Proses penukaran uang dengan voucher membuat orang mengalami salah dalam merasakan ‘lepasnya’ uang darinya. Karena dalam menukar ini, rasanya adalah ‘menukar’, bukan ‘membeli’. Akibatnya pikiran akan ‘harga produk’ tidak akan muncul di sini. Penjualan lebih mudah dilakukan.
Salam,
Dwika

=============================
Meng-’crack’ Struktur Perilaku ‘Proses Pembelian’
by Ronny F Ronodirdjo

Siang tadi saya ke sebuah Mall yang konon terbesar di Indonesia yang terletak di bilangan Slipi/Tomang bersama keluarga, setelah seminggu meninggalkan mereka untuk memberikan pelatihanLicensed Practitioner of NLP di Yogyakarta yang luar biasa sukses.

Saat masuk foodcourt, saya segera disadarkan bahwa sistem pembelian harus memakai kupon uang-uangan yang dibeli di loket. Seingat saya, emang sudah lama sekali Mall ini memberlakukan sistem ini untuk mengelola footcourt mereka. Tentunya ada ada alasan tertentu yang mereka miliki sehingga memutuskan menggunakan cara ini. Mungkin saja ini adalah cara untuk mengontrol agar omset setiap counter dapat diketahui dengan pasti dan tidak terjadi manipulasi jumlah pembelian dan komisi. Beberapa Mall memang memberlakukan sistem bagi hasil dan bukan sistem sewa ruang murni. Dengan cara bagi hasil ini, maka jika untung dinikmati bersama, rugi juga demikian halnya.

Well, sebagai seorang praktisi NLP, tentunya kita tidak akan melewatkan kesempatan melakukaninformation gathering dan getol dalam mengamati perilaku dengan attitude “ingin tahu”. Di Mall ini, saya memutuskan untuk menyalurkan hasrat mengamati perilaku pembeli yang ada di foodcourt ini, tentunya mengamati menggunakan keilmuan NLP. Saya tahu Anda penasaran bagaimana cara meninjau struktur proses perilaku dari kacamata NLP.

Loket Penukaran Uang
Loket ini terletak di dekat pintu masuk, terdiri dari 2 loket : loket penukaran dan loket refund. Kedua loket ini berada dalam bilik yang sama hanya beda lobang untuk penukaran saja.
Karena kedatangan kami adalah saat makan siang, jadi harus antri melalui barisan yang dipisahkan tali (seperti di bank) saat menukarkan “uang asli menjadi kupon uang” ini. Yang menarik adalah, di bagian loket penukaran uang ada 3 orang kasir, sedangkan di loket refund kupon hanya ada 1 orang kasir. Secara cepat, ini mengirimkan pesan ‘bawah sadar’ pada saya bahwa menukarkan “uang menjadi kupon” lebih mudah dan cepat, dibandingkan dengan menukarkan ‘kupon menjadi uang kembali’ (refund).

Jadi boleh dibilang, sudah terjadi suatu seeding (pembenihan) ide di kepala saya, bahwa nanti setelah selesai makan danmau refund, akan diperlukan waktu antri yang lebih lama. Tentunya seeding ini berjalan sempurna tidak saja bagi saya, namun bagi seluruh pengunjung… Lha jelas-jelas, antrianrefund terlihat lebih lambat prosesnya karena cuma dilayani satu orang.
Karena manusia pada umumnya malas untuk mendapatkan kesulitan, dan cenderung mencari kemudahan, maka di “bawah sadar” sudah terjadi suatu keputusan saat itu juga. Kira-kira keputusan itu berbunyi “mendingan uangnya dihabisin untuk jajan, daripada entar capek-capek antri lama untuk nukar lagi”. Well, suatu proses seeding yang luar biasa.
Tentu saja, saya tidak menuduh bahwa Mall ini memang sengaja melakukan hal ini…, saya hanya menganalisis gejala ini dari sudut pandang NLP saja.

Meta Program
Situasi di atas itu terpotret struktur proses-nya dengan suatu tools NLP yang bernama Meta-Program Arah Motivasi. Yakni, bahwa manusia akan cenderung ‘mengejar kenikmatan/keuntungan’ (moving toward), dan ‘menghindari kesulitan/kerugian’ (moving away). Jadi melihat antrian panjang layanan refund (yang hanya dilayani satu orang kasir) akan memicu perasaan ingin menghindari itu. Sekaligus pada saat yang sama, akan muncul perasaan “mendingan menghabiskan uang untuk makanan” karena makan /minum tentunya lebih menyenangkan daripada antri… Ya khan?

Well, kemudian dengan mudah diamati juga bahwa pecahan kupon uang (seperti monopoli) yang tersedia adalah terdiri dari Rp 500,-, Rp 1.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-. Nah hebatnya, setiap orang yang menukar uang, cenderung menukarkan pecahan uang berkisar Rp 50.000,- dan Rp 100.000,- Hanya sedikit sekali yang menukar Rp 20.000,- doang. Kalaupun ada yang menukar Rp 20.000,- itu karena ia menambah dari besaran Rp 50.000,- atau Rp 100.000,- .

Nah apa artinya ini?
Luar biasa sekali… Entah, benarkah pemilik Mall ini sudah memperhitungkan ini semua atau belum?
Yang jelas pada saat seseorang menukarkan sejumlah uang dengan nilai tertentu, sebenarnya iasudah mengambil keputusan untuk menghabiskan uangnya –setidaknya- dalam nominal yang mendekati angka rupiah yang ditukarnya itu. Jadi jika seseorang menukarkan Rp 100.000,- maka ia sudah melakukan proses “self budget calibration”, dan ia tanpa sadar kemudian “memutuskan” akan menghabiskan uang sekitar Rp 100.000,- ini.

Nah, ketika proses menukarkan uang itu, jumlah rupiah yang ditukarkan ini dengan cepat menjelma menjadi keputusan “kuota” jajan-nya. Dan pada saat yang sama, ia tengah disuguhi pemandangan antri refund yang panjang dan lama! Klop…, maka seperti otomatis, ini makin mempermudah si calon pembeli ‘meyakini’ untuk menghabiskan saja uangnya untuk jajan di dalam. Lha daripada repot ngantri lagi….
Ck ck ck…

Jika dilihat secara proses time-line, maka jelas-jelas secara ‘cerdik’ pengelola sudah memindahkan/memajukan proses ‘keputusan membeli’ pada saat mereka belum secara aktuil membeli produk. Jadi proses keputusan membeli didisain agar dilakukan dalam suasana yang lebih ‘mudah’.
Jadi nantinya saat proses membelanjakan kupon uang itu, hanyalah proses rekonfirmasi saja, bukan lagi proses decision making, karena keputusan ‘kuota’ berapa budget / jumlah yang akan dihabiskan SUDAH DILAKUKAN saat menukarkan uang di loket.
Nah, inilah yang sangat menarik… Bahwa orang dibawa pada proses mengambil keputusan membeli tanpa mereka menyadari bahwa mereka sudah mengambil keputusan membeli. Secara ‘struktur proses’ ini adalah luar biasa bukan main! Secara content dan etika, silahkan Anda sendiri yang menilainya!

Memfasilitasi Proses Dis-association
Selesai menukar uang, saya berkeliling mencari counter yang cocok, sambil mengamati sejumlah pembeli termasuk. Karena mereka cuma membawa uang-uang-an (seperti monopoli itu), terlihat jelas ada suatu perilaku yang mencerminkan perasaan “yang kubawa bukanlah uang”.
Karena seperti merasa bukan membawa uang, maka muncul rasa “lebih mudah” untuk melepaskannya, bahkan terasa seperti bermain-main… Jadi, menghabiskan -lebih banyak- akan terasa enteng saja, kontras saat dibandingkan dengan penggunaan uang beneran.
Peristiwa di atas secara struktur proses adalah suatu kondisi disassociation. Yakni kondisi dimana pembeli ter-disassociate dari proses “perasaan mengeluarkan uang”, karena yang dipakai bukan uang asli, jadi terasa lebih enteng.

Disassociation, merupakan proses yang membuat suatu ‘perasaan kuat lekat’ menjadi terasa ‘kendor’, menjadi terasa lebih enteng. Nah, jika kita dibuat masuk dalam proses disassicoation dalam ‘pengeluaran uang’, maka mengeluarkan uang akan menjadi sangat enteng. Persis seperti para karyawan/pejabat yang merasa enteng saat mengeluarkan pengeluaran / budgeting, karena yang mereka keluarkan bukanlah uang mereka sendiri…

Nah, sebenarnya efek dis-association ini juga sudah terjadi saat penukaran uang. Proses penukaran uang membuat orang mengalami disassosiation dalam merasakan ‘lepasnya’ uang darinya. Karena dalam menukar ini, feeling yang di-generate adalah ‘menukar’, bukan ‘membeli’. Akibatnya kekritisan pikiran akan ‘harga produk’ tidak akan muncul di sini. Kira-kira di kepala pembeli berkecamuk pemikiran seperti ini ”Lha wong saya belum membeli kok, cuma menukar saja, ngapain dipikirkan terlalu rumit”.
Bandingkan, jika Anda langsung membeli, maka sensitivitas tehadap kuota yang dihabiskan akan lebih terasa penting untuk dihitung masak-masak… Di sinilah terjadi disassociation! Hanya menukar, bukan membeli!

Jadi, insight apa saja yang Anda temukan dalam tulisan di atas?
Jadi, selain itu…. apa lagi yang dapat dilakukan seorang lulusan Licensed Practitioner of NLP™ dalam memotret suatu struktur perilaku?
Well, kiranya tulisan ini memperkaya pemahaman kita semua tentang bagaimana NLP memodel sesuatu…
 ·  ·  · Share · Delete