Rabu, 11 September 2013

Miskin Itu Relatif


From: Onny_Indrianto 
To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Wednesday, September 11, 2013 8:50 AM
Subject: RE: Miskin Itu Relatif


Benar Dwika…saya memahami kultur bangsa kita nbanyak yang masih mendramatisir keadaan…supaya ada kesan bla2bla2…

Contoh di Jepang , saat tsunami lalu, Media TVnya tidak menayangkan/ mengiringi gambar2 kodisi korban dengan lagu2 yang sendu sendan seperti Ebiet G Ade…yang melankolis

Peran Media saat ini memperparah pembentukan karakter/ kultur bangsa yang seharusnya dibangun bisa lebih baik….

Siapa orang2 dibelakang Media tersebut?


From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 10 September 2013 21:22
To: john sihar
Subject: Miskin Itu Relatif

Program TV yang mengangkat kisah-kisah hidup, supaya kita belajar bersyukur dan paham tentang arti perjuangan hidup.
I Deliver Happiness,
Dwika


“Miskin Itu Relatif,” Kata Adler

OPINI | 24 June 2013 | 12:19
http://hiburan.kompasiana.com

13720509101232365125
Adler
Pagi itu, saya tumben-tumbenan menonton televisi. Sedianya mau menonton infotainment “favorit” saya, tapi jam 9 itu belum lagi tayang. Saya pencet semua saluran TV. Hingga tiba di channel yang menayangkan tentang perjuangan hidup orang-orang marginal. Kadang-kadang, saya suka menonton program acara seperti itu. Mengusik emosi dan rasa iba. Rasanya penting untuk melihat tayangan itu demi mengingatkan lagi tentang arti perjuangan hidup yang cuma sekali ini. Supaya belajar bersyukur dan tetap semangat dalam menjalani hidup.
“Ah, terlalu didramatisir.” Sekonyong-konyong, Adler bersuara dari meja makan di sisi kanan. Ia sedang menuangkan jus jeruk ke dalam gelas.
Saya pun mencermati tayangan itu. Penasaran, apanya yang didramatisir? Oh, kesulitan hidup yang bertubi-tubi digambarkan lewat gelas yang jatuh dan pecahannya mengenai kaki sang Ibu pencari kayu bakar di hutan. Sudah lelah bekerja, mesti menghadapi luka di kaki pula. Ekspresi sang Ibu yang meringis agaknya yang membuat Adler berkomentar tentang dramatisir tadi. Tampak memang kalau ringisannya hanyalah akting. Saya pikir wajarlah kalau ada adegan sinetron di tayangan jenis reality show begitu. Namanya juga program TV, yang tujuannya untuk menggugah perasaan penonton agar betah menonton hingga acara usai sekaligus meraup rating.
“Memang perannya hanya sebagai semut,” ujar Adler. Saya mengerinyit tanda tak paham.
“Maksudnya, peran kehidupannya hanya sebagai pencari kayu bakar. Terus kenapa?” Terdengar arogan. Saya kurang sependapat.
“Ya ini kan untuk menggambarkan kesusahan hidup pencari kayu bakar. Itu karena kitanggak ngerasain gimana susahnya hidup sebagai pencari kayu bakar, makanya kita bisa bilang begitu.”
Adler menggeleng.
“Setiap orang sudah ada perannya masing-masing. Ada yang jadi pengusaha, pejabat, pemimpin…juga ada yang jadi karyawan, buruh, dan pekerja kasar. Kalau semua orang jadi pengusaha, siapa yang akan jadi buruh pabriknya? Kalau semua orang jadi bos, siapa yang akan jadi bawahannya? Kalau semua jadi presiden, siapa yang akan jadi rakyatnya?”
Saya diam, mengiyakan diam-diam. Menanti penuturannya lagi. Ia menyeruput jus jeruknya sejenak, sebelum melanjutkan.
“Kesulitan dan kebahagiaan hidup itu relatif. Belum tentu orang susah dari segi materi itu nggak bahagia hidupnya. Belum tentu orang kaya itu bahagia hidupnya. Banyak kanorang miskin yang hidupnya lebih tenang dan tenteram daripada orang kaya yang berlimpah harta tapi ujung-ujungnya malah menderita?
Sekarang ini, orang-orang cenderung pakai standar yang sama untuk mengukur semua hal. Standar materi. Lihat aja acara-acara TV kayak gitu. Menggambarkan kesusahan hidup orang-orang tak punya. Padahal, belum tentu orang-orang kayak gitu suka kalau hidupnya berubah lebih baik dari segi materi -menurut standar kita. Kita saja yang terlalu mengiba, menganggap kehidupan mereka itu menderita tanpa listrik, tanpa makanan enak, tanpa pakaian bagus, tanpa rumah, tanpa kendaraan, tanpa televisi, tanpa gadget.
Padahal mereka enjoy-enjoy aja dengan kehidupannya. Buktinya mereka masih selalu punya semangat hidup yang tinggi setiap hari kan? Mereka masih terus bekerja, masih penuh harapan, masih terus optimis, dengan mengerahkan segala kemampuan yang mereka punya. meski jalan meraih rizkinya berbeda dengan kebanyakan orang yang hidup lebih senang -menurut standar kita. Mereka dianugerahi harta yang tiada duanya; semangat hidup. Di saat orang-orang lain yang hidup lebih baik dari segi materi kekurangan harta yang satu itu. Itulah keadilan Tuhan.”
Sampai di sini, saya mendengarkan takzim. Benar kata-katanya.
“Apa gunanya harta orang-orang kaya itu jika tak ada lagi orang-orang miskin? Jika semua manusia di dunia ini diciptakan dengan kondisi yang seragam, sejahtera dan bergelimang harta, kemana lagi kita akan bersedekah, berzakat, berbagi? Pada siapa kita akan belajar tentang kesulitan dan perjuangan hidup? Pada siapa kita akan belajar bersyukur? Hidup takkan lagi berwarna kalau sudah begitu. Tak ada lagi indahnya.”
“Itulah gunanya program TV yang mengangkat kisah-kisah hidup seperti ini. Supaya kita belajar bersyukur dan paham tentang arti perjuangan hidup,” kata saya.
“Tak ada salahnya acara-acara seperti itu, kalau tidak dilebih-lebihkan. Kenapa kita menyikapi kemiskinan dengan isak iba, haru, dan kesedihan? Kenapa kita tak menyikapinya sebagai satu warna dalam kehidupan, yang bersanding selaras dengan warna kehidupan lainnya? Tak ada yang namanya lebih baik atau lebih buruk.
Semuanya serba relatif, tegantung cara kita menyikapinya. Banyak pun harta kita, kalau tak tepat menyikapinya, maka kita akan lebih menderita daripada orang yang tak berpunya. Coba pikir, bagaimana luar biasa susahnya orang-orang di zaman dulu? Zaman perang, tak ada cukup makanan, tak ada listrik, semua serba terbatas. Tapi mereka sanggup mengatasinya dan hidup tenang di akhir usianya. Sementara orang-orang yang hidup di zaman yang serba mudah dan cepat, malah banyak yang hidupnya tak tenang. Apa artinya itu?”
Retoris. Saya disuruh berpikir sendiri. Hmmm..mulai nampak titik terang dari penjelasannya itu.
“Masing-masing orang punya insting dan kemampuan untuk bertahan hidup. Bagaimanapun kondisinya. Apalagi manusia dianugerahi akal pikiran dan hati. Alat yang dianugerahkan Tuhan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang sesungguhnya singkat ini. Lagipula, rizki memang datangnya dari Tuhan. Lalu, apa lagi yang dikhawatirkan? Semua orang memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik, menurut standarnya, menurut keinginannya. Itu bisa dicapai, dengan usaha dan doa. Kabar baiknya, setiap orang punya kemampuan untuk itu, asalkan dia mau. Apa yang sulit bagi Tuhan? Memberikan Ibu pencari kayu bakar itu kekayaan melimpah pun Tuhan bisa memberikannya dalam sekejap. IA Maha Berkehendak.”
Adler melangkah mendekat, duduk di sebelah saya setelah jus jeruknya tandas.
“Jadi kalau dipikir-pikir, tak ada sulitnya hidup ini, asal kita berjalan sesuai jalurNya. Hati kita acap dipenuhi kecemasan karena bisikan iblis yang bersemayam di hati. Hidup ini indah, Kawan. Benar-benar indah. Mengerti maksudku, kan? “
Sekarang ia tersenyum, mengakhiri ceramah panjangnya tentang hidup dan kehidupan.
Tayangan tentang perjuangan hidup sang Ibu Pencari Kayu Bakar pun usai. Aku yakin, selepas acara, sudah ada donatur yang membantu kehidupannya. Tak ada salahnya memang dengan acara seperti itu. Tapi kita sebagai penontonnya mesti bersikap bijak. Mengambil sari yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang cara kerja kehidupan. Lagipula, kalau tidak ada realita tentang si miskin, pasti takkan ada cerita-cerita yang menggugah tentang perjuangan menggapai kesuksesan. Pasti takkan ada cerita-cerita penyala semangat hidup. Dan pasti, takkan ada cerita-cerita yang bisa menjaga hati dan pikiran kita agar tetap selalu bersyukur dan merendah di hadapanNya sebagai hamba yang sejatinya tak punya apa-apa.
Adler tiba-tiba menghilang setelah saya menyimpulkan seperti itu. Ah, ia memang selalu muncul untuk membantu menempatkan segala sesuatu pada porsinya.
***
>> Tentang Adler

Perjelas Mimpi Sukses Anda


From: Onny_Indrianto 
To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Wednesday, September 11, 2013 8:53 AM
Subject: RE: Perjelas Mimpi Sukses Anda


Pintarnya orang barat/dunia barat, mereka bisa dan mau memfasilitasi warganegaranya mewujudkan mimpi2nya…lihat saja dunia pendidikan mereka..

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 10 September 2013 21:32
To: IME
Cc:***********
Subject: Perjelas Mimpi Sukses Anda

“Mimpi… adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia, berlarilah tanpa lelah hingga engkau meraihnya…”
dorongan terbesar yang akan membawa kita sukses bukanlah dorongan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Melalui mimpi sukses kita sendiri
Perjelas dan perkuat hingga dari mimpi sukses itu Anda temukan keyakinan mengalir deras dalam diri Anda
I Deliver Happiness,
Dwika



Oleh : Arief Maulana
dream is the keySering saya mendengar orang berkata, “Jangan terus-terusan bermimpi. Apalagi mimpinya muluk-muluk. Kalau jatuh sakit.” Anda sering juga kan? Makanya, saya buat postingan jangan berhenti bermimpi. Ada alasan yang sangat krusial hingga akhirnya saya menuliskan semua ini. Karena mimpi begitu penting.
Saya pernah mendengarkan sebuah ungkapan dari pembicara di sebuah seminar, dorongan terbesar yang akan membawa kita sukses bukanlah dorongan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Melalui mimpi sukses kita sendiri. Nah, artinya apa? Kita masih membutuhkan mimpi-mimpi itu untuk kemudian dijadikan bahan bakar yang akan melejitkan kita dalam upaya menggapai kesuksesan. Seperti lagu soundtrack dalam film laskar pelangi,
“Mimpi… adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia, berlarilah tanpa lelah hingga engkau meraihnya…”
Anda lihat… mimpi diletakkan pada urutan pertama. Itu artinya sebelum kita bertindak lebih jauh lagi, kita harus sudah mengetahui secara jelas apa mimpi sukses kita. Mimpi sukses tersebut tak ubahnya dengan visi yang harus dipetakan dengan jelas.
Beda mimpi bisa berbeda pula jalan sukses yang ditempuh untuk mewujudkan itu semua. Begitu mimpi sudah jelas menggambarkan apa mau kita, maka barulah kita bertindak habis-habisan mengejarnya hingga tercapai. Percuma Anda bertindak habis-habisan kalau tidak tahu untuk apa semua itu Anda lakukan. Yang ada malah hanya menjadi looser karena tidak bisa survive.
Belajarlah kepada Wright bersaudara yang terus memimpikan manusia bisa terbang layaknya sebuah burung. Padahal orang tuanya adalah orang nomer 1 yang menentang ide gila itu. Tapi ketika mimpi itu tergambar dengan jelas maka, mulailah Wright bersaudara mengerjakan idenya dengan penuh keyakinan hingga mereka menjadi pelopor pertama penemu pesawat terbang.
Thomas Alfa Edison, menatap sebuah lilin dan merenungi. Terus menerus memimpikan akan ada sebuah malam terang bederang. Tidak ada lagi kegelapan malam karena ada lampu yang menerangi. Dia memimpikan dengan jelas malam yang terang itu seperti apa. Terus-menerus ia memperkuat dan memperjelas mimpinya sambil terus mencoba membuat lampu. Hingga lebih dari 1000 kegagalan tidak mematahkan semangatnya. Mimpinya terlalu kuat.
Albert Einstein, seorang manusia yang ketika masa kecil hidupnya dicap sebagai anak yang aneh dan tidak pandai. Namun masih tersisa satu mimpi yang sangat kuat di dalam dirinya bahwa suatu hari kelak, dia akan menjadi manusia yang disegani, dikagumi dan berjasa bagi dunia ini melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan keyakinan dan mimpinya yang jelas itu, Eistein pun mencari jalan untuk menuntut ilmu hingga pada akhirnya tercapailah mimpinya menjadi manusia paling genius karena telah menemukan sebuah rumus kompleks yang kompleks mencakup dimensi semesta namun mampu disederhanakan menjadi E = MC2.
Jadi berilah warna yang jelas pada mimpi Anda. Hentikan sejenak semua action Anda. Perjelas dan perkuat hingga dari mimpi sukses itu Anda temukan keyakinan mengalir deras dalam diri Anda. Memberi Anda satu energi positif tanpa batas menembus semua masalah, halangan dan rintangan yang menghadang. Memberikan kekuatan atas rasa sakit yang diterima dalam derap langkah perjalanan Anda menuju sukses. Bukankah sukses itu adalah sebuah perjalanan panjang.
Salam Sukses,

“Merayakan” Kegagalan

From: Onny_Indrianto 
To: Dwika Sudrajat <dwikasudrajat@yahoo.com>
Sent: Friday, March 8, 2013 8:21 AM
Subject: RE: “merayakan” kegagalan


Tks a lot Dwika, mantap…semoga sharing ilmunya berbalas barokah dan murah rejeki…amien..

From: Dwika Sudrajat [mailto:dwikasudrajat@yahoo.com]
Sent: 08 Maret 2013 5:24
To: dwika@andercakrabuana.com
Subject: “merayakan” kegagalan

Perusahaan yang super sukses, kerap “merayakan” kegagalan, bahkan menyebut beberapa kegagalannya sebagai “glorious failures”. Mereka sangat jelas memahami sumber kegagalannya dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melakukan “breakthrough”. Parlemen sendiri kita lihat ada acara “hearing” atau “dengar pendapat” yang dimaksudkan untuk “mendengar” apa, bagaimana, mengapa suatu kejadian terjadi dan apa solusinya.

‘Belajar dari kegagalan’ benar-benar harus kita pelajari kembali. Istilah “success by failure” memang ada dan merupakan kenyataan.

I Deliver Happiness,
Dwika




 

Gagal

Kita tidak bisa menutup mata mengenai banyaknya kegagalan yang terjadi di tengah kita. Mulai dari kekalahan dalam olahraga sepak bola, bulutangkis, sampai kinerja lembaga yang hasil kerjanya belum kunjung bisa membuktikan kesuksesannya. Ada juga kegagalan yang menyebabkan tidak hanya kerugian finansial yang besar, tapi juga hilangnya nyawa, seperti jembatan ambruk. Hal yang lebih berbahaya lagi malah bila dampak kegagalan sampai tidak bisa dihitung kerugiannya secara finansial, tapi kerusakannya begitu nyata, seperti suburnya korupsi sampai ke generasi yang lebih muda, ataupun lunturnya pendidikan moral dan budi pekerti. Dengan gencarnya media sosial sekarang ini, caci maki bila kegagalan terjadi seringkali membuat kita merinding. Terlepas dari besar-kecilnya kerugian yang ditimbulkan, komentar-komentar yang “sadis” segera saja menohok pelaku yang pada kenyataannya memang berbuat salah atau bodoh. Di perusahaan, bahkan dalam keluarga pun hal ini terjadi. Ada orang tua yang langsung menghukum anak yang mendapat angka buruk di ujian, ulangan atau pe-ernya. Ada juga atasan yang segera mengganjar kesalahan atau kelalaian dengan cercaan, sehingga pelaku seolah-olah tidak diberi nafas, baik untuk memberi keterangan atau membela diri.
Beratnya hukuman terhadap kegagalan menyebabkan kegagalan bisa dianggap sesuatu yang alergik, tidak boleh terjadi, bahkan tidak boleh ada. Tak heran bila kita melihat tumbuh suburnya sikap defensif. Begitu ada gejala ke arah kegagalan, individu sudah pasang kuda-kuda, siap dengan telunjuknya untuk menuding orang lain. Bisa juga, ia memutar otak untuk berteori panjang lebar, mengeluarkan segala jurus analisa, yang penting, dirinya terlepas dari sorotan, apalagi tanggung jawab untuk menanggung akibatnya. Kebiasaan untuk menghindari kegagalan ini selain menimbulkan stress, juga menghilangkan separuh kesempatan untuk belajar. Padahal kalau dipikir-pikir, mungkinkah kita belajar dari kesuksesan saja? Bila kita sedang mengalami sebuah sukses besar, bukankah kita cenderung tidak belajar dari situasi tersebut? Kita jarang sekali menganalisa “mengapa sukses ini terjadi?“, “Faktor apa yang dominan?“. “Apa tindakan kita ambil sehingga kesuksesan bisa berulang?”, Atau, apakah ini hanya keberuntungan saja? Sementara, bila kegagalan terjadi, dari orang awam sampai ahlinya, akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menganalisa penyebabnya. Individu yang bijak akan langsung memikirkan solusi dan tindakan perbaikan. Jadi, mengapa kita begitu takut gagal?
 
Dekati Kegagalan
 
Pesta-pesta kesuksesan di perusahaan sudah lazim kita alami. Sebaliknya, pernahkah kita menelaah bagaimana perusahaan menyikapi kegagalan? Microsoft, perusahaan yang super sukses, kerap “merayakan” kegagalan, bahkan menyebut beberapa kegagalannya sebagai “glorious failures”. Mereka sangat jelas memahami sumber kegagalannya dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melakukan “breakthrough”. Sebenarnya, bahkan di parlemen sendiri kita lihat ada acara “hearing” atau “dengar pendapat” yang dimaksudkan untuk “mendengar” apa, bagaimana, mengapa suatu kejadian terjadi dan apa solusinya. Jadi, slogan ‘belajar dari kegagalan’ benar-benar harus kita pelajari kembali. Istilah “success by failure” memang ada dan merupakan kenyataan.
 
Sebuah perusahaan, bahkan berani membuat “Hall of failure” dan bukan “hall of fame” seperti biasanya. Latar belakang pemikiran perusahaan tersebut sangat jelas. Perusahaan mengupayakan agar para karyawan meyakini bahwa kegagalan adalah bagian dari upaya perusahaan yang menginginkan karyawan mau mengambil risiko dan tidak dihantui ketakutan akan kegagalan. Perusahaan tersebut bahkan menginstrusikan untuk mencantumkan cerita kegagalan dan apa yang dipelajari dari kegagalan tersebut, dilengkapi dengan tandatangan yang bersangkutan. Ada individu yang menulis di “hall of failure” dengan mengatakan bahwa setelah 7 tahun berusaha, ia berhenti belajar bermain biola. “Lesson learned” yang ia sampaikan adalah “saya tidak akan peduli dengan pendapat orang bahwa saya tidak bisa main musik”. Pernyataan ini, meskipun nampaknya tidak relevan dengan proses bisnis perusahaan, namun sebenarnya menanamkan keberanian pada mental individu untuk siap menghadapi kesulitan dalam situasi apapun. Pimpinan perusahaan bahkan mengatakan “We don't just encourage risk taking at our offices: we demand failure”. Kemajuan, inovasi dan sukses memang sesungguhnya lebih mudah dipelajari dari kesalahan-kesalahan di sana sini. Hal seperti ini bermanfaat bila saja pendekatan kita terhadap kesalahan memang positif, mendalam dan ditekuni.
 
Budaya "strongly - weak!"
 
Mengembangkan budaya yang sadar akan kelemahan dan menjadikan ‘lesson learnt” sebagai kekuatan, bisa jelas kita lihat pada olahragawan. Jarang sekali juara-juara olah raga tidak mempelajari kelemahannya. Individu- individu yang demikian, tumbuh menjadi orang yang lebih membumi, kritis, fair, dan jujur, serta bisa memandang bahwa realitas itu menyakitkan, namun penyembuhannya akan membawa ke kesuksesan. Kegagalan seharusnya tidak menjadi sesuatu yang kita ratapi, namun jalan bagi kita untuk juga memahami di mana letak kekuatan kita serta bagaimana kegagalan bisa menjadi momentum untuk membawa perbaikan. Dalam suatu masyarakat, di mana keragaman individu tidak mudah dikontrol, kita memang perlu pemimpin yang mencontohkan sikap belajar dari kegagalan, bahkan membawa kegagalan sebagai sarana untuk mengembangkan ‘trust’. Kita bisa belajar dari pemimpin negara Jepang dan Cina ketika menghadapi bencana. Rakyat langsung mempunyai respek tinggi terhadapi cara pimpinan menghadapi krisis. Saat menghadapi wawancara, kegagalan yang pernah kita alami pun sebetulnya tidak melulu harus disembunyikan. Bila kita bisa membahas bagaimana sikap dan action” kita untuk ‘bouncing back’, hal ini malah bisa menjadi nilai tambah kita.


By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri