link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Rabu, 24 Oktober 2012

Mimpi dalam kondisi Tidak sadar


Tokoh-tokoh hebat  menciptakan berbagai karya super dibuat berdasarkan isi mimpi yang pernah dialaminya.

salam,
Dwika

=======================
Hayalan, Sensor Ego, dan Mimpi
 by Danang Priambodo

Nanto adalah seorang mahasiswa ilmu komputer di sebuah universitas. Sebagai seorang pria yang memang berbakat dalam mendesain dan menciptakan berbagai program komputer, Nanto sangat ingin memiliki sebuah laptop dengan spesifikasi hardware maupun software yang dapat mendukung bakatnya tersebut. Namun sayang, kondisi keuangan Nanto sangat tidak mengijinkan untuk membeli laptop seperti yang dia inginkan, dan orangtua Nanto juga hanya sanggup membelikan Nanto komputer dengan spesifikasi seadanya. Nanto amat kecewa dengan kenyataan itu, namun apa boleh buat, itulah kesulitan nyata yang harus ia hadapi. Hari demi hari, Nanto berhayal andai saja ia sanggup membeli laptop seperti yang ia inginkan, mungkin ia sudah selesai menciptakan berbagai program komputer unggulan. Ia dapat menjual program-program tersebut ke berbagai perusahaan, mendapat uang banyak, menjadi kaya raya, terkenal, sunggup mendirikan perusahaan komputer sebesar Microsoft, dan seterusnya, dan seterusnya, begitulah Nanto berhayal.

Kisah fiktif di atas merupakan illustrasi dan penjelasan teori psikoanalisa terhadap proses mental yang disebut berhayal, hayalan (fancying; noun: fancy). Seorang individu (dalam illustrasi di atas, Nanto), berhadapan dengan kenyataan objektif (kondisi keuangan dirinya dan orangtuanya) yang tidak memungkinkan keinginannya/hasratnya (membeli laptop) terpenuhi, dus, demi tetap memuaskan keinginannya tersebut, ia membuat pemenuhan simbolis dengan cara berhayal andai saja ia sanggup membeli laptop. Di sini, membeli laptop, menjadi kaya, terkenal, dan seterusnya, merupakan hayalan (fancy), produk dari prilaku berhayal itu sendiri, yang sanggup membuat seseorang (Nanto) merasa lebih tenang, puas kendati kenyataan objektif dirinya tetaplah berbeda dengan isi hayalannya.

Inti dari hayalan dengan demikian terletak di sini, yaitu bahwa sama seperti mimpi maupun mitologi [1], hayalan merupakan penyelesaian simbolis terhadap masalah nyata yang belum atau memang tidak dapat diselesaikan oleh seseorang. Masalah tersebut timbul ketika niat seseorang untuk memenuhi keinginannya terhambat oleh kenyataan, dan kenyataan tersebut dapat berupa kenyataan moral, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Di sini terjadi suatu penolakan simbolis terhadap kenyataan: seseorang memprotes kenyataan dengan menciptakan berbagai gambar mental (mental image) yang pembentukannya disusun/diurutkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang dihadapi orang itu sendiri. Ia berhayal memiliki mobil ketika pada kenyataannya ia tak dapat membeli mobil, ia berhayal dapat menjadi gubernur ketika pada kenyataannya ia gagal menjadi gubernur, ia berhayal negaranya makmur ketika pada kenyataannya ia hidup di suatu negara miskin, dan sebagainya.

Perbedaan hayalan dengan mimpi hanyalah terletak pada fakta bahwa mimpi terjadi ketika seseorang sedang dalam kondisi tidak sadar (misalnya tidur), sementara hayalan terjadi ketika seseorang sedang dalam kondisi sadar penuh. Di sinilah kita akan melihat apa yang oleh teori psikoanalisa diungkap sebagai sensor ego (ego censur). Sensor ego adalah alat dari aparat pengendali kesadaran (ego) yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip moral internal seseorang (superego) dan berfungsi membuat isi hayalan seseorang tidak menghasilkan perasaan-perasaan tidak nyaman (kecemasan, ketakutan, sakit hati, malu) pada diri orang itu sendiri.


Peran sensor ego dalam pembentukan hayalan dan mimpi
Kerja sensor ego akan minimal ketika seseorang sedang dalam kondisi sadar penuh dan sebaliknya akan menjadi maksimal ketika seseorang sedang tidak sadar. Hal ini terjadi karena ketika seseorang sedang sepenuhnya sadar, berbagai perangkat psikis selain sensor ego (misalnya daya intelegensi, sikap, ingatan akan prinsip moral, harga diri, konsep diri) juga berada dalam kondisi kerja penuh untuk menjaga agar isi hayalan seseorang tidak menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam diri orang itu sendiri, dus, di sini peran sensor ego menjadi tidak terlampau diperlukan. Selain itu, dalam kondisi tersebut kekuatan ego juga masih cukup adekuat untuk menahan (mengendalikan) agar berbagai keinginan amoral atau keinginan-keinginan terlarang yang telah ditekan ke bawah sadar (dilupakan) tidak kembali lagi ke dalam kesadaran seseorang. Ini menjelaskan mengapa ketika seseorang sedang sadar penuh, isi hayalan yang ia buat biasanya terdiri dari objek-objek yang merupakan pengganti langsung dari, atau mengandung makna bahasa yang sama dengan, objek-objek yang memang menjadi goal dari keinginan-keinginannya, serta terdiri dari objek-objek yang isinya tidak berbenturan secara ekstrim dengan prinsip moral. Seseorang berhayal memiliki mobil ketika pada kenyataannya ia tak mampu membeli mobil (gambar mental: ‘mobil’, menggantikan ‘mobil’ yang nyata; ‘mobil’=’mobil’), seseorang berhayal berlibur ke Bali ketika pada kenyataannya ia tak mampu berlibur ke sana (image ‘Bali’ menggantikan Bali yang nyata; ‘Bali’=’Bali’), dan di sini, ingatan akan prinsip moral membuat seseorang hampir tak mungkin berhayal menikam leher pamannya sendiri (walau mungkin ia sebenarnya menginginkannya).
Keadaan yang sebaliknya terjadi ketika seseorang sedang berada dalam kondisi tidak sadar/tidur. Di sini kerja dan peran sensor ego menjadi amat maksimal. Hal ini terjadi karena dalam kondisi tersebut berbagai perangkat psikis yang semula membantu ego mengendalikan isi kesadaran sedang berada dalam kondisi istirahat, sehingga selain sensor ego, praktis tak ada satupun perangkat psikis yang dapat menahan munculnya kembali berbagai ingatan dan keinginan terlarang yang sebelumnya telah ditekan ke bawah sadar, dan ini berpotensi membuat isi hayalan seseorang menjadi amat liar hingga menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman yang dapat mengganggu tidur orang itu sendiri.
Sejak dalam keadaan tidak sadar isi kesadaran seseorang dipenuhi oleh berbagai keinginan terlarang, maka, untuk menjaga agar tidur seseorang tidak terusik oleh berbagai perasaan tidak nyaman, sensor ego kemudian bekerja membuat pemenuhan simbolis dengan membentuk berbagai hayalan yang isinya bukan terdiri dari objek-objek pengganti langsung dari objek-objek yang tidak dapat diraih seseorang dalam kenyataan, melainkan terdiri dari objek-objek yang secara etimologis bermakna jauh atau tidak sama dengan makna dari objek-objek asli dari keinginan yang tak terpenuhi tersebut. Misalnya, seorang anak kecil yang merasa cemburu pada adik kandungnya sendiri (yang akibat kelahirannya kemudian menjadi pusat perhatian baru kedua orangtuanya) bermimpi membanting-banting boneka beruang ke lantai. Di sini apa yang terjadi sebenarnya adalah demikian: karena cemburu pada adiknya, anak kecil tadi berkeinginan untuk melakukan tindak kekerasan atau bahkan membunuh adiknya, namun karena keinginan seperti itu merupakan keinginan yang bertentangan dengan prinsip moral yang diajarkan kedua orangtuanya, maka sensor ego kemudian membuat pemenuhan simbolis dengan menciptakan kisah mimpi dimana anak tersebut sedang membanting-banting boneka beruang. Dus, boneka beruang menjadi objek pengganti dari goal/objek asli dari keinginan anak tersebut (membanting adik kandungnya sendiri). Catat dalam garis bawah bahwa makna etimologis dari kata ‘boneka beruang’ sama sekali berbeda dengan makna etimologis dari kata ‘adik kandung’. Bukan adik kandung diganti dengan adik kandung (seperti dalam hayalan yang terjadi ketika seseorang sadar: mobil diganti dengan mobil, pulau Bali diganti dengan pulau Bali, dan sebagainya), melainkan adik kandung diganti dengan boneka beruang.
Dua hal yang membuat sensor ego memilih boneka beruang sebagai objek pengganti adalah:
  1. Membanting-banting boneka beruang merupakan suatu prilaku yang lebih dapat diterima oleh akal sehat dan prinsip moral dibanding membanting-banting adik kandung sendiri, dengan demikian, dapat lebih mencegah munculnya perasaan tak nyaman dalam diri anak dalam contoh di atas.
  2. Pengalaman pribadi si anak itu sendiri, dalam arti bahwa: (1) dalam kehidupan nyata, benda yang disebut boneka beruang memang merupakan benda yang secara real dimiliki si anak, sehingga benda tersebut ada dalam ingatan si anak, dan di sini sensor ego kemudian tinggal memanfaatkannya sebagai bahan dari isi mimpi yang dibuatnya [2]; (2) prilaku si anak terhadap boneka beruang yang dimilikinya mengandung ungkapan psikologis yang maknanya mirip atau sama dengan makna dari prilaku yang seharusnya memang ia berikan pada adiknya. Kemiripan ini terjadi karena baik terhadap boneka beruang maupun adiknya, si anak membuat prilaku yang tujuannya sama (memberi ungkapan kasih sayang), misalnya dengan memeluk dan membelai-belai, dus, walaupun boneka beruang dengan adik kandung memiliki arti harafiah yang amat berbeda, kesamaan prilaku tadi membuat keduanya berada dalam garis makna psikologis yang sama. Hal inilah yang membuat sensor ego, sejak tugasnya memang membuat pemenuhan simbolis terhadap keinginan, memilih boneka beruang sebagai simbol pemenuhan keinginan si anak untuk membanting adik kandungnya sendiri [3].
Uraian yang aku buat berdasarkan contoh ekstrim di atas tentu saja tidak dapat kita jadikan patokan tetap dalam menganalisa tiap jenis mimpi. Bagaimanapun, inti terpenting dari uraian ini adalah bagaimana mimpi sebenarnya juga hayalan yang dibuat secara tak sadar oleh seseorang untuk memenuhi (secara simbolis) berbagai keinginan yang tak dapat ia penuhi dalam dunia nyata, dus, bila keinginan-keinginan tersebut merupakan keinginan yang masih dapat diterima oleh norma moral, maka mimpi seseorang akan tersusun dari gambar-gambar mental yang isinya sama dengan isi hayalan yang ia buat dalam keadaan sadar. Ini menjelaskan mengapa isi mimpi seseorang terkadang juga terdiri dari objek-objek pengganti langsung dari objek-objek asli keinginannya, misalnya, seseorang bermimpi naik pesawat terbang ketika dalam kenyataan keinginannya untuk naik pesawat terbang sulit terwujud (’pesawat terbang’ diganti dengan ‘pesawat terbang’; ‘pesawat terbang’=’pesawat terbang’) [4].
Mimpi buruk terjadi ketika kemunculan berbagai keinginan ekstrim terjadi secara serentak atau berganti-ganti secara cepat hingga tak dapat diimbangi oleh kecepatan sensor ego dalam membuat pemenuhan-pemenuhan simbolis terhadap keinginan-keinginan tersebut. Di sini, keinginan-keinginan ekstrim tersebut akhirnya muncul begitu saja dalam bentuk aslinya, hingga sensor ego, alih-alih membuat pemenuhan simbolis dengan isi hayalan yang bersifat lebih lembut, terpaksa menghadirkan mimpi yang isinya juga merupakan simbol-simbol bersifat keras atau ekstrim.



Penerapan teori mimpi dalam kesenian
Pandangan teori psikoanalisa menganai asal-usul hayalan dan mimpi memang merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh yang pernah diciptakan Freud [5]. Dalam hal ini, teori mimpi tak hanya menjadi salah satu tehnik terapi (yaitu: analisa mimpi) yang digunakan para psikoanalis dalam mengungkap kenyataan diri pasien [6], namun juga menjadi batu penjuru dari lahirnya salah satu aliran seni paling berpengaruh: Surealisme [7].
Surealisme merupakan aliran seni yang mendasarkan kreasi artistiknya pada gagasan Freud mengenai hayalan dan mimpi sebagai manifestasi simbolis dari isi ketidaksadaran seseorang, dus di sini Surealisme (yang diwujudkan dalam berbagai jenis karya seni, meliputi puisi, cerita pendek, novel, lukisan, lagu) menekankan arti penting isi ketidaksadaran sebagai sumber inspirasi dan makna dari penciptaan berbagai karya seni.
Salah satu tokoh seni paling terkenal dari Surealisme adalah Salvador Dali (1904-1989), yang menciptakan berbagai karya lukis dengan tema yang dibuat berdasarkan isi-isi dari mimpi yang pernah dialaminya [8].

Tidak ada komentar: