link: Mananging Consultant

Cari Blog Ini

Jumat, 25 Maret 2011

Kuala Lumpur dan Bangkok

Anti Macet di Kuala Lumpur dan Bangkok
Ibukota negara tetangga pernah terjebak kemacetan parah. Apa jalan keluar mereka?

Renne R.A Kawilarang, Denny Armandhanu
Salah satu moda MRT di Malaysia (panoramio.com)
VIVAnews – Soal solusi macet, Bangkok rupanya jauh lebih maju dari Jakarta. Pada April 2004,  saat Jakarta terpesona oleh “inovasi” Busway oleh Pemerintah DKI, di Bangkok justru pemerintah setempat sudah meluncurkan jaringan layanan kereta bawah tanah, yang terkenal dengan sebutan MRT (Mass Rapid Transit).
Mulai diujicoba kepada publik pada 13 April 2004, layanan MRT baru diresmikan pada 3 Juli 2004 oleh Raja Bhumibol Adulyadej bersama Ratu Sirikit. Jam peresmian terbilang unik, yaitu pukul 19.19 waktu Bangkok. Armada MRT memiliki sedikitnya 19 unit, dan akan terus bertambah seiring pembangunan jalur-jalur baru.
Kapasitas MRT dalam mengangkut penumpang jauh lebih besar dari satu unit Busway di Jakarta. Fasilitas “Bangkok Metro”, begitulah nama populer MRT disebut, bisa memenuhi kebutuhan penduduk setempat mendapatkan layanan transportasi cepat, aman, dan efisien.
Seorang warga Bangkok, Chantip Nuangnong, merasakan perbedaan besar sebelum dan sesudah ibukota Thailand itu membangun MRT. “Hingga pertengahan 1990-an, lalu lintas di Bangkok begitu semrawut. Orang berjejal-jejal naik bus dan berebut taksi. Waktu jadi tidak efisien. Namun suasana itu tidak lagi saya rasakan sejak ada MRT,” ujar perempuan berusia 45 tahun itu saat memandu wartawan VIVAnews menyusuri pusat kota Bangkok, Juli lalu.
Menurut Chantip, kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas dapat berkurang sejak pemerintah Bangkok serius membangun layanan transportasi baru. “Sebelum ada MRT, di Bangkok sudah ada kereta Skytrain pada 1999. Baru lima tahun kemudian kami bisa menikmati MRT,” kata Chantip, merujuk kepada kereta layang bernama BTS Skytrain, yang mungkin mirip dengan monorel di Jakarta yang hingga kini belum terwujud.
Selain BTS dan MRT, dalam dua puluh tahun terakhir, Bangkok juga membangun jalan-jalan layang. Pemerintah setempat tampaknya menyadari solusi macet lalu lintas tak boleh sepotong-sepotong, tapi harus secara serempak dan terintegrasi. “Kini saya senang karena punya banyak alternatif menuju ke suatu tempat di Bangkok. Bila tidak mau pakai taksi karena jalanan macet, saya bisa pakai MRT atau BTS,” ujar Chantip, yang bekerja di Departemen Hubungan Masyarakat di bawah naungan Kantor Perdana Menteri Thailand.
Pembangunan kereta bawah tanah sebenarnya sudah direncanakan sejak dekade 1970an. Setelah sempat dipendam karena krisis, pada November 1996, pemerintah Bangkok mulai membangun terowongan untuk jalur MRT.
Menurut International Railway Journal edisi Juli 2004, pembangunan awal sistem MRT itu membutuhkan dana sedikitnya 352 juta euro (kini kursnya sekitar Rp 4,2 triliun), dan menggandeng satu perusahaan teknologi asal Jerman. Namun, pembangunan itu berkali-kali tertunda. Selain karena terpukul oleh krisis keuangan Asia 1997-98,  pembangunan jalur MRT terkendala faktor teknis, baik masalah struktur tanah, maupun pada penentuan posisi jalur.
Layanan kereta yang dikelola Bangkok Metro Company (BMC) ini baru memiliki jalur sepanjang 21 km, yang disebut Jalur Biru. Ini adalah jalur pertama kali berfungsi, yang terdiri dari 18 stasiun. Kereta MRT saat ini mampu mengangkut 40.000 penumpang per jam dari ujung ke ujung – yaitu dari stasiun Bang Sue menuju Hua Lamphong - dan berkecepatan hingga 80 km/jam.
Pihak pengelola, pada 2010 mulai membangun trayek baru, yang mereka sebut sebagai Jalur Ungu. Targetnya, jalur MRT akan ditambah hingga 91 km, dan bisa melayani penumpang dari penjuru Bangkok dan sekitarnya dengan pembangunan jalur-jalur baru.
Dengan dukungan pusat, pemerintah Bangkok Agustus tahun ini mulai mengoperasikan kereta ekspres, yang menghubungkan kota itu dengan Bandar  Udara Internasional Suvarnabhumi.  Layanan kereta cepat bernama Airport Rail Link (ARL) itu diresmikan 23 Agustus 2010, dan melayani jalur sepanjang 28 km. Layanan ARL itu menghubungkan Bandara Suvarnabhumi di provinsi Sakan, ke jantung Bangkok, dan berakhir di stasiun City Air Terminal (CAT) di distrik Makkasan.

Aman dan nyaman di Malaysia
Tidak hanya di Thailand, Malaysia pun dalam satu dekade terakhir “ngebut” membangun infrastruktur perhubungan baru di ibukota. Tiga moda transportasi yang terkenal karena cepat, murah dan nyaman di Malaysia adalah dua buah Light Rail Transit (LRT) dan Monorail. Di bawah perusahaan RapidKL, dua jalur LRT di Kuala Lumpur menjadi transportasi unggulan warga Malaysia.
Menurut kantor berita Bernama, jalur pertama adalah jalur Ampang yang dulu dikenal dengan nama STAR LRT. Jalur itu melayani dari Ampang menuju pusat kota, dan dari Sentul menuju Bukit Jalil.
Pembangunan jalur Ampang tahap pertama dimulai pada Agustus 1993, dan kelar Desember 1996. Pada awalnya, jalur Ampang hanya mencakup jarak 12 Km, dan memiliki 14 stasiun. Jeda interval tiap kereta hanya 5 sampai 15 menit, sehingga penumpang tak akan telat menuju tempat tujuannya. Setiap kereta dilengkapi pendingin udara. Kereta ini berkecepatan maksimal 70km/jam. Pada 1999, kereta di jalur Ampang telah mengangkut 26 juta penumpang.
Pembangunan tahap kedua pada 1995, dan beroperasi pada pertengahan 1998. Pada tahap kedua ini jalur ditambah 12km lagi dari stasiun Chan Sow Lin di Kuala Lumpur ke Sri Petaling (Bukit Jalil), dan 3 Km lagi dari Sultan Ismail ke Sentul.
Jalur kedua adalah Kelana Jaya line (KJL) yang dulunya dikenal dengan nama PUTRA LRT (Proyek Usahasama Transit Ringan Automatik). Jalur PUTRA ini pertama beroperasi pada 1 September 1998 antara Subang menuju Pasar seni, lalu jalur kedua pada Juni 1999 dari Pasar Seni ke Terminal Putra. Perubahan nama menjadi KJL dilakukan pada Juli 2005.
Semua stasiun KJL dilengkapi fasilitas memadai, dan mempertimbangkan segi keamanan penumpang. Ada sistem pendeteksi mencegah penumpang berdiri terlalu dekat jalur kereta. Setiap peronnya punya tombol darurat, dan telepon ke petugas. Para petugas juga memantau setiap sudut stasiun melalui CCTV.
LRT ini adalah alat pemerintah Malaysia mengurangi kemacetan lalu lintas. Malaysia berencana menaikkan presentase penggunaan transportasi publik hingga 10-13 persen pada tahun ini. Targetnya adalah meningkatkan standar transportasi publik di pusat populasi Malaysia, dimulai dari meningkatkan penggunaan transportasi publik pada jam-jam sibuk.
Tak heran,  bila ada warga Indonesia yang pernah tinggal di Malaysia mengatakan transportasi di  sana sulit dibandingkan dengan di Indonesia. Moda transportasi favorit di Malaysia adalah Light Rail Transit (LRT). Angkutan itu nyaman, cepat, dan tepat waktu.
Nadia Daud (26), yang pernah belajar di Kuala Lumpur 2002-2008, mengatakan LRT sangat nyaman dan tepat waktu. LRT, tuturnya, memiliki jeda waktu kedatangan hanya 5-7 menit, sehingga mereka yang tak kebagian tempat duduk, tak perlu menunggu lama kereta berikutnya. “Bahkan, pada jam kerja LRT datang 2-4 menit sekali,” ujar Nadia.
Untuk menuju stasiun LRT, pemerintah Malaysia menyediakan feeder khusus bagi mereka yang tinggal jauh dari stasiun. Nadia mengatakan, feeder bus LRT beroperasi sampai jam 12 malam. Dia mengaku merasa aman naik feeder ini meskipun harus bepergian malam. “Feedernya bahkan lebih bagus daripada bus TransJakarta,” ujar Nadia.
• VIVAnews

Tidak ada komentar: