link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Kamis, 21 Februari 2013

Orang PINTAR sulit dapat KERJA


Tue Feb 19, 2013 8:33 pm (PST) . Posted by:

"Iwan Hadianto" iwan_hadianto

betul-betul- betul...
terimakasih petromaksnya. ..

Iwan Hadianto
____________ _________ _

2013/2/20 Dwika Sudrajat dwikasudrajat@ yahoo.com>

> **
>
>
> Orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan usaha sendiri,
> menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja.
> Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
> I Care About You,
> Dwika
>
>
>
>
>
>
> Orang PINTAR sulit dapat KERJA
http://collection27 .blogspot. com/
>
>
> Orang pintar akan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu kata guru bisnis saya
> Januar Darmawan. Dan ia bersungguh-sungguh. Ia tidak sedang bergurau. Ia
> membuat saya berpikir keras. Bagaimana mungkin orang yang pintar justru
> sulit mendapatkan pekerjaan? Bukankah perusahaan-perusaha an terkemuka
> selalu membuka lowongan bagi orang-orang pintar tersebut?
>
>
>
> Sudah amat jelas bahwa ”orang pintar” yang dimaksudkan oleh guru bisnis
> saya itu tidak mengarah kepada kaum paranormal, apalagi dukun dan
> sebangsanya. Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan
> keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah
> terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2
> (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu
> yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya
> dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang
> berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan
> sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam
> jumlah yang terus meningkat di Tanah Air, menimbulkan konsekuensi tertentu.
>
>
> Umumnya, kaum terpelajar-cerdas ini sangat diperlukan oleh perusahaan
> untuk mengerjakan hal-hal yang spesifik. Misalnya, memperbaiki sistem
> informasi atau sistem administrasi, membantu standarisasi proses tertentu,
> membantu meredefinisi budaya organisasi, mengajarkan proses pengelolaan
> keuangan untuk mencapai kebebasan finansial, memberikan terapi untuk menata
> sikap dan perilaku buruk, dan sebagainya. Namun, mereka ini sebenarnya
> hanya diperlukan untuk periode waktu tertentu saja, umumnya dalam hitungan
> bulan. Setelah periode tersebut, keahlian mereka yang spesifik itu tidak
> dibutuhkan lagi.
>
>
> Pada titik inilah fenomena munculnya para konsultan jenis baru di
> Indonesia bisa dijelaskan. Orang-orang terpelajar-cerdas ini tidak mudah
> untuk memperoleh pekerjaan tetap (*full-time job*) dalam sebuah
> perusahaan karena dua alasan, yakni: pertama, perusahaan tidak mampu
> membayar sesuai dengan kemauan mereka, karena perusahaan memang tidak
> membutuhkan mereka dalam rentang waktu yang panjang; kedua, mereka sendiri
> sulit memperoleh kepuasan profesional kalau hanya berkiprah di dalam satu
> perusahaan saja, karena mereka akan merasa terkurung dan kurang dihargai
> sebagaimana mestinya.
>
>
> Oleh karena itu, orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan
> usaha sendiri, menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja.
> Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
>
> Sebab dari sisi perusahaan, menggunakan jasa para konsultan ahli ini
> secara hitungan jangka panjang biayanya menjadi relatif murah. Jauh lebih
> murah dibanding mereka harus mempekerjakan tenaga ahli secara sepenuh waktu
> sebagai karyawan tetap bergaji tinggi. Ini menjadi bagian dari proses
> mengurangi biaya tetap dan meningkatkan laba perusahaan. Perusahaan juga
> tidak perlu memikirkan apakah konsultan ahli ini memiliki kultur dan
> nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak, sebab yang dibeli
> oleh perusahaan adalah keahliannya. Keahliannya itu yang ingin diambil oleh
> sebagian karyawan perusahaan yang terkait dengan bidang tugas tertentu,
> agar perusahaan bisa berjalan sesuai dengan harapan pemilik dan manajemen
> puncak perusahaan.
>
>
> Pada sisi lain, kaum terpelajar-cerdas yang dikontrak dalam jangka pendek
> ini dapat melayani klien yang lebih luas, sehingga baik secara finansial
> maupun secara kepuasan profesional, semuanya lebih besar. Mereka bisa
> memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat karena tidak
> terbelenggu oleh satu organisasi tertentu.
>
>
> Begitulah salah satu kecenderungan yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
> Kecenderungan ini sejalan dengan sejarah tenaga kerja di Eropa maupun di
> Amerika. Sebab pada tahun 2000 saja, jumlah tenaga kerja yang bekerja
> secara kontraktual di Eropa tercatat lebih dari 50% tenaga kerja, dan di
> Amerika lebih dari 43% tenaga kerja. Mereka ini adalah tenaga kerja dengan
> spesialisasi keahlian yang spesifik dan karenanya tidak mampu dipekerjakan
> oleh perusahaan formal yang selalu mencari cara untuk mengurangi biaya dan
> memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, mereka mendirikan usaha konsultansi
> sendiri dan melayani klien yang beraneka ragam.
>
>
> Jadi kecenderungan ini menunjang usaha-usaha perusahaan untuk *reducing
> cost and maximizing profit<*. Ini tidak mungkin bisa dihalang-halangi.
> Akan makin banyak orang terpelajar-cerdas yang sulit mencari pekerjaan
> tetap dan harus mendirikan perusahaannya sendiri.
>
>
> Apakah semua orang pintar akan mendirikan usaha sendiri? Tidak juga.
> Sebagian lagi memilih untuk masuk ke pasar dunia. Mereka tidak lagi
> melihat Indonesia sebagai sebuah ”pembatas”, karena bagaimana pun
> teknologi informasi telah membuat dunia menjadi *borderless* , tanpa batas
> yang tegas. Sejumlah pilot Indonesia memilih bekerja di perusahaan
> penerbangan Thailand . Sejumlah insinyur hebat memilih Malaysia sebagai
> tempat berkarya. Dan sejumlah dosen yang mumpuni, mengajar di
> universitas- universitas terkemuka sekitar Asia Tenggara dan Australia .
>
>
>
> Lalu, apa yang ”tersisa” di perusahaan-perusaha an saat ini? Apakah tidak
> ada karyawan terpelajar-cerdas yang masih menjadi orang gajian?
>
> Tampaknya masih ada dua kelompok besar yang bertahan menjadi karyawan di
> perusahaan-perusaha an kita. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki
> kecerdasan rata-rata saja. Meski pun mereka lulus dengan indek prestasi
> komulatif di atas 2,75, kecerdasan mereka tidak nampak dalam dunia kerja.
> Mereka hanya senang disuruh dan diperintah. Mereka tidak menunjukkan
> proaktivitas yang memadai untuk memperkembangkan diri lewat proses belajar
> berkelanjutan dari situasi-situasi kehidupan kerja sesehari. Inilah
> kelompok karyawan mayoritas yang jumlah populasinya mungkin 80% dari total
> karyawan.
>
>
> Kelompok kedua adalah sarjana-sarjana cerdas-berbakat yang hanya
> menggunakan sebagian saja dari kecerdasannya dalam bekerja. Pada satu sisi
> mereka tidak memiliki pemimpin visioner yang mau mempercayai dan
> memberdayakan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang,
> seperti merintis unit bisnis yang diperkirakan cocok dengan potensinya
> (dengan risiko gagalnya, tentu). Dan pada sisi lain mereka sendiri tidak
> menumbuhkan keberanian yang cukup untuk keluar dari zona kenyamanannya,
> sehingga bersedia menerima imbalan finansial yang lebih kecil asal ”pasti”.
> Mereka mengorbankan kecerdasan dan bakat mereka untuk kenyamanan semu yang
> memabukkan.