nya kecil namun kapasitas besar dengan transmit power yang rendah. Biasanya antenanya cukup dipasang di plafon atau langit-langit suatu ruangan, ada juga tanpa antena alias ditempel pada dinding. Micro cell sendiri dibagi ke dalam micro cell standar, pico cell, dan nano cell. Maksimum micro cell mempunyai jangkauan antara 500 meter hingga 1 km.
Sumber: Selular, No. 46, Januari 2004
Kamis,15 Jan 2004
Selular
Menyikap Seluk Beluk BTS
Sempurna tidaknya sinyak yang diperoleh sebuah ponsel sangat tergantung dengan BTS. Namun, seperti apa sebenarnya cara kerja sebuah BTS?
Bila anda sedang berada di kota-kota besar, semacam Jakarta atau Surabaya Jamak terlihat pemandangan sebuah tower menjulang dan dilengkapi dengan perangkat-perangkat berbentuk piringan, atau benda berbentuk kotak. Terkadang, tower-tower semacam ity tegak berdampingan. Benda serupa, kadang bisa dijumpai juga saat anda berkendara ke luar kota.
Tower seperti itu adalah bagian dari sebuah BTS (base transceiver station). Istilah BTS sendiri sebenarnya sudah menjadi istilah umum bagi pelanggan selular. Baik pelanggan GSM maupun CDMA. Sebab memang BTS-lah komponen jaringan GSM yang pertama kali koneksi dengan ponsel anda.
BTS sendiri sebenarnya terdiri dari tiga bagian utama. Yakni, tower, shelter dan feeder. Dari ketiga komponen utama itu, towerlah yang paling jelas terlihat. Di bawah tower, biasanya ada sebuah bangunan yang biasanya berukuran 3 x 3 meter. Inilah yang disebut shelter. Di dalam terdapat berbagai combiner, module per carrier, core module (module ini(, power supply, fan (kipas) pendingin, dan AC / DC converter.
Seluruh perangkat dalam shelter BTS tidak ubahnya seperti rak-rak besi, atau malah lebih mirip lemari pendingin. Rak besi ini disebut juga sebagai BTS equipment (BTSE). Untuk mentenagai perangkat tadi rata-rata diperlukan range antara 500 sampai 1500 watt, tergantung module dan hadrware yang digunakan.
BTS hanyalah salah satu bagian dari seluruh rangkaian proses pengiriman sinyal, yang sebenarnya juga terdiri dari tiga komponen utama. Takni BBS, SSS dan intelligent network. BTS sendiri termasuk dalam komponen BSS (Base Station Subsystem). Selain BTS, dalam BSS juga dikenal BSC (Base Station Controler), dimana dalam alur sistem, beberapa BTS ditangai oleh satu BSC –umumnya satu BSC menangani sekitar 200 BTS.
Adapun komponen SSS (Switching Subsystem), mencakup kombinasi berbagai perangkat seperti MSC (mobile service Switching Center), HLR (Home Location Register), dan VLR (Visitor Location Register). Alur sistem informasi yang terdapat pada komponen BSS, dapat dilihat dalam gambar sistem jaringan GSM.
Alur Sistem BSS
Alur jaringan bisa diilustrasikan sebagai berikut: Pertama terpancar data atau sinyal dari ponsel yang diterima oleh antena (cell), dimana data atau sinyal tersebut dipancarkan lewat udara dalam area converage cell BTS. Kedua data atau sinyal yang diterima antena disampaikan melalui feeder (kabel antena), yang selanjutnya diolah dalam modul-modul hardware dan software BTS. Setelah itu tercipta output data yang diteruskan ke rangkaian luar BTS, yakni BSC. Untuk menghubungkan transmisi antara BTS dan BSC dipergunakan microwave.
“Microwave dipergunakan untuk menggantikan perang fungsi kabel, seperti PCM (Pulse Code Modulation) cable, seperti PCM (Pulse Code Modulation) cable atau fiber opric. Namun baik microwave dan fiber optic memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,†papar Hendarmin, technical instrction ICM Training Center Siemens. Kelebihan microwave ialah infrastruktur yang dibangun lebih murah. Sedang kekurangan microwave kapasitas lebih rendah, kualitas bisa lebih buruk jika terjadi gangguan di udara. Lalu alternatif lain fiber optic, dengan kelebihan kapasitas lebih besar (fisik lebih kecil) ditunjang kualitas data lebih baik.
Kelemahan fiber optic adalah investasinya lebih mahal, sebab memerlukan penggalian tanah atau laut. Excelcom merupakan operator yang mempopulerkan penggunaan fiber optic guna mendukung transmisi, istilah yang dulu dikenal dengan teknologi Connetrix. Selain ity microwave juga dapat dipergunakan untuk mendukung koneksi dari BSC ke TRAU (Transcoder and Rate Adaption Unit), atau dari TRAU ke MSC. Proses alur tadi juga bisa berjalan dari arah sebaliknya. TRAU merupakan jalur penghubung dari BSC ke komponen SSS. Selain sebagai penghubung, TRAU berfungsi untuk mengkompresi traffic channel GSM. Sedang untuk kebutuhan channel GPRS tidak dipergunakan komponen TRAU.
Jenis dan Kelas BTS
Dalam istilah BTS juga dikenal berbagai pembagian kelas. Semisal untuk penempatan BTS, dibagi kedalam kelas indoor dan outdoor. BTS indoor mempunyai spesifikasi desain yang lebih ramping atau simpel, dan relatif lebih awet karena ditempatkan di dalam ruangan. Namun BTS indoor juga memiliki kelemahan pada penempatan ruangan tersendiri yang harus dilengkapi AC (Air Conditioner) sebagai pendingin. Rentang suhu yang dapat diterima komponen BTS antaa -5 hingg 55 derajat celcius. Umumnya perangkat BTS ini yang terdapat di dalam shelter dan mall-mall.
Selain itu terdapat BTS outdoor yang mempunyai spesifikasi tidak memerlukan ruangan khusus. Dapat ditempatkan pada dinding (wall mounted), terowongan, dan pinggir jalan. Sifatnya yang lebih fleksibel, tapi punya kelemahan desain yang lebih besar dan berat. Perbedaan biasanya hanya pada rack, tapi isi module-nya hampir sama dengan BTS indoor.
Menurut Hendarmin, kemampuan BTS juga dipengaruhi kapasitas yang tersedia. Kapasitas dalam hal ini menyangkut daya tampung Trx (Tranceiver) atau frekuensi. Biasanya dalam satu tower BTS terdiri dari 3 cell. Jika 1 cell memiliki 3 Trx, dimana 1 Trx tersebut memiliki 8 time slot. Artinya time slot inilah yang digunakan oleh subscriber atau pelanggan untuk melakukan komunikasi selular. Dari 8 time slot, 1 time slot khusus digunakan untuk signaling yang berfungsi untuk membawa informasi tentang parameter cell. Sisanya tujuh time slot biasa digunakan untuk komunikasi voice dan GPRS. Jadi satu cell yang memiliki tiga Trx (3 x 8 slot) – 1 time slot, artinya terdapat 23 time slot yang bisa digunakan komunikasi oleh 23 pelanggan secara bersamaan. Singkatnya 69 percakapan suara dapat di cover bersamaan oleh 1 tower BTS dengan 3 cell yang ada.
Hubungan Antara Cell dan Converage
Cell dalam BTS mempunyai kaitan erat dengan converage (area layanan). Besar kecilnya cell tentu berpengaruh pada performa jaringan yang diterima oleh pelanggan. Penyediaan cell pun tidak terlepas dari faktor kontur permukaan bumi. Seperti tanah lapang, pegunungan dan daerah gedung bertingkat mempunyai pengaruh tersendiri dalam pemasangan cell BTS. Berikut ini dijelaskan beberapa tipe cell, dan luas converage yang mampu dicakup.
Macro cell – jenis ini yang paling gampang dilihat, sebab ditempatkan di atas gedung tinggi atau tower dengan ketinggian sekitar 50 meter. Ciri macro cell yakni memiliki transmit power yang lebih tinggi, dan converage lebih luas. Umumnya macro cell banyak ditempatkan di daerah pinggiran kota yang mempunyai kepadatan rendah (low traffic) dan sesuai bagi pelanggan yang membutuhkan mobilitas tinggi. Jarak jangkauan bisa berbeda antar operator, tergantung desain yang dibutuhkan. Maksimum macro cell mempunyai jangkauan hingga 35 km, pada realitanya macro cell hanya beroperasi hingga 20 km saja. Ini disebabkan adanya halangan-halangan yang mengganggu penetrasi signal.
Micro cell – jenis ini biasanya ditempatkan di pinggiran jalan atau di sela-sela pojok gedung. Macro cell dirancang bagi komunikasi pelanggan dengan kepadatan tinggi, namun bermobilitas rendah. Ciri micro cell yakni converage nya kecil namun kapasitas besar dengan transmit power yang rendah. Biasanya antenanya cukup dipasang di plafon atau langit-langit suatu ruangan, ada juga tanpa antena alias ditempel pada dinding. Micro cell sendiri dibagi ke dalam micro cell standar, pico cell, dan nano cell. Maksimum micro cell mempunyai jangkauan antara 500 meter hingga 1 km.
Sumber: Selular, No. 46, Januari 2004
Bahas Telekomunikasi
TELCO] Bahas Telekomunikasi disini
--------------------------------------------------------------------------------
disadur dari http://nurcholis175.wordpress.com/2007/06/21/signalling-system-7-ss7/
SS7 (Signalling System 7-selanjutnya kita sebut SS7) adalah protokol signalling yang yang out-of-band yang menyediakan pembangunan hubungan bagi telekomunikasi yang advanced. Out of band artinya, kanal/channel signalling dengan kanal/channel komunikasi terpisah antara satu dengan yang lain. Contoh yang jelas adalah feature yang didukung oleh SS7, termasuk Incoming Caller Identification (Caller ID), roaming, WINS (wireless Intelligent Network) service seperti layanan pra-bayar/pre-paid dan pasca bayar/post-paid. Sedangkan DTMF merupakan contoh In-Band Signalling. Terminologi sederhana dari signalling adalah proses pengiriman controll information antar network elements.
Common Channel Signalling Saat signalling information dari voice atau data communication di kirimkan melalui network yang terpisah dengan voice/data channel nya, sering kali di sebut dengan common channel signalling (CCS). Implementasi pertama di USA tahun 1960. Saat itu di sebut Common Channel Signalling System #6 (CCS6).
Physical SS7 Network Jaringan SS7 terpisah dari network voice yang dia support. Yang terdiri dari beberapa node atau Signalling Point yang yang nantinya akan menyediakan fungsi-fungsi yang spesifik. Pada signalling network, terdiri dari tiga Node utama : Service Switching Point (SSP), Signal Transfer Point (STP) dan Signal Control Point (SCP). Ketiga node-node utama tersebut pada umumnya terhubung point-to-point dengan bit rate 56 kbps. Data dilewatkan melalui jaringan tersbut dengan teknologi packet-switching. Ketiga node tersebut harus mampu create, receive dan merespon SS7 message.
A. Service Switching Point (SSP)
Pada awalnya SSP adalah digital switches yang menyediakan akses voice dan call routing yang sudah ditambahi dengan hardware interface dan software yang berhubungan dengan aplikasi SS7. Pada umumnya SSP merupakan Local Exchange (LE) atau Interexchange circuits switches dan mobile switching centre. Dalam dunia GSM, MSC berperan sebagai SSP di SS7 Network. SSP memiliki dua fungsi utama :
1. Menghubungkan dengan set-up dan memutuskan hubungan, menggunakan ISUP messaging. Saat SSP harus membangun hubungan (set-up) ke switch lain, SSP harus mampu mem-formulasikan dan mengirim SS7 message dengan informasi pengalamatan yang tepat.
2. Membuat dan me-launch SS7 message yg telah dipersiapkan ke database external.
B. Signal Control Point (SCP)
SCP adalah parameter/kontrol yang dihasilkan oleh interface untuk database aplication atau service control logic. Message/pesan yang dikirimkan dari SSP ke SCP digunakan untuk mendapatkan routing information dan service information. SCP bukanlan sebuah aplikasi data base melainkan menyediakan akses ke database aplication. Contoh, pentranslasian database dari toll-free (800-) didukung oleh SCP. Saat ada panggilan toll-free, switch LE akan menunda proses pemanggilan dan mengirim message ke SCP untuk mendapatkan jaringan/circuit Carrier Identifitaion Code (CIC) yang tepat agar panggilan dapat di route-kan ke switch yang tepat. Tanpa SCP, LE tidak akan tahu nomor 800 tersebut atau kemana dia akan di route kan. Beberapa produsen STP telah mulai menyediakan aplikasi database pada STP nya. Sehingga SCP dapat difungsikan juga sebagai STP. Pada SS7 network, aplikasi ini masih terlihat seperti SCP database dan sama network functions routing.
C. Signal Transfer Point (STP)
Fungsi utama dari STP adalah switch dan address SS7 messages. SS7 message tidaklah berasal atau ditujukan ke STP. Tetapi STP me-relay SS7 message seperti packet switch atau message router ke node SS7 lainnya agar dapat berkomunikasi. Beberapa SSP atau SCP memerlukan akses untuk signalling sebelum terhubung ke sebuah STP.
Fungsi-fungsi utama dari STP :
- Sebagai physical connection ke SS7 network
-Sekuritas melalui proses gateway screening
-Message routing melalui Message Transfer Part (MTP)
-Message addressing melalui Global Title Translation (GTT)
Biasanya STP-STP dioperasikan secara berpasangan sebagai cadangan/redundancy. STP-STP biasanya ter-interkoneksi secara hierarki dimana STP lokal menyediakan akses ke SSP. Kemudian STP lokal terhubung ke sebuah gateway STP, yang mana gateway STP ini menyediakan akses ke jaringan lain atau aplikasi data base.
Protokol SS7 Untuk memahami SS7, diperlukan pemahaman mengenai Open System Interconnection-OSI layer. Berikut lapisan-lapisan dari OSI layer :
1. Layer 1 - Physical
2. Layer 2 - Data Link
3. Layer 3 - Network
4. Layer 4 - Transport
5. Layer 5 - Session
6. Layer 6 - Presentation
7. Layer 7 -Application
The OSI Reference Model and the SS7 Protocol Stack
Message Transfer Part (MTP) Dalam SS7, tiga layer pertama menjadi Message Transfer Part (MTP).
MTP level satu lebih spesifik ke physical, electrical dan memiliki karakteristik fungsional signalling data links. Beberapa interface pada untuk signalling SS7 adalah DS0A dan V.35.
MTP level dua menjamin transmisi yang reliable dengan menggunakan teknik seperti message sequencing dan frame check sequence seperti Cyclic redundancy Check (CRC). Berikut format dari MTP level dua:
* Flag (F)
o indikasi awal dan akhir dari signal unit
* Cyclic Redundancy Chech (CK)
o 16 bit checksum yang harus sama antara originating dan terminating
* Signaling Information Field (SIF)
o Indikasi informasi info routing dan signaling yg digunakan di layer atasnya
* Service Information Octet (SIO)
o indikator service dan versi yang akan di gunakan oleh layer diatas nya
* Length Indicator (LI)
o menampilkan banyaknya oktet pada message tersebut
* Forward Indicator Bit (FIB)
o Digunakan u/error recovery dan nomor portabel u/ mengindikasikan data base siap di query
* Forward Sequence Number (FSN)
o indikator sequence number signal unit
* Backward Indikator Bit (BIB)
o Untuk error recovery
* Backward Sequence Number (BSN)
o digunakan untuk acknowledge-receipt dari signal unit.
SS7 menggunakan 3 tipe untuk Signaling Unit:
1. Message Signal Unit; digunakan sebagai jalan semua data informasi termasuk yg berhubungan dengan call controll, network management dan maintenance. Signal Unit (SU) ini mensupport juga information exchange yang diperlukan untuk service/layanan yg diberikan seperti Caller ID
2. Link Status Signal Unit; menyediakan link status indication, sehingga link dapat di monitor dan system akan tahu kapan link out of service
3. Fill-In Signal Unit; menampilkan pengecekan error dan akan di transmit kan saat MSU atau LSSU ada.
MTP level tiga menyediakan fungsi sebagai message address Routing dan network Management.
Network element pada ANSI SS7 didasarkan pada pengalamatan yang biasa di sebut point codes. Sebuah point code terdiri dari 9 digit yang terbagi dalam 3 group : XXX-YYY-ZZZ
XXX = Network Identification
YYY = Cluster Member
ZZZ = Member Number
tiap nomor berasal dari 8 digit, jadi range nya dari 000-254. Semua elemen network di SS7 ditandai (dialamati) dengan sebuah POINT CODE.
Untuk point code dari perangkat Samsung dan Huawei, point code-nya berformat hexadesimal, sedangkan Alcatel berformat 4-3-4-3.
Ditiap STP diberikan unique point code untuk keperluan network routing. STP juga menggunakan spesial addressing point code yang di sebut alias point code yang digunakan untuk me-route kan message ke STP berikutnya. Sebuah alias point code di berikan ke STP -STP yang saling adjacent secara langsung dengan tujuan agar kedua STP tersebut saling mengenali.
GT (Global Title) merupakan addressing yang di gunakan untuk pengiriman antar SSP (misal dari MSC ke HLR; originating MSC ke Terminating MSC dll). Ketika sebuah MSC ingin berkomunikasi dengan HLR, maka MSC tersebut akan menggunakan GT dari HLR yang ditujunya. Hubungan dari MSC ke HLR nantinya akan melalui beberapa STP. Oleh STP yang terhubung langsung (paling dekat) dengan MSC, GT HLR yang berasal MSC tadi akan diterimanya dan akan di translasi kan ke point code STP berikut nya. Komunikasi antara MSC dengan STP terdekatnya tadi menggunakan point code masing-masing dimana point code MSC sebagai OPC (Originating Point Code) dan point code STP sebagai DPC (Destination Point Code).
MTP level 3 ini juga memiliki critical network management functions yang terbagi menjadi tiga yaitu:
* Link Management => menyediakan manajemen local signalling link seperti link activation, deactivation dan restoration.
* Route Management => provide exchange of signalling route availability between signalling points using predefined procedures, such as transfer prohibited, tranfer restricted , etc.
* Traffic management => mengatur pengaturan trafik-trafik yang out-of-service
--------------------------------------------------------------------------------
disadur dari http://nurcholis175.wordpress.com/2007/06/21/signalling-system-7-ss7/
SS7 (Signalling System 7-selanjutnya kita sebut SS7) adalah protokol signalling yang yang out-of-band yang menyediakan pembangunan hubungan bagi telekomunikasi yang advanced. Out of band artinya, kanal/channel signalling dengan kanal/channel komunikasi terpisah antara satu dengan yang lain. Contoh yang jelas adalah feature yang didukung oleh SS7, termasuk Incoming Caller Identification (Caller ID), roaming, WINS (wireless Intelligent Network) service seperti layanan pra-bayar/pre-paid dan pasca bayar/post-paid. Sedangkan DTMF merupakan contoh In-Band Signalling. Terminologi sederhana dari signalling adalah proses pengiriman controll information antar network elements.
Common Channel Signalling Saat signalling information dari voice atau data communication di kirimkan melalui network yang terpisah dengan voice/data channel nya, sering kali di sebut dengan common channel signalling (CCS). Implementasi pertama di USA tahun 1960. Saat itu di sebut Common Channel Signalling System #6 (CCS6).
Physical SS7 Network Jaringan SS7 terpisah dari network voice yang dia support. Yang terdiri dari beberapa node atau Signalling Point yang yang nantinya akan menyediakan fungsi-fungsi yang spesifik. Pada signalling network, terdiri dari tiga Node utama : Service Switching Point (SSP), Signal Transfer Point (STP) dan Signal Control Point (SCP). Ketiga node-node utama tersebut pada umumnya terhubung point-to-point dengan bit rate 56 kbps. Data dilewatkan melalui jaringan tersbut dengan teknologi packet-switching. Ketiga node tersebut harus mampu create, receive dan merespon SS7 message.
A. Service Switching Point (SSP)
Pada awalnya SSP adalah digital switches yang menyediakan akses voice dan call routing yang sudah ditambahi dengan hardware interface dan software yang berhubungan dengan aplikasi SS7. Pada umumnya SSP merupakan Local Exchange (LE) atau Interexchange circuits switches dan mobile switching centre. Dalam dunia GSM, MSC berperan sebagai SSP di SS7 Network. SSP memiliki dua fungsi utama :
1. Menghubungkan dengan set-up dan memutuskan hubungan, menggunakan ISUP messaging. Saat SSP harus membangun hubungan (set-up) ke switch lain, SSP harus mampu mem-formulasikan dan mengirim SS7 message dengan informasi pengalamatan yang tepat.
2. Membuat dan me-launch SS7 message yg telah dipersiapkan ke database external.
B. Signal Control Point (SCP)
SCP adalah parameter/kontrol yang dihasilkan oleh interface untuk database aplication atau service control logic. Message/pesan yang dikirimkan dari SSP ke SCP digunakan untuk mendapatkan routing information dan service information. SCP bukanlan sebuah aplikasi data base melainkan menyediakan akses ke database aplication. Contoh, pentranslasian database dari toll-free (800-) didukung oleh SCP. Saat ada panggilan toll-free, switch LE akan menunda proses pemanggilan dan mengirim message ke SCP untuk mendapatkan jaringan/circuit Carrier Identifitaion Code (CIC) yang tepat agar panggilan dapat di route-kan ke switch yang tepat. Tanpa SCP, LE tidak akan tahu nomor 800 tersebut atau kemana dia akan di route kan. Beberapa produsen STP telah mulai menyediakan aplikasi database pada STP nya. Sehingga SCP dapat difungsikan juga sebagai STP. Pada SS7 network, aplikasi ini masih terlihat seperti SCP database dan sama network functions routing.
C. Signal Transfer Point (STP)
Fungsi utama dari STP adalah switch dan address SS7 messages. SS7 message tidaklah berasal atau ditujukan ke STP. Tetapi STP me-relay SS7 message seperti packet switch atau message router ke node SS7 lainnya agar dapat berkomunikasi. Beberapa SSP atau SCP memerlukan akses untuk signalling sebelum terhubung ke sebuah STP.
Fungsi-fungsi utama dari STP :
- Sebagai physical connection ke SS7 network
-Sekuritas melalui proses gateway screening
-Message routing melalui Message Transfer Part (MTP)
-Message addressing melalui Global Title Translation (GTT)
Biasanya STP-STP dioperasikan secara berpasangan sebagai cadangan/redundancy. STP-STP biasanya ter-interkoneksi secara hierarki dimana STP lokal menyediakan akses ke SSP. Kemudian STP lokal terhubung ke sebuah gateway STP, yang mana gateway STP ini menyediakan akses ke jaringan lain atau aplikasi data base.
Protokol SS7 Untuk memahami SS7, diperlukan pemahaman mengenai Open System Interconnection-OSI layer. Berikut lapisan-lapisan dari OSI layer :
1. Layer 1 - Physical
2. Layer 2 - Data Link
3. Layer 3 - Network
4. Layer 4 - Transport
5. Layer 5 - Session
6. Layer 6 - Presentation
7. Layer 7 -Application
The OSI Reference Model and the SS7 Protocol Stack
Message Transfer Part (MTP) Dalam SS7, tiga layer pertama menjadi Message Transfer Part (MTP).
MTP level satu lebih spesifik ke physical, electrical dan memiliki karakteristik fungsional signalling data links. Beberapa interface pada untuk signalling SS7 adalah DS0A dan V.35.
MTP level dua menjamin transmisi yang reliable dengan menggunakan teknik seperti message sequencing dan frame check sequence seperti Cyclic redundancy Check (CRC). Berikut format dari MTP level dua:
* Flag (F)
o indikasi awal dan akhir dari signal unit
* Cyclic Redundancy Chech (CK)
o 16 bit checksum yang harus sama antara originating dan terminating
* Signaling Information Field (SIF)
o Indikasi informasi info routing dan signaling yg digunakan di layer atasnya
* Service Information Octet (SIO)
o indikator service dan versi yang akan di gunakan oleh layer diatas nya
* Length Indicator (LI)
o menampilkan banyaknya oktet pada message tersebut
* Forward Indicator Bit (FIB)
o Digunakan u/error recovery dan nomor portabel u/ mengindikasikan data base siap di query
* Forward Sequence Number (FSN)
o indikator sequence number signal unit
* Backward Indikator Bit (BIB)
o Untuk error recovery
* Backward Sequence Number (BSN)
o digunakan untuk acknowledge-receipt dari signal unit.
SS7 menggunakan 3 tipe untuk Signaling Unit:
1. Message Signal Unit; digunakan sebagai jalan semua data informasi termasuk yg berhubungan dengan call controll, network management dan maintenance. Signal Unit (SU) ini mensupport juga information exchange yang diperlukan untuk service/layanan yg diberikan seperti Caller ID
2. Link Status Signal Unit; menyediakan link status indication, sehingga link dapat di monitor dan system akan tahu kapan link out of service
3. Fill-In Signal Unit; menampilkan pengecekan error dan akan di transmit kan saat MSU atau LSSU ada.
MTP level tiga menyediakan fungsi sebagai message address Routing dan network Management.
Network element pada ANSI SS7 didasarkan pada pengalamatan yang biasa di sebut point codes. Sebuah point code terdiri dari 9 digit yang terbagi dalam 3 group : XXX-YYY-ZZZ
XXX = Network Identification
YYY = Cluster Member
ZZZ = Member Number
tiap nomor berasal dari 8 digit, jadi range nya dari 000-254. Semua elemen network di SS7 ditandai (dialamati) dengan sebuah POINT CODE.
Untuk point code dari perangkat Samsung dan Huawei, point code-nya berformat hexadesimal, sedangkan Alcatel berformat 4-3-4-3.
Ditiap STP diberikan unique point code untuk keperluan network routing. STP juga menggunakan spesial addressing point code yang di sebut alias point code yang digunakan untuk me-route kan message ke STP berikutnya. Sebuah alias point code di berikan ke STP -STP yang saling adjacent secara langsung dengan tujuan agar kedua STP tersebut saling mengenali.
GT (Global Title) merupakan addressing yang di gunakan untuk pengiriman antar SSP (misal dari MSC ke HLR; originating MSC ke Terminating MSC dll). Ketika sebuah MSC ingin berkomunikasi dengan HLR, maka MSC tersebut akan menggunakan GT dari HLR yang ditujunya. Hubungan dari MSC ke HLR nantinya akan melalui beberapa STP. Oleh STP yang terhubung langsung (paling dekat) dengan MSC, GT HLR yang berasal MSC tadi akan diterimanya dan akan di translasi kan ke point code STP berikut nya. Komunikasi antara MSC dengan STP terdekatnya tadi menggunakan point code masing-masing dimana point code MSC sebagai OPC (Originating Point Code) dan point code STP sebagai DPC (Destination Point Code).
MTP level 3 ini juga memiliki critical network management functions yang terbagi menjadi tiga yaitu:
* Link Management => menyediakan manajemen local signalling link seperti link activation, deactivation dan restoration.
* Route Management => provide exchange of signalling route availability between signalling points using predefined procedures, such as transfer prohibited, tranfer restricted , etc.
* Traffic management => mengatur pengaturan trafik-trafik yang out-of-service